Keesokan PagiKeduanya bertemu lagi di balkon tempat biasa mereka berdiri. Hanya ada anggukan singkat, tak perlu kata-kata. Keduanya tahu… hari-hari ke depan akan lebih sulit. Tapi mereka mulai mengerti alasan mereka bertarung.Ruang Pemulihan, Sayap Timur Istana Langit Udara di ruangan itu sunyi. Hanya terdengar suara lembut air dari kendi dan dentingan alat medis. Cahaya matahari pagi menyelinap masuk melalui jendela lebar, menyinari dua ranjang sederhana tempat Kael dan Arsel terbaring, tubuh mereka penuh perban dan luka lebam.Asmar duduk di kursi antara mereka, sibuk mencampurkan ramuan dari botol-botol kecil yang dibawanya sendiri. Napasnya dalam, tapi wajahnya tegang.“Ini bukan sekadar kelelahan biasa,” gumamnya. “Pertarungan dengan tekanan spiritual tinggi seperti itu bisa menghancurkan inti energi jika tidak ditangani benar.”Kael membuka matanya perlahan, mengerang pelan saat mencoba bergerak.“Jangan paksakan dirimu,” kata Asmar cepat. “Tulang rusukmu retak tiga, dan kamu
“Tak peduli,” jawab mereka serempak. “Asal dunia terbakar bersama naga hitam, itu cukup.”Aura pertempuran memuncak.Asmar melempar jubahnya. Simbol alkemis tingkat tinggi bersinar di dadanya. Kedua tangannya mulai bersinar biru tua—tanda bahwa ia telah mengaktifkan formasi alkimia tempur yang jarang ia gunakan.“Aku tak butuh banyak waktu. Cukup lima menit... untuk membuat kalian menyesal datang ke tempat ini.”Pemimpin penyusup menyerang duluan, membentuk tombak bayangan yang melesat cepat. Tapi Asmar menjentikkan jari, membentuk pelindung sihir berlapis.Penyusup kedua meluncur dari samping, berusaha menebas dengan bilah bercahaya merah. Tapi Asmar sudah mengantisipasi. Ia memutar tubuh, lalu menghempaskan telapak tangan ke dada lawan—ledakan energi alkemis menghantam balik, melempar lawan ke dinding.Satu lawan tumbang.Namun, aura merah dari segel terus menyembur, membuat dua penyusup tersisa makin kuat.Pemimpin mereka mulai berubah bentuk. Tato kalajengking merah menyebar ke wa
Raja melanjutkan, suaranya lebih tegas kini."Namun di balik kekhilafan itu, muncul cahaya baru. Kael, Arsel—kalian tak hanya memenangkan turnamen, tapi telah mencegah bencana besar. Atas keberanian dan pengorbanan kalian, aku ucapkan selamat… dan terima kasih."Semua yang hadir berdiri dan memberi penghormatan. Bahkan para pemimpin kerajaan tetangga ikut mengangguk hormat.Asmar tersenyum kecil dari barisan belakang, bangga melihat murid-murid yang dulu ia rawat kini diakui oleh seluruh wilayah.Setelah upacara, Raja mendekati Kael secara pribadi."Bagaimana kondisi pedang nagamu?" tanya sang raja, dengan suara lebih tenang.Kael menatap lantai sejenak, lalu menjawab, “Masih belum bisa kugunakan. Naga di dalamnya butuh waktu untuk pulih… dan mungkin, aku juga.”Raja mengangguk pelan. "Kau masih muda, tapi sudah membawa beban besar. Jangan terburu-buru. Karena aku yakin, ini bukan akhir… tapi baru permulaan."Di ruang pribadi kerajaan, setelah upacara penghormatan selesai…Raja Lang
Suara pertempuran di sekelilingnya mulai meredam.Yang terdengar kini hanya denyut nadi Kael, dan suara bayangan dari masa lalu…"Ayahmu… ibumu… mereka mati sia-sia," bisik pria bertato kalajengking merah itu, sengaja memancing. "Dan kau… tak akan bisa berbuat apa-apa. Sama seperti dulu."Kael terpaku. Matanya melebar. Kata-kata itu menusuk lebih dalam dari pedang mana pun. Bayangan rumah yang terbakar, suara jeritan, dan tubuh ayahnya yang tergeletak—semua muncul dalam kilatan di kepalanya.Tangan Kael bergetar."Diam…" gumamnya.Musuh itu mendekat setengah langkah. "Kau hanya anak pengecut yang kebetulan dipilih pedang naga. Tapi tanpanya, kau—""DIAM!!"Kael menerjang. Tak lagi peduli pada rasa sakit, tak lagi menunggu kekuatan naga kembali. Ia menghantam dengan segala amarah yang telah lama dipendam.Pedangnya menebas cepat, brutal, penuh emosi.Benturan terjadi. Logam bertemu logam.Pria bertato itu tersenyum—namun senyumnya langsung sirna saat ia terpaksa mundur selangkah."
