Masuk"Biar tahu rasa kau!"
Terdengar bentakan dari si penyerang gelap. Siapa lagi kalau bukan Angon Luwak? Menyaksikan cara menyerang si bocah yang begitu konyol, mendadak saja terurailah tawa kecil Tresnasari.
"Hi-hi-hi!"
Ditertawakan begitu, Angon Luwak jadi tersinggung. Sudah ditolong kok malah menertawakan, protesnya dalam hati. Jelas-jelas itu tidak adil. Dia berbalik. Dipelototinya bocah perempuan itu.
"Kenapa tertawa?!" Hardiknya sok galak.
Tanpa mempedulikan kedongkolan Angon Luwak, Tresnasari mencemooh. "Jurus apa yang kau pakai itu? Seumur hidup, aku baru kali ini menyaksikan jurus 'sehebat' itu. Hi-hi-hi...."
"Ah, peduli setan dengan segala macam jurus! Terserah kau mau sebut apa. Mau kau sebut jurus, 'kepala rasa nanas', kek, mau apa kek...," Sergah Angon Luwak panas.
Jawaban seenak dengkul Angon Luwak makin membuat tawa gadis tanggung itu terjangkit. Dia terpingkal-pingkal dengan mendekap perutnya. Sampai....
"Hei, Bocah Kunyuk!"
Satu bentakan terdengar persis di belakang Angon Luwak. Bocah itu terperanjat. Cepat dibalikkannya tubuh.
Bugh! Satu hantaman keras melanda ulu hatinya.
Lelaki yang sebelumnya menerima serangan asal jadi Angon Luwak berusaha membalas perbuatan si bocah berambut kemerahan dengan tendangan lurus tak tanggung-tanggung.
Kontan saja tubuh kurus Angon Luwak terpental dua-tiga tombak. Layaknya karung pasir, tubuh anak itu jatuh berdebam di permukaan jalan. Dia menggeliat-geliat menahan rasa sesak hebat di atas tanah.
Akibat rasa sesak tersebut, menarik napas saja sudah teramat sulit baginya. Otot-otot dadanya seperti mengejang seketika dan tak dapat dikendalikan lagi. Padahal tendangan yang menimpanya tadi hanya tendangan biasa. Tenaga yang dipakai pun masih tenaga luar.
Lalu apa jadinya kalau tendangan tadi disalurkan tenaga dalam? Benar perkataan lelaki tua pemilik kedai, Angon Luwak jelas tidak berarti apa-apa bagi kawanan pengacau tadi.
Untuk menghadapi satu tendangan salah seorang dari mereka saja, si bocah berhati baja sudah tak berkutik, casarnya Angon Luwak memiliki sifat pantang menyerah, dengan terseok-seok memegangi dada, dia berusaha bangkit. Meskipun saat itu boleh dibilang dadanya belum seluruhnya dapat menarik udara secara wajar.
Belum sempat anak itu berdiri tegak, penyerangnya sudah berjalan ke arahnya, siap menghadiahinya satu hajaran lagi.
"Matamu benar-benar buta, Bocah Kunyuk. Kau tidak tahu dengan siapa kini kau berhadapan, heh?" Rutuknya.
Paras lelaki itu sarat ancaman, berbaur kegeraman. Tiba di dekat Angon Luwak, lelaki tadi menggerakkan kakinya kembali. Hendak dijejakannya tumit kaki ke punggung si pemuda tanggung.
"Biar mampus sekalian kau!"
Sebelum Angon Luwak didarati hantaman yang lebih parah tersebut.... Wesss.... Clep!
"Aaah!"
Mulut si penyerang melontarkan lengkingan. Kaki kanannya yang telah terangkat tinggi, urung mendarati punggung Angon Luwak. Satu belati telah menancap tepat di pinggir luar kakinya dan menembus hingga ke luar.
Kaki itu seperti sedang disate melebar! Dapat dibayangkan bagaimana rasanya. Lelaki tadi pun berjingkat-jingkat liar di tempat dengan sebelah kaki. Kaki yang lain dipeganginya sambil terus berteriak-teriak.
