Plok plok plok!“Wah wah wah! Anak cadel bisa jadi pahlawan sekarang. Hebaaat!”Tepukan tangan dan pujian yang bernada mengejek itu membuat Ardo Kenconowoto dan Aninda Maya menengok ke sumber suara. Mereka melihat Anoman, Gugusan dan Kuncung berjalan mendekat sambil tepuk tangan dan tersenyum mengejek.“Jangan berbuat jahat lagi kau, Anoman. Atau aku akan bertarung melawan kalian!” ancam Aninda Maya sambil memegangi tali kendali kudanya yang baru saja diserahkan oleh Ardo.“Aku takuuut! Hahaha!” ucap Anoman dengan mimik pura-pura takut tapi serius mengejek dan tertawa bersama dua sahabatnya.“Kami sudah selesai denganmu, Aninda. Urusan kami sekarang dengan si cadel itu,” kata Gugusan lalu menunjuk wajah Ardo yang hanya diam memandangi ketiga orang yang suka mem-bully-nya.“Walaupun dengan Aldo!” sentak Aninda mendelik marah, kian membuat kecantikan gadis itu menarik untuk diganggu.“Aldo? Hahaha...!” Anoman tertawa kencang yang diikuti oleh tawa Gugusan dan Kuncung yang sama-sama meny
Empat tahun telah berlalu.Ardo Kenconowoto telah tumbuh menjadi seorang pendekar muda berusia 20 tahun yang gagah rupawan. Kesempurnaan kerupawanannya membuat dia selalu terlihat tampan jika dipandang dari sudut mana pun. Kecuali pada satu kondisi, yaitu di saat dia bersin.Di tengah Sungai Ukirati, tidak begitu jauh dari rumah bambu tengah sungai milik Iblis Jelita, Ardo Kencowoto sedang berlatih serius.Dia terlihat sangat hebat karena dia dengan bebas bergerak di permukaan air. Langkah kakinya bebas menginjak permukaan air yang mengalir tanpa tenggelam, kecuali sebetis saja. Padahal sungai itu dalam.“Hup!” pekik Ardo yang saat itu hanya bertelanjang dada dan bercelana sedengkul. Dia melakukan lompatan salto tinggi, tapi dari depan ke belakang.Cprak!Ardo menjadarat dengan bagus di air, setelah mendapat dua kali putaran salto yang sangat cepat. Dia tetap tidak tenggelam, seolah-olah kakinya berpijak pada sungai yang sangat dangkal.Setelah mendarat, Ardo tidak jeda, tetapi langsu
Iblis Jelita berdiri tenang di atas titian yang hanya seutas tali tambang. Dia memandangi air sungai di titik jatuh dan tenggelamnya Nenek Ayu Abadi.Byuar!Dari dalam air, dari titik yang berbeda, melompat keluar sosok nenek berjubah kuning lalu mendarat di lantai bambu teras rumah Iblis Jelita. Nenek yang kuyup itu masih memegang tongkatnya. Tatapannya tajam kepada gadis cantik berpakaian biru yang berdiri tenang dan seimbang di atas tambang. Iblis Jelita telah mengubah arah hadapnya.Serss!Dari arah hulu, Ardo Kenconowoto melesat di atas permukaan air dengan mengendarai sebatang kayu. Dia yang usai menumbangkan tiga orang penyerangnya, segera pulang ke rumah saat melihat ada pendekar tua yang datang kepada gurunya.Jleg!Ardo melompat dari kendaraannya dan mendarat satu tombak di depan Nenek Ayu Abadi dengan tatapan yang tajam pula.“Bial aku yang melawannya, Nyai Sakti!” seru Ardo.Tatapan tajam Nenek Ayu Abadi jadi berubah kerutan kening saat mendengar ada yang ganjal dari cara
Ardo Kenconowoto yang telah diberi gelar Pendekar Tiga Iblis oleh gurunya, Iblis Jelita, masih duduk berlutut di depan sang guru yang duduk di balai-balai bambu.“Ulurkan kedua tanganmu!” perintah Iblis Jelita.Ardo pun mengulurkan kedua tangannya dengan telapak terbuka ke atas. Ardo memandang dan menunggu pusaka jenis apa yang akan diberikan kepadanya.Iblis Jelita lalu meletakkan kedua telapak tangannya pada telapak tangan muridnya.“Tahan!” perintah Iblis Jelita.“Iya, Nyai,” ucap Ardo.Ardo lalu mengerahkan tenaga saktinya untuk menahan ketika dia merasakan ada energi yang menekan kedua telapak tangannya. Energi itu keluar dari kedua telapak tangan Iblis Jelita seiring munculnya bias sinar ungu. Sinar ungu itu seperti sedang terhimpit oleh dua telapak tangan yang saling menekan.Ardo merasakan kedua telapak tangannya panas, tapi tidak sepanas api. Dia pun bisa merasakan ada energi yang mengalir masuk ke dalam tangannya. Tangan-tangan keduanya sempat gemetar karena menahan energi y
