Esok harinya, Mandala bersiap mengemasi barang bawaannya di dalam kamar rumah kayu. Dia menatap ke arah langit-langit kamarnya dengan berbagai perasaan.
"Ibu, hari ini petualanganku akan sepenuhnya dimulai. Nasehat dan ajaranmu dahulu akan selalu kuingat," gumam Mandala dengan sorot mata tegas dan penuh kesungguhan.Mandala melangkah keluar dari pintu dengan tas kain yang diusungnya. Sementara itu, Mak Gawan menanti di tepat depan teras rumah. Raut wajah tuanya tampak mencerminkan kesedihan yang mendalam.Di bawah langit cerah yang berwarna biru, Mandala menghampiri Kakek Gawan dengan penuh hormat. Tatapan mereka bertemu, dan dalam keheningan yang menggelayuti udara, Kakek Gawan berbicara dengan suara yang penuh kelembutan."Mandala, hati-hatilah di perjalananmu. Ini bukan perpisahan, tetapi awal dari babak baru dalam hidupmu," ujar Mak Gawan sambil meraih tangan Mandala dengan penuh kasih sayang.Mandala merasakan getaran kehangatan dalam jabatan tangan itu, seolah-olah ia merasakan dukungan tak terbatas dari orang yang selama ini menjadi tiang penopangnya. Dalam kesedihan yang tertahan, Mandala melepaskan diri dan berkata, "Kek, saya akan kembali dengan membawa cerita-cerita baru."Mak Gawan tersenyum sambil mengangguk. "Kakek akan selalu ada di sini, menanti cerita barumu."Dengan tekad yang semakin bulat, Mandala melangkah menjauh dari rumahnya yang hangat. Di baliknya, Kakek Gawan melihat Mandala menghilang di ujung cakrawala, menjelajahi dunia untuk menemukan potongan kisah hidupnya.Pada akhirnya, hari itu menjadi hari terakhir Mandala tinggal di Desa Jelok. Untuk mengejar misteri dunia yang luas, sebuah petualangan yang mengharuskan hidup berpindah-pindah sangat diperlukan.Tak lama kemudian, Mandala tiba di tengah hutan di bawah Gunung Pendem. Sebagai bentuk mengindahkan ajaran ibunya, Mandala selesai menunjukkan penghormatan di atas makam sang ibu.Di belakangnya, terdapat pondok reot yang dahulu pernah ditempatinya, kini telah menjadi tumpukan kayu usang. Namun, kenangan di tempat itu tidak akan pernah berubah.Dengan tatapan penuh nostalgia, Mandala melangkah mendekati pondok reot yang pernah menjadi tempatnya. Di sana, ia merasakan kehangatan kenangan masa lalu yang mewarnai setiap sudut pondok.Sejenak, Mandala duduk di dekat tumpukan kayu usang, menyelami ingatan yang menyatu dengan tiap serpihan kayu. Dalam kesunyian hutan, ia merenung tentang perjalanan panjang selama 18 tahun yang dilaluinya, mengingat setiap pelajaran dan petualangan yang membentuknya menjadi pribadi yang lebih kuat.Saat matahari mulai merunduk di ufuk barat, Mandala berdiri dengan tekad baru. Ia memandangi langit yang dipenuhi warna-warni senja, sebagai simbol dari perubahan dan keberanian yang telah ditemuinya."Terima kasih, ibu, kakek Gawan, atas segala kenangan dan pelajaran berharga. Namun, petualangan ini belum berakhir. Aku akan melanjutkan langkahku, membawa cerita hidupku yang baru," ucap Mandala, lalu dengan langkah mantap, ia meninggalkan tumpukan kayu pondok reot menuju arah utara, jalan yang belum pernah dia lalui.Di bawah cahaya remang senja, Mandala memasuki tahap baru dalam petualangannya. Dengan hati yang penuh harap, ia bersiap menjelajahi dunia yang luas, siap menulis bab-bab baru dalam buku kehidupannya yang tak terduga.Hutan di bawah kaki Gunung Pendem sangat luas, sehingga membutuhkan waktu dan perjalanan panjang untuk Mandala keluar dari tempat itu.Sebelumnya, Kakek Gawan memberikan Mandala sedikit pelajaran tentang geografis benua Tenggara. Sang kakek menceritakan seluk-beluk negeri yang luas dan subur itu.Mandala selalu memperhatikan dengan seksama ketika Kakek Gawan menceritakan keajaiban-keajaiban alam benua Tenggara. Pada saat itu, dengan mata berbinar-binar, ia mencerna setiap kata-kata yang keluar dari bibir sang kakek.Benua Tenggara ini adalah tempat yang luar biasa. Dari hutan-hutan lebat hingga