Dua tahun kemudian, gubuk reot terletak di tengah-tengah hutan di bawah kaki Gunung Pendem. Sinar matahari menembus celah-celah pepohonan dan menerangi ruangan kecil gubuk. Di sekitar, suara riuh pepohonan dan nyanyian burung membuat suasana damai.
Seorang wanita cantik berkulit pucat terbaring di atas ranjang kayu, sesekali menunjukkan gejala batuk layaknya sakit-sakitan. Sang ibu dalam keadaan terbaring sakit, dia menoleh pada seorang anak muda kecil di samping ranjang kayu, menatapnya dengan senyuman penuh kasih sayang. Wanita itu, dengan tangan lembut, menyentuh wajah anak muda kecil tersebut."Mandala, jelajahi dunia ini dengan matahari sebagai teman setiamu. Ibu akan tetap disini menunggumu kembali dengan cerita-cerita baru," bisiknya lembut, meski napasnya terengah-engah.Anak laki-laki yang baru saja berusia dua tahun itu tidak begitu mengerti dengan kata-kata ibunya. Mandala menatap ibunya dengan penuh kekhawatiran, namun tetap dengan senyum yang mencerminkan rasa penghargaan dan kasih sayang. "Ya, ibu. Tapi, aku tidak ingin meninggalkanmu."Mendengar balasan anaknya, wanita itu tersenyum bahagia. Sayangnya, itu hanya berlangsung sebentar, karena dia sendiri tidak memiliki banyak waktu lagi. Sang ibu tidak lagi memiliki kekuatan untuk menjalani hidupnya; dalam beberapa tahun terakhir, dia telah menghabiskan separuh hidupnya hanya untuk menunggu kedatangan sang suami. Namun, tidak ada hasil apapun setelah penantian yang panjang di gubuk tua ini."Nak, takdirku hanyalah menanti. Namun, hidupmu adalah petualangan yang akan terus berkembang. Jangan biarkan penantianku menghambat langkah-langkahmu."Anak muda itu, meski berusaha menyembunyikan kekhawatiran di matanya, merasakan perubahan dalam suasana hati ibunya. Dia merasa bahwa waktu menjadi musuh yang tak terelakkan, mencuri setiap momen yang tersisa.Melalui usaha terakhirnya, sang ibu mengeluarkan selembar kertas usang yang terlipat membentuk persegi dan sebuah medali emas seukuran telapak tangan anak kecil. Kemudian, memberikannya pada Mandala sembari tersenyum, berharap dia memanfaatkan benda peninggalan ayahnya dengan baik.Anak muda itu memandang khawatir dengan sedikit keheranan, perasaannya mulai sedikit gelisah, seolah dia menginginkan waktu berhenti saat itu juga.Wanita itu tersenyum penuh kasih, namun matanya menyiratkan kedukaan yang dalam. "Anakku, kebahagiaanku adalah melihatmu bahagia. Jangan pernah ragu untuk mewujudkan mimpi-mimpimu."Malam pun tiba, bintang-bintang yang berkilauan di langit menjadi saksi bisu dari momen perpisahan ini. Sang ibu, dalam keadaan terbaring sakit, mencium kening anaknya sebagai tanda perpisahan.Di ruangan yang sunyi, terdengar bisikan lembut, "Jalani hidupmu dengan penuh cinta dan keberanian, anakku. Aku selalu ada di hatimu."Keesokan harinya, ketika matahari mulai bersinar, gubuk itu menjadi sunyi. Sang ibu, setelah melepaskan napas terakhirnya, meninggalkan dunia ini dengan senyuman di bibirnya, sementara anak muda itu baru menyadari sesuatu yang amat berharga telah hilang tepat di hadapannya."Ibu?" Mandala dengan kekhawatiran yang memuncak mengguncang tubuh ibunya, berharap wanita itu segera membuka mata.Tapi apa, derai air mata anak dua tahun itu menetes tanpa dia sadari. Usahanya dalam membangunkan sang ibu terhenti seketika itu, Mandala tertunduk dengan air mata yang bergelinang.Sementara Mandala terbenam dalam kesedihannya, seorang kakek tua yang melangkah pelan tanpa tujuan melewati gubuk itu. Telinganya menangkap isak tangis anak kecil yang terputus-putus. Kakek tua itu memutuskan untuk mengikuti suara hati dan mengarahkan langkahnya menuju sumber suara.Kakek Tua, dengan penuh kelembutan berkata, "Apa yang terjadi, anak kecil?"Mandala menoleh dan menemukan kakek tua yang ramah, namun matanya masih penuh kesedihan.Mandala, dengan