Home / Pendekar / Pendekar Pedang Mirabilis / Bab 4. Rumah Terkutuk

Share

Bab 4. Rumah Terkutuk

Author: Enday Hidayat
last update Last Updated: 2025-04-04 22:35:14

Rumah itu sangat megah dengan halaman luas, dikelilingi pagar tinggi dari papan tebal.

Brak!

Banga menendang pintu gerbang sehingga palang pintu patah dan pintu terbuka lebar.

Di dalam sudah menunggu ratusan prajurit dan pendekar. Kepala kampung berdiri dengan congkak di antara barisan prajurit.

Banga tersenyum sinis. "Bagus, kalian sudah kumpul semua, jadi aku bisa menghemat waktu."

"Berani sekali datang ke rumahku," kata kepala kampung. "Kau sudah dihapus dari daftar penduduk, berarti kematian bagimu."

Prajurit siap siaga menunggu perintah.

"Bumi jadi saksi bahwa siang ini kampung ini menjadi daerah tak bertuan," kata Banga. "Cukup sampai di sini kalian menghirup udara bebas."

Kepala kampung tertawa melecehkan.

"Ucapanmu keren sekali. Aku ingin tahu apakah kepandaianmu sekeren ucapanmu."

"Kepandaianku biasa-biasa saja. Aku kira tidak perlu ilmu tinggi untuk melenyapkan cecunguk macam kalian."

"Serang...!"

Sepuluh prajurit bersenjata tombak maju menyerang. Banga mencabut pedang dan melakukan beberapa gerakan.

Sepuluh prajurit itu bertumbangan, tewas seketika. Kelompok kedua maju dan bernasib sama, mereka tewas tanpa sempat mencabut senjata.

Kelompok ketiga juga bernasib tragis. Mereka tewas dalam segebrakan.

"Aku baru melihat pedang terbuat dari perunggu tapi lebih atos dari baja," kata komandan legiun. "Tombak prajurit sena merupakan campuran besi dan baja, tombak terbaik dari Han Timur, dengan gampangnya dipatahkan."

"Ilmu pedangnya aneh," ujar ketua pendekar. "Apakah ia ksatria dari Han Timur?"

"Pemuda itu bernama Banga Adikara," tukas kepala kampung. "Ahli ilmu kehidupan, ia menempuh pendidikan di Han Timur. Klan Adikara yang tersisa dan menjadi tugas kalian untuk melenyapkan."

Ketua pendekar tersenyum dengan congkak. Pedangnya terbuat dari emas murni. Mana mungkin kalah dengan pedang perunggu!

Ia menjadi ketua pendekar karena pedangnya. Sekali tebas leher kerbau langsung putus saking tajamnya.

Kecongkakan pria separuh baya itu telah menutup matanya akan ketinggian ilmu yang diperlihatkan Banga. Puluhan prajurit sena terkapar mati dalam beberapa gebrakan.

"Ksatria perang bukan keahlian pemuda itu, jadi wajar ilmu pedangnya aneh," ucap kepala kampung. "Ia akan menjadi cendekiawan termasyhur jika menerima pinangan gusti ratu. Bodohnya ia memilih kematian."

Kepala kampung menganggap remeh kemampuan Banga. Sehebat-hebatnya pemuda itu pasti akan mati juga melawan ratusan penjaga keamanan kampung.

"Biarlah ia bersenang-senang dahulu."

Kepala kampung seharusnya menaruh kepedulian melihat korban semakin banyak berjatuhan. Banga menghukum mereka tanpa ampun. Perbuatan mereka sudah melampaui iblis.

Korban bergeletakan di halaman, bahkan terinjak oleh prajurit yang mengepung Banga.

Mereka sama sekali tidak menghormati mayat kawannya.

"Majulah kalian semua!" geram Banga dengan mata menyala-nyala dibakar dendam. "Kalian harus membayar kebiadaban kalian kepada klan Adikara!"

"Kau tidak akan selamat!" teriak komandan legiun. "Menyerahlah! Aku akan mengajukan ampunan pada gusti ratu!"

