Rumah itu sangat megah dengan halaman luas, dikelilingi pagar tinggi dari papan tebal.
Brak! Banga menendang pintu gerbang sehingga palang pintu patah dan pintu terbuka lebar. Di dalam sudah menunggu ratusan prajurit dan pendekar. Kepala kampung berdiri dengan congkak di antara barisan prajurit. Banga tersenyum sinis. "Bagus, kalian sudah kumpul semua, jadi aku bisa menghemat waktu." "Berani sekali datang ke rumahku," kata kepala kampung. "Kau sudah dihapus dari daftar penduduk, berarti kematian bagimu." Prajurit siap siaga menunggu perintah. "Bumi jadi saksi bahwa siang ini kampung ini menjadi daerah tak bertuan," kata Banga. "Cukup sampai di sini kalian menghirup udara bebas." Kepala kampung tertawa melecehkan. "Ucapanmu keren sekali. Aku ingin tahu apakah kepandaianmu sekeren ucapanmu." "Kepandaianku biasa-biasa saja. Aku kira tidak perlu ilmu tinggi untuk melenyapkan cecunguk macam kalian." "Serang...!" Sepuluh prajurit bersenjata tombak maju menyerang. Banga mencabut pedang dan melakukan beberapa gerakan. Sepuluh prajurit itu bertumbangan, tewas seketika. Kelompok kedua maju dan bernasib sama, mereka tewas tanpa sempat mencabut senjata. Kelompok ketiga juga bernasib tragis. Mereka tewas dalam segebrakan. "Aku baru melihat pedang terbuat dari perunggu tapi lebih atos dari baja," kata komandan legiun. "Tombak prajurit sena merupakan campuran besi dan baja, tombak terbaik dari Han Timur, dengan gampangnya dipatahkan." "Ilmu pedangnya aneh," ujar ketua pendekar. "Apakah ia ksatria dari Han Timur?" "Pemuda itu bernama Banga Adikara," tukas kepala kampung. "Ahli ilmu kehidupan, ia menempuh pendidikan di Han Timur. Klan Adikara yang tersisa dan menjadi tugas kalian untuk melenyapkan." Ketua pendekar tersenyum dengan congkak. Pedangnya terbuat dari emas murni. Mana mungkin kalah dengan pedang perunggu! Ia menjadi ketua pendekar karena pedangnya. Sekali tebas leher kerbau langsung putus saking tajamnya. Kecongkakan pria separuh baya itu telah menutup matanya akan ketinggian ilmu yang diperlihatkan Banga. Puluhan prajurit sena terkapar mati dalam beberapa gebrakan. "Ksatria perang bukan keahlian pemuda itu, jadi wajar ilmu pedangnya aneh," ucap kepala kampung. "Ia akan menjadi cendekiawan termasyhur jika menerima pinangan gusti ratu. Bodohnya ia memilih kematian." Kepala kampung menganggap remeh kemampuan Banga. Sehebat-hebatnya pemuda itu pasti akan mati juga melawan ratusan penjaga keamanan kampung. "Biarlah ia bersenang-senang dahulu." Kepala kampung seharusnya menaruh kepedulian melihat korban semakin banyak berjatuhan. Banga menghukum mereka tanpa ampun. Perbuatan mereka sudah melampaui iblis. Korban bergeletakan di halaman, bahkan terinjak oleh prajurit yang mengepung Banga. Mereka sama sekali tidak menghormati mayat kawannya. "Majulah kalian semua!" geram Banga dengan mata menyala-nyala dibakar dendam. "Kalian harus membayar kebiadaban kalian kepada klan Adikara!" "Kau tidak akan selamat!" teriak komandan legiun. "Menyerahlah! Aku akan mengajukan ampunan pada gusti ratu!" "Mintalah ampun untuk diri sendiri!" Banga melompat ke udara lalu berguling beberapa kali dan hinggap di bahu prajurit, bergerak dari satu bahu ke bahu lainnya sambil membabatkan pedang ke prajurit yang menyerangnya. Korban bergelimpangan, darah berceceran, bahkan banyak prajurit belum menghunuskan tombak sudah meregang nyawa, tanah berubah merah berbau amis. Pedang kalkolitik menari-nari menebas musuh yang seakan tidak ada habisnya. Para prajurit sena berkepandaian cukup tinggi, tapi bukan lawan berbahaya bagi Banga. "Prajurit yang mati sudah lebih dari separuh," kata kepala kampung. "Orang-orangmu sudah saatnya turun tangan." Ketua pendekar memerintahkan beberapa anak buahnya untuk maju. Mereka berlompatan ke halaman mengepung Banga. Prajurit mundur membentuk lingkaran dengan tombak terhunus. Menutup celah bagi Banga untuk kabur. "Kalian sudah tidak sabar ingin buru-buru