Sepekan berlalu.
Siang di pusat Kadipaten Ketawang. Saat itu matahari terhalang mendung. Sinarnya tak terlalu menyiksa. Angin sejuk sepoi-sepoi berdenyut, mempermainkan dedaunan pepohonan.
Seorang anak lelaki dekil berjalan gontai dijalan pusat pemerintahan Kadipaten Ketawang. Wajahnya demikian lusuh. Penampilannya sudah mirip gembel. Wajahnya pucat. Anak itu adalah Angon Luwak.
Sepekan lalu, ketika dia tersadar, disaksikannya seluruh kampung telah porak-poranda. Yang terlihat di sana cuma tebaran kematian. Beberapa mayat bergelimpangan. Entah itu perempuan tua, bocah-bocah kecil atau para lelaki malang. Amukan gelombang laut telah menumpas mereka. Seluruh penduduk desa mati. Tak ada yang tersisa, bahkan sekadar hewan ternak. Kecuali dirinya.
Di sisi tubuhnya tergeletak mayat seorang wanita setengah baya. Tangan Angon Luwak masih menggenggam kuat pergelangan tangan perempuan setengah baya itu. Pertanda betapa kokohnya kemauan kuat dalam diri si bocah yang ingin menyelamatkan nyawa orang lain. Sampai dia kehilangan kesadaran pun, tangannya tetap menggenggam pergelangan tangan si perempuan setengah baya.
Dengan mata mengerjap-erjap, mencoba menyingkirkan rasa berat serta berdenyut-denyut di kepalanya, si bocah kecil Angon Luwak mengangkat kepalanya dari posisi tertelungkup. Tubuhnya terasa demikian lemah. Serasa tulang-belulang diloroti dari dagingnya.
Setelah cukup kuat mengumpulkan tenaga, dia bangkit terseok. Dia berdiri gontai. Ditatapinya gelimpangan mayat di mana-mana. Ditatapinya kepingan-kepingan kayu gubuk penduduk. Juga bangkai-bangkai hewan. Juga benda-benda berserakan.
Hatinya pilu. Giris menyelinap. Betapa dia tak mempercayai pemandangan yang tergelar di depan matanya.
"Apa yang telah terjadi?" Bisiknya mendesah.
Apa yang terjadi? Satu pertanyaan yang terdengar ganjil. Bahkan untuk dipertanyakan pada dirinya sendiri.
Ya, semestinya Angon Luwak tahu musibah apa yang telah menimpa desanya. Tapi, saat itu dia tak ingat apa yang telah terjadi. Lebih jauh dari itu, dia bahkan tak ingat siapa dirinya. Tak ingat asal-usulnya. Tak ingat pada seorang perempuan setengah baya yang beberapa waktu sebelumnya berlari-lari berjuang menyelamatkan nyawa bersamanya.
"Kenapa aku berada di sini?" Bisiknya lagi.
Didekatinya mayat perempuan setengah baya tadi. Ditatapinya wajah mayat yang telentang menyedihkan itu. Lama. Gurat-gurat wajah pucat yang diisi keriput itu seperti pernah dikenalnya.
Tapi kapan? Di mana? Semuanya tak jelas lagi di benak Angon Luwak. Ada bayang-bayang yang timbul-tenggelam, lalu mengabur sama sekali dalam benaknya.
Yang cuma dia tahu, bahwa namanya adalah Angon Luwak. Kemudian, ditatapinya lagi seluruh pemandangan mengenaskan di depannya dengan tatapan kosong.
-o0o-
Matahari di atas pusat Kadipaten Ketawang masih juga tak berkutik menghadapi kepungan awan gelap. Beberapa orang terlihat hilir-mudik di jalan utama berbatu koral. Satu dua pedati sesekali melintas dalam kecepatan sedang. Angon Luwak sampai di kedai di pinggir jalan.
Sebenarnya, tempat itu lebih tepat disebut warung makan kecil, menilik bentuknya yang terlalu sederhana dibanding kedai biasa. Tempat yang hanya berupa sawungan kecil dengan satu meja besar.
