Share

Hanya pengamat (7)

Penulis: Deni A. Arafah
last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-03 21:00:32

Kami melangkah hati-hati di atas jembatan yang rapuh, angin dingin terus menerpa wajah, membuat kakiku gemetar. Di bawah jembatan, jurang gelap itu terasa seperti mulut raksasa yang siap menelan siapa pun yang terjatuh.

Gatra memimpin di depan, langkahnya mantap meskipun jembatan berderak di setiap pijakannya. Aku mengikuti di belakangnya, dengan Mirna yang menuntun Ayu. Pak Rusdi dan Dika berada di barisan paling belakang, saling menjaga agar tidak ada yang tertinggal.

“Kau yakin ini aman?” tanya Mirna, suaranya nyaris terkalahkan oleh hembusan angin.

“Tidak ada yang aman di sini,” jawab Gatra tanpa menoleh. “Tapi ini satu-satunya jalan.”

Langkah kami tiba-tiba terhenti ketika suara gemuruh pelan terdengar dari belakang. Aku menoleh dan melihat bayangan hitam Voidborn mulai muncul di sisi jembatan. Mata merah mereka bersinar menakutkan di kegelapan.

“Cepat! Mereka datang!” seru Dika dengan nada panik.

Gatra berlari lebih cepat, melambaikan tangannya. “Terus maju! Jangan berhenti, apa pun yang terjadi!”

Tapi jembatan itu semakin tidak stabil. Tali-tali yang menahan jembatan mulai berderit, dan papan kayu di bawah kami retak di beberapa bagian. Mirna kehilangan keseimbangan sesaat, membuat Ayu hampir terjatuh. Aku dengan refleks menangkap lengannya dan menahannya.

“Pegangan yang kuat!” kataku, mencoba menenangkan mereka.

Pak Rusdi mengangkat senjata rakitannya, membidik Voidborn yang semakin dekat. “Aku akan menahan mereka. Kalian teruskan perjalanan!”

“Tunggu, Pak!” seru Dika, mencoba menghentikannya.

“Tidak ada waktu untuk berdebat!” bentak Pak Rusdi sambil melepaskan tembakan. Cahaya dari senjatanya menyinari kegelapan sejenak, menghantam salah satu Voidborn dan membuatnya hancur menjadi asap hitam.

“Pak Rusdi, jangan!” Aku ingin kembali ke arahnya, tapi Gatra menarik lenganku.

“Dia tahu apa yang dia lakukan,” kata Gatra tegas. “Kau tidak bisa menyelamatkan semua orang.”

Aku menggertakkan gigi, tapi tetap melanjutkan langkah. Mirna, Ayu, dan Dika berjalan lebih cepat, meskipun ketakutan terlihat jelas di wajah mereka.

Dari belakang, suara ledakan terdengar. Pak Rusdi terus menembak Voidborn yang mendekat. Tapi jumlah mereka terlalu banyak. Dalam satu momen, aku melihat salah satu Voidborn melompat ke arahnya, menjatuhkan senjata dari tangannya.

“Tidak!” Aku berteriak, tapi terlalu jauh untuk melakukan apa pun.

Pak Rusdi berusaha melawan dengan tangan kosong, tapi Voidborn terlalu kuat. Ia menoleh ke arah kami, dengan senyuman kecil di wajahnya. “Terus maju. Jangan sia-siakan pengorbananku.”

Ledakan besar terjadi ketika Pak Rusdi menarik granat dari sakunya. Voidborn di sekitarnya hancur, tapi aku tahu... itu juga akhir baginya.

Kami semua terdiam sejenak, rasa kehilangan menghantamku seperti gelombang dingin. Tapi Gatra tidak memberi kami waktu untuk berduka. “Kita harus terus maju, atau pengorbanannya sia-sia!”

Dengan berat hati, kami melanjutkan perjalanan. Kini jembatan itu semakin berguncang, seperti akan runtuh kapan saja. Suara Voidborn masih terdengar dari belakang, meskipun mereka kini lebih jauh.

Ketika kami hampir mencapai ujung jembatan, sebuah suara baru menggema di sekitar kami. Itu bukan Voidborn, melainkan sesuatu yang lebih besar, lebih menakutkan.

“Gatra...” bisik Mirna dengan suara gemetar. “Apa itu?”

Gatra berhenti, menoleh ke belakang dengan ekspresi serius. “Itu... Guardian of the Abyss.”

