Share

2. Hilang Ingatan

last update Last Updated: 2025-01-08 14:37:04

Sepekan berlalu.

Siang di pusat Kadipaten Ketawang. Saat itu matahari terhalang mendung. Sinarnya tak terlalu menyiksa. Angin sejuk sepoi-sepoi berdenyut, mempermainkan dedaunan pepohonan.

Seorang anak lelaki dekil berjalan gontai dijalan pusat pemerintahan Kadipaten Ketawang. Wajahnya demikian lusuh. Penampilannya sudah mirip gembel. Wajahnya pucat. Anak itu adalah Angon Luwak.

Sepekan lalu, ketika dia tersadar, disaksikannya seluruh kampung telah porak-poranda. Yang terlihat di sana cuma tebaran kematian. Beberapa mayat bergelimpangan. Entah itu perempuan tua, bocah-bocah kecil atau para lelaki malang. Amukan gelombang laut telah menumpas mereka. Seluruh penduduk desa mati. Tak ada yang tersisa, bahkan sekadar hewan ternak. Kecuali dirinya.

Di sisi tubuhnya tergeletak mayat seorang wanita setengah baya. Tangan Angon Luwak masih menggenggam kuat pergelangan tangan perempuan setengah baya itu. Pertanda betapa kokohnya kemauan kuat dalam diri si bocah yang ingin menyelamatkan nyawa orang lain. Sampai dia kehilangan kesadaran pun, tangannya tetap menggenggam pergelangan tangan si perempuan setengah baya.

Dengan mata mengerjap-erjap, mencoba menyingkirkan rasa berat serta berdenyut-denyut di kepalanya, si bocah kecil Angon Luwak mengangkat kepalanya dari posisi tertelungkup. Tubuhnya terasa demikian lemah. Serasa tulang-belulang diloroti dari dagingnya.

Setelah cukup kuat mengumpulkan tenaga, dia bangkit terseok. Dia berdiri gontai. Ditatapinya gelimpangan mayat di mana-mana. Ditatapinya kepingan-kepingan kayu gubuk penduduk. Juga bangkai-bangkai hewan. Juga benda-benda berserakan.

Hatinya pilu. Giris menyelinap. Betapa dia tak mempercayai pemandangan yang tergelar di depan matanya.

"Apa yang telah terjadi?" Bisiknya mendesah.

Apa yang terjadi? Satu pertanyaan yang terdengar ganjil. Bahkan untuk dipertanyakan pada dirinya sendiri.

Ya, semestinya Angon Luwak tahu musibah apa yang telah menimpa desanya. Tapi, saat itu dia tak ingat apa yang telah terjadi. Lebih jauh dari itu, dia bahkan tak ingat siapa dirinya. Tak ingat asal-usulnya. Tak ingat pada seorang perempuan setengah baya yang beberapa waktu sebelumnya berlari-lari berjuang menyelamatkan nyawa bersamanya.

"Kenapa aku berada di sini?" Bisiknya lagi.

Didekatinya mayat perempuan setengah baya tadi. Ditatapinya wajah mayat yang telentang menyedihkan itu. Lama. Gurat-gurat wajah pucat yang diisi keriput itu seperti pernah dikenalnya.

Tapi kapan? Di mana? Semuanya tak jelas lagi di benak Angon Luwak. Ada bayang-bayang yang timbul-tenggelam, lalu mengabur sama sekali dalam benaknya.

Yang cuma dia tahu, bahwa namanya adalah Angon Luwak. Kemudian, ditatapinya lagi seluruh pemandangan mengenaskan di depannya dengan tatapan kosong.

-o0o-

Matahari di atas pusat Kadipaten Ketawang masih juga tak berkutik menghadapi kepungan awan gelap. Beberapa orang terlihat hilir-mudik di jalan utama berbatu koral. Satu dua pedati sesekali melintas dalam kecepatan sedang. Angon Luwak sampai di kedai di pinggir jalan.

Sebenarnya, tempat itu lebih tepat disebut warung makan kecil, menilik bentuknya yang terlalu sederhana dibanding kedai biasa. Tempat yang hanya berupa sawungan kecil dengan satu meja besar.

