Angin di Tebing Tersumpah berubah arah secara tiba-tiba. Udara yang tadinya diam kini membawa bau logam… darah. Zaren belum sempat menjelaskan lebih jauh ketika tanah di sekitar mereka mulai bergetar. Kabut hitam menyusup dari celah-celah batu—bukan kabut biasa. Ini adalah Kabut Perintah, sinyal bahwa unit eksekusi Bayangan Tertutup telah tiba.“Mereka mengikutimu,” desis Kael, menatap Zaren dengan sorot curiga.“Aku tahu,” jawab Zaren cepat, suaranya tenang. “Aku diberi satu misi: jebak kalian di sini dan serahkan mayat kalian… tapi aku belum memilih.”Arsel mencabut pedangnya. “Kau bawa kita ke dalam perangkap?”Zaren menatap tajam, lalu membuka jubahnya. Di baliknya tergantung lambang bayangan yang telah terbelah dua. “Aku membawa kalian… ke tempat di mana kalian bisa menghancurkan mereka semua.”Seketika itu, tanah di bawah meledak.Pasukan Bayangan Dalam muncul—kelas pembunuh elit dari organisasi. Tidak seperti Pemburu Tanpa Cahaya sebelumnya, mereka memiliki bentuk yang jelas: b
Kabut di sekeliling mereka mendadak terpecah, seolah dunia memberi ruang khusus untuk pertarungan yang akan terjadi. Tanah bergemuruh perlahan. Aura hitam pekat mengalir dari Kepala Akademi, membentuk sayap tipis yang melayang di punggungnya—bukan sayap naga, melainkan bayangan kegelapan murni.“Kalian berdua... pewaris naga emas dan naga hitam,” ucapnya. “Tapi kalian tak tahu sejarah sejati kekuatan itu. Naga bukan penjaga dunia... mereka adalah penakluk yang pernah ingin menguasai segalanya. Bayangan ada untuk menyeimbangkan.”Kael tidak menjawab. Ia hanya menunduk sedikit, memberi isyarat pada Arsel. Dalam sepersekian detik, mereka bergerak.Duel dimulai.Kael menyerang lebih dulu, tubuhnya dilapisi aura naga hitam yang membentuk sisik mengilap. Serangannya cepat dan brutal, tapi Kepala Akademi menghindar tanpa banyak gerak, seolah telah mempelajari setiap gaya bertarungnya.Arsel menyusul dari samping kanan, pedang naga emasnya menusuk ke titik buta lawan. Tapi di detik terakhir,
Latihan terus dilakukan Kael. Persiapannya bukan main-main. Keringat membasahi dahinya setiap hari, bahkan sebelum matahari muncul sepenuhnya di cakrawala. Setiap gerakan pedangnya, setiap putaran energi naga hitam dalam tubuhnya, dijalani dengan penuh keseriusan.Di sisi lain, Arsel selalu hadir. Ia tidak hanya mendukung dengan kata-kata, tetapi dengan tindakan nyata. Ia bangun bersama Kael, membantu mengoreksi gerakan, mengamati aliran energi, dan terkadang ikut bertarung sebagai sparring partner. Pedang naga emasnya beradu dengan pedang naga hitam milik Kael, memekikkan suara dentingan logam dan getaran yang mengguncang tanah.“Gerakanmu tadi terlalu terburu-buru, Kael,” ujar Arsel sambil menahan pedangnya. “Kalau lawanmu tipe penunggu seperti para penjaga gerbang Timur, kau bisa langsung terjebak.”Kael mengangguk. Nafasnya terengah, namun matanya menyala penuh semangat. “Aku tahu. Tapi... aku harus bisa lebih cepat. Waktunya semakin dekat.”Arsel menepuk bahu Kael dengan senyum k
Di ruang bawah tanah yang dulunya dipenuhi reruntuhan batu tua dan jaring laba-laba, kini berdiri meja besar dari besi hitam. Di atasnya, peta kerajaan terbentang dengan tinta merah dan garis-garis strategi. Di salah satu sudut, lingkaran besar mengelilingi nama: Vanyra.Farel berdiri mematung, mengenakan jubah kulit gelap tanpa lambang. Di belakangnya, para komandan berdiri menunggu perintah.“Vanyra bukan sekadar kota,” kata Farel perlahan. “Itu adalah gigi taring istana di barat. Mereka menyimpan suplai makanan, senjata, dan... propaganda.”Ia menunjuk tiga titik di peta.“Pasukan utama akan menyerbu dari arah selatan—di mana benteng tua tampak sepi. Mereka akan menyambut kita dengan senyum, lalu kita hancurkan dari dalam.Sementara itu, divisi api akan bergerak dari timur, membakar gudang utama.Dan dari utara… aku sendiri yang akan masuk.”Semua komandan saling pandang. Salah satunya, Letnan Rhaz, angkat bicara.“Tuan… utara dijaga oleh pasukan pelindung yang dilatih langsung ole
Lembah yang sunyi itu tak lagi diam. Langit memerah oleh sisa-sisa energi naga kuno yang masih berkeliaran, seolah menanti waktu untuk kembali meledak. Di tengah tekanan itu, Kael dan Arsel berdiri berdampingan, napas mereka berat, namun langkah mereka mantap. Di belakang mereka, kelompok yang telah mereka bimbing mulai membentuk formasi siap tempur.Kael memandangi langit sejenak, lalu berkata pelan, “Kekuatan naga hitam... dulu kubenci karena kehancuran yang dibawanya. Tapi sekarang aku tahu, bukan kekuatannya yang jahat—melainkan siapa yang menggunakannya.”Arsel menoleh sambil mengangguk. “Dan kekuatan naga emas bukan untuk menghakimi, tapi untuk menjaga keseimbangan. Kita butuh keduanya, Kael. Hitam dan emas. Gelap dan terang.”Kael tersenyum tipis. “Jadi kita lakukan ini bersama, seperti dulu di akademi.”Arsel menghunus pedangnya. “Tapi kali ini bukan latihan. Ini medan perang sungguhan.”Dari kejauhan, tanah mulai berguncang lagi. Pilar-pilar batu menjulang dari tanah, menanda
Di lorong gelap yang hanya diterangi cahaya api kecil dari kristal penyimpan energi, Kael berdiri dengan tangan menyilang. Di sampingnya, Arsel duduk di atas batu besar, pedang naga emas bersandar di lututnya. Keduanya terdiam, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Di hadapan mereka terbentang medan yang akan segera menjadi ajang pertempuran: tanah tandus yang dipenuhi retakan, dan dari setiap bayangannya, bisa saja muncul musuh yang mereka cari—Kalajengking Merah."Aku sudah menebasnya tiga kali... dan setiap kali, tubuhnya mengabur seperti kabut lalu menyatu kembali," gumam Kael. "Bahkan dengan api hitamku, dia tetap kembali utuh."Arsel mengangguk pelan. "Dia bukan makhluk biasa. Aku mencium aroma alkimia di balik tubuh itu. Seperti... hasil rekayasa energi naga yang diputarbalikkan."Kael menatap sahabatnya, lalu menoleh ke medan. "Kita tidak bisa mengandalkan kekuatan langsung. Kita harus buat dia muncul dalam bentuk sejatinya. Mungkin dia punya inti—sesuatu yang belum kita liha