Share

"Om"

Author: Cesca
last update Last Updated: 2025-07-08 17:54:50

Di jalanan yang mulai riuh, pria asing itu mengemudikan mobilnya. Langit telah menggelap dan rintik hujan mulai jatuh. 

"Pakai jas ini, aku tahu kamu kedinginan dan tidak nyaman," ujar pria asing itu sembari memberikan jasnya yang baru ia lepas setelah lampu lalu lintas berubah merah. 

"Terima kasih, Om." Sekar menerima jas itu dan menyampirkannya pada paha putih gadingnya yang mulus. 

"Tidak bisakah kamu berhenti memanggilku Om? Apakah aku setua itu?" Pria itu akhirnya protes setelah berulang kali mendengar Sekar memanggilnya dengan sebutan Om. 

"Lalu saya harus memanggil bagaimana? Pak? Atau apa?" Sekar menoleh kepada pria asing itu dan keduanya beradu tatap untuk sepersekian detik.

"Aditya, namaku Aditya Cempoko." Akhirnya pria asing itu mengenalkan diri. 

"Aditya? Mas Aditya?" Sekar sedikit ragu berucap sembari tak mengalihkan pandang dari Aditya yang teramat intens menatapnya. 

Aditya menarik kedua sudut bibirnya, terlihat puas. "Aku suka mendengarnya," ucapnya sembari mengemudikan mobilnya lagi setelah lampu lalu lintas berubah hijau. 

Sekar mendengus pelan sembari memalingkan wajahnya ke arah jendela. Pemandangan di luar mobil lebih menyita perhatiannya. Hujan kian deras dan jalanan ibukota masih padat dengan lalu lalang kendaraan.

Mungkin benar jika Jakarta sering disebut sebagai kota yang tak pernah tidur. 24 jam bahkan jalanan seolah tak ada hentinya, banyak orang masuk dan keluar ibukota. Dari pagi ke pagi orang-orang bekerja demi mengais uang.

Katanya, uang tidak bisa membeli kebahagiaan. Tetapi nyatanya dengan uang apapun dapat dibeli sehingga seseorang memiliki kebahagiaan. 

50 ribu dolar Amerika, bukan uang yang sedikit. Itu bahkan lebih dari cukup untuk membayar utang-utang ayah Sekar yang ada di desa. Sekar juga masih bisa memiliki sisa uang itu dan bisa ia gunakan untuk apa pun hingga membuatnya bahagia.

Meski Sekar tahu satu hal bahwa uang tidak bisa membeli cinta. Ya, uang tidak bisa membeli cinta. Sekar menoleh pada Aditya sembari ingatannya jatuh ketika Aditya menceritakan perihal kisahnya yang akan menikah demi keuntungan dan reputasi perusahaannya.

Jika bukan karena menyelamatkan reputasi Aditya pribadi, Aditya telah berjanji akan menikah dengan Karaya. Bukankah beruntung sebagai Karaya, dicintai begitu hebatnya? 

Sekar menarik napasnya panjang. Ia mengalihkan pandang ke sebuah mansion megah yang ia pikir milik Aditya karena mobil yang dikemudikan pria itu berhenti di sana. 

"Ayo, masuklah. Kita akan bicara di dalam," ujar Aditya. 

Sekar manggut-manggut dan mengekori Aditya ke dalam mansion. Mata Sekar tak jemu menelisik mansion tersebut. Megah, luas, dibalut warna putih salju, satu pintu utama yang besar, jendela yang berderet-deret, dan beberapa pelayan di dalam kediaman itu. 

Untuk kali pertamanya, ia menginjakkan kaki di sebuah mansion yang hanya pernah ia dengar di film-film. Setidaknya, kini Sekar tidak lagi hanya mendengarnya di film tetapi benar-benar menginjakkan kaki di mansion. 

"Duduklah!" ujar Aditya memecah keheningan Sekar yang masih melongo memandangi mansion megah itu. 

Sekar mengalihkan pandangannya dan langkahnya melenggang ke sofa yang ada di ruang tamu. Ia duduk di hadapan Aditya yang sudah membawa sebuah surat. 