Di atas meja terdapat piring-piring tanah liat berisi makanan. Ada lauk-pauk, buah-buahan dan makanan kecil goreng. Di kedua belah tiang di sisi sawungan, tergantung beberapa sisir pisang ambon. Warnanya mengundang selera. Di tiga sisi meja besar dari belahan kayu asam, terdapat tiga bangku panjang.

Salah satu bangku panjang diduduki oleh dua lelaki berpakaian hitam-hitam berikat kepala kain hitam pula. Keduanya duduk mengangkat sebelah kaki ke atas bangku. Salah seorang lelaki bertubuh tinggi besar. Dadanya bidang berbulu lebat. Selebat kumis baplangnya. Di kain pengikat pinggangnya terselip sebilah golok besar.

Lelaki yang lain berbadan pendek gemuk. Mulutnya tak berhenti memamah makanan. Baru saja tenggorokannya menelan yang dikunyah, sudah dimasukkan lagi makanan ke dalam mulut. Pipinya tebal seperti pipi seekor kelinci. Di pinggang lelaki gemuk itu pun terselip sebilah senjata. Badik panjang tepatnya.

Sesekali terdengar pembicaraan serius mereka, diselingi tawa lepas. Salah seorang terbatuk-batuk ketika tersedak kopi.

Pemilik warung makan adalah seorang lelaki tua berperawakan kekar. Masih tampak otot-otot kekarnya. Meski berkerut, wajahnya masih menampakkan kegarangan. Selagi mudanya kemungkinan besar dia seorang jawara.

"Mau apa kau, Bocah?" Tegur pemilik kedai, mendapati kedatangan Angon Luwak.

Cukup lama bocah itu hanya berdiri memandangi makanan di atas meja. Jakunnya berkali-kali turun naik. Perutnya memang sudah terasa sangat lapar. Sejak malam tadi dia belum makan nasi. Hanya sepotong singkong bakar pemberian seorang lelaki gembel yang sempat mengisi perutnya.

"Saya ingin makan, tapi tak punya kepeng (Mata uang cina yang berlaku pada masa itu), Pak Tua," Kata Angon Luwak.

Tak ada kesan memelas dalam kata-katanya. Dalam hati kecil anak itu, memang tak terbersit keinginan untuk meminta belas kasihan orang lain. Pemilik warung makan tertawa kecil.

"Bagaimana kau ini? Kau ingin makan di warungku, tapi kau tak punya uang...," Katanya ringan seraya menggelenggelengkan kepala.

Dua lelaki pengunjung warung tertawa tergelak-gelak mendengar jawaban polos Angon Luwak.

"Kalau begitu, boleh aku membantumu agar aku bisa sedikit mengisi perut?" Usul Angon Luwak. Tetap tak terlihat kesan memelas di wajah bocah tiga belas tahun itu. Garis-garis parasnya tetap memperlihatkan ketegaran, meski demikian pucat.

"Bagaimana kalau aku tidak mengizinkan?" Tanya lelaki tua pemilik warung.

Angon Luwak agak kecewa. Terlihat sekali dari perubahan wajahnya. Namun, kekuatan hatinya tidak menyebabkan dia lantas mengeluh.

"Tidak apa-apa. Mungkin memang belum ada rezeki yang bisa kumakan," Sahut Angon Luwak perlahan. Dia hendak beranjak meninggalkan warung.

"Tunggu, Bocah!" Tahan pemilik warung.

"Aku bukan orang yang tak punya perasaan. Aku menerima kau!" Sambungnya dengan wajah menampakkan kekaguman terhadap sikap tegar yang jarang dimiliki oleh seorang bocah seusia Angon Luwak.

Angon Luwak berbalik. Sepasang mata bergaris kuatnya berbinar.

"Kalau begitu, apa yang bisa kukerjakan sekarang, Pak Tua?!" Burunya, bersemangat. Padahal tubuhnya sendiri masih terlalu lemah untuk melakukan pekerjaan.

"Ha-ha-ha, aku suka sekali padamu, Bocah!" Puji lelaki berkumis baplang pengunjung warung.

Sama seperti pemilik warung, diam-diam kedua pengunjungnya pun merasa kagum pada sifat Angon Luwak. Biasanya, anak gelandangan yang mereka temukan cuma bisa merengek-rengek memancing rasa iba untuk meminta sedekah. Kebanyakan dari mereka menjengkelkan. Kalau tidak diberikan, mereka akan menguntit terus di belakang. Tak jarang di antara mereka menarik-narik lengan baju.