Pada saat berikutnya, satu sosok-tubuh mungil melayang gesit membentuk salto sekali di udara. Dengan amat cepat, disambarnya belati yang menancap di kaki sang korban tanpa sedikit pun menyentuh satu bagian tubuhnya.
Slap!
"Masih bagus aku hanya mengarahkan belati ini ke kakimu. Bagaimana kalau kuarahkan ke lehermu?" Tukas Tresnasari dengan gaya seorang ksatria wanita, setelah menyambar kembali belatinya. Dia berdiri empat langkah dari lelaki korban belatinya. Tangannya menggenggam belati berlumur darah.
"Aku lebih suka kalau belati itu menancap di lehernya! Kalau aku jadi kau, itu yang akan kulakukan. Tapi, kau sendiri tampaknya memang bodoh!" Sela Angon Luwak, terengah.
Sekali ini, mata Tresnasarilah yang ganti mendeliki bocah dekil berambut kemerahan itu. Menyaksikan dua rekan mereka dipecundangi oleh gadis tanggung berpakaian merah hati, tiga lelaki lain menjadi kalap. Dalam hati, mereka juga merasa terhina dengan semua itu.
Wajah mereka seperti dilempari kotoran kerbau! Hanya oleh seorang gadis baru besar saja dua orang di antara mereka dibuat keok. Satu roboh karena kantong ajimatnya dibuat nyaris pecah. Seorang lagi jadi lumpuh karena satu kakinya tertembus belati. Keterlaluan sekali, pikir mereka.
Dalam benak ketiganya, sudah tak terbetik lagi untuk tanggung-tanggung menghajar si bocah perempuan tanggung. Kalau sudah tahu akibat yang terjadi pada dua kawannya, tentunya mereka akan menganggap Tresnasari sebagai lawan tangguh yang patut diperhitungkan. Ditambah lagi oleh kekalapan mereka yang sudah mendaki naik sampai ke ubun-ubun. Karena itu, serempak mereka mengeluarkan senjata masing-masing.
Seorang mengeluarkan gada berbandul baja berdurinya. Yang lain meloloskan sepasang pedang pendek dari punggungnya. Sisanya langsung memutar-mutar tombak bermata tiga.
Tresnasari pun lantas dikepung mereka.
Melihat gelagat yang makin memanas, Tresnasari tak ingin bertindak ceroboh. Tentu saja dia tak bisa menganggap remeh serangan dari tiga lelaki kasar sekaligus. Nyawanya menjadi taruhan.
Sang ibu, masih tenang-tenang saja di tempatnya. Jaraknya dengan Tresnasari kini sekitar sepuluh tombak. Kalau berniat membantu, tentunya dia akan cepat bergerak mendekati anaknya.
Itu tidak dilakukan!
Pertanda dia yakin putri tunggalnya mampu mengatasi kesulitan tersebut.
"Kau akan menyesal, Anak Perempuan Sial! Karena setelah hari ini, umurmu tak akan bertambah barang sehari pun!" Ancam lelaki bersenjata tombak bermata tiga sambil memutar ujung tombaknya seperti sebuah baling-baling tajam.
"Jangan terlalu yakin!" Dengus Tresnasari.
Tak tampak kepanikan pada wajah bocah perempuan muda itu. Yang kentara jelas justru garis-garis kesiapan bertarung. Di masing-masing tangannya sudah siap belati. Sesekali belati itu berputar cepat di antara jari-jemari mungil halusnya.
Ketiga calon lawan bergerak membuat putaran di sekeliling Tresnasari, seakan sengaja berniat mengacaukan konsentrasinya.
Lelaki bersenjata sepasang pedang pendek membuat gerakan membacok ke seluruh penjuru, seperti gerakan seorang yang sedang membentengi diri dari serangan. Sedangkan lelaki bersenjata gada berbandul besi berduri memutar-mutar senjatanya di atas kepala Gerak berkekuatan serta terarah senjata mereka membentuk dengung kencang menggetarkan nyali.