"Mintalah ampun untuk diri sendiri!"

Banga melompat ke udara lalu berguling beberapa kali dan hinggap di bahu prajurit, bergerak dari satu bahu ke bahu lainnya sambil membabatkan pedang ke prajurit yang menyerangnya.

Korban bergelimpangan, darah berceceran, bahkan banyak prajurit belum menghunuskan tombak sudah meregang nyawa, tanah berubah merah berbau amis.

Pedang kalkolitik menari-nari menebas musuh yang seakan tidak ada habisnya. Para prajurit sena berkepandaian cukup tinggi, tapi bukan lawan berbahaya bagi Banga.

"Prajurit yang mati sudah lebih dari separuh," kata kepala kampung. "Orang-orangmu sudah saatnya turun tangan."

Ketua pendekar memerintahkan beberapa anak buahnya untuk maju. Mereka berlompatan ke halaman mengepung Banga.

Prajurit mundur membentuk lingkaran dengan tombak terhunus. Menutup celah bagi Banga untuk kabur.

"Kalian sudah tidak sabar ingin buru-buru mati," ucap Banga dingin. "Padahal seorang pun tidak akan kubiarkan lolos dari rumah terkutuk ini."

"Jangan berbual setinggi langit," sergah ketua pendekar. "Kakimu masih berpijak di bumi. Lihatlah sekeliling, tak ada jalan untuk melarikan diri. Menyerah adalah pilihan terbaik bagimu."

Banga mendengus sinis. "Janganlah berandai-andai. Aku akan pergi setelah membinasakan manusia keparat seperti kalian."

"Cincang pemuda itu...!"

Para pendekar menyerbu dengan berbagai senjata pusaka. Banga meladeni mereka.

Trang! Trang!

Terdengar bunyi bentrokan pedang kalkolitik dengan senjata pusaka mereka.

Krak! Krak!

Senjata pusaka mereka patah terbabat pedang. Kemudian pemiliknya bertumbangan dengan luka di dada atau leher.

"Apakah benar pemuda itu adalah Banga Adikara?" pandang kepala kampung tak percaya. "Bagaimana seorang ahli kehidupan bisa menjadi ahli pedang?"

Ketua pendekar menjawab dengan enteng, "Pemuda itu hanya beruntung."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • Pendekar Pedang Mirabilis   Bab 5. Menutup Pintu Pertaubatan

    Sasaran pedang kalkolitik bukan hanya pendekar yang mengepung Banga, juga prajurit terdekat yang berusaha menyerang dengan tombak. Mereka begitu sulit menembus pertahanan Banga, padahal ilmu pedangnya biasa saja, bahkan terlihat aneh. Mereka tidak mengenali jurus pedang kalkolitik, jurus itu dinyatakan punah di abad permulaan. "Kepandaian Banga di luar perkiraan kita," ucap komandan legiun. "Ilmu pedangnya luar biasa." Ketua pendekar pun mulai mengakui kehebatan permainan pedang Banga. "Kita kurang jauh berkelana," kata ketua pendekar. "Kita tidak mengetahui ada ksatria mempunyai ilmu pedang aneh." "Banga berasal dari klan Adikara, klan itu banyak melahirkan cendekiawan, bukan ksatria perang," tukas kepala kampung. "Kau sudah merekrut pendekar bodoh, meringkus seorang bocah saja tidak mampu." Kepala kampung sudah membayar mahal mereka untuk menjaga keamanan dirinya. Ketika muncul seorang pengacau, mereka kewalahan. Payah. Kepala kampung menganggap bantuan prajurit dari istan

    Last Updated : 2025-04-04
  • Pendekar Pedang Mirabilis   Bab 6. Ingin Berjuang Sendiri

