****Aditya melenggang ke dalam mansion setelah bertemu dengan Juna. Sesaat lalu, ia putuskan bertemu dengan Juna di kafe tak jauh dari mansionnya.Rupanya hanya ada Sekar yang masih menyantap makan malamnya. Aditya terkekeh ringan. “Apakah kamu sangat lapar?” Aditya melontarkan pertanyaannya.“Di mana, Ibu? Dia sudah selesai makan?”“Sudah, Mas.”“Apakah Ibu menyakitimu?” tanya Aditya lagi yang sukses membuat Sekar terdiam sempurna. Benaknya berputar riuh.Aditya selalu menanyakan hal yang sama ketika ia bersama dengan Aini. Sekar tahu betul ada kekhawatiran dari Aditya untuknya.Sekar menggeleng sempurna. “Mas tidak perlu khawatir! Ibu baik kok sama aku,” ujar Sekar lalu senyum manis mengembang di bibir Sekar.Aditya memberikan anggukan singkat meski dia tahu Sekar menutupi sesuatu.“Makanlah, Mas! Apakah aku perlu ambilkan?” celetuk Sekar memecah hening.“Tidak, aku bisa ambil sendiri. Lagipula kamu sedang makan bukan?” Aditya lantas mengambil makan malamnya.Diam-diam Sekar pandan
Sekar duduk seorang diri di ruang makan, tepat di malam hari setelah acara pernikahan usai. Tidak lama, Aditya menyusulnya setelah pria itu mengambil dua gelas air mineral. Satu diberikannya kepada Sekar dan satu lagi untuknya.“Kenapa wajahmu tegang begitu? Anggap saja rumah sendiri, Sekar. Tidak perlu canggung ataupun khawatir,” pungkas Aditya.“Tapi aku takut, Mas…” cicit Sekar sembari meraih ujung kaus yang Aditya pakai.Aditya mengerutkan keningnya keheranan lalu diraihnya tangan Sekar dan digenggamnya erat. Ia tahu betul perbedaan status sosial antara ia dan Sekar. Apalagi setelah Sekar masuk ke dalam dunia Aditya, semuanya jelas tampak baru dan Sekar membutuhkan adaptasi perihal itu.“Semua akan baik-baik saja, Sekar. Aku akan membantumu,” pungkas Aditya.Masih ingat jelas di benak Aditya tepat setelah acara pernikahan berlangsung, ayah Sekar, Yudho, memintanya untuk menjaga Sekar yang notabenenya adalah anak rumahan.Jauh di dalam lubuk hati Aditya, ia merasa bersalah setelah m
Sekar menatap pantulan dirinya di depan cermin. Ia tampak anggun dengan kebaya putih yang melekat di tubuhnya. Siger sunda pun terpasang melingkar di keningnya. Polesan wajahnya tampak natural tetapi tetap membuatnya pangling.Berulang kali Sekar bahkan bertanya, "Apakah ini benar aku? Apakah ini aku? Kenapa aku jadi cantik sekali." Terkadang Sekar masih tidak percaya bahwa dirinya akan menikah secepat ini. Ia bahkan tidak memikirkan untuk menikah dengan cepat. Mungkin Sekar akan teramat bahagia ketika ia benar-benar menikah tanpa embel-embel pernikahan kontrak.Senyum Sekar yang merekah seketika pudar. Setidaknya ada hal yang ia dapatkan dan ada yang harus ia korbankan. Utang-utang ayahnya lunas sudah cukup baginya, meski ia harus mengorbankan kebahagiaannya. "Jangan sedih dong, Sekar! Ini hari bahagia kamu!" Airin membuka suara, sahabat Sekar itu memberikan support terbaiknya. "Meskipun ini hanya pernikahan kontrak, ingat setidaknya kamu kawin dengan anak konglomerat. Kamu harus m
Aditya tak jemu memandangi foto Karaya yang dengan apik terpajang di dalam pigura berwarna emas tua itu. Perempuan dengan surai berombak dengan gaun merah jambu itu mengembangkan senyuman manisnya. Wanita itu tidak dapat dihubungi sebulan terakhir, membuatnya kelimpungan. Ia bahkan memeriksa kediaman pribadi Karaya, tetapi dia seolah hilang tanpa jejak. Karaya yang Aditya gantungkan reputasi perusahaannya itu rupanya menorehkan luka.Aditya harusnya menikahi Karaya agar perusahaannya semakin kokoh. Kedua orang tua Karaya pun telah setuju dengan pernikahan itu. Aditya sudah mengerahkan asisten dan menggunakan koneksinya pada kepolisian untuk mencari keberadaan Karaya, tetapi sampai kini pun tak kunjung membuahkan hasil."Aku gagal mendapatkan keuntungan jika aku gagal menikahinya,” gumam Aditya kesal. TOK....TOK....Suara pintu menggugah lamunan Aditya. Ia kembali menyimpan foto Karaya di dalam laci meja kerjanya. "Masuk!" titahnya. Derit pintu menyapa indera pendengaran Aditya. Keh
Di jalanan yang mulai riuh, pria asing itu mengemudikan mobilnya. Langit telah menggelap dan rintik hujan mulai jatuh. "Pakai jas ini, aku tahu kamu kedinginan dan tidak nyaman," ujar pria asing itu sembari memberikan jasnya yang baru ia lepas setelah lampu lalu lintas berubah merah. "Terima kasih, Om." Sekar menerima jas itu dan menyampirkannya pada paha putih gadingnya yang mulus. "Tidak bisakah kamu berhenti memanggilku Om? Apakah aku setua itu?" Pria itu akhirnya protes setelah berulang kali mendengar Sekar memanggilnya dengan sebutan Om. "Lalu saya harus memanggil bagaimana? Pak? Atau apa?" Sekar menoleh kepada pria asing itu dan keduanya beradu tatap untuk sepersekian detik."Aditya, namaku Aditya Cempoko." Akhirnya pria asing itu mengenalkan diri. "Aditya? Mas Aditya?" Sekar sedikit ragu berucap sembari tak mengalihkan pandang dari Aditya yang teramat intens menatapnya. Aditya menarik kedua sudut bibirnya, terlihat puas. "Aku suka mendengarnya," ucapnya sembari mengemudika
"Menikah, Om? O-Om serius? Mak-Maksud saya, kita baru kenal, tetapi kenapa bisa Om menawarkan hal seperti itu kepada saya?"Bukannya terganggu dengan setiap pertanyaan yang Sekar todongkan, pria asing itu malah terkekeh seolah hal itu lucu baginya."Karena kamu terlihat seperti perempuan baik. Di era seperti ini, sulit menemukan perempuan sepertimu. Lagipula bukankah kamu mengatakan bahwa kamu butuh uang?"Sekar masih tidak habis pikir dengan pria yang ada di hadapannya itu. "Tapi, 50 ribu dollar bukan uang yang sedikit, Om. Masa Om mau memberikan uang sebanyak itu untuk perempuan asing sepertiku secara cuma-cuma?" "Siapa bilang aku akan memberikan uang sebanyak itu secara cuma-cuma? Aku butuh kamu menjadi pengantinku. Kamu butuh uang, dan aku butuh kamu untuk menyelamatkan reputasiku." Sekar melongo, untuk ketiga kalinya ia terkejut dengan apa yang dikatakan oleh pria di hadapannya itu."Ma-Maksud Om, aku jadi pengantin bayaran?" Sekar menyimpulkan. Ia pikir hal-hal seperti yang ia