Share

Deal

Author: Cesca
last update Last Updated: 2025-07-09 13:59:10

Di jalanan yang mulai riuh, pria asing itu mengemudikan mobilnya. Langit telah menggelap dan rintik hujan mulai jatuh. Musim hujan belum tiba tetapi hujan telah jatuh sebelum musimnya. 

"Pakai jas ini, aku tahu kamu kedinginan dan tidak nyaman," ujar pria asing itu sembari memberikan jasnya yang baru ia lepas setelah lampu lalu lintas berubah merah. 

"Terima kasih, Om." Sekar menerima jas itu dan menutupkannya pada paha putih gadingnya yang mulus. 

"Tidak bisakah kamu berhenti memanggilku Om? Apakah aku setua itu?" Pria itu akhirnya protes setelah berulang kali mendengar Sekar memanggilnya dengan sebutan Om. 

"Lalu saya harus memanggil bagaimana? Pak? Atau apa?" Sekar menoleh kepada pria asing itu dan keduanya beradu tatap untuk sepersekian detik.

"Aditya, namaku Aditya Cempoko." Akhirnya pria asing itu mengenalkan diri. 

"Aditya? Mas Aditya?" Sekar sedikit ragu berucap sembari tak mengalihkan pandang dari Aditya yang teramat intens menatapnya. 

Aditya menarik kedua sudut bibirnya sebagai sebuah kepuasan atas apa yang ia dengar dari Sekar. "Aku suka mendengarnya," ucapnya sembari mengemudikan mobilnya lagi setelah lampu lalu lintas berubah hijau. 

Sekar mendengus pelan sembari memalingkan wajahnya ke arah jendela. Pemandangan di luar mobil lebih menyita perhatiaannya. Hujan kian deras dan jalanan ibukota masih padat dengan lalu lalang kendaraan. Mungkin benar jika Jakarta sering disebut sebagai kota yang tak pernah tidur. 24 Jam bahkan jalanan seolah tak ada hentinya, banyak orang masuk dan keluar ibukota. Dari pagi ke pagi orang-orang bekerja demi mengais uang. 

Katanya, uang tidak bisa membeli kebahagiaan. Tetapi nyatanya dengan uang apa pun dapat dibeli dan dapat dilakukan sehingga seseorang memiliki kebahagiaan. 50 Ribu dolar Amerika, bukan uang yang sedikit, itu bahkan lebih dari cukup untuk membayar utang-utang ayah Sekar yang ada di desa. Sekar juga masih bisa memiliki sisa uang itu dan bisa ia gunakan untuk apa pun hingga membuatnya bahagia. Jadi bohong besar jika uang tidak bisa membeli kebahagiaan. 

Meski Sekar tahu satu hal bahwa uang tidak bisa membeli cinta. Ya, uang tidak bisa membeli cinta. Sekar menoleh pada Aditya sembari ingatannya jatuh ketika Aditya menceritakan perihal kisahnya, ditinggal Karaya, perempuan yang dicintainya. 

Jika bukan karena reputasinya dan jika bukan karena membantu Sekar, pria itu tidak akan menikah. Aditya telah berjanji akan menikah dengan Karaya. Bukankah beruntung sebagai Karaya, dicintai begitu hebatnya? 

Sekar menarik napasnya panjang. Ia mengalihkan pandang ke sebuah mansion megah yang ia pikir milik Aditya karena mobil yang dikemudikan pria itu berhenti di sana. 

"Ayo! Masuklah! Kita akan bicara di dalam," ujar Aditya. 

Sekar manggut-manggut dan mengekori Aditya ke dalam mansion. Mata Sekar tak jemu menelisik Mansion tersebut, megah, luas, dibalut warna putih salju, satu pintu utama yang besar, jendela yang berderet-deret, dan beberapa pelayan di dalam kediaman itu. 

Untuk kali pertamanya, ia menginjakkan kaki di sebuah mansion yang hanya pernah ia dengar di film-film. Setidaknya, kini Sekar tidak lagi hanya mendengarnya di film tetapi benar-benar menginjakkan kaki di mansion. 

