Share

Bab 5-Awal Perjalanan

Esok harinya, Mandala bersiap mengemasi barang bawaannya di dalam kamar rumah kayu. Dia menatap ke arah langit-langit kamarnya dengan berbagai perasaan.

"Ibu, hari ini petualanganku akan sepenuhnya dimulai. Nasehat dan ajaranmu dahulu akan selalu kuingat," gumam Mandala dengan sorot mata tegas dan penuh kesungguhan.

Mandala melangkah keluar dari pintu dengan tas kain yang diusungnya. Sementara itu, Mak Gawan menanti di tepat depan teras rumah. Raut wajah tuanya tampak mencerminkan kesedihan yang mendalam.

Di bawah langit cerah yang berwarna biru, Mandala menghampiri Kakek Gawan dengan penuh hormat. Tatapan mereka bertemu, dan dalam keheningan yang menggelayuti udara, Kakek Gawan berbicara dengan suara yang penuh kelembutan.

"Mandala, hati-hatilah di perjalananmu. Ini bukan perpisahan, tetapi awal dari babak baru dalam hidupmu," ujar Mak Gawan sambil meraih tangan Mandala dengan penuh kasih sayang.

Mandala merasakan getaran kehangatan dalam jabatan tangan itu, seolah-olah ia merasakan dukungan tak terbatas dari orang yang selama ini menjadi tiang penopangnya. Dalam kesedihan yang tertahan, Mandala melepaskan diri dan berkata, "Kek, saya akan kembali dengan membawa cerita-cerita baru."

Mak Gawan tersenyum sambil mengangguk. "Kakek akan selalu ada di sini, menanti cerita barumu."

Dengan tekad yang semakin bulat, Mandala melangkah menjauh dari rumahnya yang hangat. Di baliknya, Kakek Gawan melihat Mandala menghilang di ujung cakrawala, menjelajahi dunia untuk menemukan potongan kisah hidupnya.

Pada akhirnya, hari itu menjadi hari terakhir Mandala tinggal di Desa Jelok. Untuk mengejar misteri dunia yang luas, sebuah petualangan yang mengharuskan hidup berpindah-pindah sangat diperlukan.

Tak lama kemudian, Mandala tiba di tengah hutan di bawah Gunung Pendem. Sebagai bentuk mengindahkan ajaran ibunya, Mandala selesai menunjukkan penghormatan di atas makam sang ibu.

Di belakangnya, terdapat pondok reot yang dahulu pernah ditempatinya, kini telah menjadi tumpukan kayu usang. Namun, kenangan di tempat itu tidak akan pernah berubah.

Dengan tatapan penuh nostalgia, Mandala melangkah mendekati pondok reot yang pernah menjadi tempatnya. Di sana, ia merasakan kehangatan kenangan masa lalu yang mewarnai setiap sudut pondok.

Sejenak, Mandala duduk di dekat tumpukan kayu usang, menyelami ingatan yang menyatu dengan tiap serpihan kayu. Dalam kesunyian hutan, ia merenung tentang perjalanan panjang selama 18 tahun yang dilaluinya, mengingat setiap pelajaran dan petualangan yang membentuknya menjadi pribadi yang lebih kuat.

Saat matahari mulai merunduk di ufuk barat, Mandala berdiri dengan tekad baru. Ia memandangi langit yang dipenuhi warna-warni senja, sebagai simbol dari perubahan dan keberanian yang telah ditemuinya.

"Terima kasih, ibu, kakek Gawan, atas segala kenangan dan pelajaran berharga. Namun, petualangan ini belum berakhir. Aku akan melanjutkan langkahku, membawa cerita hidupku yang baru," ucap Mandala, lalu dengan langkah mantap, ia meninggalkan tumpukan kayu pondok reot menuju arah utara, jalan yang belum pernah dia lalui.

Di bawah cahaya remang senja, Mandala memasuki tahap baru dalam petualangannya. Dengan hati yang penuh harap, ia bersiap menjelajahi dunia yang luas, siap menulis bab-bab baru dalam buku kehidupannya yang tak terduga.

Hutan di bawah kaki Gunung Pendem sangat luas, sehingga membutuhkan waktu dan perjalanan panjang untuk Mandala keluar dari tempat itu.

Sebelumnya, Kakek Gawan memberikan Mandala sedikit pelajaran tentang geografis benua Tenggara. Sang kakek menceritakan seluk-beluk negeri yang luas dan subur itu.

Mandala selalu memperhatikan dengan seksama ketika Kakek Gawan menceritakan keajaiban-keajaiban alam benua Tenggara. Pada saat itu, dengan mata berbinar-binar, ia mencerna setiap kata-kata yang keluar dari bibir sang kakek.

