Chen Xuan mengepalkan tangan. "Pikirkan lagi kata-katamu."
Luo Ping tertawa terbahak. "Hahaha! Ancaman dari bocah berdarah itu? Lucu."
Chen Xuan mengambil posisi. "Pertarungan baru dimulai."
"Majulah, sampah!" tantangan Luo Ping.
Darah masih mengalir dari bahu Chen Xuan. Pakaian putihnya berubah merah. Tapi ia tak peduli. Emosi kini membakar dadanya.
Dengan Langkah Petir, tubuhnya melesat. Mata Luo Ping membelalak.
"Cepat sekali!"
Chen Xuan melompat. Pedangnya terangkat.
Luo Ping buru-buru mengangkat tombaknya untuk menangkis.
Trang!
Suara logam bertemu logam memekakkan telinga. Suasana di arena semakin menegangkan.
Chen Xuan melompat mundur, lalu kembali bergerak memutar di arena. Kecepatan dan tekanannya terus meningkat, menciptakan pusaran angin bercampur kilatan petir.
Luo Ping mencoba menjaga jarak, tapi matanya tak mampu mengikuti gerakan Chen Xuan.
"Dasar bocah tengik...!"
Luo Ping naik ke udara, bersiap mengeluarkan jurus pamungkas.
Namun Chen Xuan mendahului. Ia melompat tinggi. Pedangnya bersinar biru, diselimuti elemen petir.
Dengan satu ayunan, pedangnya menebas lengan Luo Ping.
Slash!
“Aakhh!"
Jeritan Luo Ping mengguncang seluruh arena. Membuat semua mata yang menonton pertunjukan tersebut membelalakan matanya. Bahkan beberapa dari mereka menutup mulutnya syok.
"Chen Xuan! Berani sekali kau! Ini hanya kompetisi!" teriak Luo Tian, menunjuk tajam ke arahnya dari tepi arena.
Chen Xuan tak menoleh. Tubuhnya membelakangi Luo Tian, tapi suaranya dingin menusuk.
"Naif sekali kau, Luo Tian. Pedang tidak memiliki mata. Siapa pun yang berdiri di depanku, harus siap menanggung akibatnya."
Luo Tian menggeram rendah. "Kau—"
"Kalau tidak terima, naiklah ke arena! Akan kuhadapi dengan senang hati!" Chen Xuan dengan cepat memotong ucapan Luo Tian.
"Bagus! Hajar dia, Chen Xuan!" sorak Xiao Ling'er dari tribun, lompat-lompat kegirangan tanpa sadar.
"Jaga sikapmu, Ling'er!" tegur Han Yue tajam.
Xiao Ling'er langsung diam. Ia menunduk, lalu kembali berdiri di samping gurunya.
Duan Mu turun dari panggung dan masuk ke arena. Ia segera mendekati Luo Ping yang duduk lemas sambil memegangi lengannya yang buntung.
"Tabib! Cepat!" teriaknya panik bukan main.
Beberapa tabib berlari masuk, mengangkat tubuh Luo Ping yang nyaris pingsan. Mereka segera membawanya keluar arena.
Duan Mu berdiri di tengah. Rahangnya mengeras, matanya tajam menatap Chen Xuan. ‘Anak ini! Harus diberi pelajaran!’
"Pertarungan selesai! Chen Xuan dari Puncak Bambu Hitam lolos ke babak selanjutnya!"
Sorak ramai memenuhi arena kompetisi saat mendengar itu. Nama Chen Xuan menggema di seluruh halaman Sekte Awan Biru.
"Aku tak akan melepaskanmu, Chen Xuan!" desis Luo Tian. Ia menghentakkan kakinya, lalu berbalik pergi dengan amarah mendidih.
Sementara itu, Chen Xuan turun dari arena tanpa senyum. Wajahnya kaku, dingin, nyaris tak bernyawa.
Murid-murid Puncak Bambu Hitam menyambutnya. Wu Ling menepuk bahunya.
"Kau luar biasa, Adik!"
"Aku nyaris menggali tanah untukmu!" celetuk Bai Shan lega.
"Murid Puncak Bambu Hitam, tak ada yang lemah!" kata Chu Hao dengan bangga.
Plak! Plak! Plak!
Hua Yun memukul kepala mereka dengan gagang pedangnya. Dia menatap galak satu persatu wajah mereka.
"Jangan ganggu dia! Xuan butuh istirahat!"
Namun Chen Xuan melewati mereka semua tanpa sepatah kata pun.
"Xuan! Kamu bahkan tidak melihatku!" protes Hua Yun.
Chen Xuan tetap acuh. Ia terus berjalan menjauh.
"Chen Xuan!" teriak Hua Yun lagi, wajahnya merah padam karena kesal.