mati," ucap Banga dingin. "Padahal seorang pun tidak akan kubiarkan lolos dari rumah terkutuk ini." "Jangan berbual setinggi langit," sergah ketua pendekar. "Kakimu masih berpijak di bumi. Lihatlah sekeliling, tak ada jalan untuk melarikan diri. Menyerah adalah pilihan terbaik bagimu." Banga mendengus sinis. "Janganlah berandai-andai. Aku akan pergi setelah membinasakan manusia keparat seperti kalian." "Cincang pemuda itu...!" Para pendekar menyerbu dengan berbagai senjata pusaka. Banga meladeni mereka. Trang! Trang! Terdengar bunyi bentrokan pedang kalkolitik dengan senjata pusaka mereka. Krak! Krak! Senjata pusaka mereka patah terbabat pedang. Kemudian pemiliknya bertumbangan dengan luka di dada atau leher. "Apakah benar pemuda itu adalah Banga Adikara?" pandang kepala kampung tak percaya. "Bagaimana seorang ahli kehidupan bisa menjadi ahli pedang?" Ketua pendekar menjawab dengan enteng, "Pemuda itu hanya beruntung."Debu beterbangan di udara laksana asap membumbung. Lima ratus prajurit kotaraja memacu kuda dengan cepat, mereka mengenakan zirah serta bersenjata tombak dan panah.Pasukan itu dipimpin seorang jendral perang, turut bersamanya dua puluh tokoh silat istana dengan berbagai senjata pusaka.Kuda berlari melambat mendekati rumah kepala kampung. Jendral perang memberi isyarat untuk berhenti saat tiba di pintu benteng yang rusak parah."Aku belum pernah melihat pemandangan keji sebelumnya," kata jendral perang marah. Matanya memandang nanar mayat yang bergeletakan di halaman. "Prajuritku di perlakukan secara hina dina."Belasan mayat di dekat pintu gerbang diguyur air comberan sehingga penuh lumpur dan berbau busuk, bahkan di beberapa mayat terdapat tinja."Kau jendral munafik!" seru Banga, yang berdiri dengan gagah di beranda sambil menggenggam pedang kalkolitik. "Kau berperan serta dalam pembantaian klan Adikara! Mereka dibunuh secara biadab! Kebiadaban kalian tidak pernah dilakukan makhlu
Komandan legiun berkeringat dingin melihat seluruh pendekar dan prajurit bergelimpangan di halaman. Penduduk bahkan meludahi beberapa mayat yang semasa hidupnya sangat kejam menindas rakyat.Komandan legiun menyesal membiarkan kepala pengawal pergi ke dalam rumah. Tapi ia tidak gentar, ia mencabut pedang komando untuk bertarung sampai mati."Kau bukan ksatria," geram komandan legiun. "Kau iblis yang haus darah. Apakah hanya kematian yang ada di pikiranmu?""Hukuman bagi kaki tangan istana adalah kematian," tegas Banga. "Untukmu aku ada toleransi, kau ingin mati dengan cara apa?""Bedebah!" umpat komandan legiun dengan kemarahan memuncak. "Kau harus membayar perbuatanmu kepada anak buahku!""Aku akan membayar biaya pemakaman mereka, juga pemakaman dirimu!"Komandan legiun menyerang sambil berteriak, "Hiiaaat!"Trang! Trang!Pedang mereka bentrok menimbulkan percikan bunga api. Dua potongan pedang jatuh ke pelataran.Komandan legiun bengong sebelum akhirnya terjungkal dengan nyawa lepa
Kepala pengawal tidak peduli ksatria perang berasal dari klan mana, ia tak mungkin mampu melawan kekuatan besar istana.Legenda itu hanyalah cerita turun temurun yang entah dari mana asalnya. Kemunculan ksatria perang tidak terdapat dalam kitab kuno istana, selain pedang kalkolitik yang sangat misterius itu.Persetan dengan semua itu.Ia hanyalah pendekar bayaran yang diperintahkan melindungi keselamatan kepala kampung. Orang yang dilindungi sekarang sudah pergi ke kotaraja. Lalu apa lagi yang membuatnya perlu bertahan di rumah ini?"Aku memeriksa situasi di dalam dulu," kata kepala pengawal. "Apakah semua pelayan sudah meninggalkan rumah ini?"Kepala kampung pergi naik kereta lewat belakang rumah, membawa harta kekayaan dan beberapa perempuan peliharaan. Ia hanya menyisakan beberapa pelayan tua dan tidak berguna di ranjang."Rumah sudah kosong sebelum ksatria itu datang," kata komandan legiun. "Tinggal dua gundikmu saja. Bukankah ia diminta menunggu?"Kepala pengawal tersenyum licik.
