Sekar menatap pantulan dirinya di depan cermin. Ia tampak anggun dengan kebaya putih yang melekat di tubuhnya. Siger sunda pun terpasang melingkar di keningnya. Polesan wajahnya tampak natural tetapi tetap membuatnya pangling. Berulang kali Sekar bahkan bertanya, "apakah ini benar aku? Apakah ini aku? Kenapa aku jadi cantik sekali."
Terkadang Sekar masih tidak percaya bahwa dirinya akan menikah secepat ini. Ia bahkan tidak memikirkan untuk menikah dengan cepat, tetapi nyatanya takdir berkata lain. Mungkin Sekar akan teramat bahagia ketika ia benar-benar menikah tanpa embel-embel pernikahan kontrak.
Senyum Sekar yang merekah seketika pudar. Setidaknya ada hal yang ia dapatkan dan ada yang harus ia korbankan. Utang-utang ayahnya lunas itu saja cukup baginya meski ia harus mengorbankan kebahagiaannya.
"Jangan sedih dong, Sekar! Ini hari bahagia kamu!" Airin membuka suara, sahabat Sekar itu memberikan suport terbaiknya.
"Meskipun ini hanya pernikahan kontrak, ingat setidaknya kamu kawin dengan anak konglomerat. Kamu harus manfaatkan itu," tambahnya yang seketika mendapatkan pukulan ringan dari Sekar.
"Aw! Sakit, Kar!" Airin sedikit memekik.
"Makanya kalau ngomong itu yang bener! Pernikahan itu sakral, Rin. Tetapi aku harus terjebak seperti ini." Sekar menghela napasnya panjang."Apa boleh buat, ini juga demi kebaikan ayahku. Jika tidak menikah, aku juga tidak bisa mendapatkan uang sebanyak itu," ujar Sekar.
"Nah itu tahu!" Airin menimpali dengan enteng, lalu duduk di tepi ranjang.
Setelah mendapatkan uang sebanyak 50 ribu dollar, Sekar memutuskan memberitahu Airin. Ia harusnya menyimpan rahasia tentang pernikahan kontrak itu rapat-rapat, tetapi bagaimanapun juga sahabat baiknya itu perlu tahu. Terlebih lagi, ketika pulang kampung untuk memberikan uang itu kepada ayahnya, ia juga mengajak Airin. Jadi mau tak mau ia memberitahu Airin. Meski Sekar meminta Airin berjanji untuk tidak memberitahu siapa pun perihal pernikahan kontraknya itu.
"Sudahlah, Sekar jalani saja semua ini. Aku akan bantu doakan yang terbaik buat kamu, siapa tahu suatu saat nanti Pak Aditya itu jatuh hati sama sahabatku ini." Airin kembali berucap.
Sekar hanya menarik sudut bibirnya sedih. "Mustahil sekali rasanya, Rin."
"Tidak ada yang mustahil di dunia ini, Sekar! Ingat itu," ujar Airin.
Derit pintu terbuka membuat Sekar dan Airin tersentak, hingga membuat keduanya menoleh ke arah pintu. Sekar dan Airin menangkap seorang perempuan paruh baya dengan setelan kebaya merah jambu. Senyum perempuan paruh baya itu tampak merekah di bibir merahnya.
"Apakah aku mengganggu kalian?" Perempuan paruh baya itu membuka suara.
"Tidak, Tante." Airin yang menimpali sembari bangkit dari duduknya.
"Baiklah. Nak, bisa tinggalkan aku dengan mempelai? Aku ingin berbicara dengannya," ujar perempuan paruh baya itu kepada Airin.
"Oh, bisa, Tante. Silakan! Kebetulan saya ingin turun," ujar Airin dan segera diangguki perempuan paruh baya itu.
Sebelum beranjak dari ruangan itu, Airin melambaikan tangannya pada Sekar. Barulah langkah jenjangnya membawanya beranjak menjauh.
Selepas kepergian Airin, tersisa Sekar dan perempuan paruh baya itu. Tidak ada percakapan antara keduanya, tetapi perempuan paruh baya itu tampak sumringah.
"Sekar ya?" Perempuan paruh baya itu membuka suara setelah tiba di samping Sekar, lalu duduk di tepi ranjang.
