Dia sebenarnya tidak ngeri pada pelototan mata bocah ayu itu. Sebaliknya, Angon Luwak malah jadi senang bukan alang kepalang. Hanya saja dia tak tahu, kenapa merasa berdebar-debar.
Biasalah, cinta monyet! Saking gugupnya, tak sengaja dia menginjak jempol kaki Pale Tua pemilik warung.
Untung lelaki tua itu bisa mengerti polah anak sebaya Angon Luwak. Dia cuma tersenyum dengan kepala menggeleng-geleng.
Baru sepuluh langkah kedua ibu-anak itu melangkah, dari jalan sebelah selatan terdengar hiruk-pikuk hentakan kaki kuda dan teriakan-teriakan berangasan.
Ada sekitar lima orang lelaki mengendarai kuda dalam kecepatan tinggi. Arahnya menuju kedua perempuan tadi. Beberapa orang yang kebetulan berjalan cepat-cepat menepi, takut diterjang kuda. Debu mengepul di belakang lari kuda-kuda mereka.
"Hiaaa! Hiaaa-haaaa!"
Sampai di depan kedua ibu-anak tadi, kawanan lelaki berkuda menghentikan lari tunggangan masing-masing. Sentakan mendadak pada tali kekang membuat kuda-kuda mereka meringkik nyaring seraya menaikkan kaki depan mereka.
"Hiiiii!"
Begitu kelima kuda tunggangan berhenti, kawanan lelaki itu melompat turun. Kini wajah mereka terlihat lebih jelas. Rata-rata berwajah bengis. Perawakannya besar-besar dan berotot. Pakaian yang dikenakan berbeda satu sama lain. Rata-rata berwarna gelap. Di dagu mereka tumbuh bulu kasar kehijauan.
Dua lelaki menyandang sepasang pedang pendek di punggung. Satu orang memegang tombak bermata tiga. Dua lelaki sisanya memegangi gada berbandul baja berduri.
"Oho! ada dua perempuan cantik rupanya. Satu sudah matang, sedang satunya lagi baru mulai ranum!" Koar seorang lelaki mengenakan rompi terbuka, memperlihatkan dada berbulu kasar.
"Hei, mereka bawa arak pula! Apakah mereka sengaja hendak menyambut kedatangan kita?!" Timpal lelaki yang memegang tombak bermata tiga.
Dua lelaki yang turun dari kuda paling belakang tergelak-gelak mendengar perkataan kedua temannya barusan.
Perempuan bercaping tak ingin menanggapi ocehan tadi. Dia beranjak lagi. Diajaknya anaknya mengambil jalan menepi.
"Eit, kenapa terburu-buru?!" Salah seorang kawanan berkuda menghadang.
Kedua tangannya membentang, menghalangi jalan dua perempuan berbeda usia tadi.
Angon Luwak yang menyaksikan peristiwa itu mendengus. Dia tak suka menyaksikan kekurangajaran terjadi di depan matanya. Terutama karena bocah perempuan ayu itu.
"Biarkan kami lewat, Kisanak," Pinta perempuan bercaping. Suaranya datar. Tak ada kesan ketakutan. Bahkan tak terdengar getar gusar di dalamnya.
Dia begitu tenang menghadapi lelaki penghadangnya. Lain lagi sikap anak perempuannya. Wajah bocah ayu itu memerah matang. Matanya menyipit geram. Tangannya mengepal kuat-kuat.
"Kenapa aku mesti membiarkan kalian lewat? Terus terang, kami sangat haus. Pertama kami butuh arak yang kau bawa untuk mengenyahkan haus kerongkongan kami. Kedua, kami pun rasanya butuh tubuh kalian untuk memuaskan haus yang lain. Ha-ha-ha!"
"Cuih, mesum!" Maki bocah perempuan, gusar.
"Sopanlah berbicara pada orang yang lebih tua, Tresna..." Tegur sang ibu.
"Bagaimana aku bisa sopan, sementara dia sendiri berkata tak sopan pada kita, Nyai?" Protes si bocah perempuan bersungut-sungut. Kembali kawanan lelaki tadi tertawa-tawa seenaknya, seolah dunia cuma milik mereka.
