Udara sore di hutan itu terasa berat. Angin hampir tak berhembus, dan kabut lembap bergelayut di antara pepohonan tinggi. Cahaya matahari terperangkap di balik awan tipis, menciptakan suasana yang seolah berhenti di ambang senja. Tak ada kicau burung, tak ada dengung serangga—hutan itu sunyi seperti sedang menahan napas.
Qin Shan berdiri di tanah berlumut yang licin, tubuhnya tegang tapi matanya tajam. Di hadapannya, seekor ular raksasa bersisik emas menggeliat perlahan. Panjangnya lebih dari sepuluh meter, tubuhnya sebesar batang pohon tua, dan kedua matanya memancarkan cahaya merah menyala seperti bara api.
Ular itu bukan binatang biasa—ini adalah Ular Bermata Emas, penguasa wilayah timur hutan. Binatang buas yang sudah lama menjadi legenda di kalangan pemburu, karena tak ada yang pernah kembali hidup setelah menantangnya.
Li Feng dan Li Mei berdiri beberapa langkah di belakang, wajah mereka tegang.
“Qin Shan…,” bisik Li Feng pelan, suaranya bergetar. “Kau… yakin mau melawannya sendiri?”Qin Shan tidak menoleh. Napasnya dalam, matanya fokus pada ular yang kini mulai menaikkan kepalanya tinggi-tinggi.
“Kalau aku tak berani sekarang,” ucapnya pelan tapi mantap, “aku tak akan pernah jadi lebih kuat.”Li Mei menggigit bibir, suaranya nyaris seperti lirih tangisan. “Tapi itu bukan pertarungan! Itu bunuh diri!”
Qin Shan menatap ular itu tanpa berkedip. “Kalau aku mundur, kita semua yang mati.”
Li Feng menelan ludah, mencoba mencari alasan agar bocah itu mengurungkan niatnya. “Kita bisa memancingnya keluar, lalu—”
“Terlambat,” potong Qin Shan pelan.Ular itu mengangkat kepalanya lebih tinggi, mendesis keras, dan matanya menatap lurus ke arah Qin Shan. Getaran kecil terasa di tanah. Daun-daun kering di sekitar mulai berjatuhan satu per satu, terbawa tekanan udara.
Li Mei memegang lengan Li Feng dengan gemetar. “Aku nggak sanggup lihat ini…”
Seketika, ular itu menerkam.
Suara ssshhhh! disertai hentakan tanah membuat udara seakan pecah. Kepala besar itu meluncur cepat seperti tombak emas raksasa, menghantam ke arah Qin Shan.
Namun bocah itu sudah bersiap.
Tubuhnya melompat ke samping, menjejak batu lumut, lalu mengayunkan tangan kanannya yang sudah dipenuhi kilatan petir kecil.“Ledakan Petir Kecil!” serunya.
BZTT!
Petir meledak tepat di leher ular, membuat suara mendesis keras terdengar di seluruh hutan. Asap tipis muncul dari sisiknya.
Namun setelah ledakan reda, hanya terlihat bekas gosong kecil. Ular itu bahkan tampak semakin marah.Li Feng berteriak, “Sialan! Sisiknya terlalu keras!”
Qin Shan menatap bekas serangannya dan bergumam, “Kau kuat… tapi aku tidak akan kalah.”
Ular itu kembali melingkarkan tubuhnya. Dalam sekejap, ekornya mengayun ke arah Qin Shan seperti cambuk baja.
BOOM!
Tanah bergetar. Qin Shan terpental, menghantam batang pohon besar. Dada kecilnya terasa sesak, darah menetes di sudut bibir.
Li Mei menjerit, “Qin Shan!!!”
Li Feng segera menariknya. “Jangan ke sana! Dia belum menyerah!”Qin Shan memegangi dadanya, terengah. Tapi matanya justru menyala lebih kuat.
“Kalau aku jatuh sekarang…” katanya pelan sambil berdiri lagi. “Aku tidak akan pernah bisa melindungi kalian.”Li Feng menggertakkan gigi. “Dasar bocah keras kepala!”
Tapi di matanya, ada sedikit rasa bangga yang tak bisa ia sembunyikan.Qin Shan mengangkat tangannya lagi. Garis darah petir di dalam tubuhnya mulai bergetar, menyebarkan cahaya kehijauan bercampur kilatan listrik di sepanjang lengannya.
Li Mei memohon, “Qin Shan, hentikan! Tubuhmu belum kuat! Kalau terus dipaksa, garis darahmu bisa rusak!”
Namun Qin Shan seolah tidak mendengar. “Justru saat ini aku harus tahu… seberapa jauh aku bisa melangkah.”Ular itu mengangkat kepalanya lagi, menganga lebar. Lidah bercabangnya menjulur cepat, suara mendesisnya memecah udara. Qin Shan menjejak tanah, lalu meluncur maju.