"Kael!" Suara Asmar terdengar panik namun tetap terkontrol saat ia melesat mendekat. Jubahnya berkibar, tangan kirinya sudah memegang botol kristal berisi cairan pemulih tingkat tinggi.Kael terbaring, wajahnya pucat, napasnya berat.Asmar segera berlutut di sampingnya, menekan telapak tangannya ke dada Kael. Aura penyembuhan mulai menyelimuti tubuh Kael, pelan namun stabil. “Bertahanlah. Kau sudah melawan terlalu jauh dengan tubuh seperti ini.”Sementara itu, hanya beberapa langkah dari mereka—Arsel melompat ke udara.Dua musuh yang tersisa langsung menyerang bersamaan, namun mereka tidak tahu satu hal:Arsel dalam mode penuh.“Kau sudah menyakiti sahabatku… Kau akan menyesal.”Pedang naga emas meledak dengan aura cahaya panas, seperti matahari kecil yang baru saja bangkit.DOR!Tebasan pertama menghantam tombak musuh, membuatnya terpental hingga menghantam pohon. Serangan kedua—lebih cepat dari pandangan biasa—menusuk ke arah pengguna pisau bayangan.“ARGHH!” Musuh itu terj
Gerbang besar Akademi Pedang berdiri kokoh di depan mereka, berlapis baja dan dihiasi ukiran naga di kedua sisinya. Begitu mereka mendekat, suara derit perlahan terdengar—penjaga gerbang yang mengenali sosok Guru Besar segera membukanya lebar-lebar.Para murid dan beberapa pengajar yang mendengar kabar kepulangan mereka telah berkumpul di pelataran. Sorot mata mereka penuh rasa penasaran, kagum, dan sedikit khawatir.Kael melangkah lebih dulu, langkahnya mantap meski bekas luka belum sepenuhnya sembuh. Arsel menyusul di sebelahnya, sementara Asmar berjalan di belakang sambil membawa kantung ramuan dan perlengkapan medis.“Mereka kembali…” bisik salah satu murid. “Tapi lihat Kael… dia tampak lelah.” “Dan Arsel… dia tidak pernah terlihat setegang itu.”Guru Besar mengangkat tangan, menenangkan kerumunan. “Tenanglah. Kami akan menjelaskan semuanya nanti. Sekarang beri mereka ruang untuk beristirahat.”Salah satu instruktur maju ke depan. “Kami sudah menyiapkan tempat khusus untuk p
Latihan pun dimulai. Kael dan Arsel berhadapan, tidak dengan kekuatan penuh, tapi dengan gerakan yang presisi dan teknik dasar yang disempurnakan. Peluh mengucur, napas memburu, tapi semangat tak padam.Hari pertama di sayap timur bukanlah hari santai—itu hari pembuktian, bahwa kekuatan sejati bukan hanya berasal dari naga, tapi dari tekad dan usaha mereka sendiri.Hari-hari berlalu di sayap timur, dan peluh menjadi teman setia Kael dan Arsel. Setiap pagi dimulai dengan latihan fisik yang ekstrem—berlari dengan beban, menahan posisi kuda-kuda selama berjam-jam, dan mengasah teknik dasar dengan ketepatan mutlak.Asmar, meski bukan ahli strategi, membuktikan dirinya sebagai pengawas yang gigih. Ia menyesuaikan latihan dengan kebutuhan fisik dan pola kekuatan masing-masing.“Kael, kau terlalu sering mengandalkan kekuatan pedangmu. Fokus pada gerakan tubuh. Rasakan aliran musuh lewat langkah mereka,” ujar Asmar sambil mengoreksi posisi tangan Kael.“Arsel, tenagamu kuat, tapi kau terlalu
