Share

3. Keberanian

last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-08 14:47:50

Dia sebenarnya tidak ngeri pada pelototan mata bocah ayu itu. Sebaliknya, Angon Luwak malah jadi senang bukan alang kepalang. Hanya saja dia tak tahu, kenapa merasa berdebar-debar.

Biasalah, cinta monyet! Saking gugupnya, tak sengaja dia menginjak jempol kaki Pale Tua pemilik warung.

Untung lelaki tua itu bisa mengerti polah anak sebaya Angon Luwak. Dia cuma tersenyum dengan kepala menggeleng-geleng.

Baru sepuluh langkah kedua ibu-anak itu melangkah, dari jalan sebelah selatan terdengar hiruk-pikuk hentakan kaki kuda dan teriakan-teriakan berangasan.

Ada sekitar lima orang lelaki mengendarai kuda dalam kecepatan tinggi. Arahnya menuju kedua perempuan tadi. Beberapa orang yang kebetulan berjalan cepat-cepat menepi, takut diterjang kuda. Debu mengepul di belakang lari kuda-kuda mereka.

"Hiaaa! Hiaaa-haaaa!"

Sampai di depan kedua ibu-anak tadi, kawanan lelaki berkuda menghentikan lari tunggangan masing-masing. Sentakan mendadak pada tali kekang membuat kuda-kuda mereka meringkik nyaring seraya menaikkan kaki depan mereka.

"Hiiiii!"

Begitu kelima kuda tunggangan berhenti, kawanan lelaki itu melompat turun. Kini wajah mereka terlihat lebih jelas. Rata-rata berwajah bengis. Perawakannya besar-besar dan berotot. Pakaian yang dikenakan berbeda satu sama lain. Rata-rata berwarna gelap. Di dagu mereka tumbuh bulu kasar kehijauan.

Dua lelaki menyandang sepasang pedang pendek di punggung. Satu orang memegang tombak bermata tiga. Dua lelaki sisanya memegangi gada berbandul baja berduri.

"Oho! ada dua perempuan cantik rupanya. Satu sudah matang, sedang satunya lagi baru mulai ranum!" Koar seorang lelaki mengenakan rompi terbuka, memperlihatkan dada berbulu kasar.

"Hei, mereka bawa arak pula! Apakah mereka sengaja hendak menyambut kedatangan kita?!" Timpal lelaki yang memegang tombak bermata tiga.

Dua lelaki yang turun dari kuda paling belakang tergelak-gelak mendengar perkataan kedua temannya barusan.

Perempuan bercaping tak ingin menanggapi ocehan tadi. Dia beranjak lagi. Diajaknya anaknya mengambil jalan menepi.

"Eit, kenapa terburu-buru?!" Salah seorang kawanan berkuda menghadang.

Kedua tangannya membentang, menghalangi jalan dua perempuan berbeda usia tadi.

Angon Luwak yang menyaksikan peristiwa itu mendengus. Dia tak suka menyaksikan kekurangajaran terjadi di depan matanya. Terutama karena bocah perempuan ayu itu.

"Biarkan kami lewat, Kisanak," Pinta perempuan bercaping. Suaranya datar. Tak ada kesan ketakutan. Bahkan tak terdengar getar gusar di dalamnya.

Dia begitu tenang menghadapi lelaki penghadangnya. Lain lagi sikap anak perempuannya. Wajah bocah ayu itu memerah matang. Matanya menyipit geram. Tangannya mengepal kuat-kuat.

"Kenapa aku mesti membiarkan kalian lewat? Terus terang, kami sangat haus. Pertama kami butuh arak yang kau bawa untuk mengenyahkan haus kerongkongan kami. Kedua, kami pun rasanya butuh tubuh kalian untuk memuaskan haus yang lain. Ha-ha-ha!"

"Cuih, mesum!" Maki bocah perempuan, gusar.

"Sopanlah berbicara pada orang yang lebih tua, Tresna..." Tegur sang ibu.

"Bagaimana aku bisa sopan, sementara dia sendiri berkata tak sopan pada kita, Nyai?" Protes si bocah perempuan bersungut-sungut. Kembali kawanan lelaki tadi tertawa-tawa seenaknya, seolah dunia cuma milik mereka.

