Beranda / Pendekar / Pendekar Pedang Mirabilis / Bab 5. Menutup Pintu Pertaubatan

Share

Bab 5. Menutup Pintu Pertaubatan

Penulis: Enday Hidayat
last update Terakhir Diperbarui: 2025-04-04 23:59:54

Sasaran pedang kalkolitik bukan hanya pendekar yang mengepung Banga, juga prajurit terdekat yang berusaha menyerang dengan tombak.

Mereka begitu sulit menembus pertahanan Banga, padahal ilmu pedangnya biasa saja, bahkan terlihat aneh.

Mereka tidak mengenali jurus pedang kalkolitik, jurus itu dinyatakan punah di abad permulaan.

"Kepandaian Banga di luar perkiraan kita," ucap komandan legiun. "Ilmu pedangnya luar biasa."

Ketua pendekar pun mulai mengakui kehebatan permainan pedang Banga.

"Kita kurang jauh berkelana," kata ketua pendekar. "Kita tidak mengetahui ada ksatria mempunyai ilmu pedang aneh."

"Banga berasal dari klan Adikara, klan itu banyak melahirkan cendekiawan, bukan ksatria perang," tukas kepala kampung. "Kau sudah merekrut pendekar bodoh, meringkus seorang bocah saja tidak mampu."

Kepala kampung sudah membayar mahal mereka untuk menjaga keamanan dirinya. Ketika muncul seorang pengacau, mereka kewalahan. Payah.

Kepala kampung menganggap bantuan prajurit dari istana kurang memadai, maka itu ia menyewa jasa pendekar.

"Aku minta kalian segera turun ke gelanggang," ujar kepala kampung. "Orang kita bisa habis kalau dibiarkan."

Ketua pendekar mencabut pedang emas. Senjata pusaka yang sudah memakan banyak korban.

Komandan legiun menghunus samurai. Pedang panjang terbuat dari baja pilihan.

Mereka melompat ke udara dan berguling beberapa kali lalu turun di hadapan Banga.

"Kalian tidak perlu menghampiriku," kata Banga sinis. "Aku akan datang untuk mengambil nyawa kalian."

"Mereka bukan tandinganmu," kata ketua pendekar. "Mereka orang-orang bodoh."

"Kalian berdua juga orang bodoh," tukas Banga. "Aku menunda kematian kalian, kalian minta dipercepat."

"Bedebah...!"

Ketua pendekar segera maju dan memainkan jurus pedang yang dahsyat. Kepala legiun menyerang dari arah lain. Banga melayani dengan tenang.

Sesekali Banga membabat prajurit yang menyerang dengan tombak, dan menghantam pendekar dengan gagang pedang.

Komandan legiun merasakan getaran hebat setiap kali senjata mereka bentrok. Ia menjadi korban pertama keganasan pedang kalkolitik, rompi besinya robek dan nyawanya melayang.

"Aku belum pernah melihat jurus pedangmu," kata ketua pendekar, tanpa terpengaruh kematian komandan legiun. "Apakah kau belajar dari orang gila? Ilmu pedangmu aneh sekali."

"Ilmu pedangku terlihat aneh bagi cecunguk yang sebentar lagi menjemput kematian."

"Jangan menghina kemampuanku!" geram ketua pendekar. "Ksatria terakhir kepalanya tanggal karena tidak menjaga mulutnya!"

Banga meningkatkan serangan. Ketua pendekar sibuk menangkis. Dalam satu bentrokan, pedang emas terlepas dan terlepas pula nyawa dari raganya dengan kepala hampir putus.

"Maju semua!" teriak kepala kampung. "Cincang pemuda itu!"

Pendekar dan prajurit menyerbu secara bergelombang. Banga beberapa kali melompat ke udara menghindari kepungan dan hinggap di pundak prajurit, sehingga senjata mereka mengenai kawan sendiri.

Seorang pendekar mencecar Banga dengan bola berduri. Senjata itu memakan korban beberapa prajurit.

"Goblok!" maki kepala kampung. "Kau membunuh kawan sendiri!"

Banga melompat dari satu pundak ke pundak prajurit lain. Prajurit yang dipijaknya jadi korban serangan nyasar.

Kadang Banga menginjak kepala prajurit untuk titian meladeni para pendekar.

Ada pendekar nekat mengambil pijakan kepala prajurit, namun dalam segebrakan sudah tumbang ke tanah.

"Kalian adalah orang-orang yang tidak termaafkan!" teriak Banga menggelegar. "Aku sudah menutup pintu pertaubatan untuk kalian!"

