"Menikah, Om? O-Om serius? Mak-Maksud saya, kita baru kenal, tetapi kenapa bisa Om menawarkan hal seperti itu kepada saya?"
Bukannya terganggu dengan setiap pertanyaan yang Sekar todongkan, pria asing itu malah terkekeh seolah hal itu lucu baginya.
"Karena kamu terlihat seperti perempuan baik. Di era seperti ini, sulit menemukan perempuan sepertimu. Lagipula bukankah kamu mengatakan bahwa kamu butuh uang?"
Sekar masih tidak habis pikir dengan pria yang ada di hadapannya itu. "Tapi, 50 ribu dollar bukan uang yang sedikit, Om. Masa Om mau memberikan uang sebanyak itu untuk perempuan asing sepertiku secara cuma-cuma?"
"Siapa bilang aku akan memberikan uang sebanyak itu secara cuma-cuma? Aku butuh kamu menjadi pengantinku. Kamu butuh uang, dan aku butuh kamu untuk menyelamatkan reputasiku."
Sekar melongo, untuk ketiga kalinya ia terkejut dengan apa yang dikatakan oleh pria di hadapannya itu.
"Ma-Maksud Om, aku jadi pengantin bayaran?" Sekar menyimpulkan. Ia pikir hal-hal seperti yang ia alami hanya terdapat di layar-layar sinetron dan film. Nyatanya, kini ia mengalaminya sendiri dan ia peran utamanya. Haruskah Sekar mensyukuri hal ini ataukah malah sebaliknya?
"Anggap saja seperti itu, tetapi aku akan menyebutnya sebagai pengantin kontrak. Pernikahan kita berakhir setelah aku menemukan calon istriku," ujar pria asing di hadapan Sekar itu.
Sekar terdiam sejenak usai mendengar penjelasannya. Apakah semudah itu mengatakan pernikahan bubar? Bukankah pernikahan adalah hal sakral dan bukan sebuah permainan?
Namun kali ini, Sekar memilih menepiskan jauh-jauh pemikiran itu. Persetan dengan prinsip, uang lebih penting. Begitulah batin Sekar berbicara.
Kebingungan sekaligus keraguan di wajah Sekar terlihat jelas dan tampaknya dibaca oleh pria asing itu.
Bukannya segera dijelaskan, pria itu malah terkekeh ringan hingga lesung pipi terlihat jelas di kedua sisinya. Pria itu tampak semakin tampan sekaligus manis di saat bersamaan.
"Aku akan menikah seminggu lagi, Sekar." Pria asing itu membuka suara dan menjedanya sejenak, menghela napas. "Sayangnya, sejak tiga minggu lalu, calon istriku tidak ada kabar, entah dia kabur atau pergi ke mana.”
Sekar terdiam, rasa ibanya menyulut di dada. Ia memang belum pernah berada di posisi pria asing itu dan amit-amit sekali jika terjadi kepadanya. Namun, Sekar merasa sedih mendengarnya.
"Pasti Om sangat mencintai calon istri Om ya?" tanyanya bersimpati.
Pria itu menarik kedua sudut bibirnya, hampir tertawa mendengar ucapan polos Sekar.
"Tidak juga, aku menikah dengannya karena permintaan Ibuku. Dia putri pimpinan perusahaan property terbaik di Jakarta dan akan sangat menguntungkan bagi perusahaan kami jika aku berhasil menikah dengannya. Tetapi entahlah, mungkin Karaya pergi karena menghindari menikah denganku."
Oh jadi namanya Karaya? Sekar membatin. Namanya bagus, pasti orangnya juga cantik.
"Lalu kenapa Om mau menikah kontrak denganku? Aku hanya mahasiswi biasa dan anak kampung. Om tidak akan mendapatkan keuntungan apapun dariku seperti ketika Om akan menikahi Karaya.”
Pria itu terkekeh gemas. "Kamu analitis juga ya, pandai sekali."
Sekar menggaruk kepalanya yang tidak gatal malu-malu. Pria ini memujinya seolah Sekar seorang anak kecil.
"Seperti yang aku katakan tadi, reputasiku sangat berharga, Sekar. Aku tidak ingin ada berita bahwa aku gagal menikah dengan Karaya. Itu akan menjadi lelucon dan bahan olok-olokan dari klien dan musuh-musuh perusahaanku. Lagipula, kamu juga membutuhkan bantuanku bukan?"