    Percuma kepala kampung memohon ampun, pintu itu sudah ditutup. Pemusnahan klan Adikara adalah jalan kematian bagi orang-orang yang terlibat di dalamnya. Banga hanya mengijinkan sembilan istrinya untuk pergi. Banga bukan iblis, ia menyisakan perempuan untuk hidup, kecuali mereka kadet istana, terpaksa dilenyapkan. "Sebelum pergi, kalian boleh mengungkapkan perasaan kalian kepada suami jelek ini." Sembilan perempuan muda itu bergegas mengambil senjata yang berserakan di halaman, dan menghujamkan ke tubuh kepala kampung dengan penuh kebencian. Banga terpana. Kepala kampung menemui ajal di tangan istrinya sendiri. "Aku percaya kalian bukan istri yang mendukung kekejaman kepala kampung, kalian menjadi istri karena keluarga terancam," kata Banga. "Jangan sia-siakan kepercayaanku ini." "Kami bukan istri mayat keparat itu, kami hanyalah budak nafsu," ujar perempuan tertua. "Kami akan dibunuh jika hamil." Nasib mereka sungguh malang sekali, batin Banga prihatin. Mereka pasti

    Last Updated : 2025-04-05
  • Pendekar Pedang Mirabilis   Bab 7. Bukan Iblis

    Banga menginginkan mereka membangun kembali kejayaan klan Adikara, menguasai perekonomian secara arif. "Pulanglah kalian ke kampung itu. Jadi perampok bukan kebiasaan klan Adikara dalam situasi sesulit apapun. Lebih baik mati kelaparan ketimbang melanggar aturan klan." "Kami merampok bukan mencari makan, untuk balas dendam." "Balas dendam terbaik adalah bangkit kembali secepatnya. Janganlah kalian mengaku klan Adikara demi keamanan kalian. Cukup aku yang menjadi incaran istana." Banga meneruskan perjalanan ke perkampungan di utara. Ia ingin menghancurkan kaki tangan istana dari hirarki yang terendah. Bangunan akan roboh kalau fondasi hancur. Banga menghendaki rakyat bangkit, maka itu ia mengangkat kepala kampung dari kalangan mereka. Kerajaan ini bukan hanya milik bangsawan. Banga keluar dari hutan. Ia tiba di kedai nasi dengan pengunjung sangat ramai. Jam makan siang. "Kekeliruan istana adalah menghentikan perburuan Banga Adikara," kata seorang pendekar sambil menyantap pepes

    Last Updated : 2025-04-05
  • Pendekar Pedang Mirabilis   Bab 8. Jangan Berkorban Untukku

    Banga mencari kedai nasi untuk makan siang. Ia sulit mengisi perut jika di antara pengunjung terdapat kaki tangan istana. Ada kejadian yang melecut nuraninya saat Banga melewati sebuah rumah sederhana, beberapa warga menyaksikan dari rumah masing-masing dengan sinar mata prihatin. Tampak pendekar brewok membawa paksa seorang gadis, sementara ibunya berusaha mempertahankan. "Jangan bawa anakku, Tuan," pinta wanita separuh baya itu. "Kasihanilah anakku, ia akan menikah pekan depan." "Kau seharusnya bangga anakmu menjadi gundik kepala kampung," sergah pendekar berambut gimbal. "Berarti anakmu cantik." "Apalah artinya cantik kalau ia harus mengkhianati kekasihnya?" "Dasar ibu tidak tahu diri!" maki pendekar berjidat nongnong. "Seharusnya kau selamatan seperti ibu lain, bukan menghiba!" Tugas gundik setiap hari berdandan dan hidup dalam kemewahan, mereka bisa membantu keluarganya yang kekurangan karena mendapat harta berlimpah dari kepala kampung. Hadiah mengalir setiap hari kala

    Last Updated : 2025-04-05
  • Pendekar Pedang Mirabilis   Bab 9. Nyanyian Maut Di Rumah Makan