Pedang Banga meliuk-liuk mencari mangsa laksana elang di antara sekumpulan anak ayam.

Kepala kampung mulai gentar melihat prajurit sena dan pendekar tinggal beberapa puluh saja.

Pria separuh baya itu mulai memikirkan jalan kabur, dan ia perlu membawa harta kekayaan.

"Orang-orangku akan tewas semua," keluh kepala kampung bingung. "Pedang yang dipegang Banga seolah bermata, mampu menangkis serangan dari berbagai arah."

Beberapa prajurit melemparkan tombak ke arah Banga, pemuda itu melompat ke udara dan tombak menancap di dada beberapa kawannya.

Banga membabat para prajurit yang melakukan serangan gelap itu, perlawanan prajurit pun berakhir, tinggal menyisakan beberapa pendekar.

Kepala kampung segera masuk ke rumah untuk mengambil harta benda yang dapat dibawa. Ia berniat untuk kabur sebelum para pendekar itu tewas.

"Kau mau lari ke mana keparat?" geram Banga. "Kesempatanmu untuk hidup sudah habis."

Banga melakukan beberapa gerakan salto di udara hendak mengejar kepala kampung, para pendekar memburu dan menghadangnya.

Banga terpaksa melayani mereka. Beberapa pendekar itu berkepandaian tinggi, mereka mampu menghindari ancaman pedang kalkolitik, namun kematian hanya soal waktu.

Perlawanan selesai begitu kepala kampung muncul dari dalam rumah bersama sembilan perempuan muda dan beberapa kotak harta.

"Kalau aku mengatakan batas hidupmu sampai hari ini, maka harakiri lebih baik bagimu," kata Banga sinis. "Kehormatanmu di neraka akan terjaga."

Kepala kampung adalah penjilat istana, tidak mempunyai ilmu bela diri. Ketika para pengawal tidak mampu melindungi keselamatannya, maka bersujud untuk mencari selamat perlu dilakukan.

Kepala kampung memerintahkan semua istrinya untuk berbuat hal yang sama.

"Ampuni kami, Banga," ratap kepala kampung sambil bersujud berulang kali. "Aku tidak terlibat dalam pemusnahan klan Adikara. Aku sendiri mengutuk kekejian prajurit istana."

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Pendekar Pedang Mirabilis   Bab 22. Simbol Kekuasaan Langit

    Debu beterbangan di udara laksana asap membumbung. Lima ratus prajurit kotaraja memacu kuda dengan cepat, mereka mengenakan zirah serta bersenjata tombak dan panah.Pasukan itu dipimpin seorang jendral perang, turut bersamanya dua puluh tokoh silat istana dengan berbagai senjata pusaka.Kuda berlari melambat mendekati rumah kepala kampung. Jendral perang memberi isyarat untuk berhenti saat tiba di pintu benteng yang rusak parah."Aku belum pernah melihat pemandangan keji sebelumnya," kata jendral perang marah. Matanya memandang nanar mayat yang bergeletakan di halaman. "Prajuritku di perlakukan secara hina dina."Belasan mayat di dekat pintu gerbang diguyur air comberan sehingga penuh lumpur dan berbau busuk, bahkan di beberapa mayat terdapat tinja."Kau jendral munafik!" seru Banga, yang berdiri dengan gagah di beranda sambil menggenggam pedang kalkolitik. "Kau berperan serta dalam pembantaian klan Adikara! Mereka dibunuh secara biadab! Kebiadaban kalian tidak pernah dilakukan makhlu

  • Pendekar Pedang Mirabilis   Bab 21. Berjuang Di Kemudian Hari

    Komandan legiun berkeringat dingin melihat seluruh pendekar dan prajurit bergelimpangan di halaman. Penduduk bahkan meludahi beberapa mayat yang semasa hidupnya sangat kejam menindas rakyat.Komandan legiun menyesal membiarkan kepala pengawal pergi ke dalam rumah. Tapi ia tidak gentar, ia mencabut pedang komando untuk bertarung sampai mati."Kau bukan ksatria," geram komandan legiun. "Kau iblis yang haus darah. Apakah hanya kematian yang ada di pikiranmu?""Hukuman bagi kaki tangan istana adalah kematian," tegas Banga. "Untukmu aku ada toleransi, kau ingin mati dengan cara apa?""Bedebah!" umpat komandan legiun dengan kemarahan memuncak. "Kau harus membayar perbuatanmu kepada anak buahku!""Aku akan membayar biaya pemakaman mereka, juga pemakaman dirimu!"Komandan legiun menyerang sambil berteriak, "Hiiaaat!"Trang! Trang!Pedang mereka bentrok menimbulkan percikan bunga api. Dua potongan pedang jatuh ke pelataran.Komandan legiun bengong sebelum akhirnya terjungkal dengan nyawa lepa