Sekar manggut-manggut paham. "Hanya itu saja?" Tatapannya menelisik, seolah tak percaya dengan ucapan pria di hadapannya itu.
Pria asing itu terkekeh lagi lantas bangkit dari duduknya dan menghampiri Sekar yang hanya berjarak meja kaca berukuran persegi panjang. Pria asing itu meraih dagu Sekar dengan pelan. "Cause you're so smart. Aku suka orang-orang yang pintar."
"Selain itu, aku berhutang budi kepadamu, Sekar Kedaton," tambah pria itu yang seketika membuat Sekar bertanya-tanya.
"Berhutang budi? Berhutang budi soal apa?"
"Ikutlah. Aku akan menjelaskannya nanti," ujar pria itu sembari berjalan keluar dari ruangan karaoke.
Sekar yang masih diselimuti kebingungan itu pun memutuskan mengekori pria asing itu. Setidaknya, kini masalah Sekar tentang keuangan dapat terpecahkan setelah bertemu pria asing yang belum ia ketahui namanya itu.
Sekar duduk membeku di tepi ranjang. Jantungnya berdebar lebih cepat dan tangannya dingin. Benaknya seketika riuh, tentang malam pertama. Apalagi setelah Airin, sahabat dekatnya itu bertanya tentang malam pertama kepadanya.“Udah unboxing belum, Kar?” Begitulah pesan nakal yang dikirimkan sahabat baiknya itu.Sekar menutup wajahnya yang merona ketika mengingat kembali pertanyaan nakal dari sahabatnya itu. Memikirkannya saja malu apalagi melakukan malam pertama? Begitulah batin Sekar bergemuruh.Untuk kali pertamanya Sekar akan tidur bersama dengan seorang pria, meski pria itu adalah suaminya. Rasa malu, takut, dan canggung seketika menyelimutinya.“Kamu belum tidur?”Suara Aditya menyapa indera pendengaran Sekar. Ia menoleh ke arah suara dan ditatapnya Aditya yang baru saja selesai mandi. Dengan percaya dirinya, Aditya hanya melilitkan handuk menutup pinggang hingga pahanya, sedangkan bagian atas dibiarkan terbuka hingga perut kotak-kotaknya itu terpampang jelas.Sekar seketika mengal
Sekar duduk seorang diri di ruang makan, tepat di malam hari setelah acara pernikahan usai. Tidak lama, Aditya menyusulnya setelah pria itu mengambil dua gelas air mineral. Satu diberikannya kepada Sekar dan satu lagi untuknya.“Kenapa wajahmu tegang begitu? Anggap saja rumah sendiri, Sekar. Tidak perlu canggung ataupun khawatir,” pungkas Aditya.“Tapi aku takut, Mas…” cicit Sekar sembari meraih ujung kaus yang Aditya pakai.Aditya mengerutkan keningnya keheranan lalu diraihnya tangan Sekar dan digenggamnya erat. Ia tahu betul perbedaan status sosial antara ia dan Sekar. Apalagi setelah Sekar masuk ke dalam dunia Aditya, semuanya jelas tampak baru dan Sekar membutuhkan adaptasi perihal itu.“Semua akan baik-baik saja, Sekar. Aku akan membantumu,” pungkas Aditya.Masih ingat jelas di benak Aditya tepat setelah acara pernikahan berlangsung, ayah Sekar, Yudho, memintanya untuk menjaga Sekar yang notabenenya adalah anak rumahan.Jauh di dalam lubuk hati Aditya, ia merasa bersalah setelah m
Sekar menatap pantulan dirinya di depan cermin. Ia tampak anggun dengan kebaya putih yang melekat di tubuhnya. Siger sunda pun terpasang melingkar di keningnya. Polesan wajahnya tampak natural tetapi tetap membuatnya pangling.Berulang kali Sekar bahkan bertanya, "Apakah ini benar aku? Apakah ini aku? Kenapa aku jadi cantik sekali." Terkadang Sekar masih tidak percaya bahwa dirinya akan menikah secepat ini. Ia bahkan tidak memikirkan untuk menikah dengan cepat. Mungkin Sekar akan teramat bahagia ketika ia benar-benar menikah tanpa embel-embel pernikahan kontrak.Senyum Sekar yang merekah seketika pudar. Setidaknya ada hal yang ia dapatkan dan ada yang harus ia korbankan. Utang-utang ayahnya lunas sudah cukup baginya, meski ia harus mengorbankan kebahagiaannya. "Jangan sedih dong, Sekar! Ini hari bahagia kamu!" Airin membuka suara, sahabat Sekar itu memberikan support terbaiknya. "Meskipun ini hanya pernikahan kontrak, ingat setidaknya kamu kawin dengan anak konglomerat. Kamu harus m
