Dengan langkah mantap, Mandala melangkah meninggalkan pondok kayu, membawa cerita dan warisan orang tuanya, serta tekad untuk menjalani hidup dengan penuh arti. Kakek Gawan berjalan di sebelahnya, memberikan dukungan dan bijak nasihat di setiap langkah perjalanan Mandala yang baru saja dimulai.
...Berjalan sepanjang hari melewati hutan, dua orang laki-laki tiba di ujung jalan setapak menuju sebuah desa di bawah kaki bukit."Nak, lihat itu adalah tempat tinggal kakek, desa Jelok," ucap Kakek Gawan sambil menunjuk ke arah pemukiman di seberang sungai.Mandala, yang baru pertama kali melihat tanah dengan bukit dan padang rumput yang luas, merasa terpukau. Dia yang terisolasi selama dua tahun di kedalaman hutan semakin meningkatkan rasa keingintahuannya tentang dunia yang luas ini.Mandala dan Kakek Gawan menyeberangi sungai, berjalan di atas jembatan kayu sederhana. Saat mencapai desa Jelok, mereka disambut hangat oleh penduduk setempat, beberapa orang tampak bertanya-tanya ketika melihat anak kecil di belakang kakek Gawan mengikuti. Tidak hanya diam, kakek gawan yang di kenal sebagai Mak Gawan memperkenalkan Mandala pada beberapa temannya.Di tengah pasar desa, aroma masakan khas dan warna-warni kain tradisional menarik perhatian Mandala. Kakek Gawan membawa Mandala ke rumahnya, sebuah gubuk kayu di pinggir desa."Nak, ini adalah rumahku, mulai sekarang tinggallah disini," ucap kakek Gawan pada bocah kecil di sampingnya.Mandala mengangguk, dengan patuh berjalan memasuki rumah kemudian menaruh barang bawaannya. Memang rumah kayu tampak sederhana, namun itu lebih baik jika dibandingkan dengan pondok reot yang dia tinggali sebelumnya. Tidak ada komplain darinya, jelas karena Mandala terbiasa hidup sebagai anak dari golongan miskin.Malam pun tiba, di bawah langit berbintang, Kakek Gawan dan Mandala berbagi cerita, mengukuhkan ikatan baru mereka.Dengan setiap hari yang berlalu, Mandala tidak hanya belajar tentang kehidupan di desa Jelok, tetapi juga membuka lembaran baru dalam petualangannya, menyelami kekayaan dunia yang selama ini tersembunyi baginya. Di sana, Mandala diperkenalkan dengan kehidupan sehari-hari, dari pertanian hingga kisah-kisah nenek moyang."Ngomong-ngomong, di desa ini kakek bekerja sebagai seniman bela diri. Kakek membuka padepokan kecil yang terdiri dari beberapa murid," kata Kakek Gawan, hal ini membuka rasa keingintahuan pada Mandala.Mendengar kisah Kakek Gawan, Mata Mandala berbinar-binar. "Apakah aku juga bisa belajar seni bela diri, kek?" tanya Mandala penuh antusias.Kakek Gawan tersenyum lembut. "Tentu, Nak. Jika kau berminat, padepokanku terbuka untukmu. Kita akan memulai perjalanan baru bersama."Mandala merasa bergetaran gembira, dan keingintahuannya semakin berkobar. Dahulu, ibunya pernah bercerita tentang seniman bela diri, termasuk ayahnya yang merupakan seniman bela diri yang cakap. Tapi, cukup disayangkan bagi Mandala yang tidak pernah berjumpa dengan sang ayah. Ibunya bahkan tidak mengatakan banyak setelah mengungkit sang ayah, hal ini sedikit menanamkan kekecewaan pada dirinya."Kek, aku hanya tahu sedikit tentang seniman bela diri. Bisakah Kakek menjelaskan lebih banyak?" ucap Mandala, melirik Mak Gawan.Mak Gawan tersenyum lembut melihat rasa ingin tahu Mandala. "Tentu, Nak. Seniman bela diri bukan hanya tentang kekuatan fisik, tapi juga kebijaksanaan dan harmoni. Mereka belajar untuk melindungi, bukan hanya diri sendiri, tapi juga orang-orang tercinta dan kebenaran."Sambil duduk bersama di dekat tungku api dan menyantap ubi bakar, Kakek Gawan mulai menguraikan filosofi seniman bela diri. Dia membicarakan nilai-nilai seperti disiplin, rasa hormat, dan kedamaian yang menjadi landasan seni bela diri. Mandala mendengarkan dengan penuh kagum, semakin terpikat oleh keindahan yang melibatkan jiwa dan pikiran."Tapi, Kek, kalau begitu, mengapa masih