Tapi, tidak untuk si bocah perempuan. Secuil pun tak ada kengerian terbetik di benaknya. Tampaknya, dia telah tergojlok untuk menghadapi serangan-serangan semacam itu.
"Hei! Kalian mau bertarung atau hendak adu keras suara senjata! Kalau cuma itu, kenapa kalian tak mengganti saja senjata kalian dengan gasing bambu yang bisa memperdengarkan dengung tanpa harus mengeluarkan tenaga terlalu banyak," Oceh Angon Luwak. Gayanya seolah dia menguasai jurus-jurus silat.
Dasar tong kosong berbunyi nyaring! Apa dikiranya perkelahian orang-orang persilatan itu cuma main terjang kalang-kabut seperti kakek kebakaran jenggot?
"Diam kau!" Hardik Tresnasari.
"Kau juga! Kenapa tak kau tusuk saja mereka, suk... suk... suk! Kan, beres?!" Sengit Angon Luwak.
Wajah Tresnasari merah bukan main mendengar perkataan si bocah bermulut lancang. Selama ini, dia meyakini kalau ilmu silatnya sudah cukup mahir.
Perlu waktu bertahun-tahun untuk menyempurnakan setiap jurus yang dikuasainya, Tapi, kunyuk dekil satu ini malah mengajarkan seenaknya saja. Seolah bocah berambut kemerahan itu menganggap bertarung dengan mengandalkan jurus itu tak beda dengan buang hajat, tinggal jongkok beberapa saat lalu beres! Sedang ngotot-ngototnya si gadis muda tanggung mencemberuti Angon Luwak, serangan lawan datang.
"Putus lehermu, Setan Alas Kecil!"
Wukh! Angon Luwak terkesiap.
"Hei awas!!" Teriaknya memperingati.
Lalu si lancang mulut itu cepat-cepat mendekap wajah. Ngeri sekali dia membayangkan sepasang pedang pendek akan membabat leher perempuan yang sebenarnya ditaksirnya itu.
Saat itu, hilang entah ke mana sikap sok jagonya. Dengan kesigapan mengagumkan, Tresnasari menjemput serangan pembuka lawan.
Diayunkannya sepasang belati ke arah datangnya suara pedang berkelebat. Hanya dengan mengandalkan kepekaan nalurinya, gadis tanggung itu sanggup mementahkan serangan lawan tanpa melihat terlebih dahulu.
Trang! Dan terperciklah lidah api dari benturan dua pasang senjata mereka.
Setelah mendengar suara benturan senjata, Angon Luwak baru berani mengintip dari sela-sela jarinya, Wuh, syukurlah perempuan cantik judes itu tak apa-apa, bisiknya membatin.
Serangan selanjutnya melanda Tresnasari seperti serbuan air bah. Tiga lawannya menyerang sekaligus. Itu sebenarnya perbuatan pengecut.
Dalam aturan para ksatria dunia persilatan, tak terhormat jika menyerang dari belakang. Apalagi main keroyokan terhadap seorang yang dianggap jauh lebih mentah pengalaman. Sayang, mereka memang bukan para ksatria.
Ketika sehimpun senjata meluruk berbarengan ke arah Tresnasari dari arah berbeda....
Trang-trang!
Seketika senjata-senjata tadi bermentalan ke segenap penjuru.
Dalam kecepatan yang deras pula. Tombak bermata tiga dan satu pedang pendek menancap dalam di dua tiang kedai yang jaraknya cukup jauh dari kancah pertarungan.
Tresnasari sendiri tak memperlihatkan gerak sama sekali ketika semua itu terjadi. Dia masih siap dalam kuda-kuda kokohnya. Wajahnya memperlihatkan keterkejutan. Sebaliknya, pikirannya sendiri cepat mengambil kesimpulan. Tentu, itu tadi perbuatan Nyai, simpulnya.
Berbeda dengan dugaan ketiga penyerangnya. Mereka justru menyangka bahwa kejadian barusan adalah tindakan Tresnasari.
Mereka terperangah.