"Siapa namamu tadi Cah Ayu? Tresna? Hm, kalau tak salah, bukankah itu artinya 'cinta'. Apa dengan begitu, kau sudah bisa 'bercinta'?!" Goda lelaki penghadang kembali, tetap mesum.
Gadis ayu bernama lengkap Tresnasari makin kalap. Hidungnya mendengus-dengus. Kekalapannya makin terdongkel naik ketika dengan kurang ajar, lelaki penghadang merunduk ke arahnya sedang tangannya hendak menjamah pipi gadis itu.
Dengan tiba-tiba.... Bletak!
"Adawww!"
Lelaki tadi menjerit kuat-kuat. Jidatnya berdenyut-denyut luar biasa. Sakitnya seperti langsung turun ke jempol kakinya.
"Bocah kecil keparat!" Makinya kalap. Tangannya mendekap kening.
Tresnasari sendiri sudah menggenggam satu belatinya di tangan kanan. Dengan ujung gagang belati itu, dihantamnya kening si lelaki kurang ajar.
Bukan main murkanya lelaki penghadang. Kepalanya benar-benar dibuat benjut sebesar uang logam oleh seorang bocah perempuan kecil. Oleh bocah perempuan kecil? Bayangkan! Bukan cuma kepalanya saja berdenyut-denyut, cuping hidungnya pun ikut berdenyut-denyut saking gusarnya. Terutama karena Angon Luwak menertawai kejadian itu dari tempatnya.
"Rupanya kau ingin cepat-cepat mampus, heh?!" Meluncur serapah susulan si lelaki penghadang. Dilanjutkan dengan tamparan keras sekaligus deras ke pipi Tresnasari.
Wukh!
Telapak tangan besar itu tinggal berjarak satu jari lagi dari pipi si gadis kecil. Sebelum benar-benar sampai, dengan gesit, Tresnasari merundukkan badan. Dilemparnya tubuh ke depan. Di tanah dia berguling sekali. Kakinya terjulur lurus, seperti patukan cepat seekor ular.
Begh!
"Ngekh!" Mata penyerangnya mendelik.
Masih di tempatnya berdiri, lelaki itu terdiam dengan badan setengah membungkuk. Tangannya mendekap benda kesayangannya kuat-kuat. Wajahnya menyeramkan sekali untuk dikatakan sebagai manusia. Sebentar berwarna merah, sebentar kemudian berwarna biru, selanjutnya memucat. Pasti dia merasakan penderitaan lahir batin yang luar biasa....
Tresnasari sendiri sudah berdiri kembali. Terlihat senyum nakalnya tersembul samar. Santai didekatinya lelaki kejang tadi. Tak peduli dianggap kurang ajar atau tidak, dijulurkannya tangan ke kening lelaki tadi.
"Kalau sudah waktunya jatuh, kenapa tidak juga mau jatuh?" Ucapnya enteng sambil mendorong kepala lelaki tadi ke belakang.
Setelah itu, lelaki korban 'kenakalan'nya tumbang ke belakang. Mata keempat kawannya tak berkedip menyaksikan kejadian tersebut. Mereka sama sekali tak habis pikir bagaimana bocah perempuan kecil dapat demikian mudah mempecundangi kawan mereka? Tak habis pikir pula, bagaimana bocah yang dianggap mentah seperti Tresnasari sanggup melancarkan serangan secepat ular sendok? Setelah itu, cuma kemarahan besar yang mengisi benak masing-masing.
Dua lelaki bersenjatakan gada berbandul baja berduri melangkah gusar ke dekat Tresnasari dan ibunya.
"Kau akan merasakan akibat dari kelancanganmu, Bocah!" Ancam salah seorang dari mereka dengan wajah amat ketat, menyeramkan. Satu sudut bibirnya tertarik ke atas, memperlihatkan sebagian barisan gigi yang tak cuma berwarna kuning langsat, tapi juga diselipi sisa cabe merah!
