Share

Bab 2-Perpisahan dan Pertemuan

Dua tahun kemudian, gubuk reot terletak di tengah-tengah hutan di bawah kaki Gunung Pendem. Sinar matahari menembus celah-celah pepohonan dan menerangi ruangan kecil gubuk. Di sekitar, suara riuh pepohonan dan nyanyian burung membuat suasana damai.

Seorang wanita cantik berkulit pucat terbaring di atas ranjang kayu, sesekali menunjukkan gejala batuk layaknya sakit-sakitan. Sang ibu dalam keadaan terbaring sakit, dia menoleh pada seorang anak muda kecil di samping ranjang kayu, menatapnya dengan senyuman penuh kasih sayang. Wanita itu, dengan tangan lembut, menyentuh wajah anak muda kecil tersebut.

"Mandala, jelajahi dunia ini dengan matahari sebagai teman setiamu. Ibu akan tetap disini menunggumu kembali dengan cerita-cerita baru," bisiknya lembut, meski napasnya terengah-engah.

Anak laki-laki yang baru saja berusia dua tahun itu tidak begitu mengerti dengan kata-kata ibunya. Mandala menatap ibunya dengan penuh kekhawatiran, namun tetap dengan senyum yang mencerminkan rasa penghargaan dan kasih sayang. "Ya, ibu. Tapi, aku tidak ingin meninggalkanmu."

Mendengar balasan anaknya, wanita itu tersenyum bahagia. Sayangnya, itu hanya berlangsung sebentar, karena dia sendiri tidak memiliki banyak waktu lagi. Sang ibu tidak lagi memiliki kekuatan untuk menjalani hidupnya; dalam beberapa tahun terakhir, dia telah menghabiskan separuh hidupnya hanya untuk menunggu kedatangan sang suami. Namun, tidak ada hasil apapun setelah penantian yang panjang di gubuk tua ini.

"Nak, takdirku hanyalah menanti. Namun, hidupmu adalah petualangan yang akan terus berkembang. Jangan biarkan penantianku menghambat langkah-langkahmu."

Anak muda itu, meski berusaha menyembunyikan kekhawatiran di matanya, merasakan perubahan dalam suasana hati ibunya. Dia merasa bahwa waktu menjadi musuh yang tak terelakkan, mencuri setiap momen yang tersisa.

Melalui usaha terakhirnya, sang ibu mengeluarkan selembar kertas usang yang terlipat membentuk persegi dan sebuah medali emas seukuran telapak tangan anak kecil. Kemudian, memberikannya pada Mandala sembari tersenyum, berharap dia memanfaatkan benda peninggalan ayahnya dengan baik.

Anak muda itu memandang khawatir dengan sedikit keheranan, perasaannya mulai sedikit gelisah, seolah dia menginginkan waktu berhenti saat itu juga.

Wanita itu tersenyum penuh kasih, namun matanya menyiratkan kedukaan yang dalam. "Anakku, kebahagiaanku adalah melihatmu bahagia. Jangan pernah ragu untuk mewujudkan mimpi-mimpimu."

Malam pun tiba, bintang-bintang yang berkilauan di langit menjadi saksi bisu dari momen perpisahan ini. Sang ibu, dalam keadaan terbaring sakit, mencium kening anaknya sebagai tanda perpisahan.

Di ruangan yang sunyi, terdengar bisikan lembut, "Jalani hidupmu dengan penuh cinta dan keberanian, anakku. Aku selalu ada di hatimu."

Keesokan harinya, ketika matahari mulai bersinar, gubuk itu menjadi sunyi. Sang ibu, setelah melepaskan napas terakhirnya, meninggalkan dunia ini dengan senyuman di bibirnya, sementara anak muda itu baru menyadari sesuatu yang amat berharga telah hilang tepat di hadapannya.

"Ibu?" Mandala dengan kekhawatiran yang memuncak mengguncang tubuh ibunya, berharap wanita itu segera membuka mata.

Tapi apa, derai air mata anak dua tahun itu menetes tanpa dia sadari. Usahanya dalam membangunkan sang ibu terhenti seketika itu, Mandala tertunduk dengan air mata yang bergelinang.

Sementara Mandala terbenam dalam kesedihannya, seorang kakek tua yang melangkah pelan tanpa tujuan melewati gubuk itu. Telinganya menangkap isak tangis anak kecil yang terputus-putus. Kakek tua itu memutuskan untuk mengikuti suara hati dan mengarahkan langkahnya menuju sumber suara.