"Siapa namamu tadi Cah Ayu? Tresna? Hm, kalau tak salah, bukankah itu artinya 'cinta'. Apa dengan begitu, kau sudah bisa 'bercinta'?!" Goda lelaki penghadang kembali, tetap mesum.

Gadis ayu bernama lengkap Tresnasari makin kalap. Hidungnya mendengus-dengus. Kekalapannya makin terdongkel naik ketika dengan kurang ajar, lelaki penghadang merunduk ke arahnya sedang tangannya hendak menjamah pipi gadis itu.

Dengan tiba-tiba.... Bletak!

"Adawww!"

Lelaki tadi menjerit kuat-kuat. Jidatnya berdenyut-denyut luar biasa. Sakitnya seperti langsung turun ke jempol kakinya.

"Bocah kecil keparat!" Makinya kalap. Tangannya mendekap kening.

Tresnasari sendiri sudah menggenggam satu belatinya di tangan kanan. Dengan ujung gagang belati itu, dihantamnya kening si lelaki kurang ajar.

Bukan main murkanya lelaki penghadang. Kepalanya benar-benar dibuat benjut sebesar uang logam oleh seorang bocah perempuan kecil. Oleh bocah perempuan kecil? Bayangkan! Bukan cuma kepalanya saja berdenyut-denyut, cuping hidungnya pun ikut berdenyut-denyut saking gusarnya. Terutama karena Angon Luwak menertawai kejadian itu dari tempatnya.

"Rupanya kau ingin cepat-cepat mampus, heh?!" Meluncur serapah susulan si lelaki penghadang. Dilanjutkan dengan tamparan keras sekaligus deras ke pipi Tresnasari.

Wukh!

Telapak tangan besar itu tinggal berjarak satu jari lagi dari pipi si gadis kecil. Sebelum benar-benar sampai, dengan gesit, Tresnasari merundukkan badan. Dilemparnya tubuh ke depan. Di tanah dia berguling sekali. Kakinya terjulur lurus, seperti patukan cepat seekor ular.

Begh!

"Ngekh!" Mata penyerangnya mendelik.

Masih di tempatnya berdiri, lelaki itu terdiam dengan badan setengah membungkuk. Tangannya mendekap benda kesayangannya kuat-kuat. Wajahnya menyeramkan sekali untuk dikatakan sebagai manusia. Sebentar berwarna merah, sebentar kemudian berwarna biru, selanjutnya memucat. Pasti dia merasakan penderitaan lahir batin yang luar biasa....

Tresnasari sendiri sudah berdiri kembali. Terlihat senyum nakalnya tersembul samar. Santai didekatinya lelaki kejang tadi. Tak peduli dianggap kurang ajar atau tidak, dijulurkannya tangan ke kening lelaki tadi.

"Kalau sudah waktunya jatuh, kenapa tidak juga mau jatuh?" Ucapnya enteng sambil mendorong kepala lelaki tadi ke belakang.

Setelah itu, lelaki korban 'kenakalan'nya tumbang ke belakang. Mata keempat kawannya tak berkedip menyaksikan kejadian tersebut. Mereka sama sekali tak habis pikir bagaimana bocah perempuan kecil dapat demikian mudah mempecundangi kawan mereka? Tak habis pikir pula, bagaimana bocah yang dianggap mentah seperti Tresnasari sanggup melancarkan serangan secepat ular sendok? Setelah itu, cuma kemarahan besar yang mengisi benak masing-masing.

Dua lelaki bersenjatakan gada berbandul baja berduri melangkah gusar ke dekat Tresnasari dan ibunya.

"Kau akan merasakan akibat dari kelancanganmu, Bocah!" Ancam salah seorang dari mereka dengan wajah amat ketat, menyeramkan. Satu sudut bibirnya tertarik ke atas, memperlihatkan sebagian barisan gigi yang tak cuma berwarna kuning langsat, tapi juga diselipi sisa cabe merah!

Wajah Angon Luwak di kejauhan berubah. Dia melihat gelagat yang tak baik. Menyeruak dorongan dalam dirinya untuk membantu dua perempuan ibu-anak itu. Satu sifat yang sesungguhnya menjadi bagian kuat dalam diri si bocah.