pantai-pantai indah, setiap sudutnya dipenuhi dengan keajaiban alam, jelas kata Kakek Gawan menambah pengetahuan Mandala.Mandala meresapi cerita Kakek Gawan tentang gunung-gunung yang menjulang tinggi, danau-danau yang memesona, serta kehidupan laut yang kaya ragam. Setiap kisah yang diutarakan sang kakek membawa Mandala pada perjalanan imajinatif ke tempat-tempat yang belum pernah ia datangi."Jika engkau menjelajahi benua Tenggara, jangan hanya dengan mata kepalamu, tetapi juga dengan mata hatimu. Rasakan keindahan alam ini dan belajarlah dari keanekaragaman budaya yang ada di sini," pesan Kakek Gawan waktu itu masih terukur di benak Mandala.Kakek Gawan tidak hanya menjelaskan lewat kata-kata, tetapi juga memberikan Mandala sebuah peta yang rencananya akan menuntun sang cucu dalam petualangannya.Dari sinilah Mandala terinspirasi oleh cerita dan petunjuk kakeknya, orang tua itu terlalu pandai mengolah kata dalam ceritanya, sehingga menuntun rasa penasaran pada Mandala.Mandala membuka peta ketika tiba di seberang hutan, mencocokkan tempatnya dengan geografi yang tergambar di peta."Kira-kira sepuluh kilometer lagi di depan sana terdapat Kota Murmur," ungkap Mandala sambil menatap ke kejauhan.Bukit-bukit menjulang, dihiasi padang rumput dan pohon yang lebat terpampang jelas sejauh mata memandang. Mandala menarik nafas dalam-dalam, menghirup udara segar di sekitarnya, sebelum kemudian melanjutkan perjalanan.Mandala melintasi bukit-bukit hijau yang dipenuhi pepohonan dan rumput liar. Matahari setengah terbenam jauh di ufuk barat, menandakan bahwa hari semakin gelap.Dia tiba di pertigaan antara dua jalanan yang lebih besar dan yang lain tampak kecil serta sempit. Jelas jalan kecil itu mengarah pada jejak kaki yang di tempuh Mandala.Berhenti di bawah pohon di tepi jalan, Mandala merasa perlu untuk istirahat sejenak. Setelah sepanjang hari menempuh perjalanan yang cukup panjang, ia merenungkan langkah-langkah yang telah diambil. Mungkin karena kekuatan fisiknya sebagai seniman bela diri, ia tidak mudah lelah setelah menempuh puluhan kilometer.Saat berada di bawah pohon yang rindang, Mandala merasakan kedamaian dan ketenangan. Dalam momen istirahat itu, ia membiarkan pikirannya mengembara ke seluruh perjalanan yang telah dijalani dan memikirkan rute-rute yang akan dihadapinya.Karena hari semakin gelap, Mandala segera mengumpulkan beberapa kayu bakar dan membuat sebuah api unggun. Sementara itu, perutnya yang agak keroncongan memberinya sinyal untuk mengisi tenaga. Untungnya, bekal yang dibawanya masih cukup banyak, setidaknya dapat bertahan hingga besok.Mandala mengunyah beberapa bekal berupa daging kering dan buah segar, menikmati makanannya di bawah langit malam yang berbintang. Suasana tenang di sekitarnya, dipadu dengan nyala api yang memancarkan kehangatan, memberinya momen ketenangan dan kebersamaan dengan alam. Setelah makan, Mandala mempersiapkan tempat istirahatnya, siap untuk melanjutkan perjalanan besok pagi dengan semangat yang baru....Di pertengahan malam, tanah tampak sedikit bergetar akibat guncangan dari jejak kereta kuda. Sekelompok orang menunggangi kuda tampak melindungi sebuah gerbong kereta, mereka terdiri dari enam orang bersenjatakan pedang.Yang berjalan di barisan terdepan mengangkat tangannya dan menghentikan laju kuda hingga meringkik tanda berhenti."Ada apa, Mangku Jati?" ucap salah seorang pengawal di sebelah kereta kuda.Tapi yang disebut Mangku Jati ini hanya diam dengan instruksi satu jari tangan di depan mulutnya. Tentu saja, yang lain merasa penasaran dan bertanya-tanya apa yang terjadi."Apakah Mangku Jati menemukan sesuatu yang aneh di depan sana?" ungkap pengawal lain dengan penuh kekhawatiran....Mangku Jati melihat ke kegelapan di depan mereka, seolah mencoba membaca petunjuk yang tak terlihat oleh mata biasa. Setelah beberapa saat yang terasa seperti berjam-jam, ia akhirnya