Banga melompat terbang melewati pagar tinggi dan mendatangi sekumpulan pendekar yang menunggu di beranda. Puluhan prajurit yang berbaris siaga di halaman segera membubarkan diri dan mengepung Banga. Kepala kampung tidak kelihatan. Banga curiga ia melarikan diri. Tindakan bodoh kalau bersembunyi di dalam rumah. "Aku ingin bertemu dengan kepala kampung," kata Banga. "Adakah di antara kalian yang ingin menjelaskan?" Banga tidak mengenal kepala kampung, tapi bisa dibedakan dari pakaian ningrat yang dikenakan. Di antara mereka tidak ada yang memakai emblem istana. Banga tidak akan terpedaya jika kepala kampung berpakaian pendekar atau prajurit, karakter pemimpin congkak tidak bisa disembunyikan. "Kau tidak perlu tahu keberadaan kepala kampung," kata kepala pengawal yang berdiri di dekat komandan legiun. "Ia akan muncul untuk melihat mayatmu." Banga mendengus sinis. "Cecunguk istana itu takkan pernah melihat mayatku, selain mayat kalian." "Sombong sekali kau anak muda! Ja
Banga tidak bermaksud menyindir mereka, namun kakek bongkok mendadak berubah pikiran. Ia keluar dari antrian, matanya memandang nanar ke arah penduduk yang berduyun-duyun masuk ke halaman rumah. Mereka adalah tetangga yang setiap hari minum kopi di kedainya, dan paling gigih mengkritik kepala kampung, Hari ini mereka jadi pecundang. Takut mati, padahal kehidupan mereka sudah mati. "Kalian bodoh semua!" sergah kakek bongkok. "Untuk apa minta perlindungan pada kepala kampung yang menginginkan kematian kalian?" "Kau kesurupan apa, Ki Lontong?" tanya kakek sebaya. "Kau sering ceramah bahwa kita perlu bertahan hidup untuk membantu perjuangan. Kita menginap semalam saja di rumah kepala kampung, setelah itu mengalir lagi sumpah serapah untuknya." Ki Lontong mengetukkan tongkat ke tanah sehingga debu beterbangan dan hinggap di kakinya. Ia mendelik marah, seakan hatinya sudah tersinari cahaya perjuangan anak cucunya. "Sumpah serapah tidak akan menghentikan kepala kampu
Sebuah rumah megah dan besar dengan halaman luas dikelilingi pagar tinggi. Di pintu gerbang dua orang penjaga berwajah sangar sibuk memungut biaya untuk masuk ke rumah itu. Penduduk antri panjang. Dewasa, remaja, anak-anak, berdesak-desakan ingin segera masuk dengan wajah berpeluh. Maklumat untuk berlindung di rumah kepala kampung membuat mereka rela antri dalam panggangan matahari. Mereka tidak berani tinggal di rumah sendiri karena akan menjadi target pasukan kotaraja. "Kapan kepala kampung berbuat kebaikan untuk rakyatnya?" gerutu seorang bapak yang antri paling belakang. "Minta perlindungan saja dipungut biaya. Aku curiga ia bekerja sama dengan pasukan kotaraja." "Bukankah kongkalingkong sudah membudaya sejak Ratu Nayaka berkuasa? Aku berharap ksatria perang datang untuk menumpas kesewenang-wenangan." "Kemunculan ksatria perang hanyalah mimpi di zaman kita." "Perbuatan mereka sudah melampaui batas. Menunggu sampai kapan lagi dewa perang mengutus sang pewaris?"