Share

Penderitaan Istri Kedua Suamiku
Penderitaan Istri Kedua Suamiku
Author: UmmiNH

1. Meminta Izin

"Dek, Mas mau minta izin. Mas ... akan menikah lagi," ucapnya dengan menunduk, kini ia sedang berlutut di hadapanku.

Awalnya aku merasa terkejut, tetapi kemudian aku terkekeh. "Apa sih, Mas, kamu ada-ada aja." Aku hendak bangkit, namun dengan cepat ia menarik tanganku hingga aku kembali duduk.

"Dek, Mas serius." Kini ia mengatakannya sambil menatapku lekat.

Berusaha aku mencari kebohongan di dalam sorot matanya, tetapi aku malah menemukan kesungguhan yang membuatku terasa tertampar.

"Dengarkan Mas, Dek. Mas sudah berjanji padanya untuk menikahinya. Mas tidak bisa mengingkarinya. Mas harap kau bisa tabah menerima kenyataan ini."

Hatiku terasa sangat hancur mendengar semua itu. Kedua tangannya menggenggam erat kedua tanganku. Sangat erat. Seolah ingin menunjukkan kalau dia sangat takut kehilanganku. Sungguh Na'if.

"Kau ... Bercanda, kan, Mas? Kau tidak serius, kan?" tanyaku dengan getir. Walau sudah tahu apa yang sebenarnya.

Mas Alan mendongak dan menghirup udara dalam-dalam. "Mas serius, Ra."

Deg!

Runtuh sudah duniaku bersama dengan kata-kata yang terlontar dari bibirnya barusan. Darahku terasa berhenti mengalir hingga membuat sekujur tubuhku terasa membeku.

Waktu terasa berhenti berputar untuk sesaat, menenggelamkanku dalam keterkejutan luar biasa dengan skenario tuhan yang tak pernah kuduga.

"Kenapa, Mas?" tanyaku dengan lirih.

"Kenapa?!" ulangku dengan suara meninggi.

"Kau bilang sangat mencintaiku? Kau bilang selamanya hanya aku satu-satunya di hatimu. Tapi apa yang terjadi sekarang? Kenapa kamu jahat?" tanyaku dengan meledak-ledak.

Tetapi Mas Alan malah terus terdiam tak menjawab kemarahanku. Dan itu membuatku semakin merasa emosi dan kecewa.

Dengan cepat aku berdiri, menatapnya yang masih berlutut di lantai dengan sorot penuh amarah, seakan aku sedang menghamkiminya. "Kau tidak bisa jawab, Mas?.Ayo jawab aku! Jawab aku!"

Ku guncangkan tubuhnya yang mendadak begitu lemas bagai tak bertulang. "Jawab aku, Mas! Kenapa kamu melakukan ini padaku? Kamu jahat!"

Mas Alan yang juga menangis itu mencoba menarik tubuhku ke dalam pelukannya. Tetapi aku tidak bersedia, aku tidak sudi. Aku tidak ingin disentuh olehnya. Jika cintanya kini telah terbagi dengan wanita lain, maka aku tidak ingin Mas Alan menyentuhku walau seujung kukupun.

"Dek, tolong dengarkan Mas dulu. Mas juga tidak berdaya."

"Tidak berdaya? Ha ha. Tidak berdaya karena sudah tergila-gila, seperti itu?" tanyaku dengan tertawa sumbang.

"Tidak, Ra. Bukan seperti itu. Sungguh, sampai detik ini pun kamu masih menjadi satu-satunya pemilik hati Mas."

"Omong kosong!" bantahku dengan nyalang.

Hilang sudah diriku yang sesungguhnya. Yang selalu penurut, dan tak pernah meninggikan suara pada suamiku. Rasa sakit yang teramat sangat ini mampu mengubah diriku dalam waktu singkat. Aku ... Sangat kecewa dan terluka. Tentu saja.

"Ra, Mas sungguh-sungguh!"

Aku tak ingin terus mendengarkan pembelaannya yang malah semakin menyakiti hatiku. Aku segera mendekati lemari dan mengeluarkan koper besar. Ku kemasi baju-baju ke dalam koper dengan acak.

"Ra, mau ke mana? Jangan pergi, Ra." Mas Ala terus berusaha menghentikan tanganku yang sedang mengeluarkan pakaian.

"Minggir!"

Ku dorong tubuhnya hingga Mas Alan terjatuh ke lantai. Ku lanjutkan gerakan tanganku dengan lincah mengemasi semua yang akan ku bawa.

"Airaa ... Dengarkan Mas dulu."

Mas Alan mengikuti langkahku ke luar kamar. Namun, aku tak menghiraukannya dan terus melangkahkan kaki. Hingga kemudian saat tiba di ruang tamu, Mas Alan menghadang jalanku.