Di atas meja terdapat piring-piring tanah liat berisi makanan. Ada lauk-pauk, buah-buahan dan makanan kecil goreng. Di kedua belah tiang di sisi sawungan, tergantung beberapa sisir pisang ambon. Warnanya mengundang selera. Di tiga sisi meja besar dari belahan kayu asam, terdapat tiga bangku panjang.
Salah satu bangku panjang diduduki oleh dua lelaki berpakaian hitam-hitam berikat kepala kain hitam pula. Keduanya duduk mengangkat sebelah kaki ke atas bangku. Salah seorang lelaki bertubuh tinggi besar. Dadanya bidang berbulu lebat. Selebat kumis baplangnya. Di kain pengikat pinggangnya terselip sebilah golok besar.
Lelaki yang lain berbadan pendek gemuk. Mulutnya tak berhenti memamah makanan. Baru saja tenggorokannya menelan yang dikunyah, sudah dimasukkan lagi makanan ke dalam mulut. Pipinya tebal seperti pipi seekor kelinci. Di pinggang lelaki gemuk itu pun terselip sebilah senjata. Badik panjang tepatnya.
Sesekali terdengar pembicaraan serius mereka, diselingi tawa lepas. Salah seorang terbatuk-batuk ketika tersedak kopi.
Pemilik warung makan adalah seorang lelaki tua berperawakan kekar. Masih tampak otot-otot kekarnya. Meski berkerut, wajahnya masih menampakkan kegarangan. Selagi mudanya kemungkinan besar dia seorang jawara.
"Mau apa kau, Bocah?" Tegur pemilik kedai, mendapati kedatangan Angon Luwak.
Cukup lama bocah itu hanya berdiri memandangi makanan di atas meja. Jakunnya berkali-kali turun naik. Perutnya memang sudah terasa sangat lapar. Sejak malam tadi dia belum makan nasi. Hanya sepotong singkong bakar pemberian seorang lelaki gembel yang sempat mengisi perutnya.
"Saya ingin makan, tapi tak punya kepeng (Mata uang cina yang berlaku pada masa itu), Pak Tua," Kata Angon Luwak.
Tak ada kesan memelas dalam kata-katanya. Dalam hati kecil anak itu, memang tak terbersit keinginan untuk meminta belas kasihan orang lain. Pemilik warung makan tertawa kecil.
"Bagaimana kau ini? Kau ingin makan di warungku, tapi kau tak punya uang...," Katanya ringan seraya menggelenggelengkan kepala.
Dua lelaki pengunjung warung tertawa tergelak-gelak mendengar jawaban polos Angon Luwak.
"Kalau begitu, boleh aku membantumu agar aku bisa sedikit mengisi perut?" Usul Angon Luwak. Tetap tak terlihat kesan memelas di wajah bocah tiga belas tahun itu. Garis-garis parasnya tetap memperlihatkan ketegaran, meski demikian pucat.
"Bagaimana kalau aku tidak mengizinkan?" Tanya lelaki tua pemilik warung.
Angon Luwak agak kecewa. Terlihat sekali dari perubahan wajahnya. Namun, kekuatan hatinya tidak menyebabkan dia lantas mengeluh.
"Tidak apa-apa. Mungkin memang belum ada rezeki yang bisa kumakan," Sahut Angon Luwak perlahan. Dia hendak beranjak meninggalkan warung.
"Tunggu, Bocah!" Tahan pemilik warung.
"Aku bukan orang yang tak punya perasaan. Aku menerima kau!" Sambungnya dengan wajah menampakkan kekaguman terhadap sikap tegar yang jarang dimiliki oleh seorang bocah seusia Angon Luwak.
Angon Luwak berbalik. Sepasang mata bergaris kuatnya berbinar.
"Kalau begitu, apa yang bisa kukerjakan sekarang, Pak Tua?!" Burunya, bersemangat. Padahal tubuhnya sendiri masih terlalu lemah untuk melakukan pekerjaan.
"Ha-ha-ha, aku suka sekali padamu, Bocah!" Puji lelaki berkumis baplang pengunjung warung.