    Banga mampir di rumah makan yang cukup ramai pengunjung. Ia heran melihat tampang pelayan seperti ketakutan melayani tamu berwajah sangar di beberapa meja. Barangkali pendekar kampung yang sering meresahkan penduduk, sehingga pelayan kecut untuk melayani mereka. Rumah makan ini adalah rumah makan terbaik yang terdapat di kampung ini. Interior sangat mewah dengan lampion unik tergantung di setiap tiang. Seorang pelayan menghampiri Banga yang duduk di meja terpisah, dan menyapa dengan sopan, "Selamat siang. Tuan ingin pesan apa?" "Nasi putih dan sop iga," jawab Banga, pesanan itu adalah hidangan yang tersaji di meja mereka. Mudah saja menerka, sop iga adalah menu unggulan di rumah makan ini. "Minumnya air tawar." "Tunggu sebentar ya, Tuan." Banga menunggu dengan sabar. Keadaan terlalu tenang sehingga terasa mencekam. Wajah-wajah tegang terpampang di setiap meja, seakan menunggu seseorang yang sudah mengusik ketenangan mereka. Pedang dan golok tergeletak di meja. Mereka hend

    Last Updated : 2025-04-14
  • Pendekar Pedang Mirabilis   Bab 10. Mereka Tidak Layak Mati

    Pendekar berkumis baplang melarikan diri, ia merasa tertipu karena ksatria yang dihadapi bukan pemberontak sebagaimana yang diceritakan kepala kampung. Ksatria yang dihadapi adalah ksatria terluka karena klannya dimusnahkan secara keji. Ia mengamuk laksana macan terluka dengan energi dendam yang dimiliki. Kemarahannya sulit dihentikan, selain menghirup darah untuk mengobati luka yang diderita. Ia tidak ingin mati konyol. "Mustahil bagi kaki tangan kepala kampung lolos dari pedang mirabilis," kata Banga sambil berjumpalitan di udara dan mendarat di hadapan pendekar itu. "Kau harus menyusul kawan-kawanmu." Banga membabatkan pedang, pendekar berkumis baplang berusaha menangkis dengan golok, golok patah dua, tebasan pedang merobek dada. Pendekar berkumis baplang tumbang dengan golok buntung di tangan. Banga pergi meninggalkan tempat itu dengan dingin. Amarah dan dendam telah membekukan hatinya. "Ada lagi yang mencari mati," geram Banga. "Padahal mereka bisa menikmati hidup le

    Last Updated : 2025-04-15
  • Pendekar Pedang Mirabilis   Bab 11. Bukan Penduduk Biasa

    Pedang mirabilis meliuk-liuk menghantam beberapa prajurit bersenjata tombak. Prajurit bertumbangan laksana pohon roboh, tak berdaya menghadapi amukan pedang. Mereka datang untuk mengantarkan nyawa. Permainan pedang Banga sulit ditandingi. Sekali tebas, tombak dan samurai berjatuhan terpotong dua. "Kalian hanyalah martir yang tidak berguna bagiku!" kata Banga masygul. "Sebanyak apa kalian mendatangiku sebanyak itu nyawa tercecer!" "Kesombonganmu akan menghancurkan dirimu sendiri, anak muda!" gertak komandan prajurit. "Kau takkan bisa menantang istana dengan tangan sendiri!" "Bagi cecunguk menumbangkan ratu durjana adalah sebuah kemustahilan! Bagiku hanyalah sebuah jalan yang sedang kulewati!" Prajurit mengepung dengan gagah berani, meski kawan mereka bertumbangan. Lebih baik kehilangan nyawa daripada kehilangan keberanian, begitu prinsip mereka. Naifnya mereka bukan membela kebenaran dan keadilan, mereka diperalat untuk mempertahankan kekuasaan ratu tak berhati. Banga sudah kehil

    Last Updated : 2025-04-16
  • Pendekar Pedang Mirabilis   Bab 12. Membuka Pintu Kematian

    Di antara ksatria yang menyamar jadi petani itu terdapat pemuda bernama Abimanyu, klan Adikara yang berhasil meloloskan diri dari pembantaian. Ia sulit melawan ribuan prajurit dan tokoh sakti yang membumihanguskan perumahan klan Adikara. Di sampingnya berdiri seorang gadis cantik jelita bernama Mihira, dan Sekar, perempuan yang pernah ditolong Banga. "Aku kira Banga tidak butuh bantuan," kata Abimanyu. "Aku bangga klan Adikara mempunyai ksatria gagah berani, selain cendekia dengan pena yang tajam." "Banga cocok sekali menjadi pemimpin pergerakan untuk menuntut balas kematian klan Adikara," ujar Mihira. "Ada beberapa saudagar besar klan Adikara bermukim di Han Barat, mereka siap memberi bantuan finansial untuk pergerakan." "Banga ingin berjuang sendiri," ucap Sekar. "Aku sudah menawarkan diri menjadi budak, namun ia menolak dengan pertimbangan keselamatan diriku." Banga tidak boleh melawan seorang sendiri, batin Mihira kelu. Bukan pemuda itu saja yang murka, semua anggota klan yan