Tapi Chen Xuan tak menjawab. Sampai langkahnya terhenti. Di tengah kerumunan, ia melihat sosok yang berdiri anggun. Gaun putih tertiup angin, rambut hitam panjang terurai, sehelai jatuh melintasi wajah.
"Xiao Ling'er," gumamnya pelan.
Gadis itu tersenyum. Lembut dan terang, seolah berasal dari dunia lain. Senyuman itu menghangatkan dada Chen Xuan.
Chen Xuan menatapnya. Ia mengingat sorakan dari tribun tadi. Sorakan yang anehnya membangunkannya dari kehampaan.
‘Aneh, aku bahkan tidak mengenalnya,’ pikirnya.
Ia melangkah pelan, mendekati Xiao Ling’er.
"H-hai," sapa Xiao Ling’er gugup.
Chen Xuan terdiam. Matanya membelalak, seolah baru sadar kehadirannya.
"A-aku?" tanyanya, menunjuk diri sendiri. Memastikan bahwa gadis itu menyapanya, bukan orang lain.
"I-iya ... kamu," jawab Xiao Ling’er semakin malu, wajahnya merah padam.
Di tribun atas, Han Yue berjalan menghampiri Tetua Zhu Ya.
"Sepertinya kita akan jadi besan, Tetua Zhu," ujarnya sambil tersenyum tipis.
Zhu Ya menoleh. "Sejak kapan muridku dekat dengan muridmu, Han Yue?"
"Aku juga baru sadar hari ini."
Han Yue menatap Xiao Ling'er yang berdiri berhadapan dengan Chen Xuan.
Zhu Ya menghela napas. "Tapi aku cuma gurunya. Kalau urusan pernikahan bukan bagianku."
Han Yue tertawa kecil. "Siapa lagi? Orang tuanya meninggal dalam tragedi Desa Embun Pagi. Muridmu hanya punya kau."
Zhu Ya terdiam. Sorot matanya mengeras, dahi berkerut. Ia tak menyangka, beban warisan itu kini benar-benar jatuh ke pundaknya.
Raungan! Chen Xuan bersama Xiao Ling'er pun tiba di sebuah hutan yang gelap, di dalam gunung hitam yang kelabu. Namun, mereka harus segera turun dari ketinggian, di saat suara raungan yang menggetarkan hutan terdengar. "Tempat ini tidak sederhana!" kata Chen Xuan, "Berhati-hatilah, Ling'er! Jangan jauh-jauh dariku!" sambung Chen Xuan, ia pun segera menarik tangan Xiao Ling'er. Xiao Ling'er tak berkata sepatah katapun, ia hanya tersenyum sembari menganggukkan kepalanya. Tidak ada kata lain yang dapat menjelaskan Xiao Ling'er saat itu, dalam hatinya, ia hanya merasa bahagia. Tidak perduli suasana apapun yang tengah terjadi, selama ia bersama dengan Chen Xuan, hanya kebahagiaan dan rasa senang yang dapat menggambarkan perasaannya. Seolah-olah, rasa takut, cemas, itu telah lama mati. Chen Xuan pun berjalan memegang tangan Xiao Ling'er yang berjalan di belakangnya. Mereka pun menyusuri hutan, langkah mereka sangat begitu berhati-hati, pandangan Chen Xuan dan juga Xiao Ling'er tidak
Sangkar bunga kristal perlahan memudar. Terlihat Xiao Ling'er yang masih tertidur di atas tubuh Chen Xuan, tetapi pakaiannya masih berantakan. Setelah satu malam mereka melakukan itu, akhirnya pagi hari pun tiba. Chen Xuan nampak tengah mengelus-elus halus rambut hitam Xiao Ling'er yang lurus. "Dasar gadis bodoh!" kata Chen Xuan, tetapi ekspresi wajahnya terlihat bahagia. Ternyata, Xiao Ling'er juga telah bangun. Tetapi ia tidak ingin melepaskan dekapannya terhadap Chen Xuan, bahkan sedikitpun tidak ingin. Ia terus memejamkan matanya, kedua tangannya melilit tubuh Chen Xuan seperti ular. Tapi yang lebih menggodanya, kedua belahan puncak kembarnya yang tertekan di antara dada Chen Xuan. itu benar-benar sempurna. "Ling'er! Bangunlah! Kita harus melanjutkan perjalanan! ucap Chen Xuan, berbisik di telinganya. Akhirnya Xiao Ling'er pun terbangun. Ia pun tersenyum ketika kedua matanya perlahan terbuka, ia menyaksikan Chen Xuan yang nampak sangat senang saat itu. Saat itu, di pagi