DUARR!
Tinju kecilnya menghantam rahang ular, tapi kekuatannya belum cukup untuk menjatuhkannya. Ia terpental ke belakang, tapi kali ini tidak jatuh. Tubuhnya segera menapak tanah, lalu melompat ke sisi lain.Li Feng berseru kagum, “Dia… mulai membaca pola serangan ular itu!”
Li Mei menatap tak percaya. “Tapi dia… berdarah di mana-mana…”
Ular bermata emas kembali menyerang. Kepalanya menukik cepat, tapi Qin Shan memutar tubuh, melangkah di antara akar besar dan batu-batu tajam. Ia meninju lagi dan lagi, setiap kali menyalurkan kilatan petir kecil yang menembus celah sisik.
“Sedikit lagi…” gumamnya pelan.
BZTT! BZTT!Cahaya petir menyambar-nyambar di antara pepohonan. Beberapa daun terbakar di udara, menimbulkan aroma hangus.
Tapi perlahan, tenaga Qin Shan mulai menurun. Napasnya terengah, pundaknya berdarah, kakinya bergetar.
Li Mei menangis. “Qin Shan! Sudah cukup!” Li Feng menatap muram. “Kalau terus begini dia bisa—”Belum sempat melanjutkan, ular itu membuka mulutnya lebar-lebar. Dari dalam tenggorokannya keluar kabut hijau pekat yang mematikan.
“Racun!” teriak Li Feng. “Qin Shan, mundur!”
Tapi bocah itu justru melompat maju.
Seluruh tubuhnya diselimuti cahaya petir yang menyala terang. Kabut racun yang menyentuhnya langsung terbakar, meledak jadi percikan kecil di udara.Wajahnya meringis menahan sakit, tapi ia tertawa. “Kau pikir racun bisa menghentikanku?”
Li Mei menjerit ketakutan. “Dia gila!”
Tubuh Qin Shan kini nyaris tak tampak di balik cahaya petir yang berputar di sekelilingnya. Suaranya berat, serak, tapi penuh tekad.
“Kalau aku kalah di sini… aku tidak pantas menyebut diriku kultivator!”Ia menekuk lutut, mengumpulkan seluruh sisa energi di garis darahnya.
Petir menari di sekujur tubuhnya seperti naga kecil yang bangkit dari tidur panjang.“Tinju Dewa Petir…”
Napasnya tercekat. “—HANCURKAN!”Ia melompat tinggi ke udara. Petir menyambar dari langit, menyatu dengan tubuh kecilnya. Dalam sekejap, ia menukik ke bawah seperti meteor biru, meninju tepat di antara mata ular itu.
BOOOOOOM!!!
Ledakan petir memekakkan telinga. Tanah terbelah, pepohonan di sekitar terbakar. Cahaya biru membutakan pandangan sesaat.
Li Feng dan Li Mei terjatuh karena getarannya. Mereka hanya bisa melihat cahaya yang meledak dari pusat pertarungan.
Beberapa detik kemudian, semuanya senyap.
Debu dan asap perlahan mereda. Di tengah kepulan asap itu, tubuh ular bermata emas tampak tergeletak, tak bergerak. Kepalanya hancur sebagian, sisik-sisik emasnya retak, dan darah hitam mengalir deras ke tanah.
Qin Shan berlutut di sampingnya. Nafasnya berat, wajahnya pucat, tapi matanya… masih bersinar.
“Haah… haah… selesai…”
Senyum kecil muncul di bibirnya.Li Mei langsung berlari, memeluknya erat. “Qin Shan! Jangan lakukan itu lagi! Aku… aku takut kehilanganmu!”
Qin Shan mengerjap, menatap gadis kecil itu yang menangis di pelukannya. Ia mengangkat tangan gemetar, menepuk kepalanya perlahan. “Jangan khawatir… aku masih hidup, kan?”
Li Feng mendekat, menatap bocah itu dengan wajah campuran kagum dan marah. “Kau benar-benar gila, tahu nggak? Ular sebesar itu… kau hajar pakai tinju?”
Qin Shan tertawa kecil, tapi batuk darah. “Heh… kalau aku nggak gila… mungkin kita udah dimakan.”
Li Mei menatapnya marah di sela tangis. “Tapi kau bisa mati, bodoh!”
Qin Shan menatapnya lembut. “Kalau aku mati untuk melindungi kalian… aku nggak keberatan.”Li Feng menghela napas panjang, menatap langit yang mulai gelap. “Kau memang berbeda, Qin Shan. Tapi lain kali, beri tahu kami dulu sebelum menantang monster macam itu.”
Qin Shan tersenyum lemah. “Heh, nanti malah kalian larang.”
Beberapa saat mereka diam. Hanya suara angin lembut yang kembali berhembus, membawa aroma darah dan tanah lembap.