    Last Updated : 2025-04-16

Latest chapter

  • Pendekar Pedang Mirabilis   Bab 22. Simbol Kekuasaan Langit

    Debu beterbangan di udara laksana asap membumbung. Lima ratus prajurit kotaraja memacu kuda dengan cepat, mereka mengenakan zirah serta bersenjata tombak dan panah.Pasukan itu dipimpin seorang jendral perang, turut bersamanya dua puluh tokoh silat istana dengan berbagai senjata pusaka.Kuda berlari melambat mendekati rumah kepala kampung. Jendral perang memberi isyarat untuk berhenti saat tiba di pintu benteng yang rusak parah."Aku belum pernah melihat pemandangan keji sebelumnya," kata jendral perang marah. Matanya memandang nanar mayat yang bergeletakan di halaman. "Prajuritku di perlakukan secara hina dina."Belasan mayat di dekat pintu gerbang diguyur air comberan sehingga penuh lumpur dan berbau busuk, bahkan di beberapa mayat terdapat tinja."Kau jendral munafik!" seru Banga, yang berdiri dengan gagah di beranda sambil menggenggam pedang kalkolitik. "Kau berperan serta dalam pembantaian klan Adikara! Mereka dibunuh secara biadab! Kebiadaban kalian tidak pernah dilakukan makhlu

  • Pendekar Pedang Mirabilis   Bab 21. Berjuang Di Kemudian Hari

    Komandan legiun berkeringat dingin melihat seluruh pendekar dan prajurit bergelimpangan di halaman. Penduduk bahkan meludahi beberapa mayat yang semasa hidupnya sangat kejam menindas rakyat.Komandan legiun menyesal membiarkan kepala pengawal pergi ke dalam rumah. Tapi ia tidak gentar, ia mencabut pedang komando untuk bertarung sampai mati."Kau bukan ksatria," geram komandan legiun. "Kau iblis yang haus darah. Apakah hanya kematian yang ada di pikiranmu?""Hukuman bagi kaki tangan istana adalah kematian," tegas Banga. "Untukmu aku ada toleransi, kau ingin mati dengan cara apa?""Bedebah!" umpat komandan legiun dengan kemarahan memuncak. "Kau harus membayar perbuatanmu kepada anak buahku!""Aku akan membayar biaya pemakaman mereka, juga pemakaman dirimu!"Komandan legiun menyerang sambil berteriak, "Hiiaaat!"Trang! Trang!Pedang mereka bentrok menimbulkan percikan bunga api. Dua potongan pedang jatuh ke pelataran.Komandan legiun bengong sebelum akhirnya terjungkal dengan nyawa lepa

  • Pendekar Pedang Mirabilis   Bab 20. Sudah Terlambat

    Kepala pengawal tidak peduli ksatria perang berasal dari klan mana, ia tak mungkin mampu melawan kekuatan besar istana.Legenda itu hanyalah cerita turun temurun yang entah dari mana asalnya. Kemunculan ksatria perang tidak terdapat dalam kitab kuno istana, selain pedang kalkolitik yang sangat misterius itu.Persetan dengan semua itu.Ia hanyalah pendekar bayaran yang diperintahkan melindungi keselamatan kepala kampung. Orang yang dilindungi sekarang sudah pergi ke kotaraja. Lalu apa lagi yang membuatnya perlu bertahan di rumah ini?"Aku memeriksa situasi di dalam dulu," kata kepala pengawal. "Apakah semua pelayan sudah meninggalkan rumah ini?"Kepala kampung pergi naik kereta lewat belakang rumah, membawa harta kekayaan dan beberapa perempuan peliharaan. Ia hanya menyisakan beberapa pelayan tua dan tidak berguna di ranjang."Rumah sudah kosong sebelum ksatria itu datang," kata komandan legiun. "Tinggal dua gundikmu saja. Bukankah ia diminta menunggu?"Kepala pengawal tersenyum licik.