"Tanda tangani ini. Ini adalah kesepakatan di antara kita sebelum aku akan menikahimu, Sekar. Lalu ini cek untuk uang muka. Kamu bisa mencairkannya atas namaku, aku harap uang itu bisa membantumu dan ayahmu," ujar Aditya.

Sekar melihat cek itu. Tertera angka Rp 811.000.000. Semudah ini Aditya memberikan uang sebesar itu, yang bahkan tidak pernah Sekar bayangkan bisa miliki.

"Terima kasih, Mas." Sekar tanpa membaca surat kesepakatan itu segera membubuhkan tanda tangan dan membubuhkan namanya. 

Tak penting membaca isi surat itu, yang penting hanya uang. Itulah yang ada di benak Sekar.

Sekar memberikan surat yang sudah ia tanda tangani itu kepada Aditya lagi dan ia memasukan cek itu ke dalam saku jaketnya.

Aditya terkekeh ringan melihat kelakuan Sekar. "Kamu masih seperti dulu ya. Anak kecil yang terburu-buru," ujar Aditya. 

Sekar mengerutkan kening heran. Sekar tahu betul bahwa saat kecil ia selalu terburu-buru bahkan ibunya sering mengeluh karenanya. Tetapi bagaimana Aditya mengetahui hal itu? 

"Sepertinya dulu kamu masih kecil saat kita bertemu. Saat itu, aku dan ayahku harus terburu-buru kembali ke mobil setelah makan siang. Aku dan ayahku harus meninggalkan Jakarta dan pergi ke Solo karena sebuah urusan. Tetapi, seorang anak kecil tidak sengaja menabrakku dan membuat pakaianku basah.”

Mata Sekar mengerjap bingung mendengar cerita Aditya. Tetapi pria itu terkekeh pelan seperti sedang mengingat sebuah kenangan bahagia.

“Harusnya aku yang mengeluh karena anak kecil itu menabrakku, tetapi anak kecil itu malah menangis histeris. Jadi mau tidak mau, aku dan ayahku harus menenangkan anak kecil yang menangis itu sampai ibunya datang. Lalu ibu anak itu datang dan mengatakan, bagaimana kamu di sini, Sekar? Kenapa kamu pergi sendirian?"

"Perempuan itu berulang kali meminta maaf kepadaku dan kepada ayahku. Perempuan itu juga meminta maaf karena Sekar Kedaton, anaknya yang bandel, menggangguku dan ayahku," tambahnya lalu Aditya terkekeh ringan. 

Sekar menutup wajahnya mendengar Aditya bercerita. Ia merasa malu atas apa yang terjadi ketika ia kecil itu. "Astaga itu memalukan sekali. Meskipun aku sama sekali tidak mengingatnya, tetapi maafkan aku, Mas!" 

Aditya hanya manggut-manggut sembari terkekeh ringan. "Santai saja, lagipula itu sudah belasan tahun yang lalu."

“Kenapa Mas masih ingat kejadian yang sudah lama sekali itu?” Sekar termangu.

"Tentu saja aku ingta, Sekar. Karena bertemu denganmu saat itu, aku dan ayahku selamat dari kecelakaan pesawat. Ada sebuah insiden pesawat dari Jakarta ke Solo saat itu," jawabnya enteng. "Jadi ya, anggap saja kedatanganmu menyelamatkanku dan ayahku."

"Aku masih tidak menyangka bahwa aku akan bertemu anak kecil itu lagi, bedanya sekarang dia sudah dewasa," tambah Aditya, lalu terkekeh lagi, “tidak kusangka anak kecil polos itu menjadi LC.”

Sekar memerah karena malu. “I-itu kan terpaksa keadaan…”

Aditya tertawa melihat ekspresi lucunya. "Omong-omong, persiapkan dirimu, sebentar lagi kita akan menikah. Kita akan menemui ayahmu untuk meminta restu, tetapi jangan pernah katakan kepada ayahmu bahwa kita hanya akan kawin kontrak. Kamu paham, Sekar?" 