Sementara bocah satu ini berbeda sama sekali. Dia bahkan lebih suka bersusah-payah terlebih dahulu meski tubuhnya sudah lemah.

"Siapa namamu, Cah Bagus?" Tanya pengunjung bertubuh gemuk. Ditepuknya bahu kurus, namun bertulang bagus Angon Luwak.

"Angon Luwak, Kang."

"Hari ini, aku merasa harus berbuat baik pada Bocah sepertimu. Makanlah sekenyangnya, biar aku yang bayar. Kau tak usah mengeluarkan tenagamu untuk itu..." Sambung si pengunjung tambun.

Dengan tangan yang lain, disodorkannya piring berisi tumpukan ketan kelapa pada Angon Luwak.

"Ayo, ambil! Jangan ragu!" Tukasnya.

Angon Luwak menatap ketan itu sambil menelan air liur. Betapa menggoda makanan bertabur kelapa parut itu. Tentu rasanya nikmat bukan main. Apalagi saat perutnya demikian lapar. Tapi Angon Luwak malah menggelengkan kepala.

"Maaf, Kang. Bukannya aku tak ingin menerima kebaikan Kakang. Aku tahu, tak ada rezeki yang boleh ditolak. Tapi, aku sudah berjanji pada Pak Tua pemilik warung untuk membantunya,"

Tolak Angon Luwak sopan. Mendengar jawaban Angon Luwak, kedua pengunjung warung dan pemiliknya tertawa kembali. Satu cara mereka mengagumi jiwa besar si bocah.

"Kau akan jadi orang besar, Bocah! Orang besar, aku yakin itu!" Ujar Pak Tua pemilik warung. Angon Luwak hanya mengernyitkan kening tak mengerti.

"Kalau begitu, cepatlah kau makan terlebih dahulu. Aku tak bisa mempekerjakan seseorang jika dia loyo macam kau!" Kelakarnya lagi seraya menarik pangkal lengan Angon Luwak.

Menjelang sore, dua orang mendatangi kedai. Satu orang perempuan berusia empat puluhan. Sedang seorang lagi bocah perempuan sebaya Angon Luwak. Dari wajahnya, tampak kalau mereka adalah Ibu dan anak.

Sang ibu, meski berusia terbilang cukup tua namun masih memperlihatkan sisa pesona kecantikannya. Wajahnya anggun. Sinar mata berbulu lentiknya memancarkan perbawa yang jarang dimiliki kebanyakan wanita. Dia mengenakan pakaian silat berwarna ungu. Kepalanya ditutup caping. Anaknya adalah seorang bocah perempuan bermata bulat berbinar-binar. Wajahnya mungil. Dari pancar matanya, terpancar keriangan dan kepercayaan diri yang kuat. Rambutnya panjang diikat ekor kuda. Anak perempuan itu mengenakan pakaian silat berwarna merah hati. Di pinggangnya, terselip sepasang belati besar.

"Selamat sore, Pak Tua...," Tabik si perempuan berpakaian ungu seraya melepas capingnya. Ketika itulah terlihat lebih jelas raut wajahnya. Pucat dan bersimbah keringat. Bersit matanya memendam penderitaan. Ada penyakit yang mendekam dalam tubuhnya dan menyiksanya selama ini.

"Selamat sore...," Balas Pak Tua pemilik warung ramah.

"Ada yang bisa saya bantu, Tuan-tuan Putri?"

"Aku perlu arak. Apakah kau masih punya persediaan?" Tanya perempuan berpakaian ungu.

"O, tentu!"

Angon Luwak tanpa diperintah segera mengambilkan dua kendi arak dari bawah meja besar. Sambil merunduk, matanya mencuri-curi pandang ke arah bocah perempuan. Cantik, nilainya terkagum-kagum. Si bocah perempuan kebetulan sedang memperhatikannya.

"Huh!"

Dengus bocah perempuan. Dianggapnya mata Angon Luwak telah berbuat lancang. Angon Luwak malu hati. Wajahnya memerah. Cepat-cepat dia meletakkan kendi arak ke atas meja sambil berpura-pura tak melihat perubahan wajah si bocah perempuan.

