Share

7.

Niat hati ini ingin egois namun kenyataannya aku tidak bisa, bagaimanapun juga aku menyayangi mertuaku. Aku sudah menganggap mereka seperti orang tuaku sendiri, ya tentu saja.

Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam lewat dua puluh menit ketika mertuaku sampai di rumah. Aku dan mas Tala menyambut mereka dengan suka cita.

Setelah menyalami dan memeluk mama dan papa, aku mengajak mereka untuk segera masuk ke dalam.

"Waah, rumah kalian nyaman banget nak." ucap mama yang saat ini sebelah tangannya tengah memeluk  pinggangku dari samping. Kami berjalan beriringan dengan mama di sampingku, dan papa di samping mas Tala.

"Iya, benar kata Mama. Nyaman," sambung papa menimpali.

Aku tersenyum mendengarnya dan sedikit tertegun saat mataku tak sengaja melihat mas Tala juga ikut tersenyum. Astaga, baru kali ini aku melihatnya tersenyum dan tampak sangat tulus. Hmm, sepertinya.

"Mama dan Papa sudah makan malam?" tanyaku lebih dari sekadar basa-basi setelah kami sudah duduk nyaman di ruang keluarga. Karena tadi sebelumnya mas Tala sudah memesan makanan lewat delivery online.

Tadinya aku sempat menolak dan lebih memilih untuk masak saja, tapi melihat waktu yang sangat sempit ditambah bahan makanan habis dan juga belum dibeli. Pada akhirnya aku pun setuju untuk memesan makanan saja. 

"Kamu masak nak?" tanya mama terlihat antusias.

Mendengar pertanyaan mama aku melirik mas Tala yang mengkode diriku untuk menganggukkan kepala.

"Tidak, Ma," aku menggeleng dan lebih memilih untuk menjawab jujur saja.

"Biasanya Lana masak Ma, tapi Mas Tala...." ku lirik lagi mas Tala yang kini wajahnya terlihat tegang dan pucat.

"Sedikit manja, jadi Lana tidak punya banyak energi untuk memasak. Ya, Mama dan Papa tau sendirilah." lanjutku tersipu malu.

Ku dengar tawa papa dan mama menggelegar, pasti mereka senang dan berpikir bahwa kehidupan pernikahan kami bahagia.

Wajah tegang dan pucat mas Tala perlahan berangsur berkurang, kini terlihat santai kembali.

"Maklumlah ya Pa, masih bau-bau pengantin baru jadinya pengen nempel terus."

"Hahaha, iya Ma, maunya nempel terus kayak perangko."

Aku meringis dan memaksakan tersenyum menanggapi godaan dari mertuaku ini. Hah, seandainya saja mereka tau yang sebenarnya. 

"Eh, sayang, ngomong-ngomong udah mulain belum?" aku gelagapan ingin menjawab pertanyaan mama. Apalagi mama secara gamblang menjelaskan maksud dari ucapannya dengan menggerakkan kedua tangannya membentuk perut buncit seperti ibu hamil.

"Ah, itu—"

"Belum, Ma. Doain aja ya semoga secepatnya kabar baik itu hadir." sela mas Tala memotong ucapanku.

Bagus! Benar-benar sempurna ucapan mas Tala hingga mampu membuat mama dan papa berharap penuh.

Bagaimana aku bisa hamil jika mas Tala saja tidak mau menyentuhku?! rutukku dalam hati.

"Amin," sahut papa dan mama kompak. Dan tak lama aku pun menyusul mengucapakan satu kata itu diikuti mas Tala yang juga menggumamkan kata 'amin'

Setidaknya meskipun mustahil, tetapi tidak ada salahnya mendoakan yang terbaik untuk pernikahan ini.

****

Suasana antara aku dan mas Tala terasa canggung, perasaan gugup tengah menyelimutiku saat ini.

"Ehemm," aku berdeham sekali untuk mencairkan suasana karena sedari tadi hanya keheningan yang terjadi.

Mas Tala kembali bersikap dingin dan menjadi pendiam saat masuk ke dalam kamarnya. Kamar yang mulai saat ini juga akan ku tempati sampai mertuaku pulang nanti.

Tadi sebelum masuk kamar kami sempat menghabiskan waktu untuk makan malam, kemudian berlanjut mengobrol sebentar di ruang keluarga kembali sambil menonton televisi. Lalu setelahnya barulah kami semua memutuskan untuk tidur di kamar masing-masing.

Kamar yang sebelumnya ku tempati kini sudah di sulap menjadi tempat tidur untuk mertuaku. Padahal awalnya aku dan mas Tala sudah menawarkan kamar yang lainnya namun mama dan papa memilih untuk tidur di kamar yang dekat dengan kamar mas Tala.