Lalu, Qin Shan menatap tubuh ular yang hancur. Dari luka di kepalanya, muncul cahaya keemasan yang berdenyut lembut.
Li Feng menyipitkan mata. “Apa itu?”
Qin Shan berusaha berdiri, meski tubuhnya bergetar. “Energi… inti binatang buas. Itu hadiah untukku.”Li Mei menggeleng panik. “Tidak! Tubuhmu sudah terlalu lemah, nanti kau terluka lagi!”
Qin Shan tersenyum samar. “Kalau kau khawatir, temani aku. Aku akan baik-baik saja.”
Ia berjalan pelan mendekati kepala ular. Cahaya itu semakin terang, seolah memanggilnya. Begitu tangannya menyentuh, cahaya emas langsung menyerap ke dalam tubuhnya, membuat garis darah petir di dalam dirinya berdenyut hebat.
Kilatan biru keperakan menari di kulitnya. Udara di sekitar berubah seperti medan listrik yang menggigit.
Li Feng menahan napas. “Dia… menyerap kekuatan binatang itu?”
Li Mei berbisik, “Itu berbahaya, kan?” “Kalau bukan dia,” jawab Li Feng pelan, “tak akan ada yang bisa.”Qin Shan mengerang pelan, tapi menahan diri. Tubuhnya terasa seperti terbakar dari dalam. Namun di tengah rasa sakit itu, ia bisa merasakan energi baru yang mengalir—lebih kuat, lebih liar, dan lebih murni.
Setelah beberapa menit, cahaya itu memudar. Qin Shan jatuh terduduk, tapi wajahnya kini berbeda. Di matanya, kilatan petir kecil muncul lalu menghilang lagi.
Li Mei berlari menghampiri. “Qin Shan! Kau baik-baik saja?”
Qin Shan membuka matanya dan tersenyum. “Aku… jauh lebih baik dari sebelumnya.”Li Feng menatap bangkai ular yang kini gelap dan tak lagi bercahaya. “Kau benar-benar menaklukkan penguasa hutan ini…”
Qin Shan berdiri pelan, menatap kedua temannya. “Bukan aku yang menaklukkannya. Kita bertiga yang bertahan.”Ia menatap langit, yang kini mulai memerah di ufuk barat.
“Dan ini baru permulaan.”Kabut hitam berputar liar di dalam ruang batu itu. Suara raungan menggelegar bergema hingga ke lorong, memantul berkali-kali seperti ribuan roh sedang menjerit bersama. Dinding bergetar, debu turun dari langit-langit, dan obor kecil di tangan Li Feng hampir padam.“Astaga… ini bukan kabut biasa,” desis Li Feng, menutup mulut dan hidung dengan lengan bajunya. “Udara ini dingin seperti kematian.”Li Mei berdiri di belakangnya, kedua tangannya bergetar sambil menggenggam jimat putih kecil. “Aku bisa merasakan aura kebencian yang sangat kuat… seperti roh ini sudah terperangkap di sini selama ratusan tahun.”Di depan mereka, Qin Shan berdiri tegak meski tubuhnya penuh luka. Napasnya berat, namun sorot matanya sama sekali tidak surut. “Batu itu… aku bisa merasakannya,” katanya pelan, matanya tertuju pada pilar batu teratai yang bersinar samar di tengah ruangan. “Dia ada di balik semua ini.”Roh penjaga menggeram rendah. Matanya merah membara, dan sekali ayunan cakar hitamnya menghantam lant
Hening.Hutan yang tadinya penuh ledakan dan raungan kini tenggelam dalam keheningan mencekam. Hanya suara napas berat Qin Shan, Li Feng, dan Li Mei yang masih menggema di antara pepohonan. Asap tipis masih mengepul dari bekas luka besar di tanah tempat Ular Bermata Emas mati tergeletak.Tubuh raksasa itu membentang seperti tembok emas yang hancur, sisiknya retak, darahnya mengalir hitam ke tanah. Udara berbau logam dan amis.Li Mei menelan ludah, berbisik, “Benar-benar sudah mati, kan?”Li Feng menjawab tanpa yakin, “Kelihatannya begitu… tapi entah kenapa aku masih merasa dia mengawasi.”Qin Shan tidak menanggapi. Ia berdiri dengan wajah serius, memandangi bangkai itu dalam diam.Beberapa detik kemudian ia berucap pelan, “Aku merasa… sesuatu di dalamnya masih hidup.”Li Feng langsung menoleh cepat. “Apa maksudmu?”“Ada energi… bukan energi binatang buas biasa,” jawab Qin Shan sambil menunduk. “Seolah sesuatu di dalam tubuhnya berdenyut.”Li Mei spontan mundur setengah langkah. “Kau j