  • Pendekar Pedang Mirabilis   Bab 20. Sudah Terlambat

    Kepala pengawal tidak peduli ksatria perang berasal dari klan mana, ia tak mungkin mampu melawan kekuatan besar istana.Legenda itu hanyalah cerita turun temurun yang entah dari mana asalnya. Kemunculan ksatria perang tidak terdapat dalam kitab kuno istana, selain pedang kalkolitik yang sangat misterius itu.Persetan dengan semua itu.Ia hanyalah pendekar bayaran yang diperintahkan melindungi keselamatan kepala kampung. Orang yang dilindungi sekarang sudah pergi ke kotaraja. Lalu apa lagi yang membuatnya perlu bertahan di rumah ini?"Aku memeriksa situasi di dalam dulu," kata kepala pengawal. "Apakah semua pelayan sudah meninggalkan rumah ini?"Kepala kampung pergi naik kereta lewat belakang rumah, membawa harta kekayaan dan beberapa perempuan peliharaan. Ia hanya menyisakan beberapa pelayan tua dan tidak berguna di ranjang."Rumah sudah kosong sebelum ksatria itu datang," kata komandan legiun. "Tinggal dua gundikmu saja. Bukankah ia diminta menunggu?"Kepala pengawal tersenyum licik.

  • Pendekar Pedang Mirabilis   Bab 19. Pewaris Dewa Perang

    Banga melompat terbang melewati pagar tinggi dan mendatangi sekumpulan pendekar yang menunggu di beranda. Puluhan prajurit yang berbaris siaga di halaman segera membubarkan diri dan mengepung Banga. Kepala kampung tidak kelihatan. Banga curiga ia melarikan diri. Tindakan bodoh kalau bersembunyi di dalam rumah. "Aku ingin bertemu dengan kepala kampung," kata Banga. "Adakah di antara kalian yang ingin menjelaskan?" Banga tidak mengenal kepala kampung, tapi bisa dibedakan dari pakaian ningrat yang dikenakan. Di antara mereka tidak ada yang memakai emblem istana. Banga tidak akan terpedaya jika kepala kampung berpakaian pendekar atau prajurit, karakter pemimpin congkak tidak bisa disembunyikan. "Kau tidak perlu tahu keberadaan kepala kampung," kata kepala pengawal yang berdiri di dekat komandan legiun. "Ia akan muncul untuk melihat mayatmu." Banga mendengus sinis. "Cecunguk istana itu takkan pernah melihat mayatku, selain mayat kalian." "Sombong sekali kau anak muda! Ja

  • Pendekar Pedang Mirabilis   Bab 18. Ingin Mati Di Rumah Sendiri

    Banga tidak bermaksud menyindir mereka, namun kakek bongkok mendadak berubah pikiran. Ia keluar dari antrian, matanya memandang nanar ke arah penduduk yang berduyun-duyun masuk ke halaman rumah. Mereka adalah tetangga yang setiap hari minum kopi di kedainya, dan paling gigih mengkritik kepala kampung, Hari ini mereka jadi pecundang. Takut mati, padahal kehidupan mereka sudah mati. "Kalian bodoh semua!" sergah kakek bongkok. "Untuk apa minta perlindungan pada kepala kampung yang menginginkan kematian kalian?" "Kau kesurupan apa, Ki Lontong?" tanya kakek sebaya. "Kau sering ceramah bahwa kita perlu bertahan hidup untuk membantu perjuangan. Kita menginap semalam saja di rumah kepala kampung, setelah itu mengalir lagi sumpah serapah untuknya." Ki Lontong mengetukkan tongkat ke tanah sehingga debu beterbangan dan hinggap di kakinya. Ia mendelik marah, seakan hatinya sudah tersinari cahaya perjuangan anak cucunya. "Sumpah serapah tidak akan menghentikan kepala kampu

