Home / Pendekar / Pendekar Pedang Mirabilis / Bab 4. Rumah Terkutuk

Share

Bab 4. Rumah Terkutuk

Author: Enday Hidayat
last update Last Updated: 2025-04-04 22:35:14

Rumah itu sangat megah dengan halaman luas, dikelilingi pagar tinggi dari papan tebal.

Brak!

Banga menendang pintu gerbang sehingga palang pintu patah dan pintu terbuka lebar.

Di dalam sudah menunggu satu kompi prajurit sena dan dua puluh pendekar bayaran. Kepala kampung berdiri dengan pongah di beranda, diapit kepala legiun dan ketua pendekar.

Banga tersenyum sinis. "Bagus, kalian sudah kumpul semua, jadi aku bisa menghemat waktu."

"Berani sekali kau datang ke rumahku," kata kepala kampung. "Kau sudah dihapus dari daftar penduduk, berarti kematian bagimu."

Prajurit berbaris di halaman dan di belakangnya pendekar bayaran, siap siaga menunggu perintah.

"Bumi jadi saksi sebentar lagi kampung ini menjadi daerah tak bertuan," kata Banga. "Cukup sampai di sini kalian menghirup udara bebas."

Kepala kampung tertawa melecehkan, suara tawanya tidak enak di kuping, mirip suara kambing kecekik.

"Ucapanmu keren sekali. Aku ingin tahu apakah kepandaianmu sekeren ucapanmu."

"Aku kira tidak perlu berilmu tinggi untuk melawan cecunguk macam kalian."

"Serang!"

Sepuluh prajurit bersenjata tombak maju menyerang. Banga mencabut pedang dan melakukan beberapa gerakan.

Sepuluh prajurit itu ambruk tanpa nyawa. Kelompok kedua maju dan bernasib sama, mereka tewas dengan tombak patah terbabat pedang.

"Kalian mau mati saja sampai antri," sindir Banga sinis. "Kemampuan kalian sangat payah kebanyakan bertarung dengan perempuan sitaan."

Mereka tak segan-segan membawa istri penduduk kalau tak mampu bayar upeti. Menyita ternak dan anak gadis sudah biasa.

'Siapa lagi yang ingin mati lebih dahulu?"

Kelompok ketiga segera mencabut samurai dan maju menyerang. Mereka bernasib tragis juga, tewas dalam segebrakan dengan samurai patah dua.

"Aku baru melihat pedang perunggu lebih atos dari baja," komentar komandan legiun. "Samurai prajurit campuran besi dan baja pilihan, dengan mudahnya dipatahkan."

"Ilmu pedangnya aneh," ujar ketua pendekar. "Apakah ia belajar ilmu pedang di perguruan Wudang di Han Barat?"

"Pemuda itu bernama Banga Adikara," jelas kepala kampung. "Bangsawan ahli ilmu kehidupan, ia menempuh pendidikan di Han Timur. Klan Adikara yang tersisa dan menjadi kewajiban kalian untuk melenyapkan."

Ketua pendekar tersenyum dengan congkak. Pedangnya dari emas murni buatan juru tempa terbaik di Han Barat. Mana mungkin kalah dengan pedang perunggu!

Ia menjadi ketua pendekar karena permainan pedangnya. Sekali tebas, leher kerbau langsung putus saking tajamnya.

Kesombongan ketua pendekar telah menutup matanya akan ketinggian ilmu yang diperlihatkan Banga. Puluhan prajurit sena terkapar mati dalam beberapa gebrakan.

"Permainan pedang bukan keahlian pemuda itu, jadi wajar ilmu pedangnya aneh," ucap kepala legiun. "Ia akan menjadi cendekiawan termasyhur jika menerima pinangan gusti ratu. Bodohnya ia memilih kematian."

Kepala legiun menganggap remeh kemampuan Banga. Sehebat-hebatnya pemuda itu pasti akan mati juga melawan ratusan prajurit keamanan kampung.

"Biarlah pemuda itu bersenang-senang dahulu."

Kepala legiun seakan tidak menaruh belas kasihan kepada prajurit yang bertumbangan. Banga menghukum mereka tanpa ampun. Perbuatan mereka sudah melewati iblis.

Korban bergelimangan di halaman, beberapa terinjak oleh prajurit yang mengepung Banga. Mereka sama sekali tidak menghormati mayat kawannya.

"Kematian kalian sudah ditentukan!" geram Banga dengan mata menyala-nyala dibakar dendam. "Kalian harus membayar kebiadaban kalian kepada klan Adikara!"

"Kau tidak akan selamat, Banga!" teriak komandan legiun. "Menyerahlah! Aku akan mengajukan ampunan pada gusti ratu!"

"Ratu durjana itu yang mesti berlutut di bawah kakiku!" balik Banga murka. "Ia akan merasakan apa yang telah diperbuatnya pada ibuku!"

Banga melompat tinggi-tinggi ke udara lalu jungkir balik dan hinggap di bahu prajurit, bergerak dari satu bahu ke bahu lain sambil membabatkan pedang ke prajurit yang menyerangnya.