suara lirih: "Ibu saya pergi. Dia meninggalkan saya sendirian."Kakek Tua tersentak oleh kesedihan di mata Mandala dan melihat sosok wanita berkulit pucat tidak lagi bernapas. Dengan lembut, kakek itu duduk di samping Mandala dan merangkulnya."Kehilangan orang yang kita cintai adalah ujian berat. Namun, kita tidak perlu menghadapi kesepian itu sendirian. Apakah kamu ingin berbicara tentang ibumu?" Kakek tua itu berkata setelah beberapa waktu.Mandala, meskipun ragu, mulai membagikan cerita tentang ibunya. Kakek tua itu mendengarkan dengan penuh perhatian, dan di antara cerita-cerita itu, terjalinlah ikatan yang tak terduga antara dua jiwa yang saling membutuhkan dukungan.Kakek Tua, tergerak oleh kisah Mandala, memahami betapa besar kebutuhan akan keluarga. Dengan lembut, dia berkata, "Nak, kemana tujuanmu setelah ini? Apa kamu tertarik ikut bersama kakek?"Mandala tertegun penuh sentuhan, dia menoleh untuk melihat lelaki tua itu dengan sedikit tanda tanya. Wajah anak kecil yang polos menunjukkan sedikit kebingungan di atas kesedihannya. Mandala, yang masih sangat muda, tidak tahu mana yang baik dan buruk.Hanya saja dia termenung dalam beberapa waktu, kemudian mengangguk pelan sebagai persetujuan, dan menyambut ajakan itu dengan senyum sederhana."Setelah ibuku pergi, tidak ada lagi tempat untukku pulang, saya berterima kasih atas kebaikan hati Anda. Tapi kek, apakah tidak apa-apa jika aku mengikutimu?"Kakek tua itu tersenyum ramah dengan sedikit anggukan, menandakan dia setuju dan mengharapkan hal itu terjadi."Maka setelah kita memakamkan ibumu, kita bisa pulang bersama ke rumahku." Ucapnya dengan nada suara menghibur. Mandala mengangguk dan mengikuti usulan kakek tua."Oh, ngomong-ngomong siapa namamu, nak?" Tanya sang kakek."Namaku Mandala, bagaiman dengan kakek?" Balasnya."Panggil saja kakek Gawan." Ucap kakek sambil mengelus janggut putihnya.Begitulah, di antara kehilangan dan kehangatan, seolah seperti takdir yang telah direncanakan. Perpisahan antara ibu dan anak menjadi awal pertemuan Mandala dengan kakek tua Gawan.Meskipun hari itu dimulai dengan kesedihan, pertemuan Mandala dengan kakek tua tak dikenal membawa cahaya ke dalam kegelapan yang menyelimuti hati Mandala....Tidak jauh dari pondok kayu, Mandala dan kakek Gawan berkumpul di depan tumpukan tanah yang baru saja ditimbun. Mandala sendiri menancapkan batu nisan di atas kuburan ibunya.Dalam keheningan petang yang sunyi, Mandala dan kakek Gawan menyaksikan dengan hati berat. Angin seakan sampaikan isak sedih, dan daun-daun bergoyang serentak seperti menghormati perpisahan.Kakek Gawan, dengan punggung membungkuk, menyentuh bahu Mandala dengan penuh kelembutan. "Nak, kehilangan adalah bagian dari hidup, namun kenangan akan tetap membimbing langkahmu."Mandala, meski terpukul oleh kehilangan ibunya, dia berusaha mengangkat wajahnya dengan tekad yang membara. "Kakek, saya akan menjaga warisan dan nasihat ibu. Saya akan menjalani hidup dengan keberanian dan cinta seperti yang dia ajarkan."Begitu kata-kata terucap, mereka berdua kembali ke pondok kayu yang penuh kenangan. Di sana, Mandala mengemasi beberapa barang dalam tas kain putih. Kakek Gawan membantu dengan perlahan, matanya penuh pengertian terhadap perjuangan Mandala.Bersama dengan kakek Gawan, Mandala melangkah keluar dari pondok kayu yang menyimpan sejuta kenangan. Mereka menghadapi sinar matahari terbit yang bersinar terang di ujung langit, melambangkan awal dari babak baru dalam perjalanan hidup Mandala....Dengan langkah mantap, Mandala melangkah meninggalkan pondok kayu, membawa cerita dan warisan orang tuanya, serta tekad untuk menjalani hidup dengan penuh arti. Kakek Gawan berjalan di sebelahnya, memberikan dukungan dan bijak nasihat di setiap langkah perjalanan Mandala yang baru saja dimulai....Berjalan sepanjang hari