Share

Pendekar Elemen Ganda
Pendekar Elemen Ganda
Penulis: Murlox

Bab 1-Pelarian

Di tengah ketegangan, suara gemuruh memecah keheningan malam. Seorang pria kekar muncul, wajahnya menunjukkan ketegasan dan keberanian yang luar biasa. "Cepat, bawa anak kita pergi. Aku akan menahan mereka," ujarnya, mengirimkan wanita yang menggendong bayi untuk segera pergi.

"Tapi, kamu—" tak sempat menyelesaikan kata-katanya, wanita yang menggendong bayi kecil di pelukannya segera didorong dengan instruksi pergi.

Wanita itu memandang dengan ratapan sedih, air mata tak terbendung dan tidak bertahan lama untuk tidak menetes. Akhirnya, wanita itu hanya menurut dan berpaling, segera pergi. Namun, di sepanjang perjalanan, ia terus menoleh ke belakang, mengkhawatirkan nasib suaminya.

Sementara itu, sosok laki-laki yang baru saja ditinggalkan menggenggam pedang erat-erat di tangannya. Dia berdiri seolah bersiap menunggu kedatangan sesuatu yang semakin mendekat.

Kelebat hitam muncul seriring waktu, lima sosok berpakaian gelap dari ujung kepala sampai ujung kaki mengepung keberadaan pria itu.

"Maafkan aku, nak," ucapnya dalam nada yang lirih. Terpancar jelas kesedihan di sorot mata dan raut wajahnya yang tegas.

"Huh? Apa yang kalian tunggu, bunuh dia!" Tegur salah seorang dari lima sosok berpakaian hitam.

Sang suami atau jelasnya Tiupaksa, dengan pedangnya yang bersinar di bawah cahaya bulan, mulai bergerak. Dia menghadapi kegelapan yang mengelilinginya, siap melawan meskipun kesedihan masih membayang di matanya.

Tanpa kata-kata, pertarungan dimulai. Kilatan pedang dan bayangan hitam bergerak cepat, menciptakan tarian yang memutuskan kehidupan dan kematian. Tiupaksa, meski terlihat lemah akibat memikirkan keadaan istri dan anaknya, menghadapi lawannya dengan tekad yang tak tergoyahkan.

Namun, pertarungan ini tak hanya soal fisik. Tiupaksa, sembari bertarung, dia merenung tentang masa depan yang terancam bagi keluarganya. Dia tahu bahwa tak hanya nyawanya yang dipertaruhkan, tetapi juga kehidupan istri dan anaknya.

Dengan begitu, laki-laki tersebut memobilisasi seluruh kekuatannya, pancaran kilat muncul menghiasi bilah pedangnya. Hanya demi anak dan istri, segalanya dapat dikorbankan.

Sabetan pedangnya menghantam beberapa kali pada sosok berpakaian hitam, namun serangan beruntun dari berbagai sisi membuat Tiupaksa harus lebih cekatan dan waspada. Selain itu, setiap lawannya memiliki kekuatan yang cukup tinggi, memaksa dia mundur beberapa langkah.

Kobaran api tersulut ketika bilah pedangnya menebas udara, hampir menyentuh tubuh Tiupaksa. Pertarungan terus berlanjut dengan masing-masing mengerahkan seni bela diri dan kekuatan tenaga dalam yang mereka miliki.

Dengan usaha kerasnya, satu dari lima sosok berpakaian hitam tertusuk tepat di dadanya. Orang itu menjerit kesakitan, wajahnya yang tertutup hanya memperlihatkan kedua mata yang melotot penuh sentakan.

Tersisa empat musuh yang harus dihadapi oleh Tiupaksa. Sayangnya, nafasnya mulai tersenggal dan tenaganya pun mulai menipis.

"Sudah kukatakan untuk berhati-hati, dasar bodoh!" Maki, salah satu dari sosok berpakaian hitam, dengan geram memandang Tiupaksa.

Sejenak, kobaran api tersulut dari lengannya yang kemudian menjalar melewati permukaan pedang di genggamannya. Pria itu menyusun kuda-kuda bela diri lalu menerjang ke arah Tiupaksa.

"Mati!" Geramnya menghadap Tiupaksa dengan kemarahan.

Sosok laki-laki sederhana sepertinya tidak dapat diremehkan. Bahkan dengan lima pembunuh bayaran, mereka masih kewalahan menghadapinya. Ketangguhan Tiupaksa berasal dari kekhawatiran terhadap istri dan anaknya.

Dalam kegelapan malam, Tiupaksa dan pembunuh itu saling berhadapan di medan pertempuran. Angin sepoi-sepoi membawa getaran tegang. Tiupaksa, dengan keberanian yang membara, melancarkan serangan pertamanya, menggetarkan udara dengan ketangguhan hatinya. Sementara itu, pembunuh bayaran mencoba menaklukkan Tiupaksa dengan kecepatan dan keahlian mereka.