"Berapa?" Tanya perempuan berpakaian ungu.

"Tiga keping kepeng, Tuan Putri," Jawab Pak Tua pemilik warung.

Perempuan berwajah pucat itu cepat mengeluarkan tiga keping uang dari kantong kulit kecil di pinggangnya. Diberikan uang itu pada pemilik warung.

"Terima kasih, Pak Tua," Haturnya seraya melangkah.

Sementara itu, anaknya masih terus memelototi Angon Luwak dengan wajah judes. Angon Luwak sendiri jadi salah tingkah. Begini salah, begitupun salah. Dadanya jadi dag-dig-dug tak karuan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pendekar Sinting dari Laut Selatan   70. Part 5 (Kembar Jelita)

    Tiga sodokan sisi telapak kakinya kembali lolos begitu saja. Kepala lawan yang hendak dijadikan sasaran bergerak nyaris tak kentara. Bahkan oleh mata lawan yang banyak tahu tentang ilmu olah kanuragan. Terbukti dengan dimenangkannya satu partai pertandingan belum lama.Kepala lawan yang tertutup tudung seperti berpindah-pindah tempat meski badannya sendiri sama sekali tak bergeming. Bila kaki lelaki perlente menohok ke samping kiri, kepala orang bertudung tahu-tahu sudah condong ke samping kanan. Begitu sebaliknya. Di akhir serangan beruntun, kaki lelaki perlente membuat satu putaran dengan bertumpu pada sends lututnya. Seakan hendak dipeluntirnya kepala orang bertudung.Jika orang bertudung hanya menggerakkan lehernya sekali ini, maka tak akan ada kemungkinan baginya untuk selamat. Sebab, putaran kaki lawan menutup ruang gerak yang bisa dijangkau otot lehernya.Wukh! Tep!Bergerak bagai bayangan, tangan orang bertudung mendadak sontak terangkat, dan disa

  • Pendekar Sinting dari Laut Selatan   70. Part 4 (Kembar Jelita)

    Disana terdapat taman kecil asri. Beberapa jenis bebungaan ditanam di sana. Di tengah-tengah taman, ada semacam kolam pemandian. Sejuk airnya, mengundang. Kalau bukan di tempat orang, dia akan segera buka pakaian dan langsung terjun. Kalau perlu bugil, bugil sekalian! Dia jadi ingat masa kecilnya dulu. Bagaimana dia terjun bugil-bugil ke laut lepas di pantai Ketawang....Hey, Angon Luwak terhenyak. Sebagian ingatan masa lalunya kini mulai kembali! Selama ini, bayang-bayang masa kecilnya itu sama sekali tak terngiang di benaknya. Selagi tertakjub dengan sekelumit ingatannya, perhatian pemuda itu diusik oleh suara tangisan seorang wanita dari balik dinding kayu bangunan. Karena suara tangisan itu begitu halus, Angon Luwak beringsut mendekati dinding kayu di bawah jendela. Dia ingin meyakinkan diri.‘Jangan-jangan cuma salah dengar,’ pikirnya.Ditempelkannya telinga ke dinding. Benar, memang ada seorang perempuan sedang menangis di dalam sana."S

  • Pendekar Sinting dari Laut Selatan   70. Part 3 (Kembar Jelita)

    Di sampingnya, Bupati Kudus turut melangkah terburu. Seorang lelaki menjelang tua. Penghormatannya wajar-wajar saja. Tak seperti sang Saudagar. Senyum tulusnya mengembang. Wajahnya bersih dan enak dipandang."Waduh, waduh Gusti Patih, selamat datang!" sambut sang Saudagar, berlebihan.Bagaspati turun dari punggung kuda. Diikuti Angon Luwak dan Tresnasari. Kuda mereka digiring seorang kacung ke kandang. Dengan terbungkuk-bungkuk dalam, sang Saudagar mempersilakan Bagaspati, Angon Luwak dan Tresnasari untuk melangkah ke pendapa rumahnya.Beberapa undangan di pendapa serentak bangkit dan menghaturkan hormat pada tiga orang tamu yang baru datang. Hidung Angon Luwak kembang-kempis. Baru sekali ini dia merasakan suasana seperti itu. Biarpun dia tahu sebenarnya penghormatan itu ditujukan untuk Bagaspati. Jalannya digagah-gagahkan. Rasanya, dialah sang Patih yang dihormati.‘Sekali-kali, bolehlah bermimpi,’ gumam Angon Luwak dalam hati. Ngaco! Coba ka