melewati hutan, dua orang laki-laki tiba di ujung jalan setapak menuju sebuah desa di bawah kaki bukit."Nak, lihat itu adalah tempat tinggal kakek, desa Jelok," ucap Kakek Gawan sambil menunjuk ke arah pemukiman di seberang sungai.Mandala, yang baru pertama kali melihat tanah dengan bukit dan padang rumput yang luas, merasa terpukau. Dia yang terisolasi selama dua tahun di kedalaman hutan semakin meningkatkan rasa keingintahuannya tentang dunia yang luas ini.Mandala dan Kakek Gawan menyeberangi sungai, berjalan di atas jembatan kayu sederhana. Saat mencapai desa Jelok, mereka disambut hangat oleh penduduk setempat, beberapa orang tampak bertanya-tanya ketika melih
Mandala mengangguk menghormati. "Apa yang sebaiknya aku lakukan, Kek?"Dengan senyum lembut, Kakek Gawan menjawab, "Dengar, setiap seniman bela diri terbagi menjadi dua, yaitu seniman bela diri biasa dan sejati. Kau pasti tahu, seniman bela diri biasa hanya dapat menggunakan kemampuan fisik tanpa tenaga dalam, sementara seniman bela diri sejati mampu menggabungkan keduanya.""Dalam aturan negeri ini, seniman bela diri yang dapat mengolah tenaga dalam memiliki keistimewaan tersendiri. Tenaga dalam yang bangkit biasanya memiliki keterkaitan dengan satu dari lima elemen, sehingga para seniman bela diri yang mengolah tenaga dalam juga dapat memanifestasikannya dalam bentuk elemen tunggal," ucap Kakek Gawan.Walaupun dia tidak secara eksplisit mengolah tenaga dalam, pengetahuannya tentang itu cukup tinggi. Apa yang dia maksud merujuk pada setiap seniman beladiri yang membangkitkan energi batin akan memperoleh salah satu dari lima elemen, yaitu Api, Air, Angin, Tanah dan Petir. Kakek Gawan
Esok harinya, Mandala bersiap mengemasi barang bawaannya di dalam kamar rumah kayu. Dia menatap ke arah langit-langit kamarnya dengan berbagai perasaan."Ibu, hari ini petualanganku akan sepenuhnya dimulai. Nasehat dan ajaranmu dahulu akan selalu kuingat," gumam Mandala dengan sorot mata tegas dan penuh kesungguhan.Mandala melangkah keluar dari pintu dengan tas kain yang diusungnya. Sementara itu, Mak Gawan menanti di tepat depan teras rumah. Raut wajah tuanya tampak mencerminkan kesedihan yang mendalam.Di bawah langit cerah yang berwarna biru, Mandala menghampiri Kakek Gawan dengan penuh hormat. Tatapan mereka bertemu, dan dalam keheningan yang menggelayuti udara, Kakek Gawan berbicara dengan suara yang penuh kelembutan."Mandala, hati-hatilah di perjalananmu. Ini bukan perpisahan, tetapi awal dari babak baru dalam hidupmu," ujar Mak Gawan sambil meraih tangan Mandala dengan penuh kasih sayang.Mandala merasakan getaran kehangatan dalam jabatan tangan itu, seolah-olah ia merasakan
Mangku Jati melihat ke kegelapan di depan mereka, seolah mencoba membaca petunjuk yang tak terlihat oleh mata biasa. Setelah beberapa saat yang terasa seperti berjam-jam, ia akhirnya menurunkan tangannya dan berbicara dengan suara rendah namun tegas."Kita tidak sendirian di sini. Ada kehadiran beberapa orang di depan sana, aku menduga mereka gerombolan perampok. Bersiaplah," ucap Mangku Jati, wajahnya serius dan penuh kewaspadaan.Pengawal-pengawal yang semula merasa bingung dan penasaran, kini berganti ekspresi menjadi serius. Mereka menarik pedang mereka, siap untuk menghadapi ancaman yang akan datang. Suasana tegang terbentang di malam yang semakin gelap.Tiba-tiba, dari kegelapan muncul serangkaian suara langkah kaki yang ringan. Figur bayangan mulai muncul di tepi jalan, dan setiap langkahnya diiringi dengan gemerisik dedaunan di tanah. Dalam sekejap, keenam orang tersebut dikelilingi oleh sekelompok orang aneh yang terlihat sedikit jelas di bawah pengaruh sinar obor.Mangku Jat