Dari kegelapan di belakang, sesosok besar muncul. Makhluk itu memiliki tubuh seperti bayangan dengan banyak tangan yang menggenggam pedang berkilauan. Mata merahnya bersinar terang, memancarkan rasa dingin yang menusuk tulang.

“Kalian terus maju!” kata Gatra, menarik busurnya. Cahaya biru kembali muncul di ujung anak panahnya.

“Gatra, kau tidak bisa melawan itu sendirian!” protesku.

“Aku bisa menahan mereka cukup lama. Kalian harus menyelesaikan misi ini!” Dia memandangku dengan tatapan yang penuh tekad. “Aku percaya padamu, Ardi. Jangan buat ini sia-sia.”

Aku ingin membantah, tapi suara gemuruh dari makhluk itu membuatku sadar bahwa tidak ada pilihan lain. “Baik. Tapi kau harus kembali ke kami.”

Gatra hanya tersenyum tipis sebelum melepaskan anak panahnya. “Pergi!”

Kami berlari menuju ujung jembatan, meninggalkan Gatra yang berdiri menghadapi Guardian of the Abyss sendirian. Ketika kami sampai di ujung jembatan, aku menoleh sekali lagi, berharap melihat Gatra masih bertahan.

Tapi hanya kilauan cahaya biru dan suara benturan yang menjawab.

Angin dingin dari jurang di bawah terus menderu, membuat suasana semakin menyesakkan.

Ayu terduduk, kehabisan tenaga. “Kita... kita tidak bisa ke mana-mana...” gumamnya putus asa.

Mirna memeluk Ayu erat-erat, mencoba menenangkan, meski wajahnya sendiri dipenuhi ketakutan. “Kita pasti bisa. Kita harus.”

Aku melihat ke belakang, ke arah jembatan. Kilauan cahaya biru masih terlihat samar, tapi suara benturan senjata mulai memudar. Aku tahu Gatra sedang bertarung, tapi berapa lama dia bisa bertahan?

“Ardi...” suara Dika menggema di belakangku, kecil tapi penuh rasa takut. “Apa yang harus kita lakukan sekarang?”

Aku menggertakkan gigi, menahan rasa frustasi. Pilihan kami semakin menipis. Tidak ada jalan keluar. Voidborn yang tersisa di seberang jembatan mulai mendekat lagi.

“Tunggu di sini. Aku akan mencari jalan lain,” kataku, mencoba mengambil alih situasi.

“Jangan konyol, Ardi,” kata Mirna tajam. “Kita tidak bisa berpencar. Itu sama saja dengan bunuh diri.”

“Lalu apa?!” Aku akhirnya meledak. “Kita hanya duduk di sini sampai mereka datang membunuh kita semua?”

Suasana hening setelah kata-kataku. Hanya terdengar suara angin dan gemuruh makhluk besar di kejauhan. Ayu mulai menangis pelan, dan itu menusuk hatiku lebih dari apa pun.

Dika berdiri, meskipun lututnya gemetar. “Aku... aku tidak akan menyerah. Kalau ini akhir kita, aku mau mencoba sampai detik terakhir.”

Mirna mengangguk perlahan. “Dia benar. Kalau kita akan mati, setidaknya kita harus melawan.”

Aku menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan pikiranku. Tapi sebelum aku bisa menjawab, suara ledakan besar terdengar di belakang kami.

Aku menoleh cepat. Cahaya biru dari arah jembatan membesar, seperti ledakan api yang bercampur dengan kabut hitam. Jembatan berguncang hebat, dan papan-papan kayunya mulai jatuh satu per satu ke jurang di bawah.

“Gatra!” Aku berteriak, berlari ke arah jembatan.

Siluet seseorang muncul di tengah kabut, berjalan tertatih-tatih di atas sisa-sisa jembatan yang hampir runtuh. Itu dia. Gatra.

“Ardi, bantu dia!” teriak Mirna dari belakang.

Aku mendekat, merentangkan tangan untuk meraih Gatra yang tampak kelelahan. Tubuhnya penuh luka, tapi dia tetap berjalan dengan tekad yang luar biasa.

“Cepat!” teriaknya, melempar busurnya ke arahku.

Tapi sebelum aku bisa menyambutnya, suara lain menggema dari kegelapan. Guardian of the Abyss muncul kembali, meskipun tubuhnya terluka parah. Makhluk itu mengayunkan pedangnya, memotong tali utama jembatan.

