Separuh kampung hangus terbakar, pemandangan yang terlihat hanyalah gundukan abu. Tersisa beberapa gudang rempah dan dikuasai kepala kampung. Licik sekali.
Perbuatan mereka sungguh melampaui batas. Mereka tidak layak disebut manusia. "Apa dosa klan Adikara?" keluh Banga pedih. "Bagaimana aku membayar pengorbanan mereka?" Beberapa bangunan baru berdiri, gundukan abu diangkut dengan gerobak. Kepala kampung sudah sewenang-wenang merampas tanah klan Adikara. Para pekerja itu sekedar mencari upah. Mereka tidak bersalah. Tapi Banga perlu menegur mereka. "Siapa yang menyuruh kalian membangun rumah di tanah klan Adikara?" tanya Banga kepada mandor yang mengawasi para pekerja. Pria separuh baya itu memandang heran, tanpa menghentikan hisapan pada tembakau di cangklong panjang. "Siapa kau? Berani sekali bertanya seperti itu." "Jawablah baik-baik, sehingga aku tahu tindakan apa untukmu." Mandor menghentikan hisapannya, ia mendelik, kelihatan sekali ia memandang remeh pemuda di depannya. "Harusnya kau bertanya secara baik-baik," tegur mandor. "Kau sepertinya belum kenal aku. Aku penanggung jawab pembangunan di seluruh areal ini. Tanah ini milik kepala kampung. Kau lancang sekali mengklaim tanah klan Adikara." "Aku dari klan Adikara. Jadi aku tahu persis tanah ini milik siapa." Mandor meneliti wajah pemuda di hadapannya secara seksama. "Ya ya, aku ingat ... kau adalah Banga Adikara. Kau rupanya sudah bosan hidup berani pulang." "Aku minta hentikan proyek ini." Mandor tertawa mengejek. "Siapa kau berani memerintah aku?" Banga membabatkan pedang, mandor terpelanting jatuh, meregang nyawa dengan dada robek memanjang. Sekelompok pekerja berlari mendatangi Banga sambil membawa perkakas bangunan, hendak mengeroyok. Banga memandang mereka dengan dingin. Satu pun tak ada yang berani membalas pandangan setajam pisau itu. "Aku persilakan kalian untuk maju," tantang Banga. "Pantang bagiku menyimpan pedang tanpa setetes darah." "Aku hanya ingin bertanya," kata pekerja paling berotot dan paling berani. "Mengapa kau membunuh mandor?" "Kalian kelihatannya bukan penduduk kampung ini, aku adalah Banga Adikara, pemilik lahan yang kalian bangun." Mereka berpandangan satu sama lain. Nama itu terpampang di plakat yang tersebar di setiap kampung sebagai manusia paling diburu kerajaan, karena sudah berkhianat pada sang ratu. "Jadi kau ... buronan?" "Aku benci orang tuli. Aku tegaskan sekali lagi sebelum pedang bicara. Aku adalah Banga Adikara. Ratu Nayaka sudah memusnahkan klanku secara biadab, aku datang untuk menuntut balas kepada ratu durjana dan antek-anteknya." "Kami hanyalah pekerja, mencari sesuap nasi untuk anak dan istri. Jangan libatkan kami." Mereka tampak ketakutan, padahal sebelumnya sangat garang seolah ingin melumat Banga sampai habis. "Kami kira tuan adalah perampok yang ingin merampas uang mandor." "Lalu kalian berlagak sok pahlawan?" "Uang itu upah kami pekan ini. Makan apa anak istri kami kalau uang itu diambil?" Akhir-akhir ini sering muncul perampok berkedok pendekar, beraksi secara perorangan. Kampung mulai tidak aman. "Beri tahu semua pekerja untuk berhenti kerja dan pulang, ambil uang mandor dan bagikan sesuai upah masing-masing. Siapa yang berani membangkang, ia akan menukar dengan nyawa." "Baik, Tuan." Pekerja berotot mengambil uang di kantong mandor, kemudian membagikan upah kepada para pekerja. Selusin prajurit berkuda muncul, mereka terkejut melihat pekerja berbondong-bondong pulang. "Stop!" bentak komandan prajurit. "Siapa yang menyuruh kalian pulang?" Mereka menoleh ke arah Banga seolah meminta bantuan. "Aku," kata Banga. "Kepala kampung sudah sewenang-wenang membangun di tanah klan Adikara." Komandan prajurit mengenali Banga Adikara, ia turut terlibat dalam perburuan waktu itu. "Kau rupanya. Apakah kau ingin menyerahkan diri untuk menjadi pangeran pengganti? Terlambat. Gusti