Korban semakin banyak berjatuhan, darah berceceran, bahkan banyak prajurit belum menghunuskan senjata sudah meregang nyawa, tanah berubah merah berbau amis.

Pedang kalkolitik menari-nari menebas musuh yang seakan tak ada habisnya. Prajurit sena berkepandaian cukup tinggi, tapi bukan lawan berbahaya bagi Banga.

"Prajurit yang mati sudah lebih dari separuh," kata kepala legiun. "Orang-orangmu sudah saatnya turun tangan."

Ketua pendekar memerintahkan beberapa anak buahnya untuk maju. Mereka berlompatan mengepung Banga, kemudian maju menerjang sambil menghunus pedang.

"Hiiaatt...!"

Banga melompat ke udara menghindari kepungan, kemudian menyabet punggung mereka, sebagian sempat menangkis, sebagian jadi korban.

"Kalian sudah tidak sabar ingin buru-buru mati," ucap Banga sambil menyerang pendekar yang datang menyerbu. "Padahal tidak akan ada yang kubiarkan lolos dari rumah terkutuk ini."

"Jangan berbual setinggi langit," sergah ketua pendekar. "Kakimu masih berpijak di bumi. Lihatlah sekeliling, prajurit sena sudah menutup jalan untuk melarikan diri. Menyerah adalah pilihan terbaik bagimu."

Banga mendengus sinis. "Janganlah berandai-andai. Aku akan pergi setelah membinasakan manusia keparat seperti kalian."

"Cincang pemuda itu!"

Pendekar yang tersisa maju menyerang dengan berbagai senjata pusaka. Banga meladeni mereka dengan gesit.

Trang! Trang!

Terdengar bunyi bentrokan pedang kalkolitik dengan senjata pusaka mereka, berisik sekali.

Krak! Krak!

Senjata pusaka mereka patah terbabat pedang. Kemudian pemiliknya bertumbangan dengan luka di dada atau leher.

"Apakah benar pemuda itu Banga Adikara?" pandang kepala kampung tak percaya. "Bagaimana seorang ahli kehidupan bisa menjadi ahli pedang?"

Ketua pendekar menjawab dengan enteng, "Pemuda itu hanya beruntung."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pendekar Pedang Mirabilis   Bab 24. Pewaris Tiga Ilmu Dewa

    Banga mewarisi empat ilmu dewa perang; Tapak Dewa, Angin Dewa, Sinar Dewa dan Mata Dewa. Mewarisi teknik pengobatan penyakit dan racun dari dewa obat, dan tujuh jurus inti Dewa Pedang: Angin Topan Menggulung Badai, Gelombang Samudera Meneguk Ombak, Bulan Sabit Menutup Matahari, Harimau Putih Menangkap Buruan, Kupu-kupu Menari Di Awan, Bintang Jatuh Di Teratak, dan Petir Membelah Hujan. Tanda-tanda pewaris tiga ilmu dewa ini sangat misterius dan mustahil terdapat pada klan Nayaka, maka beberapa abad lalu lembaran berita tentang kedatangan ksatria perang dilenyapkan dari kitab kuno istana. "Apakah pemuda itu mewarisi ilmu raja iblis?" ujar tokoh silat istana bertampang Asia Timur. "Dewa pedang hanya memiliki keunggulan senjata, ia mengalahkan ribuan musuh dengan senjata." Semua jurus sakti yang berada di muka bumi tercantum dalam kitab besar istana, maka itu Ratu Nayaka merekrut tokoh silat istana dari berbagai golongan dan memiliki jurus langka. Bahkan beberapa jurus sakti mampu m

  • Pendekar Pedang Mirabilis   Bab 23. Klan Terkuat

    "Baiklah! Aku mendatangi kalian kalau kalian ragu-ragu untuk mati!" Banga berjalan di antara mayat di halaman menghampiri pasukan kerajaan di pintu gerbang, sambil memegang pedang mirabilis. Komandan perang dan tokoh silat istana heran melihat perilakunya ini. Ksatria besar seharusnya melayang di udara dan langsung menyerang mereka. Bukan berjalan kaki seperti petani hendak pergi ke sawah. Pemuda ini kelihatannya tidak memiliki gin kang memadai. Aneh sekali. "Semakin kentara kalau kekuatan pemuda itu berada di tangannya," kata komandan perang. "Kita rebut pedang kalkolitik." "Aku kira pemuda itu hanya berpura-pura," ujar Jagapati. "Ia ingin menghabisi prajurit dengan cara berbeda. Kau lihat ia tidak meninggalkan jejak di tanah berdebu. Ia tidak benar-benar menginjak bumi." "Kita habisi ksatria itu lebih dahulu." Komandan perang lompat dari kuda dengan jungkir balik di udara, lalu berdiri di halaman menghadang Banga. Jagapati dan beberapa tokoh silat istana istana menyusul deng