Melihat keahliannya diakui, Kaling tertawa terbahak-bahak. "Kau memang tidak biasa, Pak Tua. Namun, ini belum seberapa!" serunya sambil melancarkan serangan beruntun dengan kecepatan yang meningkat.Mangku Jati tetap tenang, mengarahkan aliran airnya untuk membentuk pola pertahanan yang kompleks. Setiap serangan Kaling bertemu dengan perlawanan yang lebih tangguh. Pertarungan semakin intens, dengan elemen air dan api bersatu dalam tarian yang menegangkan di malam yang gelap. Samar-samar terlihat asap beterbangan melalui pantulan cahaya api.Tiba-tiba, Mangku Jati mengubah strategi. Dengan cepat, ia menghentikan aliran airnya dan meluncur maju, menerjang Kaling dengan serangan mendalam. Kejutan ini membuat Kaling terkejut, namun dia dengan cepat merespons dengan mengeluarkan tenaga dalamnya yang mematikan.Pertarungan mencapai puncak ketegangan antara air yang mengalir dan kobaran api yang bergelora. Keduanya saling berusaha mengungguli satu sama lain. Membandingkan air dan api jelas m
Mandala, yang sebelumnya merasa keuntungan berbalik ke arahnya, kini dihadapkan pada tantangan baru. Namun, ia tidak menunjukkan rasa takut. Sebaliknya, Mandala berkonsentrasi dan menyesuaikan diri dengan tingkat tenaga dalam yang tiba-tiba meningkat.Dalam momen klimaks ini, pertanyaan tentang siapa yang akan menjadi pemenang masih tergantung di udara, menciptakan ketegangan yang sulit dijelaskan. Hanya waktu yang akan menentukan bagaimana nasib pertarungan ini akan berakhir.Mandala dan Kaling saling berhadapan di bawah cahaya bulan yang bersinar redup. Suasana tegang terasa di udara, dan keduanya memancarkan aura keberanian dan ketegasan. Dalam sekali kibasan, pedang mereka bersentuhan, menciptakan sinar kilat dan percikan api yang melingkupi pertarungan mereka.Kaling, dengan gerakan lincah dan serangan yang mematikan, mencoba menyerang setiap celah pertahanan Mandala. Namun, Mandala, dengan kecepatan dan kelincahannya yang luar biasa, mampu menghindar
Dalam obrolan yang berlangsung lama, malam semakin larut, dan akhirnya, mereka pergi tidur di dekat pohon. Hanya beberapa pengawal yang tetap ditugaskan menjaga gerbong kereta.Mandala, sementara itu, tidak pergi jauh dari tempat tersebut dan tertidur di atas alas dedaunan yang dibuat dengan sedikit usaha....Di pagi hari selanjutnya, cahaya matahari perlahan menyapa mereka, membuat bayangan pohon-pohon dan gerbong kereta semakin memudar. Para pengawal yang setia segera bangun dari kewaspadaan malam sebelumnya, sementara yang lainnya terbangun dengan kantuk yang masih menyergap.Dengan semangat yang membara, Mandala melangkah dari tempat tidurnya yang sederhana. Penuh energi, dia bersiap untuk memulai hari baru. Rencananya masih menyelimuti pikirannya. Setelah mendengar sejumlah cerita menarik dari Mangku Jati semalam, Mandala semakin menunjukkan ketertarikan yang mendalam pada berbagai hal.Mandala bersama kelompok Mangku Jati melanjutkan perjalanan menuju kota Murmur. Sebelum itu d
Dengan tekad yang baru tumbuh, Mandala melangkah maju menuju area pendaftaran. Pandangan matanya penuh dengan keteguhan, mencoba menembus kerumunan murid perguruan Manik Putih yang sibuk berbincang."Saya ingin mendaftar," ungkap Mandala, berdiri beberapa langkah di depan sekelompok pemuda berseragam putih-hitam itu.Ketika Mandala tiba di loket pendaftaran, seorang petugas ramah menyambutnya, "Selamat datang. Nama Anda?""Mandala."Petugas itu meneliti daftar peserta dan kemudian memberikan formulir pendaftaran kepadanya. "Isilah data dirimu dengan lengkap, dan lima koin perak sebagai biaya pendaftaran."Dengan hati yang berdegup cepat, Mandala menyelesaikan formulirnya. Dalam benaknya, keraguan dan tekad terus berbenturan, tetapi ia memilih untuk mempercayai keputusannya sendiri. Paling tidak, ini akan menjadi langkah awal perjalanannya di kota Murmur. Apakah dia akan memiliki kesempatan untuk menjadi murid perguruan atau tidak, itu hanya urusan belakang.Setelah menyerahkan formul