"Duduklah!" ujar Aditya memecah keheningan Sekar yang masih melongo memandangi mansion megah itu. 

Sekar mengalihkan pandangannya dan langkahnya melenggang ke sofa yang ada di ruang tamu. Ia duduk di hadapan Aditya yang sudah membawa sebuah surat. 

"Tanda tangani ini. Ini adalah kesepakatan di antara kita sebelum aku akan menikahimu, Sekar. Lalu ini cek, Rp 811.000.000. Kamu bisa mencairkannya atas namaku, aku harap uang itu bisa membantumu dan ayahmu," ujar Aditya. 

Sekar manggut-manggut dengan cepat. "Terima kasih, Mas." Sekar tanpa membaca surat kesepakatan itu segera membubuhkan tanda tangan dan membubuhkan namanya. 

Tak penting membaca isi surat itu, yang penting hanya uang. Itulah yang ada di benak Sekar saat itu. 

Sekar memberikan surat yang sudah ia tanda tangani itu kepada Aditya lagi dan ia memasukan cek itu ke dalam saku jaketnya. 

Aditya terkekeh ringan melihat kelakuan Sekar. "Kamu masih seperti dulu ya. Anak kecil yang terburu-buru," ujar Aditya. 

Sekar mengerutkan kening heran. Sekar tahu betul bahwa saat kecil ia selalu terburu-buru bahkan ibunya sering mengeluh karenanya. Tetapi bagaimana Aditya mengetahui hal itu? 

"Sepertinya dulu kamu masih kecil saat kita bertemu. Saat itu, aku dan ayahku harus terburu-buru kembali ke mobil setelah makan siang. Aku dan ayahku harus meninggalkan Jakarta dan pergi ke Solo karena sebuah urusan. Tetapi, seorang anak kecil tidak sengaja menabrakku dan membuat pakaianku basah. Harusnya aku yang mengeluh karena anak kecil itu menabrakku, tetapi anak kecil itu malah menangis histeris." Aditya terkekeh lepas seolah mengingat hal itu adalah hal membahagiakan baginya. 

"Jadi mau tidak mau, aku dan ayahku harus menenangkan anak kecil yang menangis itu sampai ibunya datang. Lalu ibu anak itu datang dan mengatakan, bagaimana kamu di sini, Sekar? Kenapa kamu pergi sendirian?" Aditya kembali tertawa lepas. 

"Perempuan itu berulang kali meminta maaf kepadaku dan kepada ayahku. Perempuan itu juga meminta maaf karena Sekar Kedaton, anaknya yang bandel meggangguku dan ayahku," tambahnya lalu Aditya terkekeh ringan. 

Sekar menutup wajahnya mendengar Aditya bercerita. Ia merasa malu atas apa yang terjadi ketika ia kecil itu. "Astaga itu memalukan sekali. Meskipun aku sama sekali tidak mengingatnya, tetapi maafkan aku, Mas!" 

Aditya hanya manggut-manggut sembari terkekeh ringan. "Santai saja, lagipula itu sudah belasan tahun yang lalu."

"Dan perlu kamu tahu, Sekar karena bertemu denganmu saat itu aku dan ayahku selamat dari kecelakaan pesawat. Ada sebuah insiden pesawat dari Jakarta ke Solo saat itu," ujar Aditya. 

"Jadi ya, anggap saja kedatanganmu menyelamatkanku dan ayahku." Aditya kembali berucap. 

"Aku masih tidak menyangka bahwa aku akan bertemu anak kecil itu lagi, bedanya sekarang dia sudah dewasa," tambah Aditya. 

Sekar menarik kedua sudut bibirnya. Meskipun ia tidak mengingat tentang apa yang Aditya katakan, setidaknya ia tahu bahwa takdir membawanya bertemu dengan Aditya. 

"Omong-omong, persiapkan dirimu, sebentar lagi kita akan menikah. Kita akan menemui ayahmu untuk meminta restu, tetapi jangan pernah katakan kepada ayahmu bahwa kita hanya akan kawin kontrak. Kamu paham, Sekar?" 

