Hari ini kota Batu Ceper lebih ramai dari biasanya. Banyak orang yang datang untuk menonton sayembara untuk calon menantu Tumenggung Adhyaksa.Para pria, wanita, yang tua hingga anak kecil semuanya berbindong-bondong menuju alun-alun kota. Bagi oara pemuda, mereka tampak menggunakan baju terbaik yang mereka miliki, atau menggunakan ikat kepala terkeren yang mereka punya.Tidak hanya pemuda dari Kota Batu Ceper saja yang antusias dengan acara ini, tetapi pemuda-pemuda dari desa dan kota terdekat juga ikut hadir mengadu nasib.Di sisi lain, Ki Arya Saloka yang mendapat undangan khusus dari Tumenggung Adhyaksa, berangkat lebih akhir dari Surya Yudha. Surya Yudha sudah hadir dan mendaftarkan diri, sementara Ki Arya Saloka belum terlihat batang hidungnya. Sementara itu, surya Yudha berbalik saat seseorang menepuk pundaknya."Siapa kau?" tanya Surya Yudha dengan tatapan tajam."Eh ... jangan salah paham dulu. Aku hanya ingin bertanya, apa kau berasal dari kota ini?" tanya pemuda tersebut.
"Sepertinya kau terlalu memandang tinggi Seno," ucap Surya Yudha ketika mendapati Sentot yang ternganga karena penampilan Mahesa."Bu-bukan seperti itu! Mahesa hampir tidak pernah menunjukan kemampuan penuhnya saat bertarung," elak Sentot."Begitukah?" tanya Surya Yudha yang dibalas dengan anggukan cepat dari Sentot, seperti ayam mematuk biji-bijian.Setelah Seno dan Mahesa turun, dua orang pemuda yang memiliki penampilan serupa naik ke panggung arena. Mereka berdua kembar. Selain wajah dan pakaiannya, senjata mereka juga sama, yaitu rantai dengan ujung bola besi berduri. "Kau mengenal mereka?" tanya Surya Yudha lagi."Aku hanya tahu nama mereka. Mereka Aditya dan Bagaskara. Untuk kemampuannya, aku tidak tahu pasti," balas Sentot."Menarik. Bagaskara, Aditya. Kenapa nama dengan arti matahari begitu populer? Sepertinya orang tua sekarang tak begitu kreatif," gumam Surya Yudha. Sentot yang tak sengaja mendengarnya, penasaran dengan nama orang yang sedari tadi ia ajak bicara. "Meman
Setelah beberapa pertandingan, akhirnya kini giliran Surya Yudha untuk naik. Dengan penuh percaya diri Surya Yudha melangkah ke arena. Beberapa orang menatapnya dengan tatapan merendahkan, pasalnya sebelum Surya Yudha, kebanyakan pemuda yang mengikuti sayembara akan melompat ke tengah arena dari tempat mereka berdiri. Namun, saat ini Surya Yudha bahkan terlihat berjalan dengan santai.Lawan Surya Yudha sudah berdiri di tengah arena, sedang menatap Surya Yudha dengan tatapan merendahkan."Surya,""Wera," Baik Surya Yudha mau pun Wera sama-sama pengguna pedang. Setelah perkenalan diri, mereka menarik pedang dari sarungnya. Walau Surya Yudha terlihat percaya diri, tetapi jantungnya berdebar kencang karena khawatir lawannya memiliki tenaga dalam tinggi yang akan membuatnya terluka. Namun, buru-buru ia menepis segala kerisauan di hatinya. Surya Yudha maju dan menebaskan pedang ke arah perut Wera, ketika pedangnya tak mampu mengenai sasaran, Surya Yudha berguling dan menyapukan kakin
Putaran pertama Sayembara sudah selesai. Saat ini ada 20 orang yang tersisa di antara 70 an pemuda yang mendaftar. Pada putaran kedua, Surya Yudha berhasil mengalahkan lawannya dalam satu kali serangan.Putaran kali ini sangat berbeda dari sebelumnya. Ketika putaran pertama dan kedua menggugurkan peserta dengan pertarungan, maka di putaran ketiga mereka akan beradu panahan.Masing-masing peserta akan diberikan sepuluh anak panah untuk mengenai sasaran yang sudah disiapkan. Mereka hanya diberi waktu 20 hitungan untuk menggunakan semua anak panah tersebut. Sepuluh orang dengan nilai tertinggi akan mendapat kesempatan untuk melawan Ningrum. Surya Yudha tersenyum bahagia ketika mengetahui peraturan tentang putaran ketiga. Sepertinya Sayembara ini disiapkan untukku!Sebagai seorang prajurit, dia menguasai berbagai macam senjata. Panah adalah salah satu senjata yang ia kuasai hingga tahap mahir.Mengenai sasaran tak bergerak sangat mudah, bahkan dia bisa melakukannya dengan mata tertutup