ada yang bertarung satu sama lain?" tanya Mandala tetap dengan rasa penasaran."Banyak orang menggunakan seni bela diri sesuai kata hatinya, memanfaatkannya demi keuntungan pribadi, bahkan menggunakannya di jalur kejahatan," jawab Kakek Gawan."Cukup tanamkan kebenaran dalam hatimu, nak. Meskipun anak seusiamu mungkin belum memahami sepenuhnya, lambat laun kamu akan paham dengan sendirinya," lanjut sang Kakek.Seperti yang dikatakan kakek, Mandala merasa terlalu dini untuk memahami pelajaran semacam itu, sehingga dia dengan cepat merasa kelelahan dan mengantuk.Sang kakek agak terkejut dan mulai tersenyum, tidak menyangka Mandala memiliki pemahaman dasar dalam setiap pertanyaannya, walaupun sedikit lebih kecil. Berbeda dengan anak-anak seumuran Mandala, mereka justru lebih terpaku pada bermain-main.Mandala kecil tertidur, menjadikan kakek Gawan sebagai sandarannya. Dengan begitu sang kakek meraih tubuh kecil anak itu dan membawanya ke atas ranjang kayu. Membiarkan Mandala tertidur nyenyak dengan selimut kain putih kasar, mengingat dia belum istirahat selama setengah hari penuh.Kakek Gawan menghela nafas ringan, menunjukkan senyum hangat, kemudian dia juga pergi tidur di ranjang lain....Enam belas tahun kemudian, seorang pemuda berambut hitam dan berkulit putih, berdiri di dekat pohon dengan dedaunan yang rimbun, memiliki postur tubuh yang menyerupai seorang prajurit. Pemuda itu tampak menari-nari, mengikuti arah hembusan angin dengan gerakan kuda-kuda seorang seniman bela diri. Ia tak lain adalah Mandala, yang dahulu merupakan seorang bocah kecil dan kini telah tumbuh menjadi pemuda dewasa.Mandala menatap langit biru yang cerah, mencermati jejak perjalanannya sejak kecil. Dalam perjalanannya, dia memperoleh kebijaksanaan dari Kakek Gawan yang selalu menjadi sandaran dalam hidupnya.Dengan kepiawaian bela diri dan kepekaannya terhadap alam, Mandala menjadi pemuda yang dihormati di desanya. Dia tidak hanya mahir dalam seni bela diri, tetapi juga memiliki hati yang penuh kebaikan.Bahkan saat itu, suatu ancaman baru menghampiri desa Jelok. Sebuah kelompok penjahat yang mengincar kekayaan alam desa dengan kejamnya. Mandala, bersama dengan tiga murid seperguruan, bersiap untuk melindungi kehidupan damai yang telah mereka bangun bersama. Dengan keahlian Mandala serta dukungan ketiga saudaranya, dia dapat mengusir selusin perampok hingga membuat mereka babak belur.Bertahun-tahun melatih seni bela diri dengan bimbingan Kakek Gawan, Mandala kini menjadi seniman bela diri ulung di Desa Jelok.Sementara kakek Gawan setiap harinya semakin menua, Mandala yang semakin cakap menggantikannya sebagai guru di padepokan kecil milik sang kakek.Di padepokan kecil itu, Mandala dengan penuh dedikasi melatih tidak lebih dari selusin generasi muda desa dalam seni bela diri dan nilai-nilai kehidupan. Semangat dan kebijaksanaannya seakan menjadi cahaya pemandu bagi murid-muridnya.Dalam tugasnya sebagai guru, Mandala tidak hanya mengajarkan teknik bertarung, tetapi juga pentingnya moral, disiplin, dan rasa tanggung jawab.Tapi, setelah bertahun-tahun tinggal di bawah pengawasan Kakek Gawan, ada satu hal yang belum pernah dia pelajari seutuhnya."Kek, usiaku telah mencapai 18 tahun. Haruskah aku memulai melatih tenaga dalam?" ucapnya menghadap Kakek Gawan yang semakin tua.Kakek Gawan menatap Mandala dengan bijak, sorot matanya penuh pengertian. "Tenaga dalam adalah perjalanan pribadi yang harus diambil oleh setiap prajurit sejati. Meskipun aku tidak pernah secara eksplisit mengajarkannya padamu, namun kau selalu membawa kebijaksanaan dalam hatimu."