"Mas Aditya tenang saja, aku tidak akan mengatakan tentang kesepakatan kita pada siapa pun," pungkas Sekar, sedangkan di dalam batinnya hanya dipenuhi pengharapan bahwa ia tidak akan berbicara ceplas-ceplos. 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pengantin 50.000 Dollar   SAH

    Sekar menatap pantulan dirinya di depan cermin. Ia tampak anggun dengan kebaya putih yang melekat di tubuhnya. Siger sunda pun terpasang melingkar di keningnya. Polesan wajahnya tampak natural tetapi tetap membuatnya pangling. Berulang kali Sekar bahkan bertanya, "apakah ini benar aku? Apakah ini aku? Kenapa aku jadi cantik sekali." Terkadang Sekar masih tidak percaya bahwa dirinya akan menikah secepat ini. Ia bahkan tidak memikirkan untuk menikah dengan cepat, tetapi nyatanya takdir berkata lain. Mungkin Sekar akan teramat bahagia ketika ia benar-benar menikah tanpa embel-embel pernikahan kontrak. Senyum Sekar yang merekah seketika pudar. Setidaknya ada hal yang ia dapatkan dan ada yang harus ia korbankan. Utang-utang ayahnya lunas itu saja cukup baginya meski ia harus mengorbankan kebahagiaannya. "Jangan sedih dong, Sekar! Ini hari bahagia kamu!" Airin membuka suara, sahabat Sekar itu memberikan suport terbaiknya. "Meskipun ini hanya pernikahan kontrak, ingat setidaknya kamu kaw

  • Pengantin 50.000 Dollar   Aditya dan Kisah Cintanya

    Aditya tak jemu memandangi foto Karaya yang dengan apik terpajang di dalam pigura berwarna emas tua itu. Perempuan dengan surai berombak dengan gaun merah jambu itu mengembangkan senyuman manisnya. Tanpa Aditya sangka, seseorang pemilik senyuman manis itu cukup membuatnya terluka hingga hampir gila. Aditya masih ingat bagaimana kelimpungannya dan sedihnya dia ketika Karaya tidak dapat dihubungi. Ia bahkan memeriksa kediaman pribadi Karaya dan tak menemukan keberadaan perempuan itu. Karaya hilang tanpa jejak atau mungkin kabur tanpa meninggalkan jejak. Karaya yang Aditya cintai sepenuh hati tak pernah disangka menorehkan luka laksana belati.Sudah sebulan penuh, Aditya mencari keberadaan Karaya tetapi tidak membuahkan hasil. Kerabat dekat Karaya pun tidak ada yang tahu ke mana perginya perempuan itu. Aditya mengerahkan asistennya untuk mencari sekaligus menyelidiki keberadaan Karaya tetapi nahasnya tak kunjung ada kabar sedikitpun. Aditya juga meminta sahabatnya, Juna yang seorang Pol

  • Pengantin 50.000 Dollar   Deal

    Di jalanan yang mulai riuh, pria asing itu mengemudikan mobilnya. Langit telah menggelap dan rintik hujan mulai jatuh. Musim hujan belum tiba tetapi hujan telah jatuh sebelum musimnya. "Pakai jas ini, aku tahu kamu kedinginan dan tidak nyaman," ujar pria asing itu sembari memberikan jasnya yang baru ia lepas setelah lampu lalu lintas berubah merah. "Terima kasih, Om." Sekar menerima jas itu dan menutupkannya pada paha putih gadingnya yang mulus. "Tidak bisakah kamu berhenti memanggilku Om? Apakah aku setua itu?" Pria itu akhirnya protes setelah berulang kali mendengar Sekar memanggilnya dengan sebutan Om. "Lalu saya harus memanggil bagaimana? Pak? Atau apa?" Sekar menoleh kepada pria asing itu dan keduanya beradu tatap untuk sepersekian detik."Aditya, namaku Aditya Cempoko." Akhirnya pria asing itu mengenalkan diri. "Aditya? Mas Aditya?" Sekar sedikit ragu berucap sembari tak mengalihkan pandang dari Aditya yang teramat intens menatapnya. Aditya menarik kedua sudut bibirnya seb