Kael mengelus tembok gerbang yang penuh lumut. “Bahkan aku bisa merasakan... sesuatu yang dingin di tempat ini. Bukan sekadar kosong.”Mereka terus berjalan ke dalam, melewati lorong panjang dengan jendela besar di satu sisinya. Tirai-tirai tebal dibiarkan menjuntai, menghalangi cahaya masuk. Lantai batu memantulkan suara langkah mereka yang menggema.Arsel menahan langkahnya saat melihat sebuah potret besar tergantung di dinding: lukisan keluarganya. Ia, ayahnya, ibunya… dan Farel yang masih kecil.“Aku ingat hari ketika lukisan ini selesai dibuat,” ucap Arsel pelan. “Kami tersenyum. Tapi sekarang... senyum itu rasanya jauh sekali.”Kael menoleh ke arah lain saat samar terdengar suara berderak dari lantai atas. Ia langsung memberi isyarat dengan tangan. Arsel mengangguk, kembali waspada.“Kita tidak sendirian,” bisik Kael.Mereka melangkah naik ke lantai dua. Setiap langkah di tangga kayu tua seperti memanggil sesuatu dari balik bayangan. Saat mereka melewati salah satu lorong, tiba-
Dengan peta dari altar di tangan Kael, mereka meninggalkan reruntuhan kuil ketiga. Angin lembah membawa aroma tanah basah dan reruntuhan sihir yang perlahan lenyap, namun hati mereka tetap waspada. Kuil keempat tidak berada di permukaan—ia tersembunyi jauh di perut bumi, di sebuah wilayah yang dikenal sebagai Lembah Terlarang, tempat tidak ada kompas sihir yang bisa diandalkan.Hari baru belum mencapai tengah ketika langkah mereka terhenti."Kau dengar itu?" bisik Arsel sambil meraih gagang pedangnya.Kael mengangguk pelan. Udara mendadak menegang. Pepohonan bergoyang meski angin tidak bertiup. Lalu tiba-tiba—sesosok makhluk meluncur turun dari langit, mendarat di hadapan mereka dengan dentuman keras.Tubuhnya tinggi dan ramping, dibalut zirah gelap yang menyerap cahaya. Jubahnya berkibar dengan gerakan lambat seperti asap, dan matanya menyala biru dingin."Kalian telah melangkah terlalu jauh," ucapnya. Suaranya datar, namun mengandung kekuatan yang menekan.Kael melangkah maju, "Siap
Langkah Kael dan Arsel semakin mendekat ke celah batu menjulang itu. Kabut kian menebal, menyelimuti tanah dan memburamkan pandangan. Suasana berubah sunyi—terlalu sunyi. Tidak ada suara burung, tidak ada desir angin. Hanya gemerisik langkah kaki mereka di atas tanah lembap.“Tempat ini… terasa berbeda,” gumam Arsel sambil menajamkan pendengaran.Tiba-tiba, bumi bergetar ringan. Kabut di depan mereka terbelah, memperlihatkan sesuatu yang tak mereka duga.Sosok-sosok hitam bermantel merah darah muncul dari balik celah batu. Wajah mereka tersembunyi di balik topeng kayu tua.“Pengikut Bayangan Hitam…” desis Kael, langsung menarik pedang naga hitamnya.Salah satu dari mereka maju selangkah, suaranya berat dan bergaung—seperti gema dari dunia lain.“Kuil ini bukan milik kalian. Yang tak dipilih, harus binasa.”Seketika tanah di sekitar mereka meledak, menciptakan lingkaran api kehijauan yang melingkupi tempat itu. Sebuah jebakan sihir kuno—dan mereka sudah berada di tengahnya.Arsel langs