...Mandala mengangguk menghormati. "Apa yang sebaiknya aku lakukan, Kek?"Dengan senyum lembut, Kakek Gawan menjawab, "Dengar, setiap seniman bela diri terbagi menjadi dua, yaitu seniman bela diri biasa dan sejati. Kau pasti tahu, seniman bela diri biasa hanya dapat menggunakan kemampuan fisik tanpa tenaga dalam, sementara seniman bela diri sejati mampu menggabungkan keduanya.""Dalam aturan negeri ini, seniman bela diri yang dapat mengolah tenaga dalam memiliki keistimewaan tersendiri. Tenaga dalam yang bangkit biasanya memiliki keterkaitan dengan satu dari lima elemen, sehingga para seniman bela diri yang mengolah tenaga dalam juga dapat memanifestasikannya dalam bentuk elemen tunggal," ucap Kakek Gawan.Walaupun dia tidak secara eksplisit mengolah tenaga dalam, pengetahuannya tentang itu cukup tinggi. Apa yang dia maksud merujuk pada setiap seniman beladiri yang membangkitkan energi batin akan memperoleh salah satu dari lima elemen, yaitu Api, Air, Angin, Tanah dan Petir. Kakek Gawan
Esok harinya, Mandala bersiap mengemasi barang bawaannya di dalam kamar rumah kayu. Dia menatap ke arah langit-langit kamarnya dengan berbagai perasaan."Ibu, hari ini petualanganku akan sepenuhnya dimulai. Nasehat dan ajaranmu dahulu akan selalu kuingat," gumam Mandala dengan sorot mata tegas dan penuh kesungguhan.Mandala melangkah keluar dari pintu dengan tas kain yang diusungnya. Sementara itu, Mak Gawan menanti di tepat depan teras rumah. Raut wajah tuanya tampak mencerminkan kesedihan yang mendalam.Di bawah langit cerah yang berwarna biru, Mandala menghampiri Kakek Gawan dengan penuh hormat. Tatapan mereka bertemu, dan dalam keheningan yang menggelayuti udara, Kakek Gawan berbicara dengan suara yang penuh kelembutan."Mandala, hati-hatilah di perjalananmu. Ini bukan perpisahan, tetapi awal dari babak baru dalam hidupmu," ujar Mak Gawan sambil meraih tangan Mandala dengan penuh kasih sayang.Mandala merasakan getaran kehangatan dalam jabatan tangan itu, seolah-olah ia merasakan
Mangku Jati melihat ke kegelapan di depan mereka, seolah mencoba membaca petunjuk yang tak terlihat oleh mata biasa. Setelah beberapa saat yang terasa seperti berjam-jam, ia akhirnya menurunkan tangannya dan berbicara dengan suara rendah namun tegas."Kita tidak sendirian di sini. Ada kehadiran beberapa orang di depan sana, aku menduga mereka gerombolan perampok. Bersiaplah," ucap Mangku Jati, wajahnya serius dan penuh kewaspadaan.Pengawal-pengawal yang semula merasa bingung dan penasaran, kini berganti ekspresi menjadi serius. Mereka menarik pedang mereka, siap untuk menghadapi ancaman yang akan datang. Suasana tegang terbentang di malam yang semakin gelap.Tiba-tiba, dari kegelapan muncul serangkaian suara langkah kaki yang ringan. Figur bayangan mulai muncul di tepi jalan, dan setiap langkahnya diiringi dengan gemerisik dedaunan di tanah. Dalam sekejap, keenam orang tersebut dikelilingi oleh sekelompok orang aneh yang terlihat sedikit jelas di bawah pengaruh sinar obor.Mangku Jat
Melihat keahliannya diakui, Kaling tertawa terbahak-bahak. "Kau memang tidak biasa, Pak Tua. Namun, ini belum seberapa!" serunya sambil melancarkan serangan beruntun dengan kecepatan yang meningkat.Mangku Jati tetap tenang, mengarahkan aliran airnya untuk membentuk pola pertahanan yang kompleks. Setiap serangan Kaling bertemu dengan perlawanan yang lebih tangguh. Pertarungan semakin intens, dengan elemen air dan api bersatu dalam tarian yang menegangkan di malam yang gelap. Samar-samar terlihat asap beterbangan melalui pantulan cahaya api.Tiba-tiba, Mangku Jati mengubah strategi. Dengan cepat, ia menghentikan aliran airnya dan meluncur maju, menerjang Kaling dengan serangan mendalam. Kejutan ini membuat Kaling terkejut, namun dia dengan cepat merespons dengan mengeluarkan tenaga dalamnya yang mematikan.Pertarungan mencapai puncak ketegangan antara air yang mengalir dan kobaran api yang bergelora. Keduanya saling berusaha mengungguli satu sama lain. Membandingkan air dan api jelas m
