Share

Kabur

Author: Moore
last update Last Updated: 2021-08-02 15:09:37

“Serahkan pemuda itu atau kalian semua akan kubunuh!”

Wusasena, ketua perguruan Elang Hitam, datang membawa ratusan pasukannya. Semuanya merupakan pendekar tingkat langit dan memiliki kanuragan melebihi manusia pada umumnya.

Kepala desa keluar dan berteriak lebih keras lagi. “Asoka adalah anak emas kami. Kami tidak akan menyerahkannya begitu saja.”

“Jangan gegabah! Kami bisa membunuh kalian dalam hitungan menit. Jika kalian tidak mau memberikannya, kami akan menggunakan cara kekerasan untuk mendapatkannya!”

“Kami akan melindungi Asoka walau harus mempertaruhkan nyawa kami!”

“Serang desa itu!” Wusasena memerintah murid-muridnya bergerak memborbardir desa.

Puluhan pendekar bergerak. Mereka membawa senjata masing-masing. Tombak, pedang, dan golok sudah disiapkan jauh-jauh hari untuk penyerangan itu.

Beberapa turun, tapi sebagian besar tetap menunggu di atas. Mereka adalah pasukan pemanah yang mendapat tugas khusus mengincar kepala Asoka Basundara.

Ada lima tingkatan kekuatan dalam dunia pendekar. Tingkat tanah adalah tingkat paling lemah. Tingkatan ini biasa digunakan untuk menyebut manusia yang tidak pernah mendalami ilmu persilatan. Sedangkan tingkat bumi adalah tingkatan kedua.

Tingkat bumi dikhususkan bagi pendekar yang hafal semua gerakan dasar dan kuda-kuda pendekar.

Kepala desa dan pasukan Elang Hitam lain masih ada di tingkatan pendekar langit. Mereka hanya menguasai beberapa jurus yang sering digunakan dalam pertarungan. Gelar itu juga disematkan pada mereka yang menguasai aliran senjata tertentu, seperti pedang, pisau, panah, dan sebagainya.

Wusasena merupakan pendekar tingkat kahyangan. Kekuatannya jauh melampaui pendekar langit. Konon, dibutuhkan waktu 20 tahun agar bisa mencapai tingkatan itu. Tidak sembarang orang bisa mencapainya.

Terakhir, ada pendekar tingkat naga, tingkatan tertinggi dari semua pendekar di dunia.

Mereka adalah pendekar dengan kekuatan dahsyat yang bisa menghancurkan desa dalam satu gerakan. Mereka memiliki energi super dahsyat. Bahkan kedahsyatannya bisa mengguncang langit dan bumi.

Sebenarnya ada satu tingkat lagi, tapi sejauh ini yang bisa meraihnya hanya Bhagawad Gita. Tingkatan khusus bagi mereka yang terpilih menjadi anak dalam ramalan.

Karena itulah, para warga rela mengorbankan semua yang mereka punya demi melindungi Asoka Basundara. Mereka tahu akan ramalan itu dan sudah menunggunya dalam waktu yang sangat lama.

Darmono diminta kepala desa membawa anaknya kabur. Darmono mengangguk pelan. “Mereka tahu anakku memiliki kelebihan yang tidak dimiliki pendekar lain. Mereka mengincar kekuatannya.”

Kepala desa mulai sesenggukan. “Berjanjilah padaku kau akan membawanya ke tempat aman!”

“Aku dan warga desa lain akan berusaha sekuat mungkin menahan pasukan musuh. Kami tahu kemungkinan menangnya nol persen. Tapi itu lebih baik karena kami bisa mengulur waktu agar anakmu bisa melarikan diri ke tempat yang lebih aman!”

Darmono meneteskan air mata. Dia terharu melihat perjuangan warga. “Kalian sangat baik…”

“Cepatlah pergi, sudah tidak ada waktu lagi!” ucap kepala desa.

“Kalian akan menjadi bagian terbaik dalam hidupku. Anakku akan terus mengingatnya. Jasa kalian tidak akan pernah dia lupakan. Terima kasih karena telah mengorbankan diri demi anakku. Selamat berjuang, semoga Dewata memberkati kalian.”