Wajah Angon Luwak di kejauhan berubah. Dia melihat gelagat yang tak baik. Menyeruak dorongan dalam dirinya untuk membantu dua perempuan ibu-anak itu. Satu sifat yang sesungguhnya menjadi bagian kuat dalam diri si bocah.
Angon Luwak hendak beranjak, tapi ditahan pemilik warung.
"Kenapa Pak Tua?" Tanya Angon Luwak, tak setuju dengan tindakan lelaki tua itu mencegahnya.
"Mereka itu adalah kawanan orang-orang telengas," Susul pemilik kedai.
"Tak peduli mereka orang-orang telengas sekali pun," Gerutu Angon Luwak.
Pak tua pemilik warung melirik Angon Luwak sejenak. Punya nyali juga anak ini, pikirnya.
Sampai saat itu, nama si bocah saja belum sempat diketahuinya. Tapi, sudah banyak hal yang pantas dikagumi dalam diri anak itu.
Masalahnya sekarang, nyali besar si bocah saja tak cukup untuk menghadapi para lelaki pengacau itu. Dibanding mereka, Angon Luwak bukanlah apa-apa. Bagaimana pula dia bisa membantu perempuan dan anaknya tadi?
"Aku bukan ingin meremehkan kau, Bocah. Aku cuma tak ingin terjadi apa-apa padamu, mengingat siapa mereka. Mereka terbiasa bertarung dan bertempur. Biasa membunuh. Lagi pula, tampaknya dua perempuan itu dapat mengatasi mereka," Tambah pemilik kedai.
Angon Luwak seperti tidak menanggapi seluruh perkataan pemilik kedai. Dengan nekat, dia menerjang tangan si pemilik kedai begitu saja.
"Bocah, tunggu!" Tahan pemilik kedai.
Sayang, usahanya sia-sia.
Angon Luwak terus berjalan cepat dengan langkah-langkah lebar terbanting. Lagaknya sudah seperti seorang jawara yang siap membuat babak-belur cecunguk-cecunguk. Kalau sudah begitu, pemilik kedai cuma bisa geleng-geleng kepala. Dahinya agak berkerut memperlihatkan kekhawatiran. Sebaliknya, sinar matanya memperlihatkan tekad untuk turun tangan bila bocah nekat itu dalam bahaya.
Sementara itu, salah seorang dari dua lelaki bersenjatakan gada berbandul baja berduri sudah merangsak Tresnasari. Gadis itu sendiri sudah beranjak maju dua-tiga langkah, seakan sengaja menyongsong serangan lawan.
"Tahu rasa kau, Anak Sundal!" Makinya seraya melayangkan satu tamparan keras dengan punggung tangan.
Seperti lelaki yang telah menjadi korban tendangan Tresnasari, tampaknya lelaki ini pun merasa jatuh gengsi jika menyerang secara membabi-buta seorang bocah kecil. Perempuan pula.
Dia berniat hanya memberi pelajaran keras pada Tresnasari. Pelajaran keras itu benar-benar dimaksudkan 'keras', karena tamparannya dilakukan dengan tenaga penuh. Andai gadis sebaya Tresnasari terkena, tentu tubuhnya akan terlempar.
Tapi yang terjadi? Tanpa banyak kesulitan, Tresnasari menangkis tamparan keji tadi dengan pergelangan tangan mungilnya.
"Hait!"
Deg!
Ketika itulah mata penyerangnya terbuka lebar. Semestinya, tubuh Tresnasari terjajar saat memapaki tamparan kuat lawan. Ukuran tubuh gadis belasan itu saja tak lebih dari setengah tubuh penyerangnya. Tapi, nyatanya dia masih tegak di atas kuda-kudanya. Tangan mungilnya bahkan tak terlihat tergetar menyambut tamparan lawan.
Sebaliknya, si lelaki penyerang malah tersurut mundur satu tindak. Di samping karena terkejut mendapati kenyataan di luar perkiraan, dia juga merasakan nyeri di sekujur tangannya.
"Sialan, anak ini tak bisa dibuat main-main!" Desisnya nyaris tak terdengar.
Meski merasa begitu nyeri di bagian tangan, sengaja dia tak mendekapnya. Juga diusahakannya agar mimik wajahnya tak memperlihatkan hal itu. Lagi-lagi itu persoalan agar tak jatuh gengsi.