Kakek Tua, dengan penuh kelembutan berkata, "Apa yang terjadi, anak kecil?"

Mandala menoleh dan menemukan kakek tua yang ramah, namun matanya masih penuh kesedihan.

Mandala, dengan suara lirih: "Ibu saya pergi. Dia meninggalkan saya sendirian."

Kakek Tua tersentak oleh kesedihan di mata Mandala dan melihat sosok wanita berkulit pucat tidak lagi bernapas. Dengan lembut, kakek itu duduk di samping Mandala dan merangkulnya.

"Kehilangan orang yang kita cintai adalah ujian berat. Namun, kita tidak perlu menghadapi kesepian itu sendirian. Apakah kamu ingin berbicara tentang ibumu?" Kakek tua itu berkata setelah beberapa waktu.

Mandala, meskipun ragu, mulai membagikan cerita tentang ibunya. Kakek tua itu mendengarkan dengan penuh perhatian, dan di antara cerita-cerita itu, terjalinlah ikatan yang tak terduga antara dua jiwa yang saling membutuhkan dukungan.

Kakek Tua, tergerak oleh kisah Mandala, memahami betapa besar kebutuhan akan keluarga. Dengan lembut, dia berkata, "Nak, kemana tujuanmu setelah ini? Apa kamu tertarik ikut bersama kakek?"

Mandala tertegun penuh sentuhan, dia menoleh untuk melihat lelaki tua itu dengan sedikit tanda tanya. Wajah anak kecil yang polos menunjukkan sedikit kebingungan di atas kesedihannya. Mandala, yang masih sangat muda, tidak tahu mana yang baik dan buruk.

Hanya saja dia termenung dalam beberapa waktu, kemudian mengangguk pelan sebagai persetujuan, dan menyambut ajakan itu dengan senyum sederhana.

"Setelah ibuku pergi, tidak ada lagi tempat untukku pulang, saya berterima kasih atas kebaikan hati Anda. Tapi kek, apakah tidak apa-apa jika aku mengikutimu?"

Kakek tua itu tersenyum ramah dengan sedikit anggukan, menandakan dia setuju dan mengharapkan hal itu terjadi.

"Maka setelah kita memakamkan ibumu, kita bisa pulang bersama ke rumahku." Ucapnya dengan nada suara menghibur. Mandala mengangguk dan mengikuti usulan kakek tua.

"Oh, ngomong-ngomong siapa namamu, nak?" Tanya sang kakek.

"Namaku Mandala, bagaiman dengan kakek?" Balasnya.

"Panggil saja kakek Gawan." Ucap kakek sambil mengelus janggut putihnya.

Begitulah, di antara kehilangan dan kehangatan, seolah seperti takdir yang telah direncanakan. Perpisahan antara ibu dan anak menjadi awal pertemuan Mandala dengan kakek tua Gawan.

Meskipun hari itu dimulai dengan kesedihan, pertemuan Mandala dengan kakek tua tak dikenal membawa cahaya ke dalam kegelapan yang menyelimuti hati Mandala.

...

Tidak jauh dari pondok kayu, Mandala dan kakek Gawan berkumpul di depan tumpukan tanah yang baru saja ditimbun. Mandala sendiri menancapkan batu nisan di atas kuburan ibunya.

Dalam keheningan petang yang sunyi, Mandala dan kakek Gawan menyaksikan dengan hati berat. Angin seakan sampaikan isak sedih, dan daun-daun bergoyang serentak seperti menghormati perpisahan.

Kakek Gawan, dengan punggung membungkuk, menyentuh bahu Mandala dengan penuh kelembutan. "Nak, kehilangan adalah bagian dari hidup, namun kenangan akan tetap membimbing langkahmu."

Mandala, meski terpukul oleh kehilangan ibunya, dia berusaha mengangkat wajahnya dengan tekad yang membara. "Kakek, saya akan menjaga warisan dan nasihat ibu. Saya akan menjalani hidup dengan keberanian dan cinta seperti yang dia ajarkan."

Begitu kata-kata terucap, mereka berdua kembali ke pondok kayu yang penuh kenangan. Di sana, Mandala mengemasi beberapa barang dalam tas kain putih. Kakek Gawan membantu dengan perlahan, matanya penuh pengertian terhadap perjuangan Mandala.

Bersama dengan kakek Gawan, Mandala melangkah keluar dari pondok kayu yang menyimpan sejuta kenangan. Mereka menghadapi sinar matahari terbit yang bersinar terang di ujung langit, melambangkan awal dari babak baru dalam perjalanan hidup Mandala.

...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status