Mandala, yang sebelumnya merasa keuntungan berbalik ke arahnya, kini dihadapkan pada tantangan baru. Namun, ia tidak menunjukkan rasa takut. Sebaliknya, Mandala berkonsentrasi dan menyesuaikan diri dengan tingkat tenaga dalam yang tiba-tiba meningkat.Dalam momen klimaks ini, pertanyaan tentang siapa yang akan menjadi pemenang masih tergantung di udara, menciptakan ketegangan yang sulit dijelaskan. Hanya waktu yang akan menentukan bagaimana nasib pertarungan ini akan berakhir.Mandala dan Kaling saling berhadapan di bawah cahaya bulan yang bersinar redup. Suasana tegang terasa di udara, dan keduanya memancarkan aura keberanian dan ketegasan. Dalam sekali kibasan, pedang mereka bersentuhan, menciptakan sinar kilat dan percikan api yang melingkupi pertarungan mereka.Kaling, dengan gerakan lincah dan serangan yang mematikan, mencoba menyerang setiap celah pertahanan Mandala. Namun, Mandala, dengan kecepatan dan kelincahannya yang luar biasa, mampu menghindar
Dalam obrolan yang berlangsung lama, malam semakin larut, dan akhirnya, mereka pergi tidur di dekat pohon. Hanya beberapa pengawal yang tetap ditugaskan menjaga gerbong kereta.Mandala, sementara itu, tidak pergi jauh dari tempat tersebut dan tertidur di atas alas dedaunan yang dibuat dengan sedikit usaha....Di pagi hari selanjutnya, cahaya matahari perlahan menyapa mereka, membuat bayangan pohon-pohon dan gerbong kereta semakin memudar. Para pengawal yang setia segera bangun dari kewaspadaan malam sebelumnya, sementara yang lainnya terbangun dengan kantuk yang masih menyergap.Dengan semangat yang membara, Mandala melangkah dari tempat tidurnya yang sederhana. Penuh energi, dia bersiap untuk memulai hari baru. Rencananya masih menyelimuti pikirannya. Setelah mendengar sejumlah cerita menarik dari Mangku Jati semalam, Mandala semakin menunjukkan ketertarikan yang mendalam pada berbagai hal.Mandala bersama kelompok Mangku Jati melanjutkan perjalanan menuju kota Murmur. Sebelum itu d
Dengan tekad yang baru tumbuh, Mandala melangkah maju menuju area pendaftaran. Pandangan matanya penuh dengan keteguhan, mencoba menembus kerumunan murid perguruan Manik Putih yang sibuk berbincang."Saya ingin mendaftar," ungkap Mandala, berdiri beberapa langkah di depan sekelompok pemuda berseragam putih-hitam itu.Ketika Mandala tiba di loket pendaftaran, seorang petugas ramah menyambutnya, "Selamat datang. Nama Anda?""Mandala."Petugas itu meneliti daftar peserta dan kemudian memberikan formulir pendaftaran kepadanya. "Isilah data dirimu dengan lengkap, dan lima koin perak sebagai biaya pendaftaran."Dengan hati yang berdegup cepat, Mandala menyelesaikan formulirnya. Dalam benaknya, keraguan dan tekad terus berbenturan, tetapi ia memilih untuk mempercayai keputusannya sendiri. Paling tidak, ini akan menjadi langkah awal perjalanannya di kota Murmur. Apakah dia akan memiliki kesempatan untuk menjadi murid perguruan atau tidak, itu hanya urusan belakang.Setelah menyerahkan formul
Dengan nama baru yang diberikan, Mandala merasa semakin terhubung dengan latihannya. Ia memutuskan membawa energi dan keharmonisan dari latihan "Harmony Angin" ini ke dalam tantangan mendatang. Namun, itu satu-satunya yang bisa dia manfaatkan sekarang, sementara elemen petirnya masih menjadi rahasia, dan Mandala belum menemukan petunjuk untuk melatihnya.Tak lama setelah matahari bersinar terang dari arah timur, Mandala yang selesai dengan latihannya segera pergi keluar, berniat untuk mencari sarapan pagi. Kakinya melangkah melewati pintu kamar penginapan di lantai dua, dan ia pun muncul di lorong menuju tangga ke lantai bawah.Saat itu juga, telinga Mandala berdenyut mendengar kebisingan yang datang dari bawah. Dia tidak tahu apa yang terjadi, namun menurut pengetahuannya, penginapan ini memiliki dua tingkat, dan lantai di bawahnya merupakan restoran. Dengan rasa penasaran yang tumbuh, Mandala melangkah menuju tangga yang mengarah ke lantai bawah. ..."Dasar wanita tua! Mau berapa l