Sewaktu kegeramannya menanjak dan perhatiannya tertuju lekat-lekat pada Tresnasari, tahu-tahu saja 'nyelonong' sebuah kepala ke perutnya tanpa permisi lagi. Kebetulan pula arahnya dari samping, menyebabkan dia luput menyadari serangan gelap barusan.
Begh!
"Ngek!"
Lelaki tadi terjajar mundur, lebih jauh dari sebelumnya. Tangannya mendekap perut. Matanya melotot seperti hendak mencelat keluar. Bukan itu saja, lidahnya pun terjulur. Kalau saja rahangnya mengeras, tentu lidahnya akan tergigit putus saat itu juga.
Sekarang, dia tak bisa lagi merisaukan soal jatuh gengsi. Bagaimana bisa kalau wajahnya saat itu saja sudah tak meyakinkan lagi?
"Hendak ke mana kau?!" Bentak Ki Kusumo, baru saja empat langkah Angon Luwak menjejakkan kaki di atas pasir pantai.Mendadak saja, tubuh Angon Luwak sulit digerakkan. Bukan cuma sepasang kakinya yang memberat seperti dipaku langsung ke dalam bumi, tubuhnya pun sulit digerakkan. Anak itu mematung dalam posisi orang melangkah, membelakangi Ki Kusumo."Kalau kau ingin terus berdiam diri di situ sampai beberapa hari, kau boleh menolak ajakanku sekarang," Ancam Ki Kusumo. Main-main tentunya. Angon Luwak tidak menyahut. Meski Ki Kusumo tidak membuat otot mulutnya kaku juga."Aku cuma ingin bicara padamu. Apa salahnya?" Bujuk Ki Kusumo."Salahnya, kau terlalu memaksa Pak Tua," Ucap Angon Luwak akhirnya, keras kepala."Tapi aku ingin membicarakan satu hal penting.""Tapi mestinya kau menanyakan dulu padaku, apakah aku mau kau ajak bicara atau tidak," Sengit Angon Luwak.Si orang tua yang sampai saat itu belum diketahui jati diri sesungguhnya
"Kau yang menyebabkan Nyai terluka parah, Kambing Buduk Brengsek!" Makinya seperti suara orang hendak menangis."Sudahlah, Cah Ayu...," Ki Kusumo mencoba menengahi. Kalau tidak, pasti satu jotosan bersarang empuk kembali di wajah Angon Luwak. Bisa jadi juga berkali-kali. Mungkin sampai Angon Luwak pingsan lagi. Siapa tahu? Masih dengan dada turun-naik dibakar kegusaran, si dara tanggung meninggalkan gubuk.Pintu dikuaknya lebar-lebar, membiarkan sinar matahari lancang menerobos masuk. Mata Angon Luwak menyipit, silau diterjang sinar terang."Apa yang terjadi dengan Bibik, Pak Tua?" Tanya Angon Luwak tergesa, ketika terngiang hardikan Tresnasari terakhir."Ibu perempuan itu yang kau maksud?"Ki Kusumo meminta kejelasan seraya menyerahkan gelas bambu pada Angon Luwak. Angon Luwak menerima. Sambil menyambut sodoran gelas bambu tadi, ditunggunya jawaban orang tua yang sedang mengaduk-aduk sesuatu di dalam mangkuk tanah liat dengan tangan kanannya.