Ketiganya mundur teratur.
Tak bisa dipercaya mereka kalau seorang anak bisa bergerak tanpa terlihat dan sanggup membuat senjata mereka terpental berbarengan. Apa itu tidak menakjubkan mereka? Padahal, mereka saja yang bodoh. Maka, tanpa perlu digebah ketiganya segera ngacir dengan kuda masing-masing.
Sepeninggalan mereka, Angon Luwak mencak-mencak tak karuan. Entah jurus apa yang dikeluarkan. Semuanya serba ngawur. Mulutnya bersat-sut-sat-sut, mengikuti gerakan silat dari negeri Antah Berantah! Sambil menatap para pecundang yang berkuda di kejauhan, bibirnya mencibir.
"Cuma sebegitu saja? Heh, tak ada apa-apanya...," Ocehnya.
-o0o-
Tiga sodokan sisi telapak kakinya kembali lolos begitu saja. Kepala lawan yang hendak dijadikan sasaran bergerak nyaris tak kentara. Bahkan oleh mata lawan yang banyak tahu tentang ilmu olah kanuragan. Terbukti dengan dimenangkannya satu partai pertandingan belum lama.Kepala lawan yang tertutup tudung seperti berpindah-pindah tempat meski badannya sendiri sama sekali tak bergeming. Bila kaki lelaki perlente menohok ke samping kiri, kepala orang bertudung tahu-tahu sudah condong ke samping kanan. Begitu sebaliknya. Di akhir serangan beruntun, kaki lelaki perlente membuat satu putaran dengan bertumpu pada sends lututnya. Seakan hendak dipeluntirnya kepala orang bertudung.Jika orang bertudung hanya menggerakkan lehernya sekali ini, maka tak akan ada kemungkinan baginya untuk selamat. Sebab, putaran kaki lawan menutup ruang gerak yang bisa dijangkau otot lehernya.Wukh! Tep!Bergerak bagai bayangan, tangan orang bertudung mendadak sontak terangkat, dan disa
Disana terdapat taman kecil asri. Beberapa jenis bebungaan ditanam di sana. Di tengah-tengah taman, ada semacam kolam pemandian. Sejuk airnya, mengundang. Kalau bukan di tempat orang, dia akan segera buka pakaian dan langsung terjun. Kalau perlu bugil, bugil sekalian! Dia jadi ingat masa kecilnya dulu. Bagaimana dia terjun bugil-bugil ke laut lepas di pantai Ketawang....Hey, Angon Luwak terhenyak. Sebagian ingatan masa lalunya kini mulai kembali! Selama ini, bayang-bayang masa kecilnya itu sama sekali tak terngiang di benaknya. Selagi tertakjub dengan sekelumit ingatannya, perhatian pemuda itu diusik oleh suara tangisan seorang wanita dari balik dinding kayu bangunan. Karena suara tangisan itu begitu halus, Angon Luwak beringsut mendekati dinding kayu di bawah jendela. Dia ingin meyakinkan diri.‘Jangan-jangan cuma salah dengar,’ pikirnya.Ditempelkannya telinga ke dinding. Benar, memang ada seorang perempuan sedang menangis di dalam sana."S
Di sampingnya, Bupati Kudus turut melangkah terburu. Seorang lelaki menjelang tua. Penghormatannya wajar-wajar saja. Tak seperti sang Saudagar. Senyum tulusnya mengembang. Wajahnya bersih dan enak dipandang."Waduh, waduh Gusti Patih, selamat datang!" sambut sang Saudagar, berlebihan.Bagaspati turun dari punggung kuda. Diikuti Angon Luwak dan Tresnasari. Kuda mereka digiring seorang kacung ke kandang. Dengan terbungkuk-bungkuk dalam, sang Saudagar mempersilakan Bagaspati, Angon Luwak dan Tresnasari untuk melangkah ke pendapa rumahnya.Beberapa undangan di pendapa serentak bangkit dan menghaturkan hormat pada tiga orang tamu yang baru datang. Hidung Angon Luwak kembang-kempis. Baru sekali ini dia merasakan suasana seperti itu. Biarpun dia tahu sebenarnya penghormatan itu ditujukan untuk Bagaspati. Jalannya digagah-gagahkan. Rasanya, dialah sang Patih yang dihormati.‘Sekali-kali, bolehlah bermimpi,’ gumam Angon Luwak dalam hati. Ngaco! Coba ka