“Anggap saja ini permintaan terakhir kami setelah 13 tahun yang indah Asoka, juga semua keberuntungan yang dia bawa. Kumohon, cepatlah pergi!”

Darmono mengangguk, menarik tangan anaknya dan mengajaknya lari ke ujung desa. Dia bingung, kenapa desanya diserang dan dia dipaksa ikut bersama orang-orang Elang Hitam.

Peperangan antar warga desa Buncitan dan orang-orang Elang Hitam berlangsung sengit.

Suara desingan besi terdengar nyaring di telinga. Belasan burung gagak sudah bertengger di ranting-ranting pohon, sedang asyik memantau calon makanan mereka. Nampaknya gagak itu paham, pertempuran ini menimbulkan banyak korban jiwa.

Tangis dan tawa bercampur menjadi satu. Desa yang dulunya tenteram berubah menjadi lautan darah. Mayat berjatuhan di mana-mana. Beberapa bahkan mati dengan kondisi mengenaskan. Tangan terpisah dari badan, atau bahkan badan mereka terbelah jadi dua.

Dalam waktu singkat, Wusasena berhasil membunuh belasan warga yang melawan dengan tombak dan pedang. Permainan pedangnya yang sulit ditebak membuat para warga kewalahan menghadapinya.

Padahal itu baru permainan pedang, belum melawan jurus-jurus Wusasena!

Kepala desa duduk bersila di balai desa, memfokuskan energinya di mulut. Telepati dilakukan untuk memanggil Waluyo, pendekar penjaga desa yang sedang bertapa di goa sebelah Utara desa.

“Waluyo, kemarilah! Desa sedang membutuhkan bantuanmu!”

“Baik, Kisanak, aku berangkat saat ini juga.”

“Terima kasih.”

Waluyo melesat dengan bantuan ilmu meringankan tubuh. Ilmu itu bisa menghilangkan beban di tubuh kita hingga kita bisa bergerak belasan kali lebih cepat dari manusia pada umumnya.

Ilmu meringankan tubuh bisa dikuasai oleh semua pendekar, namun hanya pendekar tertentu yang berhasil menguasainya sampai tahap akhir. Rumornya, sudah ribuan pendekar mati karena memaksakan diri menempuh ujian demi bisa menguasai ilmu meringankan tubuh tingkat akhir.

Tidak sampai satu menit, Waluyo sudah sampai di desa. Energinya banyak terkuras karena dia terus-terusan menggunakan ilmu meringankan tubuh.

Wusasena melihat pendekar ikat kepala merah itu dari kejauhan. “Akhirnya kau pulang ke kampung halamanmu. Lama tidak bersua. Apa kau masih lupa bagaimana pertarungan kita dulu?”

Waluyo hanya tertawa. “Aku tidak malu mengakui bahwa kau jauh lebih kuat dariku. Tapi itu dulu, sekarang aku sudah belajar banyak hal. Kanuraganku meningkat drastis. Aku sudah menguasai jurus-jurus baru setelah latihan tiga tahun lamanya.”

“Jangan gegabah! Mustahil pendekar tingkat langit sepertimu sanggup melawan pendekar tingkat kahyangan sepertiku!”

“Kita buktikan saja,” ujar Waluyo dengan entengnya.

Melihat beberapa warga yang berhasil dikalahkan, Waluyo semakin marah dan mengeluarkan semua energi yang meluap-luap dalam tubuhnya. Kulitnya memerah karena panas yang dihasilkan. Bola-bola api keluar dari ujung jemari Waluyo.

Usai meratakan belasan pasukan Elang Hitam yang mengincar nyawa kepala desa, Waluyo segera naik ke bukit dan menantang Wusasena, mantan gurunya sendiri.

“Langit dan bumi akan jadi saksi siapa yang terkuat di Perguruan Elang Hitam!”

Pertarungan yang mampu membuat langit bumi bergetar itu berlangsung singkat. Tenaga Waluyo semakin terkuras karena harus menahan gempuran pisau api dan serangan kombinasi pedang Wusasena.

Waluyo akhirnya gugur di tangan Wusasena, lalu mayatnya dibuang ke tengah-tengah warga.”Lihat, pendekar yang selama ini kalian bangga-banggakan bisa aku kalahkan dengan mudah! Kalian tidak punya pelindung lagi. Tamatlah riwayat kalian!”