Ardo Kenconowoto terus berkuda menuju Tebing Pahat. Dia akan tiba di sana menjelang senja. Ardo sudah beberapa kali datang ke Tebing Pahat, tempat tinggal Iblis Satu Kaki. Jadi dia bisa mengukur durasi perjalanannya.Tidak seperti ketika pergi ke kediaman Iblis Sirih yang lancar seperti jalan tol bebas hambatan, kali ini Ardo tertarik untuk berhenti melihat satu peristiwa.Dia menghentikan kudanya di pinggir jalan. Ada tanah lapang di sisi kiri yang konturnya lebih rendah dari tanah jalanan. Di sana sedang terjadi pertarungan yang tidak seimbang, lima orang lelaki sedang mengeroyok satu orang lelaki. Jadi semuanya lelaki.Kelima lelaki yang berpakaian kuning-kuning tapi berbeda model, memiliki usia yang beragam. Ada yang muda sampai usia separuh baya. Kelimanya bersenjatakan tongkat besi pendek, tetapi pada satu ujungnya memiliki replika logam bentuk tangan. Ada tangan mengepal milik Rungga Kasa, ada tangan mencakar milik Srikil, ada tangan yang jari-jarinya lurus semua milik Suganda,
Pertolongan yang dilakukan oleh Ardo Kenconowoto terhadap Anggar Sukolaga membuat pemuda tampan itu terpaksa menunda perjalanannya ke Tebing Pahat. Dia harus membawa ayah dari Aninda Maya itu ke Lembah Jepit agar bisa diobati oleh Tabib Juku Getir. Ardo tidak banyak bertanya karena Anggar Sukolaga sudah pingsan. Ardo sampai harus mengikat tubuh Anggar Sukolaga dengan tubuhnya agar tidak jatuh saat mereka berkuda. Ardo tahu di mana letak Lembah Jepit, karena waktu dia masih usia imut-imut pernah diajak oleh Iblis Jelita ke sana menghadiri satu pertemuan pendekar. Arah menuju ke Tebing Pahat dan ke Lembah Jepit berbeda. Tebing Pahat ke arah timur, sedangkan Lembah Jepit ke arah utara. Untuk jarak Tebing Pahat lebih jauh. Ardo setengah panik karena Anggar Sukolaga tidak sadarkan diri. Dia takut orang tua itu punya niat mati. Perjalanan Ardo lancar, tidak ada begal atau penjahat yang menghadang. Dia tiba di wilayah Lembah Jepit menjelang matahari terbenam. Namun, dia tidak tahu jelas d
Akhirnya Tabib Juku Getir selesai membersihkan dan menangani luka Anggar Sukolaga. Sejumlah balutan perban melingkar di tubuh Anggar Sukolaga yang tidak berbaju. Dia belum siuman dari pingsannya.“Mohon maaf, Ki. Aku pamit pelgi, Ki,” izin Ardo Kenconowoto.“Kau mau ke mana? Lihat, sudah gelap,” tanya Tabib Juku Getir sambil menunjuk ke pintu dengan wajahnya. “Bermalamlah. Aku punya minuman bagus untuk malam hari. Belum dikatakan datang ke kediaman Tabib Juku Getir jika belum minum kopi musang luwak.”Hari memang sudah gelap. Jika Ardo memaksakan melanjutkan perjalanan ke Tebing Pahat, akan sulit. Tentunya Iblis Satu Kaki tidak akan mau ditamui tengah malam. Itu pikir Ardo. Apalagi Ardo bukanlah pacar pendekar tua itu.Mooo!Tiba-tiba terdengar suara lenguhan sapi di luar. Bukan hanya satu sapi, tapi beberapa sapi.Ardo berjalan ke pintu untuk melihat. Di dalam kegelapan yang belum begitu gulita terlihat ada belasan sapi yang sedang digiring oleh lelaki bercaping. Warna pakaiannya sam
Karena ini perkara nyawa orang cantik, Ardo Kenconowoto terpaksa gagal menikmati jagung bakar bersama Ki Pawang Api. Dia hanya menghabiskan kopi musang luwaknya.“Sudah aku katakan, jika kau menuruti permintaan Anggar Sukolaga, kau akan terlibat dalam bahaya,” kata Ki Pawang Api kepada Ardo saat hendak ditinggal. Dia agak kecewa karena batal duet makan jagung bakar yang baru mulai dipanggangnya.“Tidak apa-apa, Ki. Demi menolong olang lain,” balas Ardo sebelum meninggalkan Ki Pawang Api.Dengan membawa sebatang obor, Ardo berkuda menembus kegelapan malam meninggalkan kediaman Tabib Juku Getir. Dia harus berhati-hati dalam berkuda. Cahaya satu obor tidak begitu kuasa menerangi jalanan.Di Tengah jalan, Ardo melihat ada dua titik cahaya api yang terbang cepat mendekat. Seiring dua api itu kian mendekat, terdengar pula lari dari beberapa ekor kuda. Ternyata ada tiga ekor kuda berpenunggang dari arah depan, tetapi hanya dua orang yang membawa obor. Ketiga orang itu terdiri dari dua lelaki