  • Pendekar Sinting dari Laut Selatan   70. Part 2 (Kembar Jelita)

    Bagaspati terpaksa tersenyum lagi mendengar cerocos Angon Luwak. Padahal, sebelumnya pemuda itu justru yang tak sabar meminta penjelasan. Sampai akhirnya Angon Luwak menyadari sendiri kebodohannya."He he he, aku terlalu banyak ngomong, ya Kang?" ujarnya lugu, dengan ringisan malu-malu (dan sedikit 'malu-maluin'!).“Kau siap mendengar penjelasanku?" tanya Patih Bagaspati.Angon Luwak mengangguk. Dia tak ingin membiarkan mulutnya ngoceh lagi. Kalau sedang bingung. mulutnya sering kali sulit dikendalikan. Maunya "nyambar' terus seperti mercon."Begini..." Bagaspati memulai. "Sebenarnya, tindakanku menyelinap di atas wuwungan adalah rencana Kanjeng Susuhan sendiri....""Ah, masa'!" perangah Angon Luwak. Matanya membesar. Langkahnya terhenti."Ya. Beliau bermaksud menguji kepandaianmu selaku seorang pendekar muda. Lalu, aku diperintah untuk mengujinya.'"Ah, buat apa menguji aku segala" Angon Luwak tak percaya. Benar-benar tak perca

  • Pendekar Sinting dari Laut Selatan   70. Part 1 (Kembar Jelita)

    KERATON Demak di penghujung dini hari. Kekacauan baru saja pupus, berkawal kokok ayam jantan pertama di pagi buta, Seluruh prajurit Keraton Demak berkumpul di luar, di Taman Sari dekat dengan ruang peristirahatan raja. Raden Fatah berdiri di antara mereka, mengawasi kejadian di samping satu tiang keraton. Meski baru saja berkecamuk kekacauan, parasnya sama sekali tak berubah. Tetap tenang, tetap dengan kesejukannya. Seolah badai hebat pun tak bisa mempengaruhi paras lelaki tua berwibawa itu.Di tengah-tengah pelataran Taman Sari, seorang lelaki berpakaian hitam-hitam tergeletak lemah. Mulut dan hidungnya mengalirkan darah. Wajahnya yang keras dan kokoh demikian pucat. Menderita sekali tampaknya. Terlihat dari caranya mendekap dada. Juga dari garis-garis di wajahnya. Susah payah dia berusaha bergerak bangkit.Di atas wuwungan ruang peristirahatan, berdiri seorang pemuda gagah berambut lurus panjang kemerahan hingga sebatas bahu. Dia mengenakan rompi putih dari kulit bin

  • Pendekar Sinting dari Laut Selatan   69. Part 21 (Dendam Nini Jonggrang)

    Lagi-lagi Angon Luwak cengar-cengir lugu. Dalam hati, Angon Luwak merasa tak pantas mendapat pujian dari orang besar dan mulia seperti Raden Patah yang sudah berusia cukup lanjut. Kalau mengingat bagaimana masa-masa muda gemilang pendiri Kerajaan Demak itu yang sering didengarnya dari cerita-cerita masyarakat, Angon Luwak merasa tak berarti apa-apa.Pernah Angon Luwak mendengar, masa muda Raden Patah sudah diisi dengan perjuangan tak kunjung padam. Tak kenal letih. Tak kenal waktu. Bahkan sampai kini, di usianya yang sudah cukup tua. Bukan karena dalam dirinya masih mengalir darah raja-raja Majapahit. Melainkan karena keluhuran budi pekertinya dalam godokan pemuka-pemuka masyarakat yang tak diragukan pula keluhuran jiwanya.Membayangkan masa muda Raden Patah; membuat dorongan semangat dalam diri Angon Luwak untuk mengikuti jejaknya.Malam sudah cukup larut. Angon Luwak diberi kamar di dekat ruang pasang-rahan. Tresnasari mendapat kamar tersendiri, berseberangan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status