"Mas Aditya tenang saja, aku tidak akan mengatakan tentang kesepakatan kita pada siapa pun," pungkas Sekar, sedangkan di dalam batinnya hanya dipenuhi pengharapan bahwa ia tidak akan berbicara ceplas-ceplos. 

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pengantin 50.000 Dollar   Malam Pertama?

    Sekar duduk membeku di tepi ranjang. Jantungnya berdebar lebih cepat dan tangannya dingin. Benaknya seketika riuh, tentang malam pertama. Apalagi setelah Airin, sahabat dekatnya itu bertanya tentang malam pertama kepadanya.“Udah unboxing belum, Kar?” Begitulah pesan nakal yang dikirimkan sahabat baiknya itu.Sekar menutup wajahnya yang merona ketika mengingat kembali pertanyaan nakal dari sahabatnya itu. Memikirkannya saja malu apalagi melakukan malam pertama? Begitulah batin Sekar bergemuruh.Untuk kali pertamanya Sekar akan tidur bersama dengan seorang pria, meski pria itu adalah suaminya. Rasa malu, takut, dan canggung seketika menyelimutinya.“Kamu belum tidur?”Suara Aditya menyapa indera pendengaran Sekar. Ia menoleh ke arah suara dan ditatapnya Aditya yang baru saja selesai mandi. Dengan percaya dirinya, Aditya hanya melilitkan handuk menutup pinggang hingga pahanya, sedangkan bagian atas dibiarkan terbuka hingga perut kotak-kotaknya itu terpampang jelas.Sekar seketika mengal

  • Pengantin 50.000 Dollar   Kampungan

    Sekar duduk seorang diri di ruang makan, tepat di malam hari setelah acara pernikahan usai. Tidak lama, Aditya menyusulnya setelah pria itu mengambil dua gelas air mineral. Satu diberikannya kepada Sekar dan satu lagi untuknya.“Kenapa wajahmu tegang begitu? Anggap saja rumah sendiri, Sekar. Tidak perlu canggung ataupun khawatir,” pungkas Aditya.“Tapi aku takut, Mas…” cicit Sekar sembari meraih ujung kaus yang Aditya pakai.Aditya mengerutkan keningnya keheranan lalu diraihnya tangan Sekar dan digenggamnya erat. Ia tahu betul perbedaan status sosial antara ia dan Sekar. Apalagi setelah Sekar masuk ke dalam dunia Aditya, semuanya jelas tampak baru dan Sekar membutuhkan adaptasi perihal itu.“Semua akan baik-baik saja, Sekar. Aku akan membantumu,” pungkas Aditya.Masih ingat jelas di benak Aditya tepat setelah acara pernikahan berlangsung, ayah Sekar, Yudho, memintanya untuk menjaga Sekar yang notabenenya adalah anak rumahan.Jauh di dalam lubuk hati Aditya, ia merasa bersalah setelah m

  • Pengantin 50.000 Dollar   SAH

    Sekar menatap pantulan dirinya di depan cermin. Ia tampak anggun dengan kebaya putih yang melekat di tubuhnya. Siger sunda pun terpasang melingkar di keningnya. Polesan wajahnya tampak natural tetapi tetap membuatnya pangling.Berulang kali Sekar bahkan bertanya, "Apakah ini benar aku? Apakah ini aku? Kenapa aku jadi cantik sekali." Terkadang Sekar masih tidak percaya bahwa dirinya akan menikah secepat ini. Ia bahkan tidak memikirkan untuk menikah dengan cepat. Mungkin Sekar akan teramat bahagia ketika ia benar-benar menikah tanpa embel-embel pernikahan kontrak.Senyum Sekar yang merekah seketika pudar. Setidaknya ada hal yang ia dapatkan dan ada yang harus ia korbankan. Utang-utang ayahnya lunas sudah cukup baginya, meski ia harus mengorbankan kebahagiaannya. "Jangan sedih dong, Sekar! Ini hari bahagia kamu!" Airin membuka suara, sahabat Sekar itu memberikan support terbaiknya. "Meskipun ini hanya pernikahan kontrak, ingat setidaknya kamu kawin dengan anak konglomerat. Kamu harus m