  • Pendekar Pedang Mirabilis   Bab 22. Simbol Kekuasaan Langit

    Debu beterbangan di udara laksana asap membumbung. Satu batalyon prajurit kotaraja memacu kuda dengan cepat, mereka mengenakan zirah serta bersenjata samurai dan panah. Pasukan kotaraja dipimpin seorang komandan perang, turut bersamanya dua puluh tokoh silat istana dengan berbagai senjata pusaka. Kuda berlari melambat mendekati rumah kepala kampung. Komandan perang memberi isyarat untuk berhenti saat tiba di pintu benteng yang rusak parah. "Aku belum pernah melihat pemandangan keji sebelumnya," kata komandan perang marah. Matanya memandang nanar pada mayat yang bergeletakan di halaman. "Prajuritku di perlakukan secara hina dina." Belasan mayat di dekat pintu gerbang diguyur air comberan sehingga penuh lumpur dan berbau busuk, bahkan di muka beberapa mayat terdapat tinja. "Kau komandan perang munafik!" seru Banga, yang berdiri dengan gagah di beranda sambil menggenggam pedang kalkolitik. "Kau berperan aktif dalam pembantaian klan Adikara di kadipaten ini! Mereka dibunuh secara biad

  • Pendekar Pedang Mirabilis   Bab 21. Berjuang Di Kemudian Hari

    Komandan legiun berkeringat dingin melihat seluruh pendekar dan prajurit bergelimangan darah di halaman, tewas secara mengenaskan. Penduduk meludahi beberapa prajurit yang sekarat dan menginjaknya hingga mati, semasa hidupnya mereka sangat kejam menindas rakyat. Komandan legiun menyesal membiarkan kepala pengawal pergi ke dalam rumah mencari harta yang tertinggal. Tapi ia tidak gentar, ia mencabut pedang komando untuk bertarung sampai mati. "Kau bukan ksatria sejati," geram komandan legiun. "Kau iblis yang haus darah. Apakah hanya kematian yang ada di pikiranmu?" "Hukuman bagi kaki tangan istana adalah kematian," tegas Banga dingin. "Untukmu aku ada toleransi, kau ingin mati dengan cara apa?" "Bedebah!" umpat komandan legiun dengan kemarahan memuncak. "Kau harus membayar perbuatanmu kepada anak buahku!" "Aku akan membayar biaya pemakaman mereka, juga pemakaman dirimu!" Banga meminta Abiyasa mengurus pemakaman korban untuk mencegah penyakit menular dari bangkai yang tergeletak.

  • Pendekar Pedang Mirabilis   Bab 20. Sudah Terlambat

    Kepala pengawal tidak peduli ksatria perang berasal dari klan mana, ia tak mungkin mampu melawan kekuatan besar istana. Legenda itu hanyalah cerita turun temurun yang entah dari mana asalnya. Kemunculan ksatria perang tidak terdapat dalam kitab kuno Jawa Dwipa, selain pedang kalkolitik yang sangat misterius itu. Ia adalah pendekar bayaran yang bertugas melindungi keselamatan kepala kampung. Orang yang perlu dilindungi sekarang sudah pergi ke kotaraja. Buat apa lagi bertahan di rumah ini? "Aku memeriksa situasi di dalam dulu," kata kepala pengawal. "Apakah semua pelayan sudah meninggalkan rumah ini?" Kepala kampung pergi naik kereta lewat gerbang belakang, membawa harta kekayaan dan beberapa perempuan peliharaan. Ia hanya menyisakan pelayan tua dan tidak berguna di ranjang. "Rumah sudah kosong sebelum ksatria itu datang," kata komandan legiun. "Tinggal dua gundikmu saja. Bukankah ia diminta menunggu?" Kepala pengawal tersenyum licik. "Kau memerintahkan mereka tinggal karena kau ja

  • Pendekar Pedang Mirabilis   Bab 19. Bukan Ahli Pedang

    Banga melompat terbang melewati pagar tinggi dan mendatangi sekumpulan pendekar yang menunggu di beranda. Puluhan prajurit yang berbaris siaga di halaman segera membubarkan diri dan mengepung Banga dengan bersenjatakan tombak. Kepala kampung tidak kelihatan. Banga curiga ia melarikan diri. Tindakan bodoh kalau bersembunyi di dalam rumah. "Aku ingin bertemu dengan kepala kampung," kata Banga. "Adakah di antara kalian yang ingin menjelaskan?" Banga tidak mengenal kepala kampung, tapi bisa dibedakan dari pakaian ningrat yang dikenakan. Di antara mereka tidak ada yang memakai emblem istana. Banga tidak akan teperdaya jika kepala kampung berpakaian pendekar atau prajurit, karakter pemimpin congkak bisa dibedakan. "Kau tidak perlu tahu keberadaan kepala kampung," kata kepala pengawal yang berdiri di dekat komandan legiun. "Ia akan muncul untuk melihat mayatmu." Banga mendengus sinis. "Cecunguk istana itu takkan pernah melihat mayatku, selain mayat penjilat." "Sombong sekali k

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status