  • Pengantin 50.000 Dollar   Kesepakatan

    "Menikah, Om? O-Om serius? Mak-Maksud saya, kita baru kenal tetapi kenapa bisa Om menawarkan hal seperti itu kepada saya?" Sekar akhirnya balik menodong pria asing itu. Bukannya terganggu dengan setiap pertanyaan yang Sekar todongkan, pria asing itu malah terkekeh seolah hal itu lucu baginya. "Karena kamu terlihat seperti perempuan baik. Di era seperti ini sulit menenmukan perempuan sepertimu.""Lagipula bukankah kamu mengatakan bahwa kamu butuh uang?" Pria itu menambahkan. Sekar masih tidak habis pikir dengan pria yang ada di hadapannya itu. "Tapi 50 ribu dollar bukan uang yang sedikit, Om. Masa Om mau memberikan uang sebanyak itu untuk perempuan asing sepertiku secara cuma-cuma?" "Siapa bilang aku akan memberikan uang sebanyak itu secara cuma-cuma? Aku butuh kamu menjadi pengantinku dan kamu harus menyepakati di antara kita tidak boleh melibatkan perasaan. Kamu butuh uang dan aku butuh kamu untuk menyelamatkan reputasiku." Sekar melongo, untuk ketiga kalinya ia terkejut dengan a

  • Pengantin 50.000 Dollar   "Om"

    Di sebuah ruangan, tempat karaoke Sekar berulang kali menurunkan dress ketatnya agar menutupi lututnya. Tetapi, tetap saja, dress yang ia pakai itu sangat ketat. Jika bukan karena paksaan Airin dan keterpaksaan keadaan, ia tak akan sudi memakai dress ketat itu. Ia tidak terbiasa dan bahkan tak akan pernah terbiasa dengan pakaian ketat. Sekar akhirnya memutuskan duduk di sofa dan ia menutupi pahanya yang terekspos itu dengan bantal. Sedangkan lengan putihnya yang terkespos ia tutup dengan jaket miliknya. "Aku benar-benar merasa salah mengambil langkah," gumam Sekar pada dirinya sendiri. Tidak lama seorang pria masuk ke sebuah ruangan karaoke dan menatap Sekar agak terkejut. Pria itu bahkan mematung di ambang pintu. "Malam, Om!" Sekar bangkit dari duduknya dan membungkuk dengan sopan pada pria yang baru sampai itu. Sekar tidak menatap jelas pria yang baru saja tiba itu. Ketakutan dan rasa malunya cukup melahapnya habis hingga tak berani menatap pria itu. Pria itu tak menimpali sep

  • Pengantin 50.000 Dollar   Tawaran Sesat Sahabat

    Sekar memijit pelipisnya gusar setelah menutup telepon dari Hendro, ayahnya yang di desa. Selama berkuliah hampir empat tahun di kota, ia tak pernah tahu bahwa ayahnya memiliki utang sebanyak 500 juta, jumlah yang sangat-sangat besar baginya. Kini otak Sekar rasanya ingin pecah memikirkan bagaimana ia mendapatkan uang dalam jumlah 500 juta dalam jangka waktu yang singkat. Belum lagi ia harus memikirkan tentang skripsinya. Rasanya segala hal yang Sekar hadapi benar-benar menjadi lebih rumit, ia bahkan kesulitan untuk mencari jalan keluar apalagi dengan beban utang ayahnya sebanyak 500 juta itu.Selama ini ia bekerja sebagai pelayan di kafe hanya digaji sekitar satu hingga dua juta dan itu pun ia gunakan untuk menghidupi hari-harinya sebagai mahasiswa.“Sekar…” Suara Airin, sahabat baik Sekar itu menyentak lamunannya.“Ngapain berdiri terus di situ? Ini makananmu hampir dingin,” ujar Airin sembari menunjukkan mi ayam milik Sekar.Dengan wajah yang lesu dan langkah lemas, Sekar melangkah

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status