Hufffh, untunglah aku tadi sudah membersihkan barang-barangku. Kalau tidak rahasia kami tidur berpisah di kamar yang berbeda pasti ketahuan.

"Ehemm," lagi aku berdeham untuk yang kedua kalinya saat tak mendapat respon dari mas Tala.

Berhasil! Kini perhatian mas Tala beralih padaku.

Aku meneguk air liurku sendiri saat melihat tatapan mas Tala yang menoleh ke arahku.

"Kau kenapa?" tanyanya, "batuk?"

Aku menggeleng, "tersedak air liurku sendiri, Mas."

Mas Tala tak menyahut dan kembali memalingkan wajahnya ke arah lain, lebih tepatnya menatap serius pada ponsel pintarnya.

Sedangkan aku? Aku sendiri dilanda kebingungan. Dimanakah aku harus tidur? Apakah mas Tala mengizinkan jika aku tidur di ranjang yang sama dengannya?

Ah, tidak, tidak. Mas Tala bias marah nanti, dia 'kan tidak ada mengatakan jika kami akan tidur bersama diatas ranjang ini. Mas Tala hanya mengatakan jika kami akan tidur satu kamar, itu saja. Ya, hanya itu.

Jadi, bisa bedakan artian kata tidur di kamar yang sama dengan tidur bersama di atas ranjang bukan?

Ah, pusing. Kepalaku pusing jadinya memikirkan masalah perihal soal tidur.

Daripada semakin pusing, pada akhirnya aku memutuskan untuk tidur di lantai yang sudah ku gelar selimut putih tebal milikku.

Ku lirik mas Tala masih sibuk dengan ponselnya, entah apa yang sedang dia lakukan aku bahkan tidak tahu dan juga tidak ingin bertanya. Cepat-cepat aku mengambil bantal dan guling di atas ranjang dan ku letakkan dibawah.

Hatiku sedikit tercubit ketika mas Tala tak memperhatikan sekaligus tak mempedulikanku. Berbeda sekali saat di depan mama dan papa tadi, mas Tala justru terlihat sangat manis romantis sekali memperlakukanku layaknya seperti istri yang begitu dicintai.

Tetapi aku sadar, bahwa itu semua memang benar hanyalah akting belaka. Akting yang begitu sempurna aku dan mas Tala lakoni di depan orang yang tak tahu apa-apa?

Aku merasa sangat berdosa karena telah membohongi sekaligus menipu mama dan papa mertuaku. Tetapi, aku akan jadi seorang pembunuh apabila mengatakan yang sebenarnya pada mereka. Hah, entahlah. Aku tengah berada di penghujung perasaan dilema.

Ku pejamkan kedua mata ini dan berusaha untuk meraih kantuk. Kira-kira baru beberapa menit saat aku sudah ingin terlelap tiba-tiba saja ku rasa sebuah tepukan di bahuku.

Aku menoleh ke samping dan melihat bahwa mas Tala-lah ternyata yang menepuk bahuku.

"Kenapa tidur disini?" tanya mas Tala membuatku mendelik seketika.

"Jadi aku harus tidur dimana?" tanyaku kebingungan.

"Naiklah," titah mas Tala.

Aku terdiam beberapa saat mencerna ucapan mas Tala barusan. Seperti orang bego aku bingung mengartikan perintah mas Tala yang menyuruhku untuk naik ke atas. Naik kemana? Ke atas ranjang?

"Hei, kenapa masih disini? Ayo, cepatlah naik ke atas ranjang." titah mas Tala sekali lagi.

"Naik ke atas ranjang?" tanyaku dengan nafas tercekat.

Ini sungguhan atau mas Tala hanya sedang mengerjaiku saja?

"Iyalah, memangnya naik ke atas mana lagi? Ke atas pohon? Atau langit gitu?"

Aku menggeleng, "aku akan naik."

Tak ingin mas Tala berubah pikiran, cepat-cepat aku bangkit dari lantai dan segera naik ke atas ranjang.

"Ah iya, kelupaan." kataku seraya menepuk jidat dan kembali turun dari ranjang untuk mengambil bantal, guling dan juga selimut.

"Selamat malam, Mas." kataku sebelum mengambil posisi nyaman untuk tidur. 

Tak ingin semakin gugup aku pun membelakangi mas Tala. Dan aku nyaris memekik senang saat mendapatkan balasan ucapan selamat malam dari mas Tala.

Ah, senangnya. Semoga saja ini bukan hanya sekadar mimpi yang akan menghilang saat aku bangun tidur esok hari.

Tbc....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status