Sama seperti pemilik warung, diam-diam kedua pengunjungnya pun merasa kagum pada sifat Angon Luwak. Biasanya, anak gelandangan yang mereka temukan cuma bisa merengek-rengek memancing rasa iba untuk meminta sedekah. Kebanyakan dari mereka menjengkelkan. Kalau tidak diberikan, mereka akan menguntit terus di belakang. Tak jarang di antara mereka menarik-narik lengan baju.
Sementara bocah satu ini berbeda sama sekali. Dia bahkan lebih suka bersusah-payah terlebih dahulu meski tubuhnya sudah lemah.
"Siapa namamu, Cah Bagus?" Tanya pengunjung bertubuh gemuk. Ditepuknya bahu kurus, namun bertulang bagus Angon Luwak.
"Angon Luwak, Kang."
"Hari ini, aku merasa harus berbuat baik pada Bocah sepertimu. Makanlah sekenyangnya, biar aku yang bayar. Kau tak usah mengeluarkan tenagamu untuk itu..." Sambung si pengunjung tambun.
Dengan tangan yang lain, disodorkannya piring berisi tumpukan ketan kelapa pada Angon Luwak.
"Ayo, ambil! Jangan ragu!" Tukasnya.
Angon Luwak menatap ketan itu sambil menelan air liur. Betapa menggoda makanan bertabur kelapa parut itu. Tentu rasanya nikmat bukan main. Apalagi saat perutnya demikian lapar. Tapi Angon Luwak malah menggelengkan kepala.
"Maaf, Kang. Bukannya aku tak ingin menerima kebaikan Kakang. Aku tahu, tak ada rezeki yang boleh ditolak. Tapi, aku sudah berjanji pada Pak Tua pemilik warung untuk membantunya,"
Tolak Angon Luwak sopan. Mendengar jawaban Angon Luwak, kedua pengunjung warung dan pemiliknya tertawa kembali. Satu cara mereka mengagumi jiwa besar si bocah.
"Kau akan jadi orang besar, Bocah! Orang besar, aku yakin itu!" Ujar Pak Tua pemilik warung. Angon Luwak hanya mengernyitkan kening tak mengerti.
"Kalau begitu, cepatlah kau makan terlebih dahulu. Aku tak bisa mempekerjakan seseorang jika dia loyo macam kau!" Kelakarnya lagi seraya menarik pangkal lengan Angon Luwak.
Menjelang sore, dua orang mendatangi kedai. Satu orang perempuan berusia empat puluhan. Sedang seorang lagi bocah perempuan sebaya Angon Luwak. Dari wajahnya, tampak kalau mereka adalah Ibu dan anak.
Sang ibu, meski berusia terbilang cukup tua namun masih memperlihatkan sisa pesona kecantikannya. Wajahnya anggun. Sinar mata berbulu lentiknya memancarkan perbawa yang jarang dimiliki kebanyakan wanita. Dia mengenakan pakaian silat berwarna ungu. Kepalanya ditutup caping. Anaknya adalah seorang bocah perempuan bermata bulat berbinar-binar. Wajahnya mungil. Dari pancar matanya, terpancar keriangan dan kepercayaan diri yang kuat. Rambutnya panjang diikat ekor kuda. Anak perempuan itu mengenakan pakaian silat berwarna merah hati. Di pinggangnya, terselip sepasang belati besar.
"Selamat sore, Pak Tua...," Tabik si perempuan berpakaian ungu seraya melepas capingnya. Ketika itulah terlihat lebih jelas raut wajahnya. Pucat dan bersimbah keringat. Bersit matanya memendam penderitaan. Ada penyakit yang mendekam dalam tubuhnya dan menyiksanya selama ini.
"Selamat sore...," Balas Pak Tua pemilik warung ramah.
"Ada yang bisa saya bantu, Tuan-tuan Putri?"
"Aku perlu arak. Apakah kau masih punya persediaan?" Tanya perempuan berpakaian ungu.
"O, tentu!"
Angon Luwak tanpa diperintah segera mengambilkan dua kendi arak dari bawah meja besar. Sambil merunduk, matanya mencuri-curi pandang ke arah bocah perempuan. Cantik, nilainya terkagum-kagum. Si bocah perempuan kebetulan sedang memperhatikannya.