***

Sebuah kepala dilempar keras-keras menggunakan lemparan energi. Kepala itu mengenai sepasang lelaki yang berlari menjauhi desa.

“Ke-kepala siapa ini?” Asoka menutup matanya karena takut. Dia tidak berani melihat kepala yang masih mengucurkan darah segar di pangkal lehernya. “Bapak, aku takut. Itu kepala siapa?”

Darmono menghentikan langkahnya. “Ke-kepala desa sudah tiada.”

Darmono menangis sembari memangku tubuh Asoka yang masih berusia tiga belas tahun. Pria itu menangis sejadi-jadinya karena tidak tega melihat putra tunggalnya menjadi korban pembantaian.

Mengikatkan kalung berukiran elang itu ke leher Asoka, Darmono sedih karena tahu ini adalah pelukan terakhir yang akan dia berikan pada Asoka.

Erat sekali.

Asoka merasakan kesedihan yang sama. Dia melepas pelukan itu dan berdiri di samping bapaknya. Asoka ikut menangis saat tahu dia dan bapaknya tidak bisa hidup bersama lagi.

Darmono menatap anaknya lekat-lekat. “Bapak rasa kau sudah paham apa yang terjadi dan kau pasti tahu apa yang harus dilakukan di saat-saat seperti ini. Pergilah temui ibumu di ujung desa. Peluk dia, lalu pergilah ke parit yang pernah Bapak tunjukkan waktu kita berburu macan kumbang!”

Mereka berdua berpelukan di lapangan desa. Tak berselang lama, ratusan anak panah dilesatkan menuju lapangan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pendekar Pedang Naga   229. Gubuk Megah

    Kakek pertapa emosi dan menendang bokong Asoka. “Akhlakmu mbok yo dijaga! Kau ini sedang ada di rumah orang. Minimal, kau buang itu sampah pada tempatnya!”“Ma-maaf, Kek,” lirih Asoka sambil menundukkan kepala.“Maaf gundulmu! Cepat angkut semua kulit pisang itu dan buang di tempat sampah!”“Ta-tapi, Kek...”“Tidak ada tapi... cepat angkut semuanya! Aku tidak ingin melihat ladang yang selama ini kurawat jadi kotor karena kulit pisangmu!”Asoka memungut semuanya dengan wajah manyun. Moncong bibirnya tak kunjung tersenyum karena kesal dengan perilaku sang kakek.Usai mengumpulkan semua kulit pisang yang berserakan, Asoka membersihkan kotoran pisang yang menempel di sana. Dia ambil pasir dan menutup sisa-sisa pisang yang menempel di tanah. Setelah selesai, barulah Asoka kembali ke tempat si kakek.“Sudah, tunggu apa lagi? Cepat buang kulit pisang itu!”“

  • Pendekar Pedang Naga   228. Alas Lali Jiwo

    “Setan gendeng!” teriak Asoka setelah berguling menghindar. “Nggak usah sok bohongi aku! Tuyul, tuyul, mana ada tuyul dewasa! Lihat... bohong malah bikin gigimu panjang tau!”“Manusia gemblung! Takkan kubiarkan kau lolos dari sini hidup-hidup!”“Woi Genderuwo,” teriak seorang wanita cantik dari belakang, “dia itu mangsaku. Jangan mengaku-ngaku itu mangsamu!”Semua lelembut yang mengejar Asoka terdiam sejenak setelah mendengar suara Lara. Mereka sadar akan kedudukan Lara dan mempersilakan perempuan itu untuk berlari lebih dulu.Lara adalah dayang pribadi sang putri raja. Dia memiliki kelebihan dan kedudukan lebih dari pada semua lelembut yang hidup di perdesaan seperti ini. Bahkan, raja Abiyasa selalu memberikan desa ini bantuan karena Lara.Sama halnya dengan manusia, jin pun memiliki kerajaannya sendiri. Mereka punya pemimpin, selir, anak, dan rakyat. Daerah mereka juga sama dengan manusi