Angon Luwak hendak beranjak, tapi ditahan pemilik warung.

"Kenapa Pak Tua?" Tanya Angon Luwak, tak setuju dengan tindakan lelaki tua itu mencegahnya.

"Mereka itu adalah kawanan orang-orang telengas," Susul pemilik kedai.

"Tak peduli mereka orang-orang telengas sekali pun," Gerutu Angon Luwak.

Pak tua pemilik warung melirik Angon Luwak sejenak. Punya nyali juga anak ini, pikirnya.

Sampai saat itu, nama si bocah saja belum sempat diketahuinya. Tapi, sudah banyak hal yang pantas dikagumi dalam diri anak itu.

Masalahnya sekarang, nyali besar si bocah saja tak cukup untuk menghadapi para lelaki pengacau itu. Dibanding mereka, Angon Luwak bukanlah apa-apa. Bagaimana pula dia bisa membantu perempuan dan anaknya tadi?

"Aku bukan ingin meremehkan kau, Bocah. Aku cuma tak ingin terjadi apa-apa padamu, mengingat siapa mereka. Mereka terbiasa bertarung dan bertempur. Biasa membunuh. Lagi pula, tampaknya dua perempuan itu dapat mengatasi mereka," Tambah pemilik kedai.

Angon Luwak seperti tidak menanggapi seluruh perkataan pemilik kedai. Dengan nekat, dia menerjang tangan si pemilik kedai begitu saja.

"Bocah, tunggu!" Tahan pemilik kedai.

Sayang, usahanya sia-sia.

Angon Luwak terus berjalan cepat dengan langkah-langkah lebar terbanting. Lagaknya sudah seperti seorang jawara yang siap membuat babak-belur cecunguk-cecunguk. Kalau sudah begitu, pemilik kedai cuma bisa geleng-geleng kepala. Dahinya agak berkerut memperlihatkan kekhawatiran. Sebaliknya, sinar matanya memperlihatkan tekad untuk turun tangan bila bocah nekat itu dalam bahaya.

Sementara itu, salah seorang dari dua lelaki bersenjatakan gada berbandul baja berduri sudah merangsak Tresnasari. Gadis itu sendiri sudah beranjak maju dua-tiga langkah, seakan sengaja menyongsong serangan lawan.

"Tahu rasa kau, Anak Sundal!" Makinya seraya melayangkan satu tamparan keras dengan punggung tangan.

Seperti lelaki yang telah menjadi korban tendangan Tresnasari, tampaknya lelaki ini pun merasa jatuh gengsi jika menyerang secara membabi-buta seorang bocah kecil. Perempuan pula.

Dia berniat hanya memberi pelajaran keras pada Tresnasari. Pelajaran keras itu benar-benar dimaksudkan 'keras', karena tamparannya dilakukan dengan tenaga penuh. Andai gadis sebaya Tresnasari terkena, tentu tubuhnya akan terlempar.

Tapi yang terjadi? Tanpa banyak kesulitan, Tresnasari menangkis tamparan keji tadi dengan pergelangan tangan mungilnya.

"Hait!"

Deg!

Ketika itulah mata penyerangnya terbuka lebar. Semestinya, tubuh Tresnasari terjajar saat memapaki tamparan kuat lawan. Ukuran tubuh gadis belasan itu saja tak lebih dari setengah tubuh penyerangnya. Tapi, nyatanya dia masih tegak di atas kuda-kudanya. Tangan mungilnya bahkan tak terlihat tergetar menyambut tamparan lawan.

Sebaliknya, si lelaki penyerang malah tersurut mundur satu tindak. Di samping karena terkejut mendapati kenyataan di luar perkiraan, dia juga merasakan nyeri di sekujur tangannya.

"Sialan, anak ini tak bisa dibuat main-main!" Desisnya nyaris tak terdengar.

Meski merasa begitu nyeri di bagian tangan, sengaja dia tak mendekapnya. Juga diusahakannya agar mimik wajahnya tak memperlihatkan hal itu. Lagi-lagi itu persoalan agar tak jatuh gengsi.

Sewaktu kegeramannya menanjak dan perhatiannya tertuju lekat-lekat pada Tresnasari, tahu-tahu saja 'nyelonong' sebuah kepala ke perutnya tanpa permisi lagi. Kebetulan pula arahnya dari samping, menyebabkan dia luput menyadari serangan gelap barusan.

