Separuh kampung hangus terbakar, pemandangan yang terlihat hanyalah gundukan abu. Tersisa beberapa gudang rempah dan dikuasai kepala kampung. Licik sekali.
Klan Adikara mayoritas tinggal di kampung ini, membuka usaha perkebunan dan pertanian. Beberapa keluarga tinggal di perkotaan, sebagian selamat karena sedang bepergian ke luar negeri. Perbuatan Ratu Nayaka dan kaki tangannya sungguh melampaui batas. Mereka tidak layak disebut manusia. Mereka merampas aset klan yang dibantai untuk keuntungan pribadi. "Apa dosa klan Adikara?" keluh Banga pedih. "Bagaimana aku membayar pengorbanan mereka?" Beberapa bangunan baru berdiri, gundukan abu diangkut dengan gerobak. Kepala kampung sudah sewenang-wenang merampas tanah klan Adikara. Kelihatannya akan dibangun menjadi kawasan pergudangan. Puluhan tukang sibuk mengerjakan perkayuan, sebagian memasang batu sabak. Mereka sekedar mencari upah, bukan antek-antek kepala kampung. Banga mendatangi mandor yang mengawasi pekerja, dan menegur, "Siapa yang menyuruh kalian membangun rumah di tanah klan Adikara?" Pria separuh baya itu memandang heran, tanpa menghentikan hisapan pada tembakau di cangklong panjang. Ia tampak meremehkan pemuda yang berdiri di depannya. "Siapa kau?" gertak mandor. "Berani sekali bertanya seperti itu." "Jawablah baik-baik, sehingga aku tahu tindakan apa untukmu." Mandor menghentikan hisapannya, ia mendelik, emosinya terpancing mendengar omongan pemuda itu. Kelihatannya pendekar baru turun gunung, coba-coba minta jatah, belum tahu siapa dirinya. "Seharusnya kau bertanya secara baik-baik," tegur mandor kesal. "Aku penanggung jawab pembangunan di seluruh areal ini. Tanah ini milik kepala kampung. Lancang sekali mengklaim tanah klan Adikara." "Aku dari klan Adikara. Jadi aku tahu persis tanah ini milik siapa." Mandor memperhatikan wajah pemuda di hadapannya secara teliti, kemudian muncul senyum sinis di antara kepulan asap tembakau. "Aku ingat, kau adalah Banga Adikara. Kau sudah bosan hidup rupanya berani pulang." "Aku minta hentikan proyek ini." Mandor tertawa mengejek. "Siapa kau berani memerintah aku?" Banga membabatkan pedang, mandor terpelanting jatuh, meregang nyawa dengan dada robek memanjang, tanpa sempat mencabut goloknya. Sekelompok pekerja berlari mendatangi Banga sambil membawa perkakas bangunan, mereka marah melihat mandor terkapar tewas. Banga memandang mereka dengan sinar mata setajam pisau, "Majulah kalian semua kalau ingin mati dengan lebih buruk. Pantang bagiku menyimpan pedang tanpa setetes darah." "Mengapa kau membunuh mandor?" tanya pekerja berotot dengan kapak siap membacok. "Apakah kau ingin merampoknya?" "Aku adalah Banga Adikara, pemilik lahan yang kalian bangun." Mereka berpandangan satu sama lain, kelihatan kecut. Nama itu terpampang di plakat yang tersebar di setiap kampung sebagai manusia paling diburu istana, karena sudah berkhianat pada sang ratu. "Jadi kau ... buronan?" "Ratu kalian lah buronanku. Ia sudah memusnahkan klanku secara biadab, aku datang untuk menuntut balas kepada ratu durjana dan kaki tangannya seperti kalian." "Kami hanya pekerja, mencari sesuap nasi untuk anak dan istri. Jangan libatkan kami." Mereka tampak ketakutan, padahal sebelumnya sangat garang seolah ingin mencincang Banga jadi tetelan. "Kami kira tuan adalah perampok yang ingin merampas uang mandor." "Lalu kalian berlagak sok pahlawan?" "Uang itu upah kami pekan ini. Makan apa anak istri kami kalau uang itu diambil?" Akhir-akhir ini sering muncul perampok berkedok pendekar, beraksi secara perorangan. Kampung mulai tidak aman. "Beri tahu semua tukang untuk berhenti kerja dan pulang, ambil uang mandor dan bagikan sesuai upah masing-masing. Siapa yang berani membangkang, ia akan menukar dengan nyawa." "Baik tuan." Pria berotot mengambil kantong uang di balik baju