Malam turun perlahan, membawa serta udara dingin yang menyusup di balik lapisan pakaian. Kael dan Arsel duduk bersandar di balik batu besar, jauh dari tempat pertempuran sebelumnya. Api unggun kecil menyala redup di antara mereka, cukup untuk mengusir hawa dingin tapi tidak mencolok di tengah hutan yang gelap.Kael menatap api itu lama, diam. Tangannya masih terasa berat, tapi pikirannya jauh lebih tenang.Arsel menyodorkan kantung air. “Minumlah. Kau hampir kehilangan kesadaran tadi.”Kael menerimanya, lalu tersenyum lelah. “Aku tahu. Tapi kalau saat itu aku ragu, kita sudah mati.”“Kau terlalu sering menanggung semuanya sendiri,” sahut Arsel, menatap Kael dengan mata serius. “Aku ada di sini, Kael. Bukan hanya sebagai penjaga punggungmu. Tapi teman. Saudara.”Kael menghela napas. “Aku tahu… dan mungkin itu yang membuatku bisa bertahan.” Ia menunduk, mengingat bayangan kekuatan hitam, luka di tubuh Arsel, dan musuh yang tak pernah berhenti datang.“Tapi aku tak ingin ka
Lembah Untaian Arwah. Sebuah nama yang hampir tak terdengar lagi dalam peta-peta baru. Namun dalam catatan kuno dan bisikan para penjelajah tua, lembah itu disebut-sebut sebagai tempat di mana jiwa-jiwa yang hilang belum menemukan kedamaian.Kael dan Arsel tiba di tepi lembah menjelang senja. Kabut menggulung perlahan seperti napas makhluk besar yang tidur. Angin berdesir tanpa suara, membawa bau tanah basah dan sesuatu yang asing… seperti dupa lama yang pernah terbakar.“Kau yakin ini tempatnya?” tanya Arsel, menatap ke arah kabut tebal yang menutupi lembah.“Pola simbol di peta dan arah energi yang kurasakan… semuanya menunjuk ke sini,” jawab Kael, tegas. Tapi dalam hatinya, bahkan ia tak sepenuhnya yakin. Satu langkah ke dalam lembah, dan suara dunia luar seperti lenyap. Hening, menyesakkan.Mereka terus berjalan, namun kabut tak menipis—justru semakin padat, seolah menolak kehadiran mereka. Arsel terbatuk. Udara di sini berbeda. Kaki mereka kadang menyentuh tanah padat, ka
Asap dan debu perlahan mereda. Kael berdiri di tengah kawah kecil yang tercipta akibat benturan dahsyat tadi. Nafasnya masih berat, tapi sorot matanya tak bergeming.Di seberang sana, sang petinggi Kalajengking Merah terhuyung-huyung. Tubuhnya dipenuhi luka, jubah merahnya hangus terbakar di beberapa bagian. Wajahnya menegang—tak percaya telah dipukul mundur oleh Kael."Bocah sialan..." desisnya, sambil mengangkat kristal kecil dari dalam jubahnya. "Kau… akan menyesali ini. Kau telah menunjukkan terlalu banyak."Seketika, energi kegelapan mengelilingi tubuhnya, menciptakan lorong bayangan.“Tunggu!” Kael melangkah maju, mencoba menghentikannya. Tapi energi itu terlalu cepat.“Kita akan bertemu lagi… dan saat itu, kau takkan berdiri lagi.” Dengan kata terakhirnya, sosok sang petinggi lenyap ke dalam kegelapan, meninggalkan bekas hangus di tanah.Kael berdiri diam, menatap tempat musuh itu menghilang. Arsel menghampiri, tertatih namun masih tegar.“Kau menahan diri, ya?” tanya
Malam mulai menyelimuti kota, tapi Kael dan Arsel belum berhenti bergerak. Mereka berpindah dari satu tempat ke tempat lain—kedai tua, rumah penyimpan barang antik, bahkan berbincang dengan pengemis tua yang katanya pernah melihat "pintu batu yang menelan cahaya".Namun, semuanya masih kabur. Tak ada satu pun informasi yang benar-benar mengarah pada kuil tersembunyi yang mereka cari.Kael duduk di tepi pancuran batu di alun-alun kecil, pandangannya kosong menatap air yang tenang. “Terlalu rapi,” gumamnya. “Seolah kuil itu disembunyikan bukan hanya oleh waktu, tapi oleh kehendak.”Arsel berdiri tak jauh, bersandar pada tiang kayu. "Mungkin memang begitu. Kuil ini… bukan untuk ditemukan dengan mudah."Kael menarik napas dalam-dalam. Ia membuka kembali gulungan peta tua yang ia temukan di kios tadi pagi. Tak ada tanda kuil, tapi bentuk jalan-jalan di bagian barat kota… aneh. Melingkar, seakan memutari sesuatu. Sesuatu yang tak tergambar di peta."Lihat ini," katanya pada Arsel,