Benua Tenggara ini adalah tempat yang luar biasa. Dari hutan-hutan lebat hingga pantai-pantai indah, setiap sudutnya dipenuhi dengan keajaiban alam, jelas kata Kakek Gawan menambah pengetahuan Mandala.

Mandala meresapi cerita Kakek Gawan tentang gunung-gunung yang menjulang tinggi, danau-danau yang memesona, serta kehidupan laut yang kaya ragam. Setiap kisah yang diutarakan sang kakek membawa Mandala pada perjalanan imajinatif ke tempat-tempat yang belum pernah ia datangi.

"Jika engkau menjelajahi benua Tenggara, jangan hanya dengan mata kepalamu, tetapi juga dengan mata hatimu. Rasakan keindahan alam ini dan belajarlah dari keanekaragaman budaya yang ada di sini," pesan Kakek Gawan waktu itu masih terukur di benak Mandala.

Kakek Gawan tidak hanya menjelaskan lewat kata-kata, tetapi juga memberikan Mandala sebuah peta yang rencananya akan menuntun sang cucu dalam petualangannya.

Dari sinilah Mandala terinspirasi oleh cerita dan petunjuk kakeknya, orang tua itu terlalu pandai mengolah kata dalam ceritanya, sehingga menuntun rasa penasaran pada Mandala.

Mandala membuka peta ketika tiba di seberang hutan, mencocokkan tempatnya dengan geografi yang tergambar di peta.

"Kira-kira sepuluh kilometer lagi di depan sana terdapat Kota Murmur," ungkap Mandala sambil menatap ke kejauhan.

Bukit-bukit menjulang, dihiasi padang rumput dan pohon yang lebat terpampang jelas sejauh mata memandang. Mandala menarik nafas dalam-dalam, menghirup udara segar di sekitarnya, sebelum kemudian melanjutkan perjalanan.

Mandala melintasi bukit-bukit hijau yang dipenuhi pepohonan dan rumput liar. Matahari setengah terbenam jauh di ufuk barat, menandakan bahwa hari semakin gelap.

Dia tiba di pertigaan antara dua jalanan yang lebih besar dan yang lain tampak kecil serta sempit. Jelas jalan kecil itu mengarah pada jejak kaki yang di tempuh Mandala.

Berhenti di bawah pohon di tepi jalan, Mandala merasa perlu untuk istirahat sejenak. Setelah sepanjang hari menempuh perjalanan yang cukup panjang, ia merenungkan langkah-langkah yang telah diambil. Mungkin karena kekuatan fisiknya sebagai seniman bela diri, ia tidak mudah lelah setelah menempuh puluhan kilometer.

Saat berada di bawah pohon yang rindang, Mandala merasakan kedamaian dan ketenangan. Dalam momen istirahat itu, ia membiarkan pikirannya mengembara ke seluruh perjalanan yang telah dijalani dan memikirkan rute-rute yang akan dihadapinya.

Karena hari semakin gelap, Mandala segera mengumpulkan beberapa kayu bakar dan membuat sebuah api unggun. Sementara itu, perutnya yang agak keroncongan memberinya sinyal untuk mengisi tenaga. Untungnya, bekal yang dibawanya masih cukup banyak, setidaknya dapat bertahan hingga besok.

Mandala mengunyah beberapa bekal berupa daging kering dan buah segar, menikmati makanannya di bawah langit malam yang berbintang. Suasana tenang di sekitarnya, dipadu dengan nyala api yang memancarkan kehangatan, memberinya momen ketenangan dan kebersamaan dengan alam. Setelah makan, Mandala mempersiapkan tempat istirahatnya, siap untuk melanjutkan perjalanan besok pagi dengan semangat yang baru.

...

Di pertengahan malam, tanah tampak sedikit bergetar akibat guncangan dari jejak kereta kuda. Sekelompok orang menunggangi kuda tampak melindungi sebuah gerbong kereta, mereka terdiri dari enam orang bersenjatakan pedang.

Yang berjalan di barisan terdepan mengangkat tangannya dan menghentikan laju kuda hingga meringkik tanda berhenti.

"Ada apa, Mangku Jati?" ucap salah seorang pengawal di sebelah kereta kuda.

Tapi yang disebut Mangku Jati ini hanya diam dengan instruksi satu jari tangan di depan mulutnya. Tentu saja, yang lain merasa penasaran dan bertanya-tanya apa yang terjadi.

"Apakah Mangku Jati menemukan sesuatu yang aneh di depan sana?" ungkap pengawal lain dengan penuh kekhawatiran.

...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status