"Iya, Tante. Tante siapa ya?" Sekar akhirnya memberanikan diri bertanya perihal siapa perempuan paruh baya itu, yang cukup membuatnya bertanya-tanya.
Perempuan paruh baya itu terkekeh ringan. "Memang nakal sekali Aditya itu. Harusnya dia mengenalkanmu kepadaku dulu, Nak. Harusnya kamu jitak saja kepalanya," ujar perempuan paruh baya itu kesal.
Kekehan ringan keluar dari bibir Sekar, sama sekali ia tak menduga bahwa perempuan paruh baya itu adalah ibu dari Aditya. Ia juga tak menduga bahwa perempuan paruh baya itu ramah dan menerima keberadaannya.
"Aku Aini, Nak. Ibu Aditya. Mulai sekarang kamu bisa memanggilku ibu, ya. Aku dengar dari Aditya bahwa kamu anak kecil yang dulu tidak sengaja bertemu dengannya di kafe. Bertemu denganmu saat itu secara tidak langsung juga mengulur waktu Aditya dan ayahnya untuk ke Solo, setidaknya mereka berdua selamat dari kecelakaan itu," jelas perempuan paruh baya itu.
"Sejujurnya aku terkejut karena pernikahan ini dilanjutkan, apalagi setelah Karaya menghilang. Aku juga terkejut karena Aditya menikahi perempuan biasa, seharusnya ia menikah dengan perempuan yang sederajat dengannya. Tetapi, tidak apa-apa, aku akan mencoba menerimanya. Lagipula ini juga demi nama baik Aditya," jelas perempuan paruh baya itu.
Sekar tersenyum sedikit kaku. Ia menunduk malu. Kebahagiaannya kembali lenyap dalam sekejap. Baru saja ia diajak terbang tinggi tetapi kembali dijatuhkan ke dasar jurang.
Setara ya? Aku dan Mas Aditya memang sama sekali tidak setara dalam hal apa pun, Sekar membatin.
Aini bangkit dari duduknya, kemudian menghampiri Sekar. Diraihnya pipi Sekar lembut yang sontak Sekar menatap Aini. "Tidak perlu sedih, ibu akan berusaha menerima keberadaanmu," pungkas Aini. "Bagaimanapun juga aku pernah ada di posisimu, Nak. Tidak perlu khawatir," ujarnya.
"Sekarang terseyumlah! Ini adalah hari bahagiamu," tambahnya lagi.
Sekar akhirnya mengembangkan senyum manisnya dan anggukan ringan pun ia berikan. "Terima kasih, Bu."
"Sama-sama."
"Kalau begitu, sekarang kita turun ya! Semua orang sudah menunggumu," ujarnya.
Sekar manggut-manggut membalas. Ia bagkit dari duduknya dan melenggang bersama dengan Aini ke lantai dasar.
Debar jantung Sekar seketika naik lebih cepat. Tangannya pun menjadi lebih dingin. Langkah demi langkahnya membawanya semakin dekat dengan jangan yang ia pilih, takdirnya bersama dengan Aditya.
Dari lantai atas, Sekar dapat melihat jejeran orang-orang yang ada di dalam kediaman megah itu. Satu orang yang sangat mencolok di sana, duduk dengan gagah dengan setelan jasnya. Aditya tampak tampan di matanya, bahkan berkali-kali lipat lebih tampan dari sebelumnya.
Kenapa aku semakin deg-degan begini? Sekar membatin tak karuan berusaha mengontrol perasaannya yang riuh dengan debaran tak terkontrol.
Sekar mengembangkan senyum manisnya pada sang ayah yang sudah duduk di hadapan Aditya. Dilihatnya pria paruh baya itu tampak terharu. Keinginan terbesar seorang ayah adalah mengantarkan anaknya menikah, itulah yang Sekar dengar dari ayahnya bertahun silam lalu. Dan kini, Sekar mampu mewujudkannya, meski tak bisa ia pungkiri bahwa ia hanya terlibat pernikahan kontrak dengan Aditya.
"Apakah ibuku tadi memarahimu?" Aditya berbisik sangat-sangat lirih, tetapi masih dapat didengar jelas oleh Sekar.
Sekar memberikan gelengan. "Ibumu sangat baik, tidak perlu mengkhawatirkan apa pun," timpal Sekar.
Ada kelegaan di wajah Aditya setelah mendengar jawaban Sekar. Setidaknya apa yang Aditya khawatirkan tidak terjadi.