ratu sudah kadung murka. Kau pemuda tidak tahu diuntung." "Aku datang untuk membunuh semua antek-antek istana." "Ucapanmu gagah sekali. Begitulah ucapan pecundang yang sudah dekat ajalnya." Secepat kilat Banga membabatkan pedang beberapa kali. Selusin prajurit jatuh dari kuda tanpa nyawa. Para pekerja kabur ketakutan. Banga melompat ke udara dan berguling beberapa kali menghadang sekelompok pekerja. "Jangan bunuh kami, Tuan," kata seorang pekerja. "Kami tidak tahu apa-apa." Serempak mereka bersujud dengan gemetar. "Ampuni kami, Tuan," kata mereka. "Tolong bebaskan kami." "Aku mengampuni kalian, bawa pergi mayat mereka. Aku tidak sudi di tanahku ada bangkai prajurit." Mereka saling berpandangan, bingung. "Bawa ke mana, Tuan?" tanya seorang pekerja. "Kami tidak tahu alamat mereka." "Bawa ke rumah kepala kampung." Mereka pergi membawa mayat dengan gerobak.Debu beterbangan di udara laksana asap membumbung. Lima ratus prajurit kotaraja memacu kuda dengan cepat, mereka mengenakan zirah serta bersenjata tombak dan panah.Pasukan itu dipimpin seorang jendral perang, turut bersamanya dua puluh tokoh silat istana dengan berbagai senjata pusaka.Kuda berlari melambat mendekati rumah kepala kampung. Jendral perang memberi isyarat untuk berhenti saat tiba di pintu benteng yang rusak parah."Aku belum pernah melihat pemandangan keji sebelumnya," kata jendral perang marah. Matanya memandang nanar mayat yang bergeletakan di halaman. "Prajuritku di perlakukan secara hina dina."Belasan mayat di dekat pintu gerbang diguyur air comberan sehingga penuh lumpur dan berbau busuk, bahkan di beberapa mayat terdapat tinja."Kau jendral munafik!" seru Banga, yang berdiri dengan gagah di beranda sambil menggenggam pedang kalkolitik. "Kau berperan serta dalam pembantaian klan Adikara! Mereka dibunuh secara biadab! Kebiadaban kalian tidak pernah dilakukan makhlu
Komandan legiun berkeringat dingin melihat seluruh pendekar dan prajurit bergelimpangan di halaman. Penduduk bahkan meludahi beberapa mayat yang semasa hidupnya sangat kejam menindas rakyat.Komandan legiun menyesal membiarkan kepala pengawal pergi ke dalam rumah. Tapi ia tidak gentar, ia mencabut pedang komando untuk bertarung sampai mati."Kau bukan ksatria," geram komandan legiun. "Kau iblis yang haus darah. Apakah hanya kematian yang ada di pikiranmu?""Hukuman bagi kaki tangan istana adalah kematian," tegas Banga. "Untukmu aku ada toleransi, kau ingin mati dengan cara apa?""Bedebah!" umpat komandan legiun dengan kemarahan memuncak. "Kau harus membayar perbuatanmu kepada anak buahku!""Aku akan membayar biaya pemakaman mereka, juga pemakaman dirimu!"Komandan legiun menyerang sambil berteriak, "Hiiaaat!"Trang! Trang!Pedang mereka bentrok menimbulkan percikan bunga api. Dua potongan pedang jatuh ke pelataran.Komandan legiun bengong sebelum akhirnya terjungkal dengan nyawa lepa
Kepala pengawal tidak peduli ksatria perang berasal dari klan mana, ia tak mungkin mampu melawan kekuatan besar istana.Legenda itu hanyalah cerita turun temurun yang entah dari mana asalnya. Kemunculan ksatria perang tidak terdapat dalam kitab kuno istana, selain pedang kalkolitik yang sangat misterius itu.Persetan dengan semua itu.Ia hanyalah pendekar bayaran yang diperintahkan melindungi keselamatan kepala kampung. Orang yang dilindungi sekarang sudah pergi ke kotaraja. Lalu apa lagi yang membuatnya perlu bertahan di rumah ini?"Aku memeriksa situasi di dalam dulu," kata kepala pengawal. "Apakah semua pelayan sudah meninggalkan rumah ini?"Kepala kampung pergi naik kereta lewat belakang rumah, membawa harta kekayaan dan beberapa perempuan peliharaan. Ia hanya menyisakan beberapa pelayan tua dan tidak berguna di ranjang."Rumah sudah kosong sebelum ksatria itu datang," kata komandan legiun. "Tinggal dua gundikmu saja. Bukankah ia diminta menunggu?"Kepala pengawal tersenyum licik.