"Raa ... Tolong dengarkan Mas dulu."

"Aku gak mau!"

"Aira!"

Mas Alan membentak dengan tatapan melotot hebat. Dadanya kembang kempis menahan amarah, membuat nyaliku menciut.

Secepat kilat Mas Alan merebut koper di tanganku dan membawanya ke kamar lagi dengan langkah lebar.

"Mas! Kembalikan koperku."

"Mas!"

Mas Alan tak menggubris. Setibanya di dalam kamar, Mas Alan membanting koper itu hingga menimbulkan suara yang keras. Aku sontak menutup kedua telinga, sangat terkejut dengan apa yang suamiku lakukan.

Mas Alan berbalik menatapku dengan tajam. Lalu berkata, "Kau tidak akan ke mana-mana. Kau tidak akan pergi meninggalkan rumah ini ataupun meninggalkanku. Kau harus diam di sini, karena aku tidak mengizinkanmu pergi dari sini!"

Mas Alan langsung pergi ke luar dari kamar dan terdengar bunyi kunci di putar.

Sepeninggalnya aku langsung luruh ke lantai. Menangis sejadi-jadinya hingga merasa lelah.

Hatiku hancur dengan apa yang Mas Alan lakukan. Kenapa? Kenapa semuanya jadi seperti ini? Mas Alan telah mengkhianatiku, tetapi dia juga melarangku pergi darinya. Lalu ... Apa yang harus aku lakukan? Padahal aku tidak bisa dimadu. Aku tidak mau, aku tidak siap.

Dengan hati hancur, ku seret kaki yang terasa lemas ini ke kamar mandi. Ku siram kepalaku dengan air dingin. Berharap bisa ikut mendinginkan otak dan suasana hati.

Setelah puas menumpahkan semua air mata dengan pakaian basah kuyup, aku pun melanjutkan ritual mandi ku hingga selesai. Di atas sejadah, ku tumpahkan lagi seluruh tangis yang masih tersisa.

"Ya Allah, aku bukan wanita kuat dan tegar seperti perempuan-perempuan yang kisahnya kau abadikan dengan indah. Aku belum sanggup menjalankan semua ini. Jika bisa, aku ingin meminta padamu, tolong berikan aku jalan yang terbaik. Aku sangat mencintai Mas Alan, dan karena itu pula aku tidak akan rela berbagi dia dengan wanita lain. Membayangkannya saja sudah membuatku sakit, Ya Allah. Kau lebih tahu kekuatanku, kau lebih tahu kemampuanku. Untuk itu, tolong hamba. Jangan biarkan hamba hancur dalam kesesatan. Tolong tunjukan jalan yang terbaik untuk hidup hamba. Aamiiin."

Maju mundur kena. Itulah istilah yang tepat untuk menggambarkan posisiku saat ini. Kehidupan kami baik-baik saja sebelumnya. Tak ada angin, tak ada hujan, siang ini Mas Alan pulang dengan membawa berita buruk yang langsung memporak-porandakan hati ini.

Wanita mana yang rela berbagi suami yang sangat dicintainya dengan wanita lain? Apalagi aku, mendadak harus melakukannya. Syok, tentu saja.

Tapi apa yang bisa ku lakukan sekarang? Aku sudah sangat mencintai suamiku yang kukira selamanya hanya akan menjadi milikku seorang.

Berpisah sama sekali tak ada dalam rencanaku. Dan aku juga tak yakin, akan sanggup berpisah darinya. Lalu, apakah aku harus menerima semua ini? Menerima takdir yang datang dengan tiba-tiba bagaikan gelombang tsunami yang dengan kuat menerjang rumah tanggaku.

Suara kunci di putar terdengar dari balik pintu. Aku tak ingin mempedulikannya,

Mas Alan duduk di tepi ranjang, tetapi aku mengacuhkannya dan memilih merenung.

"Maafkan Mas, Dek."

Aku tak menjawab ucapannya. Terdengar suara helaan nafas darinya. Lalu tiba-tiba saja sebuah ide muncul di kepalaku.

"Andai saja dulu aku menikah dengan Bang Fi, mungkin nasibku tidak akan seperti ini."

Mas Alan langsung menoleh dengan tatapan tajam. Wajahnya memerah menahan amarah. "Astaghfirullah, Dek! Apa yang kamu katakan? Istighfar!"

Bukannya menurut, aku malah terkekeh melihat reaksinya.

"Lihat, bahkan aku hanya berandai, tapi kamu sudah marah seperti itu. Lalu bagaimana denganku yang bahkan dalam kenyataan kamu akan menduakan aku dengan wanita lain?" tanyaku dengan emosi yang kembali memuncak.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status