Dalam serangkaian gerakan yang cepat, pedang dengan api dan kilat bersentuhan, menciptakan percikan cahaya memukau. Kekuatan Tiupaksa terus berkelebat, didorong oleh tekadnya untuk melindungi keluarganya. Setiap serangannya membawa kekuatan emosional yang membuatnya sulit diatasi oleh lawannya. Namun, tidak selamanya Tiupaksa dalam keadaan normal penuh tenaga, dan ini menjadi batasan dalam dirinya.

Tiupaksa, kendati penuh tekad, mulai merasa kewalahan di hadapan keahlian luar biasa para pembunuh bayaran. Setiap serangan yang dilancarkan oleh lawannya terasa seperti badai yang tidak dapat dihindari. Meskipun kekuatannya bersumber dari cinta dan tekad, Tiupaksa merasakan kelelahan yang semakin mendalam.

Pembunuh itu saling berkoordinasi, menciptakan strategi yang sulit dipecahkan oleh Tiupaksa. Langkah-langkahnya menjadi terhenti, dan senjatanya mulai terasa berat. Kehadiran gelap mengitari dirinya, memperlihatkan bahwa bahkan sosok laki-laki tangguh sekalipun dapat mengalami kekalahan di tengah pertempuran yang sulit.

Bilah pedang menusuk melewati dada, perut dan kakinya, seketika itu juga darah terciprat bercucuran membasahi kain yang melapisi tubuhnya. Tiupaksa berusaha keras menahan rasa sakit ketika darah hangat mengalir di tubuhnya.

Dalam keheningan malam yang gelap, Tiupaksa merasakan kelemahan tubuhnya, namun tekadnya tidak padam. Sambil tersenyum kepada pembunuh yang mendekat, dia berkata dengan suara perlahan.

"Kekuatan terakhirku bukan untuk kehidupan, melainkan untuk melindungi cinta yang tak tergoyahkan. Kalian mungkin mengalahkan tubuh ini, tetapi rohku akan menjadi badai yang melibas kalian."

Dengan gerakan terakhir, Tiupaksa mengumpulkan seluruh kekuatannya. Cahaya terang menyinari matanya yang penuh tekad, dan seakan-akan energi berbasis kilat tersembur dari dirinya. Pada saat yang sama, pembunuh itu merasakan getaran aneh di udara.

Tiupaksa, dengan suara tegas: "Dalam kekalahan ini, aku bawa kalian bersamaku."

Pembunuh bayaran yang awalnya yakin mulai merasakan ketidakpastian di hadapan sosok sederhana ini. Firasat buruk menghampiri setiap dari mereka, namun sudah terlambat untuk mengelak dari daya tarik luar biasa energi kilat.

Bang!

Dalam ledakan energi yang dramatis, Tiupaksa mengeluarkan kekuatan terakhirnya, membawa kematian kepada para pembunuh. Serangan terakhirnya menghasilkan kilatan yang menyapu mereka dalam tarian cahaya dan desis kilat.

Saat debu pertempuran mereda, hanya tinggal senyap yang menyaksikan pengorbanan Tiupaksa, seorang pahlawan sederhana yang membawa mati musuh-musuhnya untuk melindungi keluarga tercintanya.

Dalam detik terakhir, Tiupaksa menatap langit malam dengan mata penuh penyesalan, menyesal tidak dapat melihat anaknya tumbuh bahagia. Pada akhirnya, tubuhnya yang setengah hancur merosot ke tanah, memberikan pengorbanan terakhirnya demi melindungi keluarga. Pertarungan epik ini berakhir dengan kekalahan dan kemenangan yang mengguncang, meninggalkan cerita tentang keberanian dan pengorbanan yang tak terlupakan.

Ketegangan mencapai puncaknya, dan seluruh hutan menjadi saksi bisu dari perjuangan yang tak terelakkan ini...

Di bawah sinar bulan, suara tangisan bayi terdengar di tempat yang lebih aman di kedalaman hutan, sosok wanita yang mendekap bayi itu menatap jauh ke arah tempat suaminya. Derai air mata membasahi pipinya, menggambarkan kecemasan yang begitu mendalam. Namun, dalam kegelapan malam yang sunyi, semangat bertahan dan harapan pun masih berkobar di mata wanita itu.

Dengan senyum yang terpaut kesedihan, wanita itu melihat anaknya dengan gembira, berusaha menenangkan agar tidak menangis. Wajahnya mencerminkan kelelahan, tapi kehadiran anak kecil di pangkuannya memberikan secercah kebahagiaan di tengah-tengah kesulitan.

"Tak apa-apa nak, ibu di sini," bisiknya dengan lembut seraya mengelus lembut bayi kecil itu. Matanya yang lelah berkilat-kilat melihat keajaiban yang terletak dalam setiap senyuman dan tangisan anaknya.

...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status