mandor, kemudian mengumpulkan pekerja dan membagikan uang sesuai upah masing-masing. Selusin prajurit berkuda muncul, mereka terkejut melihat pekerja berbondong-bondong pulang. "Stop!" bentak kepala prajurit. "Siapa yang menyuruh kalian pulang?" Mereka menoleh ke arah Banga seolah meminta bantuan. "Aku," kata Banga. "Kepala kampung sudah sewenang-wenang membangun di tanah klan Adikara." Kepala prajurit mengenali Banga Adikara, ia turut terlibat dalam perburuan pemuda itu ke pegunungan utara, namun dihentikan setelah berbulan-bulan tidak ditemukan. "Apakah kau ingin menyerahkan diri untuk menjadi pangeran pengganti?" tanya kepala prajurit dengan nada mengejek. "Terlambat. Gusti ratu sudah kadung murka. Kau pemuda tidak tahu diuntung." "Aku datang untuk mengambil nyawa kalian." Kepala prajurit tertawa terbahak-bahak. "Ha ha ha! Omonganmu gagah sekali! Begitulah omongan pecundang yang sudah dekat ajalnya!" Secepat kilat Banga membabatkan pedang beberapa kali. Selusin prajurit jatuh dari kuda tanpa sempat memberi perlawanan. Para pekerja kabur ketakutan. Banga melompat ke udara lalu berguling beberapa kali dan mendarat di hadapan mereka. "Jangan bunuh kami, Tuan," kata pekerja berotot. "Kami tidak tahu apa-apa." Serempak mereka bersujud dengan gemetar. "Ampuni kami, Tuan," kata mereka. "Tolong bebaskan kami." "Aku mengampuni kalian," sahut Banga. "Bawa pergi mayat mereka. Aku tidak sudi di tanahku ada bangkai prajurit." Mereka saling pandang, bingung. "Bawa ke mana, Tuan?" tanya seorang pekerja. "Kami tidak tahu alamat mereka." "Bawa ke rumah kepala kampung." Mereka segera mengangkat mayat ke gerobak lalu membawa pergi.Banga mewarisi empat ilmu dewa perang; Tapak Dewa, Angin Dewa, Sinar Dewa dan Mata Dewa. Mewarisi teknik pengobatan penyakit dan racun dari dewa obat, dan tujuh jurus inti Dewa Pedang: Angin Topan Menggulung Badai, Gelombang Samudera Meneguk Ombak, Bulan Sabit Menutup Matahari, Harimau Putih Menangkap Buruan, Kupu-kupu Menari Di Awan, Bintang Jatuh Di Teratak, dan Petir Membelah Hujan. Tanda-tanda pewaris tiga ilmu dewa ini sangat misterius dan mustahil terdapat pada klan Nayaka, maka beberapa abad lalu lembaran berita tentang kedatangan ksatria perang dilenyapkan dari kitab kuno istana. "Apakah pemuda itu mewarisi ilmu raja iblis?" ujar tokoh silat istana bertampang Asia Timur. "Dewa pedang hanya memiliki keunggulan senjata, ia mengalahkan ribuan musuh dengan senjata." Semua jurus sakti yang berada di muka bumi tercantum dalam kitab besar istana, maka itu Ratu Nayaka merekrut tokoh silat istana dari berbagai golongan dan memiliki jurus langka. Bahkan beberapa jurus sakti mampu m
"Baiklah! Aku mendatangi kalian kalau kalian ragu-ragu untuk mati!" Banga berjalan di antara mayat di halaman menghampiri pasukan kerajaan di pintu gerbang, sambil memegang pedang mirabilis. Komandan perang dan tokoh silat istana heran melihat perilakunya ini. Ksatria besar seharusnya melayang di udara dan langsung menyerang mereka. Bukan berjalan kaki seperti petani hendak pergi ke sawah. Pemuda ini kelihatannya tidak memiliki gin kang memadai. Aneh sekali. "Semakin kentara kalau kekuatan pemuda itu berada di tangannya," kata komandan perang. "Kita rebut pedang kalkolitik." "Aku kira pemuda itu hanya berpura-pura," ujar Jagapati. "Ia ingin menghabisi prajurit dengan cara berbeda. Kau lihat ia tidak meninggalkan jejak di tanah berdebu. Ia tidak benar-benar menginjak bumi." "Kita habisi ksatria itu lebih dahulu." Komandan perang lompat dari kuda dengan jungkir balik di udara, lalu berdiri di halaman menghadang Banga. Jagapati dan beberapa tokoh silat istana istana menyusul deng
