Share

Bab 3-Sepanjang Tahun

Dengan langkah mantap, Mandala melangkah meninggalkan pondok kayu, membawa cerita dan warisan orang tuanya, serta tekad untuk menjalani hidup dengan penuh arti. Kakek Gawan berjalan di sebelahnya, memberikan dukungan dan bijak nasihat di setiap langkah perjalanan Mandala yang baru saja dimulai.

...

Berjalan sepanjang hari melewati hutan, dua orang laki-laki tiba di ujung jalan setapak menuju sebuah desa di bawah kaki bukit.

"Nak, lihat itu adalah tempat tinggal kakek, desa Jelok," ucap Kakek Gawan sambil menunjuk ke arah pemukiman di seberang sungai.

Mandala, yang baru pertama kali melihat tanah dengan bukit dan padang rumput yang luas, merasa terpukau. Dia yang terisolasi selama dua tahun di kedalaman hutan semakin meningkatkan rasa keingintahuannya tentang dunia yang luas ini.

Mandala dan Kakek Gawan menyeberangi sungai, berjalan di atas jembatan kayu sederhana. Saat mencapai desa Jelok, mereka disambut hangat oleh penduduk setempat, beberapa orang tampak bertanya-tanya ketika melihat anak kecil di belakang kakek Gawan mengikuti. Tidak hanya diam, kakek gawan yang di kenal sebagai Mak Gawan memperkenalkan Mandala pada beberapa temannya.

Di tengah pasar desa, aroma masakan khas dan warna-warni kain tradisional menarik perhatian Mandala. Kakek Gawan membawa Mandala ke rumahnya, sebuah gubuk kayu di pinggir desa.

"Nak, ini adalah rumahku, mulai sekarang tinggallah disini," ucap kakek Gawan pada bocah kecil di sampingnya.

Mandala mengangguk, dengan patuh berjalan memasuki rumah kemudian menaruh barang bawaannya. Memang rumah kayu tampak sederhana, namun itu lebih baik jika dibandingkan dengan pondok reot yang dia tinggali sebelumnya. Tidak ada komplain darinya, jelas karena Mandala terbiasa hidup sebagai anak dari golongan miskin.

Malam pun tiba, di bawah langit berbintang, Kakek Gawan dan Mandala berbagi cerita, mengukuhkan ikatan baru mereka.

Dengan setiap hari yang berlalu, Mandala tidak hanya belajar tentang kehidupan di desa Jelok, tetapi juga membuka lembaran baru dalam petualangannya, menyelami kekayaan dunia yang selama ini tersembunyi baginya. Di sana, Mandala diperkenalkan dengan kehidupan sehari-hari, dari pertanian hingga kisah-kisah nenek moyang.

"Ngomong-ngomong, di desa ini kakek bekerja sebagai seniman bela diri. Kakek membuka padepokan kecil yang terdiri dari beberapa murid," kata Kakek Gawan, hal ini membuka rasa keingintahuan pada Mandala.

Mendengar kisah Kakek Gawan, Mata Mandala berbinar-binar. "Apakah aku juga bisa belajar seni bela diri, kek?" tanya Mandala penuh antusias.

Kakek Gawan tersenyum lembut. "Tentu, Nak. Jika kau berminat, padepokanku terbuka untukmu. Kita akan memulai perjalanan baru bersama."

Mandala merasa bergetaran gembira, dan keingintahuannya semakin berkobar. Dahulu, ibunya pernah bercerita tentang seniman bela diri, termasuk ayahnya yang merupakan seniman bela diri yang cakap. Tapi, cukup disayangkan bagi Mandala yang tidak pernah berjumpa dengan sang ayah. Ibunya bahkan tidak mengatakan banyak setelah mengungkit sang ayah, hal ini sedikit menanamkan kekecewaan pada dirinya.

"Kek, aku hanya tahu sedikit tentang seniman bela diri. Bisakah Kakek menjelaskan lebih banyak?" ucap Mandala, melirik Mak Gawan.

Mak Gawan tersenyum lembut melihat rasa ingin tahu Mandala. "Tentu, Nak. Seniman bela diri bukan hanya tentang kekuatan fisik, tapi juga kebijaksanaan dan harmoni. Mereka belajar untuk melindungi, bukan hanya diri sendiri, tapi juga orang-orang tercinta dan kebenaran."

Sambil duduk bersama di dekat tungku api dan menyantap ubi bakar, Kakek Gawan mulai menguraikan filosofi seniman bela diri. Dia membicarakan nilai-nilai seperti disiplin, rasa hormat, dan kedamaian yang menjadi landasan seni bela diri. Mandala mendengarkan dengan penuh kagum, semakin terpikat oleh keindahan yang melibatkan jiwa dan pikiran.