Jembatan berguncang hebat, membuat Gatra terhuyung. Aku mencoba meraih tangannya, tapi dia terlalu jauh.

“Tidak! Gatra, loncat ke sini!”

Dia menatapku dengan mata yang lelah tapi penuh keyakinan. “Ini akhir jalanku, Ardi.”

“Jangan bicara seperti itu! Kau bisa—”

“Dengarkan aku!” Dia memotongku dengan suara tegas. “Lindungi mereka. Pastikan mereka selamat. Itu satu-satunya yang penting sekarang.”

Sebelum aku bisa menjawab, dia melemparkan sesuatu padaku—sebuah kristal kecil yang bersinar samar. Aku menangkapnya tanpa sadar.

“Jangan sia-siakan ini.” Dengan kata-kata itu, Gatra tersenyum untuk terakhir kalinya sebelum tali terakhir jembatan putus, dan tubuhnya jatuh ke jurang bersama Guardian of the Abyss.

“GATRA!” Suaraku menggema, tapi hanya angin yang menjawab.

Aku jatuh berlutut, menggenggam kristal itu erat-erat. Rasa kehilangan menghantamku seperti gelombang, tapi aku tidak punya waktu untuk berduka.

Voidborn yang tersisa mulai mendekat lagi, kali ini lebih banyak.

“Ardi!” panggil Mirna. “Apa yang harus kita lakukan?”

Aku berdiri perlahan, menatap mereka dengan tekad baru. “Kita bertahan. Untuk Pak Rusdi dan juga untuk Gatra. Kita tidak boleh menyerah.”

Mereka mengangguk, meskipun wajah mereka penuh ketakutan. Aku meraih busur yang ditinggalkan Gatra, menarik napas dalam-dalam, lalu bersiap menghadapi apa pun yang akan datang.

Malam itu, kami bertarung. Kami bertahan. Karena itu satu-satunya cara untuk menghormati mereka yang sudah pergi.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Bali yang berbeda (8)

    Dunia kembali bergerak.Seakan tersedot dari pusaran kehampaan, aku terhempas ke realitas. Nafasku terputus-putus, dadaku naik turun tak terkendali. Keringat dingin mengalir di pelipisku, dan jari-jariku mati rasa saat aku mencoba menggenggam trisulaku lebih erat. Tubuhku seakan dipaksa menerima beban yang bukan milikku—resonansi antara aku dan Chronarkis masih terasa, mengalir seperti arus tak kasat mata yang menghubungkan kami.Brak!Lututku menghantam tanah. Tanah yang dingin dan kasar merambat di sela jari, seakan menegaskan bahwa aku masih ada di sini, masih hidup. Suara napasku bercampur dengan desir angin yang membawa serpihan debu dan abu di udara. Cahaya redup dari langit yang koyak oleh kekuatan yang tak kasat mata perlahan memudar, seolah takut mengungkap rahasia yang baru saja terkuak."Apa kau baik-baik saja?"Suara Revan membelah keheningan. Aku mendongak, melihatnya bergegas ke arahku, ekspresinya dipenuhi kekhawatiran. Ia tak perlu bertanya dua kali. Dengan susah payah

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Bali yang berbeda (7)

    Kegelapan berdenyut di sekeliling Ariel, nyala api hitam berputar liar seperti ular ganas yang hendak memangsa segalanya. Napasnya berat, langkahnya menyeret, tetapi matanya—mata merah menyala yang menjadi simbol kekuasaan Barong—tetap terkunci padaku. Aku bersiap menghindar, otakku bekerja cepat mencari celah dalam serangannya.Tapi tiba-tiba—WUSHH!Sebuah cahaya emas meledak dari tubuh Ariel. Sejenak, seolah-olah waktu tersendat, lalu berhenti total. Angin yang tadinya menggila kini membeku di udara, debu yang beterbangan pun mengapung tanpa arah. Bahkan api yang menari di sekeliling Ariel berhenti, nyaris seperti lukisan yang dipaksa diam dalam satu momen abadi.Aku menegang. Eternal Flow Manipulation-ku? Tidak. Ini bukan aku yang mengaktifkannya.Sebuah tekanan luar biasa membanjiri ruang di sekelilingku, membuat bulu kudukku berdiri. Dari bayanganku sendiri, sesuatu merayap keluar. Aku bisa merasakan keberadaannya bahkan sebelum melihat sosoknya.Kemudian, ia muncul.Sosok itu m