Begh!

"Ngek!"

Lelaki tadi terjajar mundur, lebih jauh dari sebelumnya. Tangannya mendekap perut. Matanya melotot seperti hendak mencelat keluar. Bukan itu saja, lidahnya pun terjulur. Kalau saja rahangnya mengeras, tentu lidahnya akan tergigit putus saat itu juga.

Sekarang, dia tak bisa lagi merisaukan soal jatuh gengsi. Bagaimana bisa kalau wajahnya saat itu saja sudah tak meyakinkan lagi?

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Pendekar Sinting dari Laut Selatan   70. Part 5 (Kembar Jelita)

    Tiga sodokan sisi telapak kakinya kembali lolos begitu saja. Kepala lawan yang hendak dijadikan sasaran bergerak nyaris tak kentara. Bahkan oleh mata lawan yang banyak tahu tentang ilmu olah kanuragan. Terbukti dengan dimenangkannya satu partai pertandingan belum lama.Kepala lawan yang tertutup tudung seperti berpindah-pindah tempat meski badannya sendiri sama sekali tak bergeming. Bila kaki lelaki perlente menohok ke samping kiri, kepala orang bertudung tahu-tahu sudah condong ke samping kanan. Begitu sebaliknya. Di akhir serangan beruntun, kaki lelaki perlente membuat satu putaran dengan bertumpu pada sends lututnya. Seakan hendak dipeluntirnya kepala orang bertudung.Jika orang bertudung hanya menggerakkan lehernya sekali ini, maka tak akan ada kemungkinan baginya untuk selamat. Sebab, putaran kaki lawan menutup ruang gerak yang bisa dijangkau otot lehernya.Wukh! Tep!Bergerak bagai bayangan, tangan orang bertudung mendadak sontak terangkat, dan disa

  • Pendekar Sinting dari Laut Selatan   70. Part 4 (Kembar Jelita)

    Disana terdapat taman kecil asri. Beberapa jenis bebungaan ditanam di sana. Di tengah-tengah taman, ada semacam kolam pemandian. Sejuk airnya, mengundang. Kalau bukan di tempat orang, dia akan segera buka pakaian dan langsung terjun. Kalau perlu bugil, bugil sekalian! Dia jadi ingat masa kecilnya dulu. Bagaimana dia terjun bugil-bugil ke laut lepas di pantai Ketawang....Hey, Angon Luwak terhenyak. Sebagian ingatan masa lalunya kini mulai kembali! Selama ini, bayang-bayang masa kecilnya itu sama sekali tak terngiang di benaknya. Selagi tertakjub dengan sekelumit ingatannya, perhatian pemuda itu diusik oleh suara tangisan seorang wanita dari balik dinding kayu bangunan. Karena suara tangisan itu begitu halus, Angon Luwak beringsut mendekati dinding kayu di bawah jendela. Dia ingin meyakinkan diri.‘Jangan-jangan cuma salah dengar,’ pikirnya.Ditempelkannya telinga ke dinding. Benar, memang ada seorang perempuan sedang menangis di dalam sana."S

  • Pendekar Sinting dari Laut Selatan   70. Part 3 (Kembar Jelita)

    Di sampingnya, Bupati Kudus turut melangkah terburu. Seorang lelaki menjelang tua. Penghormatannya wajar-wajar saja. Tak seperti sang Saudagar. Senyum tulusnya mengembang. Wajahnya bersih dan enak dipandang."Waduh, waduh Gusti Patih, selamat datang!" sambut sang Saudagar, berlebihan.Bagaspati turun dari punggung kuda. Diikuti Angon Luwak dan Tresnasari. Kuda mereka digiring seorang kacung ke kandang. Dengan terbungkuk-bungkuk dalam, sang Saudagar mempersilakan Bagaspati, Angon Luwak dan Tresnasari untuk melangkah ke pendapa rumahnya.Beberapa undangan di pendapa serentak bangkit dan menghaturkan hormat pada tiga orang tamu yang baru datang. Hidung Angon Luwak kembang-kempis. Baru sekali ini dia merasakan suasana seperti itu. Biarpun dia tahu sebenarnya penghormatan itu ditujukan untuk Bagaspati. Jalannya digagah-gagahkan. Rasanya, dialah sang Patih yang dihormati.‘Sekali-kali, bolehlah bermimpi,’ gumam Angon Luwak dalam hati. Ngaco! Coba ka