  • Pengantin 50.000 Dollar   Aditya dan Kisahnya

    Aditya tak jemu memandangi foto Karaya yang dengan apik terpajang di dalam pigura berwarna emas tua itu. Perempuan dengan surai berombak dengan gaun merah jambu itu mengembangkan senyuman manisnya. Wanita itu tidak dapat dihubungi sebulan terakhir, membuatnya kelimpungan. Ia bahkan memeriksa kediaman pribadi Karaya, tetapi dia seolah hilang tanpa jejak. Karaya yang Aditya gantungkan reputasi perusahaannya itu rupanya menorehkan luka.Aditya harusnya menikahi Karaya agar perusahaannya semakin kokoh. Kedua orang tua Karaya pun telah setuju dengan pernikahan itu. Aditya sudah mengerahkan asisten dan menggunakan koneksinya pada kepolisian untuk mencari keberadaan Karaya, tetapi sampai kini pun tak kunjung membuahkan hasil."Aku gagal mendapatkan keuntungan jika aku gagal menikahinya,” gumam Aditya kesal. TOK....TOK....Suara pintu menggugah lamunan Aditya. Ia kembali menyimpan foto Karaya di dalam laci meja kerjanya. "Masuk!" titahnya. Derit pintu menyapa indera pendengaran Aditya. Keh

  • Pengantin 50.000 Dollar   "Om"

    Di jalanan yang mulai riuh, pria asing itu mengemudikan mobilnya. Langit telah menggelap dan rintik hujan mulai jatuh. "Pakai jas ini, aku tahu kamu kedinginan dan tidak nyaman," ujar pria asing itu sembari memberikan jasnya yang baru ia lepas setelah lampu lalu lintas berubah merah. "Terima kasih, Om." Sekar menerima jas itu dan menyampirkannya pada paha putih gadingnya yang mulus. "Tidak bisakah kamu berhenti memanggilku Om? Apakah aku setua itu?" Pria itu akhirnya protes setelah berulang kali mendengar Sekar memanggilnya dengan sebutan Om. "Lalu saya harus memanggil bagaimana? Pak? Atau apa?" Sekar menoleh kepada pria asing itu dan keduanya beradu tatap untuk sepersekian detik."Aditya, namaku Aditya Cempoko." Akhirnya pria asing itu mengenalkan diri. "Aditya? Mas Aditya?" Sekar sedikit ragu berucap sembari tak mengalihkan pandang dari Aditya yang teramat intens menatapnya. Aditya menarik kedua sudut bibirnya, terlihat puas. "Aku suka mendengarnya," ucapnya sembari mengemudika

  • Pengantin 50.000 Dollar   Kesepakatan

    "Menikah, Om? O-Om serius? Mak-Maksud saya, kita baru kenal, tetapi kenapa bisa Om menawarkan hal seperti itu kepada saya?"Bukannya terganggu dengan setiap pertanyaan yang Sekar todongkan, pria asing itu malah terkekeh seolah hal itu lucu baginya."Karena kamu terlihat seperti perempuan baik. Di era seperti ini, sulit menemukan perempuan sepertimu. Lagipula bukankah kamu mengatakan bahwa kamu butuh uang?"Sekar masih tidak habis pikir dengan pria yang ada di hadapannya itu. "Tapi, 50 ribu dollar bukan uang yang sedikit, Om. Masa Om mau memberikan uang sebanyak itu untuk perempuan asing sepertiku secara cuma-cuma?" "Siapa bilang aku akan memberikan uang sebanyak itu secara cuma-cuma? Aku butuh kamu menjadi pengantinku. Kamu butuh uang, dan aku butuh kamu untuk menyelamatkan reputasiku." Sekar melongo, untuk ketiga kalinya ia terkejut dengan apa yang dikatakan oleh pria di hadapannya itu."Ma-Maksud Om, aku jadi pengantin bayaran?" Sekar menyimpulkan. Ia pikir hal-hal seperti yang ia

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status