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Bali yang berbeda (6)

    Udara di sekitar kami bergetar, panas yang menyengat merayap di kulit, membuat napas terasa berat. Debu-debu hangus melayang, terbawa oleh angin panas yang entah berasal dari serangan Ariel sebelumnya atau dari dirinya sendiri.Mata Revan menyipit, keringat mengalir di pelipisnya. "Sepertinya dia kehilangan kontrol atas tubuhnya," gumamnya, suaranya nyaris tenggelam dalam deru api yang mengamuk. Dengan cepat, dia mengangkat tangannya. "Zephyr Suppression."Raungan angin terdengar nyaring saat pusaran udara terbentuk di sekitar Ariel, membelit tubuhnya seperti rantai tak kasat mata. Namun sebelum cengkeraman angin bisa menahan gerakannya, Ariel mengangkat pedang reliknya tinggi-tinggi. Mata keemasannya berkilat sesaat sebelum berubah menjadi merah."Divine Reflection."Kilatan cahaya meledak dari tubuhnya, memantulkan energi angin yang seharusnya membelenggunya. Seakan tak tersentuh, ia melangkah maju tanpa kesulitan sedikit pun.Revan terhuyung ke belakang, tangannya masih terangkat de

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Bali yang berbeda (5)

    Kilatan cahaya menyambar cakrawala. Petir menggelegar, suaranya menggema seperti raungan raksasa yang marah. Langit yang tadinya cerah kini berubah kelam, seakan ditelan sesuatu yang jauh lebih besar dari sekadar awan mendung. Udara menjadi berat, seperti ribuan ton besi menekan dada.Aku berdiri di tengah padang yang luas, trisula sudah dalam genggamanku. Angin bertiup liar, merontokkan dedaunan dan menerbangkan debu hingga membentuk pusaran kecil di sekeliling kami. Di sampingku, Revan berdiri dengan tenang, tatapannya tajam seperti pisau yang baru diasah. Di sisi lain, Ariel tampak gelisah, matanya menari-nari di antara kami dan langit yang mulai retak."Sebentar lagi dia akan muncul," ucapku, suaraku tenggelam dalam riuhnya gemuruh yang terus beresonansi.Revan mengangguk pelan. Dia tahu. Sepertinya dia sudah melihat ini sebelumnya. Namun Ariel… Ariel tidak. Tangannya mencengkeram relik pedang yang kuberikan, jemarinya gemetar meski ia berusaha menyembunyikannya."Apa yang akan mu

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Bali yang berbeda (4)

    Udara dingin menerpa kulitku seperti pisau tipis yang menggores perlahan. Di hadapanku, Ariel terkunci dalam pusaran angin yang menderu seperti raungan serigala lapar, seakan mencoba menelan tubuhnya bulat-bulat. Keringat dingin mengalir di pelipisku saat melihat tubuhnya bergetar hebat di dalam lingkaran udara yang melingkupinya."Sial..." gumamku, mengepalkan tangan dengan gelisah. Suara angin yang berputar kencang membuat sekeliling terasa seperti badai yang mengamuk. Aku melirik pria itu, sosok misterius yang baru saja muncul dari reruntuhan. Tangannya terulur, mengendalikan barrier angin yang menekan Ariel.Aku meneguk ludah, lalu melangkah mendekatinya. "Apa dia akan baik-baik saja?" tanyaku, suaraku nyaris tenggelam dalam deru angin.Pria itu tak langsung menjawab. Tatapannya tetap terkunci pada Ariel, dingin dan tajam, seperti burung pemangsa yang mengamati mangsanya. "Entahlah," jawabnya akhirnya, suaranya tenang tapi penuh ketegangan. "Yang bisa aku lakukan hanya menahan kek

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Bali yang berbeda (3)