  • Pendekar Pedang Mirabilis   Bab 19. Pewaris Dewa Perang

    Banga melompat terbang melewati pagar tinggi dan mendatangi sekumpulan pendekar yang menunggu di beranda. Puluhan prajurit yang berbaris siaga di halaman segera membubarkan diri dan mengepung Banga. Kepala kampung tidak kelihatan. Banga curiga ia melarikan diri. Tindakan bodoh kalau bersembunyi di dalam rumah. "Aku ingin bertemu dengan kepala kampung," kata Banga. "Adakah di antara kalian yang ingin menjelaskan?" Banga tidak mengenal kepala kampung, tapi bisa dibedakan dari pakaian ningrat yang dikenakan. Di antara mereka tidak ada yang memakai emblem istana. Banga tidak akan terpedaya jika kepala kampung berpakaian pendekar atau prajurit, karakter pemimpin congkak tidak bisa disembunyikan. "Kau tidak perlu tahu keberadaan kepala kampung," kata kepala pengawal yang berdiri di dekat komandan legiun. "Ia akan muncul untuk melihat mayatmu." Banga mendengus sinis. "Cecunguk istana itu takkan pernah melihat mayatku, selain mayat kalian." "Sombong sekali kau anak muda! Ja

  • Pendekar Pedang Mirabilis   Bab 18. Ingin Mati Di Rumah Sendiri

    Banga tidak bermaksud menyindir mereka, namun kakek bongkok mendadak berubah pikiran. Ia keluar dari antrian, matanya memandang nanar ke arah penduduk yang berduyun-duyun masuk ke halaman rumah. Mereka adalah tetangga yang setiap hari minum kopi di kedainya, dan paling gigih mengkritik kepala kampung, Hari ini mereka jadi pecundang. Takut mati, padahal kehidupan mereka sudah mati. "Kalian bodoh semua!" sergah kakek bongkok. "Untuk apa minta perlindungan pada kepala kampung yang menginginkan kematian kalian?" "Kau kesurupan apa, Ki Lontong?" tanya kakek sebaya. "Kau sering ceramah bahwa kita perlu bertahan hidup untuk membantu perjuangan. Kita menginap semalam saja di rumah kepala kampung, setelah itu mengalir lagi sumpah serapah untuknya." Ki Lontong mengetukkan tongkat ke tanah sehingga debu beterbangan dan hinggap di kakinya. Ia mendelik marah, seakan hatinya sudah tersinari cahaya perjuangan anak cucunya. "Sumpah serapah tidak akan menghentikan kepala kampu

  • Pendekar Pedang Mirabilis   Bab 17. Untuk Apa Bernafas

    Sebuah rumah megah dan besar dengan halaman luas dikelilingi pagar tinggi. Di pintu gerbang dua orang penjaga berwajah sangar sibuk memungut biaya untuk masuk ke rumah itu. Penduduk antri panjang. Dewasa, remaja, anak-anak, berdesak-desakan ingin segera masuk dengan wajah berpeluh. Maklumat untuk berlindung di rumah kepala kampung membuat mereka rela antri dalam panggangan matahari. Mereka tidak berani tinggal di rumah sendiri karena akan menjadi target pasukan kotaraja. "Kapan kepala kampung berbuat kebaikan untuk rakyatnya?" gerutu seorang bapak yang antri paling belakang. "Minta perlindungan saja dipungut biaya. Aku curiga ia bekerja sama dengan pasukan kotaraja." "Bukankah kongkalingkong sudah membudaya sejak Ratu Nayaka berkuasa? Aku berharap ksatria perang datang untuk menumpas kesewenang-wenangan." "Kemunculan ksatria perang hanyalah mimpi di zaman kita." "Perbuatan mereka sudah melampaui batas. Menunggu sampai kapan lagi dewa perang mengutus sang pewaris?"