menurunkan tangannya dan berbicara dengan suara rendah namun tegas."Kita tidak sendirian di sini. Ada kehadiran beberapa orang di depan sana, aku menduga mereka gerombolan perampok. Bersiaplah," ucap Mangku Jati, wajahnya serius dan penuh kewaspadaan.Pengawal-pengawal yang semula merasa bingung dan penasaran, kini berganti ekspresi menjadi serius. Mereka menarik pedang mereka, siap untuk menghadapi ancaman yang akan datang. Suasana tegang terbentang di malam yang semakin gelap.Tiba-tiba, dari kegelapan muncul serangkaian suara langkah kaki yang ringan. Figur bayangan mulai muncul di tepi jalan, dan setiap langkahnya diiringi dengan gemerisik dedaunan di tanah. Dalam sekejap, keenam orang tersebut dikelilingi oleh sekelompok orang aneh yang terlihat sedikit jelas di bawah pengaruh sinar obor.Mangku Jat
Melihat keahliannya diakui, Kaling tertawa terbahak-bahak. "Kau memang tidak biasa, Pak Tua. Namun, ini belum seberapa!" serunya sambil melancarkan serangan beruntun dengan kecepatan yang meningkat.Mangku Jati tetap tenang, mengarahkan aliran airnya untuk membentuk pola pertahanan yang kompleks. Setiap serangan Kaling bertemu dengan perlawanan yang lebih tangguh. Pertarungan semakin intens, dengan elemen air dan api bersatu dalam tarian yang menegangkan di malam yang gelap. Samar-samar terlihat asap beterbangan melalui pantulan cahaya api.Tiba-tiba, Mangku Jati mengubah strategi. Dengan cepat, ia menghentikan aliran airnya dan meluncur maju, menerjang Kaling dengan serangan mendalam. Kejutan ini membuat Kaling terkejut, namun dia dengan cepat merespons dengan mengeluarkan tenaga dalamnya yang mematikan.Pertarungan mencapai puncak ketegangan antara air yang mengalir dan kobaran api yang bergelora. Keduanya saling berusaha mengungguli satu sama lain. Membandingkan air dan api jelas m
Mandala, yang sebelumnya merasa keuntungan berbalik ke arahnya, kini dihadapkan pada tantangan baru. Namun, ia tidak menunjukkan rasa takut. Sebaliknya, Mandala berkonsentrasi dan menyesuaikan diri dengan tingkat tenaga dalam yang tiba-tiba meningkat.Dalam momen klimaks ini, pertanyaan tentang siapa yang akan menjadi pemenang masih tergantung di udara, menciptakan ketegangan yang sulit dijelaskan. Hanya waktu yang akan menentukan bagaimana nasib pertarungan ini akan berakhir.Mandala dan Kaling saling berhadapan di bawah cahaya bulan yang bersinar redup. Suasana tegang terasa di udara, dan keduanya memancarkan aura keberanian dan ketegasan. Dalam sekali kibasan, pedang mereka bersentuhan, menciptakan sinar kilat dan percikan api yang melingkupi pertarungan mereka.Kaling, dengan gerakan lincah dan serangan yang mematikan, mencoba menyerang setiap celah pertahanan Mandala. Namun, Mandala, dengan kecepatan dan kelincahannya yang luar biasa, mampu menghindar
Dalam obrolan yang berlangsung lama, malam semakin larut, dan akhirnya, mereka pergi tidur di dekat pohon. Hanya beberapa pengawal yang tetap ditugaskan menjaga gerbong kereta.Mandala, sementara itu, tidak pergi jauh dari tempat tersebut dan tertidur di atas alas dedaunan yang dibuat dengan sedikit usaha....Di pagi hari selanjutnya, cahaya matahari perlahan menyapa mereka, membuat bayangan pohon-pohon dan gerbong kereta semakin memudar. Para pengawal yang setia segera bangun dari kewaspadaan malam sebelumnya, sementara yang lainnya terbangun dengan kantuk yang masih menyergap.Dengan semangat yang membara, Mandala melangkah dari tempat tidurnya yang sederhana. Penuh energi, dia bersiap untuk memulai hari baru. Rencananya masih menyelimuti pikirannya. Setelah mendengar sejumlah cerita menarik dari Mangku Jati semalam, Mandala semakin menunjukkan ketertarikan yang mendalam pada berbagai hal.Mandala bersama kelompok Mangku Jati melanjutkan perjalanan menuju kota Murmur. Sebelum itu d