"Tapi, Kek, kalau begitu, mengapa masih ada yang bertarung satu sama lain?" tanya Mandala tetap dengan rasa penasaran.

"Banyak orang menggunakan seni bela diri sesuai kata hatinya, memanfaatkannya demi keuntungan pribadi, bahkan menggunakannya di jalur kejahatan," jawab Kakek Gawan.

"Cukup tanamkan kebenaran dalam hatimu, nak. Meskipun anak seusiamu mungkin belum memahami sepenuhnya, lambat laun kamu akan paham dengan sendirinya," lanjut sang Kakek.

Seperti yang dikatakan kakek, Mandala merasa terlalu dini untuk memahami pelajaran semacam itu, sehingga dia dengan cepat merasa kelelahan dan mengantuk.

Sang kakek agak terkejut dan mulai tersenyum, tidak menyangka Mandala memiliki pemahaman dasar dalam setiap pertanyaannya, walaupun sedikit lebih kecil. Berbeda dengan anak-anak seumuran Mandala, mereka justru lebih terpaku pada bermain-main.

Mandala kecil tertidur, menjadikan kakek Gawan sebagai sandarannya. Dengan begitu sang kakek meraih tubuh kecil anak itu dan membawanya ke atas ranjang kayu. Membiarkan Mandala tertidur nyenyak dengan selimut kain putih kasar, mengingat dia belum istirahat selama setengah hari penuh.

Kakek Gawan menghela nafas ringan, menunjukkan senyum hangat, kemudian dia juga pergi tidur di ranjang lain.

...

Enam belas tahun kemudian, seorang pemuda berambut hitam dan berkulit putih, berdiri di dekat pohon dengan dedaunan yang rimbun, memiliki postur tubuh yang menyerupai seorang prajurit. Pemuda itu tampak menari-nari, mengikuti arah hembusan angin dengan gerakan kuda-kuda seorang seniman bela diri. Ia tak lain adalah Mandala, yang dahulu merupakan seorang bocah kecil dan kini telah tumbuh menjadi pemuda dewasa.

Mandala menatap langit biru yang cerah, mencermati jejak perjalanannya sejak kecil. Dalam perjalanannya, dia memperoleh kebijaksanaan dari Kakek Gawan yang selalu menjadi sandaran dalam hidupnya.

Dengan kepiawaian bela diri dan kepekaannya terhadap alam, Mandala menjadi pemuda yang dihormati di desanya. Dia tidak hanya mahir dalam seni bela diri, tetapi juga memiliki hati yang penuh kebaikan.

Bahkan saat itu, suatu ancaman baru menghampiri desa Jelok. Sebuah kelompok penjahat yang mengincar kekayaan alam desa dengan kejamnya. Mandala, bersama dengan tiga murid seperguruan, bersiap untuk melindungi kehidupan damai yang telah mereka bangun bersama. Dengan keahlian Mandala serta dukungan ketiga saudaranya, dia dapat mengusir selusin perampok hingga membuat mereka babak belur.

Bertahun-tahun melatih seni bela diri dengan bimbingan Kakek Gawan, Mandala kini menjadi seniman bela diri ulung di Desa Jelok.

Sementara kakek Gawan setiap harinya semakin menua, Mandala yang semakin cakap menggantikannya sebagai guru di padepokan kecil milik sang kakek.

Di padepokan kecil itu, Mandala dengan penuh dedikasi melatih tidak lebih dari selusin generasi muda desa dalam seni bela diri dan nilai-nilai kehidupan. Semangat dan kebijaksanaannya seakan menjadi cahaya pemandu bagi murid-muridnya.

Dalam tugasnya sebagai guru, Mandala tidak hanya mengajarkan teknik bertarung, tetapi juga pentingnya moral, disiplin, dan rasa tanggung jawab.

Tapi, setelah bertahun-tahun tinggal di bawah pengawasan Kakek Gawan, ada satu hal yang belum pernah dia pelajari seutuhnya.

"Kek, usiaku telah mencapai 18 tahun. Haruskah aku memulai melatih tenaga dalam?" ucapnya menghadap Kakek Gawan yang semakin tua.

Kakek Gawan menatap Mandala dengan bijak, sorot matanya penuh pengertian. "Tenaga dalam adalah perjalanan pribadi yang harus diambil oleh setiap prajurit sejati. Meskipun aku tidak pernah secara eksplisit mengajarkannya padamu, namun kau selalu membawa kebijaksanaan dalam hatimu."

...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status