Debu beterbangan di udara laksana asap membumbung. Satu batalyon prajurit kotaraja memacu kuda dengan cepat, mereka mengenakan zirah serta bersenjata samurai dan panah. Pasukan kotaraja dipimpin seorang komandan perang, turut bersamanya dua puluh tokoh silat istana dengan berbagai senjata pusaka. Kuda berlari melambat mendekati rumah kepala kampung. Komandan perang memberi isyarat untuk berhenti saat tiba di pintu benteng yang rusak parah. "Aku belum pernah melihat pemandangan keji sebelumnya," kata komandan perang marah. Matanya memandang nanar pada mayat yang bergeletakan di halaman. "Prajuritku di perlakukan secara hina dina." Belasan mayat di dekat pintu gerbang diguyur air comberan sehingga penuh lumpur dan berbau busuk, bahkan di muka beberapa mayat terdapat tinja. "Kau komandan perang munafik!" seru Banga, yang berdiri dengan gagah di beranda sambil menggenggam pedang kalkolitik. "Kau berperan aktif dalam pembantaian klan Adikara di kadipaten ini! Mereka dibunuh secara biad
Komandan legiun berkeringat dingin melihat seluruh pendekar dan prajurit bergelimangan darah di halaman, tewas secara mengenaskan. Penduduk meludahi beberapa prajurit yang sekarat dan menginjaknya hingga mati, semasa hidupnya mereka sangat kejam menindas rakyat. Komandan legiun menyesal membiarkan kepala pengawal pergi ke dalam rumah mencari harta yang tertinggal. Tapi ia tidak gentar, ia mencabut pedang komando untuk bertarung sampai mati. "Kau bukan ksatria sejati," geram komandan legiun. "Kau iblis yang haus darah. Apakah hanya kematian yang ada di pikiranmu?" "Hukuman bagi kaki tangan istana adalah kematian," tegas Banga dingin. "Untukmu aku ada toleransi, kau ingin mati dengan cara apa?" "Bedebah!" umpat komandan legiun dengan kemarahan memuncak. "Kau harus membayar perbuatanmu kepada anak buahku!" "Aku akan membayar biaya pemakaman mereka, juga pemakaman dirimu!" Banga meminta Abiyasa mengurus pemakaman korban untuk mencegah penyakit menular dari bangkai yang tergeletak.
Kepala pengawal tidak peduli ksatria perang berasal dari klan mana, ia tak mungkin mampu melawan kekuatan besar istana. Legenda itu hanyalah cerita turun temurun yang entah dari mana asalnya. Kemunculan ksatria perang tidak terdapat dalam kitab kuno Jawa Dwipa, selain pedang kalkolitik yang sangat misterius itu. Ia adalah pendekar bayaran yang bertugas melindungi keselamatan kepala kampung. Orang yang perlu dilindungi sekarang sudah pergi ke kotaraja. Buat apa lagi bertahan di rumah ini? "Aku memeriksa situasi di dalam dulu," kata kepala pengawal. "Apakah semua pelayan sudah meninggalkan rumah ini?" Kepala kampung pergi naik kereta lewat gerbang belakang, membawa harta kekayaan dan beberapa perempuan peliharaan. Ia hanya menyisakan pelayan tua dan tidak berguna di ranjang. "Rumah sudah kosong sebelum ksatria itu datang," kata komandan legiun. "Tinggal dua gundikmu saja. Bukankah ia diminta menunggu?" Kepala pengawal tersenyum licik. "Kau memerintahkan mereka tinggal karena kau ja
Banga melompat terbang melewati pagar tinggi dan mendatangi sekumpulan pendekar yang menunggu di beranda. Puluhan prajurit yang berbaris siaga di halaman segera membubarkan diri dan mengepung Banga dengan bersenjatakan tombak. Kepala kampung tidak kelihatan. Banga curiga ia melarikan diri. Tindakan bodoh kalau bersembunyi di dalam rumah. "Aku ingin bertemu dengan kepala kampung," kata Banga. "Adakah di antara kalian yang ingin menjelaskan?" Banga tidak mengenal kepala kampung, tapi bisa dibedakan dari pakaian ningrat yang dikenakan. Di antara mereka tidak ada yang memakai emblem istana. Banga tidak akan teperdaya jika kepala kampung berpakaian pendekar atau prajurit, karakter pemimpin congkak bisa dibedakan. "Kau tidak perlu tahu keberadaan kepala kampung," kata kepala pengawal yang berdiri di dekat komandan legiun. "Ia akan muncul untuk melihat mayatmu." Banga mendengus sinis. "Cecunguk istana itu takkan pernah melihat mayatku, selain mayat penjilat." "Sombong sekali k