Aditya tak jemu memandangi foto Karaya yang dengan apik terpajang di dalam pigura berwarna emas tua itu. Perempuan dengan surai berombak dengan gaun merah jambu itu mengembangkan senyuman manisnya. Wanita itu tidak dapat dihubungi sebulan terakhir, membuatnya kelimpungan. Ia bahkan memeriksa kediaman pribadi Karaya, tetapi dia seolah hilang tanpa jejak. Karaya yang Aditya gantungkan reputasi perusahaannya itu rupanya menorehkan luka.Aditya harusnya menikahi Karaya agar perusahaannya semakin kokoh. Kedua orang tua Karaya pun telah setuju dengan pernikahan itu. Aditya sudah mengerahkan asisten dan menggunakan koneksinya pada kepolisian untuk mencari keberadaan Karaya, tetapi sampai kini pun tak kunjung membuahkan hasil."Aku gagal mendapatkan keuntungan jika aku gagal menikahinya,” gumam Aditya kesal. TOK....TOK....Suara pintu menggugah lamunan Aditya. Ia kembali menyimpan foto Karaya di dalam laci meja kerjanya. "Masuk!" titahnya. Derit pintu menyapa indera pendengaran Aditya. Keh
Di jalanan yang mulai riuh, pria asing itu mengemudikan mobilnya. Langit telah menggelap dan rintik hujan mulai jatuh. "Pakai jas ini, aku tahu kamu kedinginan dan tidak nyaman," ujar pria asing itu sembari memberikan jasnya yang baru ia lepas setelah lampu lalu lintas berubah merah. "Terima kasih, Om." Sekar menerima jas itu dan menyampirkannya pada paha putih gadingnya yang mulus. "Tidak bisakah kamu berhenti memanggilku Om? Apakah aku setua itu?" Pria itu akhirnya protes setelah berulang kali mendengar Sekar memanggilnya dengan sebutan Om. "Lalu saya harus memanggil bagaimana? Pak? Atau apa?" Sekar menoleh kepada pria asing itu dan keduanya beradu tatap untuk sepersekian detik."Aditya, namaku Aditya Cempoko." Akhirnya pria asing itu mengenalkan diri. "Aditya? Mas Aditya?" Sekar sedikit ragu berucap sembari tak mengalihkan pandang dari Aditya yang teramat intens menatapnya. Aditya menarik kedua sudut bibirnya, terlihat puas. "Aku suka mendengarnya," ucapnya sembari mengemudika
"Menikah, Om? O-Om serius? Mak-Maksud saya, kita baru kenal, tetapi kenapa bisa Om menawarkan hal seperti itu kepada saya?"Bukannya terganggu dengan setiap pertanyaan yang Sekar todongkan, pria asing itu malah terkekeh seolah hal itu lucu baginya."Karena kamu terlihat seperti perempuan baik. Di era seperti ini, sulit menemukan perempuan sepertimu. Lagipula bukankah kamu mengatakan bahwa kamu butuh uang?"Sekar masih tidak habis pikir dengan pria yang ada di hadapannya itu. "Tapi, 50 ribu dollar bukan uang yang sedikit, Om. Masa Om mau memberikan uang sebanyak itu untuk perempuan asing sepertiku secara cuma-cuma?" "Siapa bilang aku akan memberikan uang sebanyak itu secara cuma-cuma? Aku butuh kamu menjadi pengantinku. Kamu butuh uang, dan aku butuh kamu untuk menyelamatkan reputasiku." Sekar melongo, untuk ketiga kalinya ia terkejut dengan apa yang dikatakan oleh pria di hadapannya itu."Ma-Maksud Om, aku jadi pengantin bayaran?" Sekar menyimpulkan. Ia pikir hal-hal seperti yang ia