"Huh!"
Dengus bocah perempuan. Dianggapnya mata Angon Luwak telah berbuat lancang. Angon Luwak malu hati. Wajahnya memerah. Cepat-cepat dia meletakkan kendi arak ke atas meja sambil berpura-pura tak melihat perubahan wajah si bocah perempuan.
"Berapa?" Tanya perempuan berpakaian ungu.
"Tiga keping kepeng, Tuan Putri," Jawab Pak Tua pemilik warung.
Perempuan berwajah pucat itu cepat mengeluarkan tiga keping uang dari kantong kulit kecil di pinggangnya. Diberikan uang itu pada pemilik warung.
"Terima kasih, Pak Tua," Haturnya seraya melangkah.
Sementara itu, anaknya masih terus memelototi Angon Luwak dengan wajah judes. Angon Luwak sendiri jadi salah tingkah. Begini salah, begitupun salah. Dadanya jadi dag-dig-dug tak karuan.
"Hendak ke mana kau?!" Bentak Ki Kusumo, baru saja empat langkah Angon Luwak menjejakkan kaki di atas pasir pantai.Mendadak saja, tubuh Angon Luwak sulit digerakkan. Bukan cuma sepasang kakinya yang memberat seperti dipaku langsung ke dalam bumi, tubuhnya pun sulit digerakkan. Anak itu mematung dalam posisi orang melangkah, membelakangi Ki Kusumo."Kalau kau ingin terus berdiam diri di situ sampai beberapa hari, kau boleh menolak ajakanku sekarang," Ancam Ki Kusumo. Main-main tentunya. Angon Luwak tidak menyahut. Meski Ki Kusumo tidak membuat otot mulutnya kaku juga."Aku cuma ingin bicara padamu. Apa salahnya?" Bujuk Ki Kusumo."Salahnya, kau terlalu memaksa Pak Tua," Ucap Angon Luwak akhirnya, keras kepala."Tapi aku ingin membicarakan satu hal penting.""Tapi mestinya kau menanyakan dulu padaku, apakah aku mau kau ajak bicara atau tidak," Sengit Angon Luwak.Si orang tua yang sampai saat itu belum diketahui jati diri sesungguhnya
"Kau yang menyebabkan Nyai terluka parah, Kambing Buduk Brengsek!" Makinya seperti suara orang hendak menangis."Sudahlah, Cah Ayu...," Ki Kusumo mencoba menengahi. Kalau tidak, pasti satu jotosan bersarang empuk kembali di wajah Angon Luwak. Bisa jadi juga berkali-kali. Mungkin sampai Angon Luwak pingsan lagi. Siapa tahu? Masih dengan dada turun-naik dibakar kegusaran, si dara tanggung meninggalkan gubuk.Pintu dikuaknya lebar-lebar, membiarkan sinar matahari lancang menerobos masuk. Mata Angon Luwak menyipit, silau diterjang sinar terang."Apa yang terjadi dengan Bibik, Pak Tua?" Tanya Angon Luwak tergesa, ketika terngiang hardikan Tresnasari terakhir."Ibu perempuan itu yang kau maksud?"Ki Kusumo meminta kejelasan seraya menyerahkan gelas bambu pada Angon Luwak. Angon Luwak menerima. Sambil menyambut sodoran gelas bambu tadi, ditunggunya jawaban orang tua yang sedang mengaduk-aduk sesuatu di dalam mangkuk tanah liat dengan tangan kanannya.