  • Pendekar Pedang Naga   227. Berada di Alam Siluman

    Tidak lama setelah itu, Lara masuk dengan wajah perempuan cantik. Asoka tidak tahu kalau Lara sebenarnya seorang lampir yang menyamar.“Bagaimana makanannya? Enak, kan?” tanya Lara dengan senyum mengembang tipis. Dia duduk di samping Asoka dan merangkul pinggangnya.Asoka bergidik. Baru kali ini dia berada sedekat itu dengan seorang cewek cantik. Tak ayal, tubuhnya kembali bergetar hebat.Gatra kembali mimisan hebat. Kali ini bahkan sampai muntah darah. “Bocah setan!” teriaknya, lalu pingsan karena tidak kuat menahan godaan Lara.“Ahh, jangan begitu, Nyi. Nyi Lara kan sudah punya sua-”“Panggil aku Lara,” bentak Lara dengan mata sedikit melotot.“Ba-baik, Lara. Tapi tolong singkirkan tanganmu karena aku tidak ingin membuat keributan di sini.” Asoka menurunkan tangan Lara perlahan.“Aku masih mencium bau darah di sini... jangan katakan kau tidak memakannya tadi siang!&rd

  • Pendekar Pedang Naga   226. Siluman Aneh!

    Asoka tidak menaruh curiga sedikitpun. Dia hanya mengangguk dan mengiyakan permintaan perempuan cantik di depannya. Gatra yang sadar, tidak bisa berbuat banyak.Dari sini kita tahu bahwa ingatan Gatra masih utuh. Hanya ingatan Asoka yang dihapus oleh penduduk Alas Lali Jiwo.Gatra curiga kalau Danang dan Ganang lah pelakunya. Itu terjadi saat tubuh Asoka tidak kuat menahan energi saat perpindahan dimensi dari hutan Arjuno menuju Alas Lali Jiwo.Alas Lali Jiwo, berarti hutan lupa diri. Sesuai dengan namanya, setiap orang yang sudah masuk ke dalam alas ini pasti akan mengalami kejadian seperti Asoka. Arka pun mengalami hal yang sama saat dia terjebak di sini.“I-ini apa, Nyi?” tanya Asoka lirih. Dia sedikit takut karena tidak kenal siapa perempuan di depannya.“Kau bisa panggil aku Lara... di dalam sana ada nasi dan ikan bakar yang sudah dibumbui sambal merah.”Asoka terlihat bersemangat. Setelah sekian lama dia tidak m

  • Pendekar Pedang Naga   225. Jebakan

    Beberapa menit kemudian, ada derapan kaki yang sangat cepat dari bawah gunung. Suaranya tidak terlalu kentara, tapi Gatra bisa merasakan suara itu. Dia kembali masuk ke tubuh Asoka dan memberitahu kalau ada bahaya yang datang.“Awas, ada sesuatu besar yang datang dari belakang. Dua benda, atau orang, entahlah.”Asoka diam sejenak. Dia mulai merasakan ada derapan kaki. Gandaru masih terus berjalan karena merasa Asoka berjalan mengikutinya.“Tolong, Tuan Musang!”Asoka berteriak ketika dua siluman kera membawanya. Mereka bergelantung ke arah Timur, ke arah sumber suara gamelan tadi berbunyi.Saat Asoka diculik, Gatra tiba-tiba terkunci dalam tubuh Asoka dan tidak bisa keluar. Bahkan untuk berbicara saja sangat sulit.“Ada apa ini!” Gatra berontak setelah dua besi kemerahan menghantam sayapnya.Tidak ada seorang pun yang dapat menyelamatkan Asoka.Posisi Gandaru berada jauh di belakang Danang da

  • Pendekar Pedang Naga   224. Akhir Dari Pertarungan

    Sebelum kelima bola itu mendarat, mustika merah dalam pedang raksasa kecil Asoka mengeluarkan cahaya. Pancarannya sangat hebat dan Asoka sampai-sampai menutup matanya. Tak lama, mustika merah sudah ada dalam genggaman Gatra yang masih dalam bentuk manusianya.“Guru, awas!” teriak Asoka sangat keras. Tubuhnya sudah dilapisi oleh perisai energi merah milik Gatra.Bluar!Sebuah ledakan sangat besar terjadi. Asap membumbung dan debu-debu bertebaran di mana-mana. Anak buah Gandaru terpental jauh hingga puluhan tombak. Ganang dan Ganang pun sama, mereka mencoba menahan ledakan itu, namun gagal.“Uhuk... gu-guru, uhuk...”Asoka merasakan kakinya seperti tertimpa batu raksasa. Sakit sekali. Hanya rasa tanpa luka fisik. Tapi hal tersebut cukup membuat Asoka mendesis tak henti-henti.Ledakan tersebut membuat pepohonan yang ada dalam jarak lima tombak di sekitar Gatra tumbang. Hutan tersebut menjadi gundul. Potongan batang pohon