Acara sakral ijab qabul pun dimulai dan saat itulah Sekar benar-benar memasrahkan jalan ke depannya.
Bukankah akan semakin bahagia jika ia dan Aditya menikah dengan sakral tanpa embel-embel kesepakatan? Bukankah akan semakin indah jika Aditya tidak memberikan kesepakatan sebuah peripisahan jika Karaya kembali nantinya? Bukankah akan semakin bahagia jika ia dan Aditya benar-benar mencintai?
“Ananda Aditya bin Cempoko, Saya nikahkan dan kawinkan ananda dengan anak saya yang bernama Sekar Kedaton dengan mas kawin separangkat alat salat dan uang sebesar 20 juta rupiah, dibayar tunai”.
“Saya terima nikah dan kawinnya Sekar Kedaton binti Rahmat dengan mas kawin tersebut dibayar tunai”.
"Bagaimana saksi? Sah?"
"SAH!"
Senyum Sekar mengembang sempurna meski pertanyaan demi pertanyaan dibiarkan mengambang di benaknya. Setidaknya, ia akan menjalani kehidupan baru meski mungkin berpisah adalah jawaban akhir dari segalanya.
Sekar menatap pantulan dirinya di depan cermin. Ia tampak anggun dengan kebaya putih yang melekat di tubuhnya. Siger sunda pun terpasang melingkar di keningnya. Polesan wajahnya tampak natural tetapi tetap membuatnya pangling. Berulang kali Sekar bahkan bertanya, "apakah ini benar aku? Apakah ini aku? Kenapa aku jadi cantik sekali." Terkadang Sekar masih tidak percaya bahwa dirinya akan menikah secepat ini. Ia bahkan tidak memikirkan untuk menikah dengan cepat, tetapi nyatanya takdir berkata lain. Mungkin Sekar akan teramat bahagia ketika ia benar-benar menikah tanpa embel-embel pernikahan kontrak. Senyum Sekar yang merekah seketika pudar. Setidaknya ada hal yang ia dapatkan dan ada yang harus ia korbankan. Utang-utang ayahnya lunas itu saja cukup baginya meski ia harus mengorbankan kebahagiaannya. "Jangan sedih dong, Sekar! Ini hari bahagia kamu!" Airin membuka suara, sahabat Sekar itu memberikan suport terbaiknya. "Meskipun ini hanya pernikahan kontrak, ingat setidaknya kamu kaw
Aditya tak jemu memandangi foto Karaya yang dengan apik terpajang di dalam pigura berwarna emas tua itu. Perempuan dengan surai berombak dengan gaun merah jambu itu mengembangkan senyuman manisnya. Tanpa Aditya sangka, seseorang pemilik senyuman manis itu cukup membuatnya terluka hingga hampir gila. Aditya masih ingat bagaimana kelimpungannya dan sedihnya dia ketika Karaya tidak dapat dihubungi. Ia bahkan memeriksa kediaman pribadi Karaya dan tak menemukan keberadaan perempuan itu. Karaya hilang tanpa jejak atau mungkin kabur tanpa meninggalkan jejak. Karaya yang Aditya cintai sepenuh hati tak pernah disangka menorehkan luka laksana belati.Sudah sebulan penuh, Aditya mencari keberadaan Karaya tetapi tidak membuahkan hasil. Kerabat dekat Karaya pun tidak ada yang tahu ke mana perginya perempuan itu. Aditya mengerahkan asistennya untuk mencari sekaligus menyelidiki keberadaan Karaya tetapi nahasnya tak kunjung ada kabar sedikitpun. Aditya juga meminta sahabatnya, Juna yang seorang Pol
Di jalanan yang mulai riuh, pria asing itu mengemudikan mobilnya. Langit telah menggelap dan rintik hujan mulai jatuh. Musim hujan belum tiba tetapi hujan telah jatuh sebelum musimnya. "Pakai jas ini, aku tahu kamu kedinginan dan tidak nyaman," ujar pria asing itu sembari memberikan jasnya yang baru ia lepas setelah lampu lalu lintas berubah merah. "Terima kasih, Om." Sekar menerima jas itu dan menutupkannya pada paha putih gadingnya yang mulus. "Tidak bisakah kamu berhenti memanggilku Om? Apakah aku setua itu?" Pria itu akhirnya protes setelah berulang kali mendengar Sekar memanggilnya dengan sebutan Om. "Lalu saya harus memanggil bagaimana? Pak? Atau apa?" Sekar menoleh kepada pria asing itu dan keduanya beradu tatap untuk sepersekian detik."Aditya, namaku Aditya Cempoko." Akhirnya pria asing itu mengenalkan diri. "Aditya? Mas Aditya?" Sekar sedikit ragu berucap sembari tak mengalihkan pandang dari Aditya yang teramat intens menatapnya. Aditya menarik kedua sudut bibirnya seb