Keesokan paginya, Kael dan Arsel bergerak cepat. Mereka berpisah di dalam kota, saling menyamar sebagai pelancong biasa. Target mereka jelas: mencari jejak tentang kuil berikutnya.Kael masuk ke beberapa kios tua di pasar belakang. Ia pura-pura mengamati gulungan peta dan perhiasan antik, sambil mendengarkan percakapan orang-orang."Kau dengar soal reruntuhan di sebelah utara?" bisik seorang pedagang tua pada temannya. "Katanya, tanahnya retak sendiri… ada sesuatu yang terbangun di bawahnya."Kael mencatatnya dalam pikirannya. Reruntuhan di utara—mungkin itu kuil keempat.Sementara itu, Arsel berbicara dengan pemilik kedai. Mencoba mengorek informasi dengan santai, seolah sekadar penasaran tentang legenda lokal. Tapi saat Arsel menyebut "reruntuhan," wajah pemilik kedai itu mendadak kaku."Kau sebaiknya menjauh dari sana," katanya. "Banyak yang pergi… tak ada yang kembali."Arsel hanya tersenyum tipis, membayar minuman, lalu pergi.Mereka bertemu kembali di sudut pasar, sali
Malam itu, mereka beristirahat di sebuah dataran kecil di atas tebing, jauh dari jalur utama. Api kecil menyala di antara mereka, cukup untuk menghangatkan tubuh tanpa menarik perhatian.Kael duduk bersandar di sebuah batu besar, pedangnya bersandar di sisi tubuhnya. Arsel, di sisi lain, sibuk membungkus luka kecil di lengannya sambil sesekali melirik ke arah temannya.“Kita terlalu ceroboh.” Arsel membuka percakapan, nada suaranya santai tapi serius.Kael menghela napas panjang, membenarkan posisi duduknya. “Mungkin. Tapi kita tak punya kemewahan untuk berhenti lama-lama.”Arsel tersenyum tipis, mengambil ranting kecil dan mengaduk-aduk api. “Bukan berarti kita harus membabi buta. Sekarang mereka tahu siapa kita. Mereka akan menunggu, menjebak, bahkan mungkin memanfaatkan kuil-kuil tersisa untuk melawan kita.”Kael memejamkan mata sejenak, berpikir. “Kuil-kuil itu tidak hanya berfungsi sebagai segel… tapi juga sebagai alat komunikasi bagi para pengikut bayang. Jika satu han
Kuil keempat berdiri seperti hantu di tengah reruntuhan batu dan hutan kering. Tak ada suara burung. Tak ada angin. Hanya keheningan yang menekan dada.Kael berdiri di hadapan pintu batu raksasa, telapak tangannya meraba ukiran lama yang hampir terhapus waktu. “Ini kuil yang berbeda,” bisiknya. “Yang ini… bangga.”Arsel menatap sekeliling, berjaga. “Apa maksudmu?”Kael menoleh, matanya serius. “Tiga kuil sebelumnya menyembunyikan bayang hitam. Tapi kuil ini… menjaganya. Menyatu dengannya.”Ia menarik pedangnya—naga hitam berdenyut pelan, seolah merespons aura kelam dari dalam.Kael menancapkan pedangnya ke tanah di depan pintu, lalu menarik gulungan yang dicuri dari Kalajengking Merah. Ia mulai membacakan potongan mantra pemecah segel—sebuah bahasa lama yang bahkan angin pun enggan menyentuh.Tanah bergetar. Pintu batu retak perlahan… tapi saat celah terbuka, kabut hitam menyembur keluar disertai suara raungan rendah, seperti ribuan suara berbisik dalam satu napas.Arsel mundu