  • Pendekar Pedang Naga   223. Asoka vs Raja Musang 3

    Para siluman anak buah Gandaru menahan tekanan tersebut. Beberapa dari mereka tumbang akibat tidak kuat menahannya. Sementara Ganang, dia menahannya dengan palu godam yang sama seperti milik kakaknya.“Sakit,” lirih Asoka saat badannya terdorong ke tanah.Gravitasi yang ditimbulkan sangatlah kuat. Selama hampir satu menit, dua siluman itu terus beradu. Hanya mereka berdua yang masih berdiri kokoh. Yang lainnya sudah dalam posisi bungkuk, duduk, dan bahkan ada yang pingsan.“Soka, kau bisa mendengar suaraku,” lirih Gatra dalam tubuh Asoka.“Benarkah itu kau, Guru?” Tanya Asoka kembali.“Entah aku harus senang atau sedih. Tapi tekanan energi ini merusak segel yang beberapa hari lalu dibentuk oleh si pertapa jenggot abu-abu.”“Maksudmu pertapa yang aku temui di gunung Welirang?”“Benar, Soka. Dia lah yang menyegelku dan membuatku tidak bisa membagi kekuatan denganmu. Aku s

  • Pendekar Pedang Naga   222. Asoka vs Raja Musang 2

    Gandaru mundur beberapa langkah. Dia mengambil jarak dari Ganang dan Danang. Tak lama, ujung dua ekornya mengeluarkan sinar merah seperti bola api.Puma merasa kalau tindakan rajanya terlalu gegabah. Jika Gandaru terpaksa melakukannya, maka hutan Arjuna yang merupakan rumah mereka akan terbakar.Melihat hal tersebut, jiwa pendekar Asoka bangkit. Dia ingin mendamaikan konflik antar dua lelembut dari dua tempat berbeda. Akan sangat beresiko memang, tapi Asoka harus melindungi keserasian hutan.Pemuda itu terlambat. Bola api di ujung ekor Gandaru sudah terlempar cepat ke arah Danang dan Ganang. Dua siluman kera Alas Lali Jiwo itu mengayunkan palu godamnya dan melemparkan bola api tadi ke atas.Seketika ledakan terjadi. Ada batuan panas yang membakar setiap yang dilaluinya. Asoka meloncat-loncat untuk menghindari batu panas tersebut. Dia pun tak sadar kalau para siluman yang sedang berseteru memandanginya dari jauh.“Ups, maaf. Aku hanya ingin me

  • Pendekar Pedang Naga   221. Asoka vs Raja Musang

    Asoka sudah berlari lebih dulu. Saking takutnya, dia tidak sengaja mengeluarkan ilmu meringankan tubuh. Karena itulah, beberapa penghuni hutan yang lain penasaran dan malah mengejar Asoka.Pemuda itu kini dikejar oleh belasan siluman penghuni hutan. Dua di antaranya adalah Danang dan Ganang. Karena para siluman merasa asing dengan keberadaan keduanya, terjadilah perdebatan sengit.“Bocah itu milik kami. Kau tidak berhak untuk menangkapnya!” Siluman musang ekor dua membentak Danang. “Suruh kembaranmu turun atau kami akan membunuhmu di sini!”Asoka mendengar bentakan keras. Bentakan tersebut membangunkan Gatra. Sang gagak terkejut dan sadar adanya tabrakan energi hitam yang cukup kuat. Nampaknya dua monyet kembar tadi setara dengan seorang pendekar tingkat langit.Karena penasaran, Asoka tidak langsung kabur. Dia menekan kuat-kuat tenaganya agar tidak terdeteksi oleh penghuni hutan yang lain.Saat perdebatan sengit terjadi, As

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status