"Menikah, Om? O-Om serius? Mak-Maksud saya, kita baru kenal tetapi kenapa bisa Om menawarkan hal seperti itu kepada saya?" Sekar akhirnya balik menodong pria asing itu. Bukannya terganggu dengan setiap pertanyaan yang Sekar todongkan, pria asing itu malah terkekeh seolah hal itu lucu baginya. "Karena kamu terlihat seperti perempuan baik. Di era seperti ini sulit menenmukan perempuan sepertimu.""Lagipula bukankah kamu mengatakan bahwa kamu butuh uang?" Pria itu menambahkan. Sekar masih tidak habis pikir dengan pria yang ada di hadapannya itu. "Tapi 50 ribu dollar bukan uang yang sedikit, Om. Masa Om mau memberikan uang sebanyak itu untuk perempuan asing sepertiku secara cuma-cuma?" "Siapa bilang aku akan memberikan uang sebanyak itu secara cuma-cuma? Aku butuh kamu menjadi pengantinku dan kamu harus menyepakati di antara kita tidak boleh melibatkan perasaan. Kamu butuh uang dan aku butuh kamu untuk menyelamatkan reputasiku." Sekar melongo, untuk ketiga kalinya ia terkejut dengan a
Di sebuah ruangan, tempat karaoke Sekar berulang kali menurunkan dress ketatnya agar menutupi lututnya. Tetapi, tetap saja, dress yang ia pakai itu sangat ketat. Jika bukan karena paksaan Airin dan keterpaksaan keadaan, ia tak akan sudi memakai dress ketat itu. Ia tidak terbiasa dan bahkan tak akan pernah terbiasa dengan pakaian ketat. Sekar akhirnya memutuskan duduk di sofa dan ia menutupi pahanya yang terekspos itu dengan bantal. Sedangkan lengan putihnya yang terkespos ia tutup dengan jaket miliknya. "Aku benar-benar merasa salah mengambil langkah," gumam Sekar pada dirinya sendiri. Tidak lama seorang pria masuk ke sebuah ruangan karaoke dan menatap Sekar agak terkejut. Pria itu bahkan mematung di ambang pintu. "Malam, Om!" Sekar bangkit dari duduknya dan membungkuk dengan sopan pada pria yang baru sampai itu. Sekar tidak menatap jelas pria yang baru saja tiba itu. Ketakutan dan rasa malunya cukup melahapnya habis hingga tak berani menatap pria itu. Pria itu tak menimpali sep
Sekar memijit pelipisnya gusar setelah menutup telepon dari Hendro, ayahnya yang di desa. Selama berkuliah hampir empat tahun di kota, ia tak pernah tahu bahwa ayahnya memiliki utang sebanyak 500 juta, jumlah yang sangat-sangat besar baginya. Kini otak Sekar rasanya ingin pecah memikirkan bagaimana ia mendapatkan uang dalam jumlah 500 juta dalam jangka waktu yang singkat. Belum lagi ia harus memikirkan tentang skripsinya. Rasanya segala hal yang Sekar hadapi benar-benar menjadi lebih rumit, ia bahkan kesulitan untuk mencari jalan keluar apalagi dengan beban utang ayahnya sebanyak 500 juta itu.Selama ini ia bekerja sebagai pelayan di kafe hanya digaji sekitar satu hingga dua juta dan itu pun ia gunakan untuk menghidupi hari-harinya sebagai mahasiswa.“Sekar…” Suara Airin, sahabat baik Sekar itu menyentak lamunannya.“Ngapain berdiri terus di situ? Ini makananmu hampir dingin,” ujar Airin sembari menunjukkan mi ayam milik Sekar.Dengan wajah yang lesu dan langkah lemas, Sekar melangkah