Dengan tekad yang baru tumbuh, Mandala melangkah maju menuju area pendaftaran. Pandangan matanya penuh dengan keteguhan, mencoba menembus kerumunan murid perguruan Manik Putih yang sibuk berbincang."Saya ingin mendaftar," ungkap Mandala, berdiri beberapa langkah di depan sekelompok pemuda berseragam putih-hitam itu.Ketika Mandala tiba di loket pendaftaran, seorang petugas ramah menyambutnya, "Selamat datang. Nama Anda?""Mandala."Petugas itu meneliti daftar peserta dan kemudian memberikan formulir pendaftaran kepadanya. "Isilah data dirimu dengan lengkap, dan lima koin perak sebagai biaya pendaftaran."Dengan hati yang berdegup cepat, Mandala menyelesaikan formulirnya. Dalam benaknya, keraguan dan tekad terus berbenturan, tetapi ia memilih untuk mempercayai keputusannya sendiri. Paling tidak, ini akan menjadi langkah awal perjalanannya di kota Murmur. Apakah dia akan memiliki kesempatan untuk menjadi murid perguruan atau tidak, itu hanya urusan belakang.Setelah menyerahkan formul
Dengan nama baru yang diberikan, Mandala merasa semakin terhubung dengan latihannya. Ia memutuskan membawa energi dan keharmonisan dari latihan "Harmony Angin" ini ke dalam tantangan mendatang. Namun, itu satu-satunya yang bisa dia manfaatkan sekarang, sementara elemen petirnya masih menjadi rahasia, dan Mandala belum menemukan petunjuk untuk melatihnya.Tak lama setelah matahari bersinar terang dari arah timur, Mandala yang selesai dengan latihannya segera pergi keluar, berniat untuk mencari sarapan pagi. Kakinya melangkah melewati pintu kamar penginapan di lantai dua, dan ia pun muncul di lorong menuju tangga ke lantai bawah.Saat itu juga, telinga Mandala berdenyut mendengar kebisingan yang datang dari bawah. Dia tidak tahu apa yang terjadi, namun menurut pengetahuannya, penginapan ini memiliki dua tingkat, dan lantai di bawahnya merupakan restoran. Dengan rasa penasaran yang tumbuh, Mandala melangkah menuju tangga yang mengarah ke lantai bawah. ..."Dasar wanita tua! Mau berapa l
Pada saat ini, rentenir dengan kepalan tangannya melaju melewati sisi kiri kepala Mandala yang tengah menghindar. Percikan api dari tinjunya membawa suhu panas ekstrim, hampir membakar segala yang ada di sekitarnya.Beruntung, Mandala dilengkapi dengan pelindung angin yang dengan cepat menolak api, menjauhkannya dari tubuh Mandala seperti magnet dengan gaya tolak.Rentenir mencoba memukul Mandala dengan serangan tinju berapi, tetapi sia-sia karena tidak mampu menyentuh tubuh Mandala yang gesit dan terlindung. Mandala dengan cepat bergerak ke sisi rentenir, memanfaatkan angin untuk menyeimbangkan kekuatan.Dengan cermat, Mandala merespons serangan berikutnya dari rentenir. Ia melompat mundur, menghindari pukulan berbahaya yang datang dengan kecepatan tinggi. Angin membentuk perisai tak terlihat, menjaga Mandala dari ancaman yang terus berdatangan.Rentenir semakin frustrasi, berusaha menguasai pertarungan dengan kekuatan apinya. Namun, Mandala dengan keahlian mengarahkan hembusan angin
Mandala, yang masih tergeletak di tanah dengan luka-lukanya, menatap dengan keterkejutan dan kelegaan. Kedatangan murid senior tersebut membawa harapan baru dalam pertarungan yang tampaknya sudah tidak mungkin untuk dimenangkan."Sekarang, serahkan senjata kalian dan akui kesalahan kalian. Kami akan memberikan sanksi yang sesuai atas pelanggaran ini," lanjut murid senior yang lain, suaranya penuh otoritas."Cih!"Rentenir yang tadinya sangat yakin dengan kemenangan mereka, sekarang terlihat ragu. Mereka saling pandang, berat hati menyerahkan senjata mereka. Dengan langkah kesal, mereka segera berbalik dan memungut rekannya yang terluka kemudian kabur dengan cepatnya."Kau beruntung kali ini bocah," ucapnya dengan sinis, tampak tatapan dingin yang menusuk dari kedua rentenir.Tiba-tiba kepulan asap putih muncul dari ledakan bom asap yang dengan sengaja para rentenir itu lemparkan. Tentu hal ini sangat berguna untuk mengelabui jika mereka ingin kabur."Hei, mau kemana kalian," seru seor