Udara sore di hutan itu terasa berat. Angin hampir tak berhembus, dan kabut lembap bergelayut di antara pepohonan tinggi. Cahaya matahari terperangkap di balik awan tipis, menciptakan suasana yang seolah berhenti di ambang senja. Tak ada kicau burung, tak ada dengung serangga—hutan itu sunyi seperti sedang menahan napas.Qin Shan berdiri di tanah berlumut yang licin, tubuhnya tegang tapi matanya tajam. Di hadapannya, seekor ular raksasa bersisik emas menggeliat perlahan. Panjangnya lebih dari sepuluh meter, tubuhnya sebesar batang pohon tua, dan kedua matanya memancarkan cahaya merah menyala seperti bara api.Ular itu bukan binatang biasa—ini adalah Ular Bermata Emas, penguasa wilayah timur hutan. Binatang buas yang sudah lama menjadi legenda di kalangan pemburu, karena tak ada yang pernah kembali hidup setelah menantangnya.Li Feng dan Li Mei berdiri beberapa langkah di belakang, wajah mereka tegang.“Qin Shan…,” bisik Li Feng pelan, suaranya bergetar. “Kau… yakin mau melawannya send
Cahaya pagi menembus dedaunan, jatuh dalam bentuk kilau hijau keemasan di tanah hutan. Embun yang belum sempat mengering memantulkan sinar mentari pertama, menebar aroma segar tanah dan dedaunan.Qin Shan berdiri diam di depan mulut goa kuno, tangan terlipat di dada, wajahnya tenang seperti batu tapi matanya tajam seperti pedang. Di hadapannya, dua anak kecil duduk bersila di atas batu rata. Li Feng masih tampak kelelahan, napasnya berat setelah semalaman berlatih di kolam. Li Mei di sebelahnya menguap kecil, lalu buru-buru menutup mulutnya.“Mulai hari ini,” kata Qin Shan datar, “aku akan tahu seberapa besar tekad kalian.”Li Feng segera menegakkan tubuhnya. “Aku siap, Qin Shan!” serunya dengan suara serak, mencoba terdengar tegas walau bahunya masih gemetar.Li Mei memandang kakaknya, lalu menatap Qin Shan. “A-aku juga,” katanya pelan tapi pasti.Qin Shan mengangguk tipis. “Bagus. Tapi ingat, mulai sekarang aku bukan penyelamat kalian. Aku pemimpin kalian. Dan pemimpin tidak butuh b
Langit pagi masih diselimuti kabut tipis ketika Qin Shan membuka matanya. Udara lembap menyentuh kulitnya, membawa aroma tanah dan dedaunan basah. Di luar, suara jangkrik dan lolongan serigala bersahutan, tapi telinganya sudah terbiasa dengan semua itu. Ia duduk perlahan, lalu menatap dua sosok kecil yang tidur di dekat perapian kecil—Li Feng dan Li Mei.Tatapan matanya melembut.“Mereka bahkan belum siap menghadapi kerasnya dunia ini… tapi kalau aku biarkan tetap lemah, mereka akan mati begitu saja,” gumamnya lirih.Ia menatap api yang mulai padam, lalu menambahkan ranting kering. Api kembali menyala, menari lembut di udara.“Ibu selalu bilang, siapa pun bisa jadi kuat kalau berani bertahan hidup. Kalau begitu…” Qin Shan menarik napas dalam. “Aku akan bantu mereka. Karena aku juga tidak ingin lagi berjalan sendirian.”Beberapa jam kemudian, sinar matahari pertama menembus pepohonan. Qin Shan menepuk bahu Li Feng yang masih tertidur.“Bangun. Sudah pagi. Ada tempat yang harus kalian l
jalan yang sunyi.Langit pagi itu tampak muram.Awan kelabu menggantung berat di atas puncak pegunungan, menutupi cahaya matahari yang seharusnya hangat.Kabut tipis menjalar perlahan di antara pepohonan tinggi di hutan belakang gunung, menebar hawa dingin yang menusuk tulang.Suasana terasa sepi, terlalu sepi.Qin Shan berjalan perlahan di jalur berbatu yang lembap, membawa sebilah pisau kecil yang terselip di pinggangnya. Pisau itu sederhana—terbuat dari besi hitam, sedikit tumpul di gagangnya, tapi tajam di ujungnya. Pisau buatan ayahnya sendiri, satu-satunya peninggalan yang selalu ia bawa ke mana pun.Setiap langkah kecilnya menimbulkan suara pelan di tanah yang berlumut. Ia baru berusia delapan tahun, tapi cara dia berjalan, caranya menggenggam pisau itu, menunjukkan bahwa dia bukan anak kecil biasa. Di matanya ada kewaspadaan, dan di napasnya ada ketenangan yang lahir dari pengalaman hidup yang keras.“Hari ini aku hanya akan mencari beberapa herbal,” gumamnya pelan. “Ibu bila