Darah hitam termuntah dari mulutnya. Kalau saja dia tak dalam keadaan sakit, tentu luka dalam yang dideritanya tak akan separah itu. Tresnasari meraung-raung memanggil-manggil ibunya. Dari tempatnya berdiri, dia berlari memburu Nyai Cemarawangi! Tiba di dekatnya, disergapnya tubuh perempuan itu sambil bersimpuh."Nyai tidak apa-apa?" Tanya gadis ayu itu tersendat-sendat dihadang isak.Air mata membasahi kedua pipi kemayunya. Ibunya tak bisa menjawab, kecuali menggelengkan kepala. Dia ingin meyakinkan anaknya kalau keadaan dirinya tak perlu dikhawatirkan.Sayang, darah kehitaman yang terus merembes keluar dari sela-sela bibir pucatnya mengatakan suatu yang lain. Beranglah Tresnasari. Cepat dicabutnya kembali sepasang belati dari ikat pinggang. Dia bangkit dengan wajah mengeras."Orang itu harus membayar perlakuannya terhadap Nyai," Geramnya."Jjj... jangan, Tresna...."Sang ibunda hendak menahan. Tresnasari sudah telanjur berlari menghambur k
Orang tua sakti misterius itukah yang telah sengaja menyalurkan tenaga dalamnya ke diri Angon Luwak hingga membuatnya sanggup bertahan terhadap terjangan kekuatan tenaga dalam yang disalurkan Dirgasura dalam bentakannya? Ah, Ki Kusumo sendiri saat itu malah sedang sibuk menggeleng-gelengkan kepala. Biar mampus disambar capung, dia terheran-heran menyaksikan si bocah sehat wal'afiat.Padahal Ki Kusumo sudah mengukur kekuatan teriakan bertenaga dalam kedua Dirgasura. Teriakan itu lebih kuat dari sebelumnya. Mestinya, keadaan Angon Luwak akan semakin parah. Bahkan bisa-bisa pula tak sadarkan diri.Semalam dia dibuat bertanya-tanya dalam hati karena si bocah yang ditaksirnya hendak dijadikan murid ternyata sanggup mengalahkan 'sirap'nya. Kini terjadi hal lain lagi. Benar-benar tak bisa dimengerti!Merasa telah dikelabui dari awal, Dirgasura jadi penasaran. "Siapa kau sebenarnya?" Tanya Dirgasura, ditujukan pada Angon Luwak.Angon Luwak tak memperhatikan. Dia
Sementara sekumpulan orang yang menjadi sasaran rambahan serbuk tadi di udara, tak pernah menyadari bahwa tangan-tangan maut siap menjemput! Mereka hanya menatap tak mengerti dengan wajah penuh tanda tanya. Sampai akhirnya beberapa orang pertama terkena tebaran serbuk. Teriakan mereka memecah keheningan suasana dan keheningan pagi muda.Kala itulah yang lain menyadari kalau serbuk tadi adalah racun ganas. Sayang, mereka sudah terlambat untuk menghindar. Tak ada beberapa tarikan napas saja, seluruh prajurit malang tadi sudah menggelepar-gelepar di lapangan rumput yang masih dilembabi embun. Kulit mereka berubah memerah laksana terpanggang. Ketika tangan mereka menggaruk-garuk liar, kulit pun mengelupas. Mereka bergelinjangan terus. Saling tindih, saling menyentak. Sampai akhirnya, racun yang terserap kulit mereka digiring aliran darah dan sampai ke jantung. Jantung mereka terbakar.Seluruh prajurit tewas! Saat itulah, entah bagaimana salah seorang dari mereka ternyata l
Wrrr....!Krakh!Ketika gulungan tubuh Tresnasari terbuka, sebelah kakinya menghentak amat keras ke tengah-tengah batang tombak. Tombak terpatah dua. Patahannya memburu deras ke arah tubuh lelaki bengis.Creph! "Ukh!"Hanya sempat memperdengarkan hentakan napas teramat pendek tercekat, si lelaki bertubuh kekar ambruk dengan leher tertembus patahan batang tombak dari samping!"Kau tak perlu berbuat itu padanya, Tresna...," Tegur Nyai Cemarawangi."Tapi dia pantas menerimanya. Apa Nyai tak lihat sifatnya tak lebih baik dari binatang?" Kilah Tresna.Si perempuan menjelang tengah baya menggeleng-gelengkan kepala lamat."Bocah perempuan keparat!!!"Sebuah suara lantang melantun kasar. Dedaunan bergemerisik. Sebagian berguguran. Tubuh Angon Luwak tersentak kejang. Pertahanan anak tak berbekal ilmu bela diri itu langsung ambrol. Dia jatuh berlutut dalam keadaan menggigil.Tresnasari pun tersentak.Cuma dia tak sep