Saat itu, Chen Xuan bersama Xiao Ling'er pun tiba di tepi sungai. Tetapi seluruh air di sungai sangat begitu aneh, di mana air itu berwarna merah seperti darah. Beberapa kali Xiao Ling'er memastikannya, tetapi di saat ia mencelupkan sebelah tangannya ke dalam air, itu benar-benar darah, bahkan bau amis darah segar masih begitu pekat. "Ini benar-benar darah!" kata Xiao Ling'er, rendah. "Berhati-hatilah, kita harus selalu waspada, Ling'er. Biar bagaimanapun, tempat ini adalah Medan Perang Kuno!" ujar Chen Xuan. Di saat ia berbicara, ia berjalan ke depan, melihat sebuah bukit kelabu di kejauhan. "Ling'er! Bagaimana kondisimu?" Chen Xuan bertanya, tetapi ia tak berani menatap Xiao Ling'er, melainkan berdiri di depannya dengan tubuh yang membelakangi Xiao Ling'er. Xiao Ling'er pun berjalan anggun, hingga ia pun berdiri bersisian di samping Chen Xuan. Dengan cepat Xiao Ling'er pun menggandeng tangan Chen Xuan. Dan ia pun berbicara. "Lumayan, hanya perlu sedikit waktu lagi untuk mem
"Ternyata wanita itu seorang praktisi Raja Tempur bintang 5," Ucap Lan Huo, terkejut. Kedua matanya terbelalak menatap Xiao Ling'er yang tengah berjalan ke depan dengan perlahan. "Li— Ling'er!" panggil Chen Xuan. Sebelah tangannya terangkat, tak ingin Xiao Ling'er mengambil langkah itu. Namun Xiao Ling'er sedikit memalingkan wajah, menoleh ke arah Chen Xuan, ia pun tersenyum tipis lalu berkata, "Tenang saja! Kekasihmu ini bukanlah wanita yang lemah!" ucap Xiao Ling'er, segaris senyuman masih menggantung. Tanpa sadar, Chen Xuan melupakan bara dendam yang membakar dada. Dia menghela nafas panjang, kemudian berbicara, "Selesaikan dengan cepat, Ling'er!" Mendengar ucapan yang keluar dari mulut Chen Xuan, seolah-olah semangat api pertempuran tiba-tiba berkobar begitu hebat. Xiao Ling'er yang diliputi oleh semangat pertarungan, ia pun segera mengibaskan pedangnya. Dari kibasan pedang itu, membuat duri, duri, kristal es bermunculan, mengeluarkan suara, "Krak! Krak! Krak!" Segera Xiao Li
"Apa maksudnya ini, Xuan?" tanya Bai Shan, sangat begitu kaget. Kedua matanya terbuka lebar-lebar, menatap Chen Xuan dengan penuh rasa bingung. Hua Yun berjalan pelan, setiap langkahnya ragu, satu tangannya terangkat seolah-olah ingin menggapai sesuatu. Dengan raut wajah yang bersedih, Hua Yun pun berbicara, "A— adik! Kenapa jadi begini? Apa yang terjadi sebenarnya, kenapa kamu berubah seperti ini?" tanya Hua Yun, air matanya menumpuk di pelupuk matanya. "Kau ... jangan pernah memanggilku dengan sebutan itu lagi!" sahut Chen Xuan dengan nadanya yang sangat dingin. Bahkan ia menunjuk Hua Yun menggunakan pedangnya tanpa ragu. Sikap Chen Xuan membuat Hua Yun sangat begitu bersedih. Bayang-bayang masa lalu kembali terlintas di pikirannya, di mana saat itu Chen Xuan sangat begitu dekat dengan Hua Yun, bahkan seperti seekor anak ayam yang tak ingin lepas dari induknya. Namun, kedekatan itu tidak disadari oleh Hua Yun, bahwa perasaan Chen Xuan terhadapnya berbeda dengan perasaannya terh
"Adik, akhirnya aku menemukanmu!" Hua Yun berbicara sembari menggambar ekspresi wajah bahagia, tetapi ia juga bersedih. Kedua tangannya di kecup di depan perut, kedua matanya sembab, air matanya menumpuk di pelupuk matanya. Namun, Chen Xuan tetap terdiam tanpa sepatah katapun yang keluar dari mulutnya untuk menjawab Hua Yun. "Adik junior! Syukurlah kau selamat dari kejadian saat itu!" ujar Chu Hao. Satu tangannya terangkat menengah, ia ingin sekali merangkul adik seperguruannya, tetapi dalam hati ia merasa canggung. Chu Hao menyadari bahwa sikap adik seperguruannya tidak sama seperti yang sebelumnya. Tudung jubah hitam bergerak. Di dalam tudung, Chen Xuan menoleh, tetapi tidak terlihat oleh siapapun. Sembari mengibaskan jubah hitamnya, Chen Xuan berjalan, tetapi mulutnya berbicara, "Aku tidak mengenal kalian!" katanya dengan nada yang sangat dingin. Hua Yun, Chu Hao, Bai Shan, dan sisa-sisa murid sekte Awan Biru yang tersisa tak lebih dari tiga puluh orang. Mereka semua ter