  • Pendekar Sinting dari Laut Selatan   70. Part 2 (Kembar Jelita)

    Bagaspati terpaksa tersenyum lagi mendengar cerocos Angon Luwak. Padahal, sebelumnya pemuda itu justru yang tak sabar meminta penjelasan. Sampai akhirnya Angon Luwak menyadari sendiri kebodohannya."He he he, aku terlalu banyak ngomong, ya Kang?" ujarnya lugu, dengan ringisan malu-malu (dan sedikit 'malu-maluin'!).“Kau siap mendengar penjelasanku?" tanya Patih Bagaspati.Angon Luwak mengangguk. Dia tak ingin membiarkan mulutnya ngoceh lagi. Kalau sedang bingung. mulutnya sering kali sulit dikendalikan. Maunya "nyambar' terus seperti mercon."Begini..." Bagaspati memulai. "Sebenarnya, tindakanku menyelinap di atas wuwungan adalah rencana Kanjeng Susuhan sendiri....""Ah, masa'!" perangah Angon Luwak. Matanya membesar. Langkahnya terhenti."Ya. Beliau bermaksud menguji kepandaianmu selaku seorang pendekar muda. Lalu, aku diperintah untuk mengujinya.'"Ah, buat apa menguji aku segala" Angon Luwak tak percaya. Benar-benar tak perca

  • Pendekar Sinting dari Laut Selatan   70. Part 1 (Kembar Jelita)

    KERATON Demak di penghujung dini hari. Kekacauan baru saja pupus, berkawal kokok ayam jantan pertama di pagi buta, Seluruh prajurit Keraton Demak berkumpul di luar, di Taman Sari dekat dengan ruang peristirahatan raja. Raden Fatah berdiri di antara mereka, mengawasi kejadian di samping satu tiang keraton. Meski baru saja berkecamuk kekacauan, parasnya sama sekali tak berubah. Tetap tenang, tetap dengan kesejukannya. Seolah badai hebat pun tak bisa mempengaruhi paras lelaki tua berwibawa itu.Di tengah-tengah pelataran Taman Sari, seorang lelaki berpakaian hitam-hitam tergeletak lemah. Mulut dan hidungnya mengalirkan darah. Wajahnya yang keras dan kokoh demikian pucat. Menderita sekali tampaknya. Terlihat dari caranya mendekap dada. Juga dari garis-garis di wajahnya. Susah payah dia berusaha bergerak bangkit.Di atas wuwungan ruang peristirahatan, berdiri seorang pemuda gagah berambut lurus panjang kemerahan hingga sebatas bahu. Dia mengenakan rompi putih dari kulit bin

  • Pendekar Sinting dari Laut Selatan   69. Part 21 (Dendam Nini Jonggrang)

    Lagi-lagi Angon Luwak cengar-cengir lugu. Dalam hati, Angon Luwak merasa tak pantas mendapat pujian dari orang besar dan mulia seperti Raden Patah yang sudah berusia cukup lanjut. Kalau mengingat bagaimana masa-masa muda gemilang pendiri Kerajaan Demak itu yang sering didengarnya dari cerita-cerita masyarakat, Angon Luwak merasa tak berarti apa-apa.Pernah Angon Luwak mendengar, masa muda Raden Patah sudah diisi dengan perjuangan tak kunjung padam. Tak kenal letih. Tak kenal waktu. Bahkan sampai kini, di usianya yang sudah cukup tua. Bukan karena dalam dirinya masih mengalir darah raja-raja Majapahit. Melainkan karena keluhuran budi pekertinya dalam godokan pemuka-pemuka masyarakat yang tak diragukan pula keluhuran jiwanya.Membayangkan masa muda Raden Patah; membuat dorongan semangat dalam diri Angon Luwak untuk mengikuti jejaknya.Malam sudah cukup larut. Angon Luwak diberi kamar di dekat ruang pasang-rahan. Tresnasari mendapat kamar tersendiri, berseberangan

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status