  • Pendekar Pedang Mirabilis   Bab 16. Bukan Menjemput Kematian

    Banga memutuskan untuk tinggal beberapa waktu di kampung ini. Ia memperkirakan prajurit kerajaan akan mengobrak-abrik rumah penduduk jika menemukan para petani muda itu sudah melarikan diri. Adipati terlalu menganggap enteng. Ia hanya mengirimkan pasukan reguler dan komandan peleton berkemampuan standar untuk menangkap dirinya. Kampung ini berbatasan dengan kota kadipaten. Tidak banyak prajurit ditempatkan di kedukuhan, juga beberapa tokoh silat saja, kebanyakan pendekar lokal. "Aku pergi ke rumah kepala kampung lebih dahulu," kata Banga. "Aku kira ia sudah mendapat kabar tentang peristiwa di perbatasan ini." Banga tidak meminta Abimanyu untuk kembali jika kampung ini berhasil ditaklukkan. Ia ingin menyerahkan kepada tokoh kampung untuk mengelola. Berani menentang kehendaknya, berarti siap menjadi korban pedang kalkolitik. Mereka mesti diancam agar berani menegakkan kebenaran dan keadilan. Mereka sudah saatnya bangkit untuk merobohkan tirani. Hidup dalam ketakutan tak

  • Pendekar Pedang Mirabilis   Bab 15. Menjadi Musuh Rahasia

    Mihira protes. "Jangan asal. Bagaimana kau menyebut mereka pengkhianat? Mereka sudah bersamaku sejak di Han Barat." Mihira menganggap Banga sudah dibutakan dendam. Ia menjatuhkan hukuman mati secara serampangan. Sepasang pengantin baru itu maniak bercinta. Mereka akan bercinta di mana saja jika muncul hasrat. Kebiasaan di Han Barat terbawa pulang ke Salakanagara. Mereka bahkan pernah berbuat di semak-semak tanpa peduli situasi. Mereka jatuh sakit jika libido tak tersalurkan. "Menurut tabib Han Barat, mereka memiliki kelainan. Sebagian anak muda di perkotaan Salakanagara juga mengalami gejala serupa." Banga tersenyum dingin. "Jangan meyakinkan diriku dengan mencatut tabib asing. Mereka bukan klan Adikara. Kau sudah tertipu." "Mereka tinggal di kotaraja," sanggah Mihira. "Jadi kau tidak mengenal mereka." "Aku sangat mengenal budaya klan Adikara, meski tidak mengenal orangnya. Anak muda klan Adikara tidak pernah memanggil tuan kepada pemuda seusia." Mihira terdiam.

  • Pendekar Pedang Mirabilis   Bab 14. Biarlah Takdir Bercerita

    Mihira memandang sedih. Ia sama sekali tak menyangka akan mendengar jawaban yang membuat kemarau hatinya. Padahal ia ingin melaksanakan amanah terakhir orang tuanya. Perkawinan bukan duri untuk perjuangan. Menggulingkan Ratu Nayaka butuh kekuatan besar. Mustahil berjuang sendiri. Hanya mengantarkan nyawa pada tiang gantungan. "Aku tahu di antara kita tidak ada cinta," kata Mihira kelu. "Sejak kecil di hati kita hanya ada rasa persahabatan. Aku berusaha menyingkirkan rasa itu untuk menghibur orang tuaku di alam langgeng." "Aku bukan menolak perjodohan kita," elak Banga tidak enak. "Aku menghormati perjanjian orang tua kita. Namun mengertilah, pedang mirabilis menuntut aku untuk menjadi ksatria perang." "Tiada larangan bagi ksatria perang untuk berumah tangga. Bukankah semakin banyak istri semakin menunjukkan kebesaran namamu?" Istri adalah lambang kebesaran pada abad pertengahan. Semakin banyak istri semakin tinggi derajat suami. Kebesaran nama lelaki dilihat dari berapa

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status