Darah hitam termuntah dari mulutnya. Kalau saja dia tak dalam keadaan sakit, tentu luka dalam yang dideritanya tak akan separah itu. Tresnasari meraung-raung memanggil-manggil ibunya. Dari tempatnya berdiri, dia berlari memburu Nyai Cemarawangi! Tiba di dekatnya, disergapnya tubuh perempuan itu sambil bersimpuh."Nyai tidak apa-apa?" Tanya gadis ayu itu tersendat-sendat dihadang isak.Air mata membasahi kedua pipi kemayunya. Ibunya tak bisa menjawab, kecuali menggelengkan kepala. Dia ingin meyakinkan anaknya kalau keadaan dirinya tak perlu dikhawatirkan.Sayang, darah kehitaman yang terus merembes keluar dari sela-sela bibir pucatnya mengatakan suatu yang lain. Beranglah Tresnasari. Cepat dicabutnya kembali sepasang belati dari ikat pinggang. Dia bangkit dengan wajah mengeras."Orang itu harus membayar perlakuannya terhadap Nyai," Geramnya."Jjj... jangan, Tresna...."Sang ibunda hendak menahan. Tresnasari sudah telanjur berlari menghambur k
Orang tua sakti misterius itukah yang telah sengaja menyalurkan tenaga dalamnya ke diri Angon Luwak hingga membuatnya sanggup bertahan terhadap terjangan kekuatan tenaga dalam yang disalurkan Dirgasura dalam bentakannya? Ah, Ki Kusumo sendiri saat itu malah sedang sibuk menggeleng-gelengkan kepala. Biar mampus disambar capung, dia terheran-heran menyaksikan si bocah sehat wal'afiat.Padahal Ki Kusumo sudah mengukur kekuatan teriakan bertenaga dalam kedua Dirgasura. Teriakan itu lebih kuat dari sebelumnya. Mestinya, keadaan Angon Luwak akan semakin parah. Bahkan bisa-bisa pula tak sadarkan diri.Semalam dia dibuat bertanya-tanya dalam hati karena si bocah yang ditaksirnya hendak dijadikan murid ternyata sanggup mengalahkan 'sirap'nya. Kini terjadi hal lain lagi. Benar-benar tak bisa dimengerti!Merasa telah dikelabui dari awal, Dirgasura jadi penasaran. "Siapa kau sebenarnya?" Tanya Dirgasura, ditujukan pada Angon Luwak.Angon Luwak tak memperhatikan. Dia
Sementara sekumpulan orang yang menjadi sasaran rambahan serbuk tadi di udara, tak pernah menyadari bahwa tangan-tangan maut siap menjemput! Mereka hanya menatap tak mengerti dengan wajah penuh tanda tanya. Sampai akhirnya beberapa orang pertama terkena tebaran serbuk. Teriakan mereka memecah keheningan suasana dan keheningan pagi muda.Kala itulah yang lain menyadari kalau serbuk tadi adalah racun ganas. Sayang, mereka sudah terlambat untuk menghindar. Tak ada beberapa tarikan napas saja, seluruh prajurit malang tadi sudah menggelepar-gelepar di lapangan rumput yang masih dilembabi embun. Kulit mereka berubah memerah laksana terpanggang. Ketika tangan mereka menggaruk-garuk liar, kulit pun mengelupas. Mereka bergelinjangan terus. Saling tindih, saling menyentak. Sampai akhirnya, racun yang terserap kulit mereka digiring aliran darah dan sampai ke jantung. Jantung mereka terbakar.Seluruh prajurit tewas! Saat itulah, entah bagaimana salah seorang dari mereka ternyata l
Wrrr....!Krakh!Ketika gulungan tubuh Tresnasari terbuka, sebelah kakinya menghentak amat keras ke tengah-tengah batang tombak. Tombak terpatah dua. Patahannya memburu deras ke arah tubuh lelaki bengis.Creph! "Ukh!"Hanya sempat memperdengarkan hentakan napas teramat pendek tercekat, si lelaki bertubuh kekar ambruk dengan leher tertembus patahan batang tombak dari samping!"Kau tak perlu berbuat itu padanya, Tresna...," Tegur Nyai Cemarawangi."Tapi dia pantas menerimanya. Apa Nyai tak lihat sifatnya tak lebih baik dari binatang?" Kilah Tresna.Si perempuan menjelang tengah baya menggeleng-gelengkan kepala lamat."Bocah perempuan keparat!!!"Sebuah suara lantang melantun kasar. Dedaunan bergemerisik. Sebagian berguguran. Tubuh Angon Luwak tersentak kejang. Pertahanan anak tak berbekal ilmu bela diri itu langsung ambrol. Dia jatuh berlutut dalam keadaan menggigil.Tresnasari pun tersentak.Cuma dia tak sep