Bagaspati terpaksa tersenyum lagi mendengar cerocos Angon Luwak. Padahal, sebelumnya pemuda itu justru yang tak sabar meminta penjelasan. Sampai akhirnya Angon Luwak menyadari sendiri kebodohannya."He he he, aku terlalu banyak ngomong, ya Kang?" ujarnya lugu, dengan ringisan malu-malu (dan sedikit 'malu-maluin'!).“Kau siap mendengar penjelasanku?" tanya Patih Bagaspati.Angon Luwak mengangguk. Dia tak ingin membiarkan mulutnya ngoceh lagi. Kalau sedang bingung. mulutnya sering kali sulit dikendalikan. Maunya "nyambar' terus seperti mercon."Begini..." Bagaspati memulai. "Sebenarnya, tindakanku menyelinap di atas wuwungan adalah rencana Kanjeng Susuhan sendiri....""Ah, masa'!" perangah Angon Luwak. Matanya membesar. Langkahnya terhenti."Ya. Beliau bermaksud menguji kepandaianmu selaku seorang pendekar muda. Lalu, aku diperintah untuk mengujinya.'"Ah, buat apa menguji aku segala" Angon Luwak tak percaya. Benar-benar tak perca
KERATON Demak di penghujung dini hari. Kekacauan baru saja pupus, berkawal kokok ayam jantan pertama di pagi buta, Seluruh prajurit Keraton Demak berkumpul di luar, di Taman Sari dekat dengan ruang peristirahatan raja. Raden Fatah berdiri di antara mereka, mengawasi kejadian di samping satu tiang keraton. Meski baru saja berkecamuk kekacauan, parasnya sama sekali tak berubah. Tetap tenang, tetap dengan kesejukannya. Seolah badai hebat pun tak bisa mempengaruhi paras lelaki tua berwibawa itu.Di tengah-tengah pelataran Taman Sari, seorang lelaki berpakaian hitam-hitam tergeletak lemah. Mulut dan hidungnya mengalirkan darah. Wajahnya yang keras dan kokoh demikian pucat. Menderita sekali tampaknya. Terlihat dari caranya mendekap dada. Juga dari garis-garis di wajahnya. Susah payah dia berusaha bergerak bangkit.Di atas wuwungan ruang peristirahatan, berdiri seorang pemuda gagah berambut lurus panjang kemerahan hingga sebatas bahu. Dia mengenakan rompi putih dari kulit bin
Lagi-lagi Angon Luwak cengar-cengir lugu. Dalam hati, Angon Luwak merasa tak pantas mendapat pujian dari orang besar dan mulia seperti Raden Patah yang sudah berusia cukup lanjut. Kalau mengingat bagaimana masa-masa muda gemilang pendiri Kerajaan Demak itu yang sering didengarnya dari cerita-cerita masyarakat, Angon Luwak merasa tak berarti apa-apa.Pernah Angon Luwak mendengar, masa muda Raden Patah sudah diisi dengan perjuangan tak kunjung padam. Tak kenal letih. Tak kenal waktu. Bahkan sampai kini, di usianya yang sudah cukup tua. Bukan karena dalam dirinya masih mengalir darah raja-raja Majapahit. Melainkan karena keluhuran budi pekertinya dalam godokan pemuka-pemuka masyarakat yang tak diragukan pula keluhuran jiwanya.Membayangkan masa muda Raden Patah; membuat dorongan semangat dalam diri Angon Luwak untuk mengikuti jejaknya.Malam sudah cukup larut. Angon Luwak diberi kamar di dekat ruang pasang-rahan. Tresnasari mendapat kamar tersendiri, berseberangan