Surya Yudha berjalan dengan tenang, seperti peserta lainnya, dia membawa satu keranjang rotan berisi sepuluh anak panah dan sebuah busur kayu.Surya Yudha berhenti di lingkaran kecil berwarna putih, tempat para peserta membidik sasarannya. Dengan gerakan tenang Surya Yudha mengangkat busurnya, tangan kirinya meraih sebilah anak panah dan dengan gerakan cepat, Surya Yudha memasang anak panah tersebut di tali busur.Mata elangnya mulai menajam, fokus terhadap titik merah di tengah papan. Apa yang ada dalam pandangan mata Surya Yudha kali ini hanya sebuah titik merah, tak ada yang lain baginya.Ketika anak panah dilepas, suara siulan angin terdengar, disusul keriuhan penonton ketika melihat anak panah yang dilesatkan oleh Surya Yudha tepat mengenai titik merah.Surya Yudha kembali melakukan hal yang sama, tenaga yang ia keluarkan sedikit lebih besar dari yang pertama, ketika anak panah kedua berhasil menancap di papan sasaran, mata orang-orang yang melihatnya langsung melotot, hampir t
Ningrum dan Mahesa berdiri berhadapan, jarak antara mereka berdua hanya terpisah satu tombak. Ningrum dengan gaun kuning pucatnya yang berkibar, berdiri dengan penuh percaya diri. Tatapannya tajam dan menusuk, mengintimidasi orang yang lebih lemah darinya. Namun, aura ini sama sekali tak mempengarungi Mahesa.Mahesa, pemuda ini hidul di rimba persilatan di mana yang kuat yang berkuasa. Setiap waktu yang dia lewati sebagian besar digunakan untuk berlatih dan menempa diri. Tak jarang dia juga melatih mental dengan menerima serangan aura dari beberapa orang yang lebih kuat darinya."Sayang sekali, trik nona tidak berpengaruh untuk saya," ucap Mahesa dengan senyum tipis. Walau mukanya merah merona, tetapu tatapan yang diberikan oleh Mahesa pada Ningrum tak ada kesan mesum sedikit pun.Di tempat duduknya, Tumenggung Adhyaksa tersenyum ketika melihat sikap Mahesa. Padepokan badak putih memang bukan oadepokan besar, tetapi mereka tak jarang melahirkan pendekar tangguh yang berbudi luhur.
Setelah Mahesa dibawa turun oleh beberapa orang dari padepokan badak putih, Ningrum kembali berjalan ke tengah arena. Pemuda berikutnya yang akan bertarung dengannya adalah Wiguna, anak dari Tuan Kota batu hitam yang terkenal suka main perempuan. Wiguna, pemuda bertubuh tinggi, termasuk tampan jika dibandingkan dengan pemuda lain di sayembara ini. Bahkan, Surya Yudha setingkat di bawahnya jika membahas tentang ketampanan. Pemuda itu tersenyum manis sambil memandang wajah Ningrum yang terlihat jijik dengan Wiguna. "Nona, jika anda bersedia menjadi istriku, maka aku berjanji akan menjadikanmu istri satu-satunya."Ningrum mendengus kesal. Pemuda yang banyak bicara sepertinya harus diberi paham."Kau bisa mengatakannya setelah mengalahkan aku di sini."Wiguna mengangguk pelan, "tentu saja."Ningrum tersenyum mengejek saat mendengar jawaban Wiguna. Mahesa merupakan salah satu pemuda yang memiliki kemampuan terbaik di sekitar ini, bisa dikalahkan oleh Ningrum, apalagi Wiguna, seorang p
Setelah mengalahkan Mahesa dan Wiguna dengan mudah, dia juga bisa mengalahkan yang lainnya dengan mudah. Pancalawya juga menjadi salah satu korban keganasan Ningrum. Setelah berusaha sekuat tenaga, pemuda itu malah berakhir terluka parah karena Ningrum melawannya sekuat tenaga.Saat ini Surya Yudha berjalan dengan santai menuju tengah arena sebelum berhenti di tengah-tengah membuat dirinya bertatap muka dengan Ningrum.Surya Yudha tersenyum hangat, matanya yang tajam, kini menatap Ningrum dengan tatapan lain, sebuah tatapan meneduhkan, tatapan yang sangat jarang dilakukan oleh Surya Yudha.Di sisi lain, Ningrum tergetar hatinya setelah melihat tatapan Surya Yudha. Mata gadis tersebut berkaca-kaca setelah melihat tatapan hangat yang tak pernah ia rasakan kecuali dari Ramanya.Surya Yudha mengehela napas pelan sebelum berkata dengan lembut pada Ningrum. "Nona, yang terjadi biarlah terjadi. Aku ingin kita bersama.""Mari kita selesaikan ini dengan pertarungan," jawab Ningrum dengan air ma