Banga melompat terbang melewati pagar tinggi dan mendatangi sekumpulan pendekar yang menunggu di beranda. Puluhan prajurit yang berbaris siaga di halaman segera membubarkan diri dan mengepung Banga. Kepala kampung tidak kelihatan. Banga curiga ia melarikan diri. Tindakan bodoh kalau bersembunyi di dalam rumah. "Aku ingin bertemu dengan kepala kampung," kata Banga. "Adakah di antara kalian yang ingin menjelaskan?" Banga tidak mengenal kepala kampung, tapi bisa dibedakan dari pakaian ningrat yang dikenakan. Di antara mereka tidak ada yang memakai emblem istana. Banga tidak akan terpedaya jika kepala kampung berpakaian pendekar atau prajurit, karakter pemimpin congkak tidak bisa disembunyikan. "Kau tidak perlu tahu keberadaan kepala kampung," kata kepala pengawal yang berdiri di dekat komandan legiun. "Ia akan muncul untuk melihat mayatmu." Banga mendengus sinis. "Cecunguk istana itu takkan pernah melihat mayatku, selain mayat kalian." "Sombong sekali kau anak muda! Ja
Banga tidak bermaksud menyindir mereka, namun kakek bongkok mendadak berubah pikiran. Ia keluar dari antrian, matanya memandang nanar ke arah penduduk yang berduyun-duyun masuk ke halaman rumah. Mereka adalah tetangga yang setiap hari minum kopi di kedainya, dan paling gigih mengkritik kepala kampung, Hari ini mereka jadi pecundang. Takut mati, padahal kehidupan mereka sudah mati. "Kalian bodoh semua!" sergah kakek bongkok. "Untuk apa minta perlindungan pada kepala kampung yang menginginkan kematian kalian?" "Kau kesurupan apa, Ki Lontong?" tanya kakek sebaya. "Kau sering ceramah bahwa kita perlu bertahan hidup untuk membantu perjuangan. Kita menginap semalam saja di rumah kepala kampung, setelah itu mengalir lagi sumpah serapah untuknya." Ki Lontong mengetukkan tongkat ke tanah sehingga debu beterbangan dan hinggap di kakinya. Ia mendelik marah, seakan hatinya sudah tersinari cahaya perjuangan anak cucunya. "Sumpah serapah tidak akan menghentikan kepala kampu
Sebuah rumah megah dan besar dengan halaman luas dikelilingi pagar tinggi. Di pintu gerbang dua orang penjaga berwajah sangar sibuk memungut biaya untuk masuk ke rumah itu. Penduduk antri panjang. Dewasa, remaja, anak-anak, berdesak-desakan ingin segera masuk dengan wajah berpeluh. Maklumat untuk berlindung di rumah kepala kampung membuat mereka rela antri dalam panggangan matahari. Mereka tidak berani tinggal di rumah sendiri karena akan menjadi target pasukan kotaraja. "Kapan kepala kampung berbuat kebaikan untuk rakyatnya?" gerutu seorang bapak yang antri paling belakang. "Minta perlindungan saja dipungut biaya. Aku curiga ia bekerja sama dengan pasukan kotaraja." "Bukankah kongkalingkong sudah membudaya sejak Ratu Nayaka berkuasa? Aku berharap ksatria perang datang untuk menumpas kesewenang-wenangan." "Kemunculan ksatria perang hanyalah mimpi di zaman kita." "Perbuatan mereka sudah melampaui batas. Menunggu sampai kapan lagi dewa perang mengutus sang pewaris?"