    Suasana berat mencekam saat kami melangkah meninggalkan reruntuhan yang kini hanya menyisakan puing-puing dan bayangan kematian. Bau anyir darah bercampur dengan aroma karat besi, menguar tajam di udara malam yang dingin. Setiap tarikan napas serasa mencengkram paru-paru, berat, pengap, seakan dunia sendiri mencoba menahan kami untuk tidak pergi.Srek.Butiran pasir bergeser di bawah sepatu kami. Angin menderu, melolong di antara bebatuan, berbisik lirih seperti suara mereka yang telah gugur.Aku melirik ke samping. Ariel berjalan di sebelahku, langkahnya tetap tegas, namun ada sesuatu yang berbeda. Bahunya tegang, napasnya pendek dan tersendat. Biasanya, mata emasnya selalu berkilat penuh keyakinan. Tapi kini, sorot itu meredup—seperti api yang kehilangan bahan bakarnya.Srek.Kami terus berjalan. Tapi lalu—Ariel berhenti.Satu tangannya menekan pelipis, napasnya tertahan. Aku melihatnya menarik napas dalam-dalam, tapi ada getaran halus di jemarinya, begitu samar, nyaris tak terliha

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Bali yang berbeda (2)

    Aku melangkah pelan di atas pasir hitam yang masih terasa hangat. Ombak pecah di kejauhan, gemuruhnya berulang dalam irama yang menghipnotis, membawa aroma garam dan kehancuran yang bercampur menjadi satu.Di sekelilingku, reruntuhan vila-vila mewah berserakan tak berbentuk. Atap-atap ambruk, tembok-tembok retak, dan kayu-kayu yang dulunya menopang bangunan kini hanyut terbawa air pasang. Cahaya bulan memantul di permukaan air laut, menciptakan kilauan yang kontras dengan puing-puing yang terombang-ambing di permukaan.Aku berhenti melangkah dan menatap pedang di tanganku. Bilahnya berpendar samar di bawah sinar bulan yang semakin redup. Pedang relik Mutiara Merah. Aku menggenggamnya erat, merasakan energi dingin menjalar dari gagangnya ke telapak tanganku. Namun, semakin lama aku memegangnya, semakin aku merasa ada sesuatu yang tidak selaras denganku. Pedang ini… bukan untukku."Ada apa?" suara Ariel membuyarkan lamunanku. Aku menoleh, melihatnya berdiri beberapa langkah di depanku,

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Bali yang berbeda

    Udara panas yang masih tersisa dari pertempuran perlahan menghilang, digantikan dengan kesunyian yang berat. Aroma tanah yang terbakar dan abu yang beterbangan membuat napasku terasa sesak. Setiap langkah yang kuambil menuju altar Borobudur terasa seperti berjalan di atas batu bara panas.Ariel berjalan di sampingku, sesekali mencuri pandang ke arahku. "Akhirnya kita berhasil juga," ucapnya dengan suara lega, tetapi napasnya masih tersengal-sengal.Aku hanya diam, membiarkan tatapanku terpaku pada altar di depanku. Mutiara Merah berpendar redup, seolah mengintai dari dalam kegelapan, menunggu keberanian seseorang untuk menyentuhnya. Aku mengangkat tanganku, jari-jariku gemetar saat mendekati permukaannya yang bercahaya.Begitu ujung jariku menyentuhnya, gelombang panas menghantam sekujur tubuhku. Rasa terbakar menjalari telapak tanganku, membuat rahangku mengatup erat, menahan erangan yang hampir lolos. Cahaya merah menyembur, menelan pandanganku dalam ledakan kilau yang menyilaukan.D

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Borobudur (15)

    Suasana berubah drastis. Udara yang sebelumnya hanya dipenuhi percikan api kini terasa seperti tungku neraka yang siap menelan siapa pun yang mendekat. Api yang berkobar di sekitar tubuh Genta bukan lagi sekadar nyala biasa. Warna merahnya perlahan berubah menjadi biru terang, seakan-akan panasnya telah melampaui batas wajar. Setiap langkahnya membuat udara bergemuruh, seperti ada tekanan tak kasat mata yang menghantam siapa pun di sekelilingnya.Julian menggeram, matanya memicing tajam ke arah Genta yang kini semakin tak terkendali. "Bajingan itu... Dia malah mengamuk sesuka hatinya," gumamnya dengan nada frustrasi.Reina, yang berdiri di sampingnya, mendengus kesal. "Dia sendiri yang bilang jangan terprovokasi, tetapi malah dia yang termakan provokasinya."Sementara itu, aku hanya bisa bertahan di balik Divine Reflection milik Ariel. Lapisan tak kasat mata itu masih mampu menahan panasnya api Genta, tetapi aku tahu, perlindungan ini tak akan bertahan lama. Retakan-retakan halus mula

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status