  • Pendekar Pedang Mirabilis   Bab 17. Untuk Apa Bernafas

    Sebuah rumah megah dan besar dengan halaman luas dikelilingi pagar tinggi. Di pintu gerbang dua orang penjaga berwajah sangar sibuk memungut biaya untuk masuk ke rumah itu. Penduduk antri panjang. Dewasa, remaja, anak-anak, berdesak-desakan ingin segera masuk dengan wajah berpeluh. Maklumat untuk berlindung di rumah kepala kampung membuat mereka rela antri dalam panggangan matahari. Mereka tidak berani tinggal di rumah sendiri karena akan menjadi target pasukan kotaraja. "Kapan kepala kampung berbuat kebaikan untuk rakyatnya?" gerutu seorang bapak yang antri paling belakang. "Minta perlindungan saja dipungut biaya. Aku curiga ia bekerja sama dengan pasukan kotaraja." "Bukankah kongkalingkong sudah membudaya sejak Ratu Nayaka berkuasa? Aku berharap ksatria perang datang untuk menumpas kesewenang-wenangan." "Kemunculan ksatria perang hanyalah mimpi di zaman kita." "Perbuatan mereka sudah melampaui batas. Menunggu sampai kapan lagi dewa perang mengutus sang pewaris?"

  • Pendekar Pedang Mirabilis   Bab 16. Bukan Menjemput Kematian

    Banga memutuskan untuk tinggal beberapa waktu di kampung ini. Ia memperkirakan prajurit kerajaan akan mengobrak-abrik rumah penduduk jika menemukan para petani muda itu sudah melarikan diri. Adipati terlalu menganggap enteng. Ia hanya mengirimkan pasukan reguler dan komandan peleton berkemampuan standar untuk menangkap dirinya. Kampung ini berbatasan dengan kota kadipaten. Tidak banyak prajurit ditempatkan di kedukuhan, juga beberapa tokoh silat saja, kebanyakan pendekar lokal. "Aku pergi ke rumah kepala kampung lebih dahulu," kata Banga. "Aku kira ia sudah mendapat kabar tentang peristiwa di perbatasan ini." Banga tidak meminta Abimanyu untuk kembali jika kampung ini berhasil ditaklukkan. Ia ingin menyerahkan kepada tokoh kampung untuk mengelola. Berani menentang kehendaknya, berarti siap menjadi korban pedang kalkolitik. Mereka mesti diancam agar berani menegakkan kebenaran dan keadilan. Mereka sudah saatnya bangkit untuk merobohkan tirani. Hidup dalam ketakutan tak

  • Pendekar Pedang Mirabilis   Bab 15. Menjadi Musuh Rahasia

    Mihira protes. "Jangan asal. Bagaimana kau menyebut mereka pengkhianat? Mereka sudah bersamaku sejak di Han Barat." Mihira menganggap Banga sudah dibutakan dendam. Ia menjatuhkan hukuman mati secara serampangan. Sepasang pengantin baru itu maniak bercinta. Mereka akan bercinta di mana saja jika muncul hasrat. Kebiasaan di Han Barat terbawa pulang ke Salakanagara. Mereka bahkan pernah berbuat di semak-semak tanpa peduli situasi. Mereka jatuh sakit jika libido tak tersalurkan. "Menurut tabib Han Barat, mereka memiliki kelainan. Sebagian anak muda di perkotaan Salakanagara juga mengalami gejala serupa." Banga tersenyum dingin. "Jangan meyakinkan diriku dengan mencatut tabib asing. Mereka bukan klan Adikara. Kau sudah tertipu." "Mereka tinggal di kotaraja," sanggah Mihira. "Jadi kau tidak mengenal mereka." "Aku sangat mengenal budaya klan Adikara, meski tidak mengenal orangnya. Anak muda klan Adikara tidak pernah memanggil tuan kepada pemuda seusia." Mihira terdiam.

  • Pendekar Pedang Mirabilis   Bab 14. Biarlah Takdir Bercerita

    Mihira memandang sedih. Ia sama sekali tak menyangka akan mendengar jawaban yang membuat kemarau hatinya. Padahal ia ingin melaksanakan amanah terakhir orang tuanya. Perkawinan bukan duri untuk perjuangan. Menggulingkan Ratu Nayaka butuh kekuatan besar. Mustahil berjuang sendiri. Hanya mengantarkan nyawa pada tiang gantungan. "Aku tahu di antara kita tidak ada cinta," kata Mihira kelu. "Sejak kecil di hati kita hanya ada rasa persahabatan. Aku berusaha menyingkirkan rasa itu untuk menghibur orang tuaku di alam langgeng." "Aku bukan menolak perjodohan kita," elak Banga tidak enak. "Aku menghormati perjanjian orang tua kita. Namun mengertilah, pedang mirabilis menuntut aku untuk menjadi ksatria perang." "Tiada larangan bagi ksatria perang untuk berumah tangga. Bukankah semakin banyak istri semakin menunjukkan kebesaran namamu?" Istri adalah lambang kebesaran pada abad pertengahan. Semakin banyak istri semakin tinggi derajat suami. Kebesaran nama lelaki dilihat dari berapa

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status