Sekar duduk seorang diri di ruang makan, tepat di malam hari setelah acara pernikahan usai. Tidak lama, Aditya menyusulnya setelah pria itu mengambil dua gelas air mineral. Satu diberikannya kepada Sekar dan satu lagi untuknya.
“Kenapa wajahmu tegang begitu? Anggap saja rumah sendiri, Sekar. Tidak perlu canggung ataupun khawatir,” pungkas Aditya.
“Tapi aku takut, Mas…” cicit Sekar sembari meraih ujung kaus yang Aditya pakai.
Aditya mengerutkan keningnya keheranan lalu diraihnya tangan Sekar dan digenggamnya erat. Ia tahu betul perbedaan status sosial antara ia dan Sekar. Apalagi setelah Sekar masuk ke dalam dunia Aditya, semuanya jelas tampak baru dan Sekar membutuhkan adaptasi perihal itu.
“Semua akan baik-baik saja, Sekar. Aku akan membantumu,” pungkas Aditya.
Masih ingat jelas di benak Aditya tepat setelah acara pernikahan berlangsung, ayah Sekar, Yudho, memintanya untuk menjaga Sekar yang notabenenya adalah anak rumahan.
Jauh di dalam lubuk hati Aditya, ia merasa bersalah setelah menarik Sekar masuk ke dalam dunianya. Sekar yang lugu, polos, awam, dan baik harus masuk ke lingkungan yang penuh intrik.
Aditya selalu merasa khawatir jika Sekar tidak mampu menghadapi semua hal yang terjadi ke depannya. Apalagi Aini menentang hebat pernikahannya dengan Sekar.
“Jangan khawatir. Kamu bisa berlindung kepadaku.” Aditya menjadi lebih lembut kepada Sekar, perlahan diusapnya pipi Sekar yang mulus itu.
Senyum Aditya yang tulus seketika menjadi penenang bagi Sekar. Dan saat itulah Sekar merasakan debaran di jantungnya, sedikit lebih kencang.
Bagaimana jika ia nantinya jatuh hati dengan Aditya jika Aditya bersikap begitu lembut dan baik kepadanya?
Aish! Lupakan, Sekar! Jangan berpikir bodoh seperti ini! Sekar membatin dalam-dalam.
“Ekhem!” Deheman Aini seketika memecah hening di ruang makan dan memecah tatapan kedua insan yang baru saja sah menjadi sepasang suami istri itu.
Aditya dan Sekar sontak menoleh ke arah Aini. Aditya juga menarik tangannya dari pipi Sekar.
“Hari ini kita makan malam bertiga, Ayah harus pergi ke Bogor untuk pekerjaan,” ujar Aini lalu mengambil duduk di hadapan Sekar.
“Ayo kita makan malam!” ajak Aini sembari menatap makanan yang sudah disediakan ART di mansion itu. Aini pun hendak mengambil piring dan makanan yang telah dihidangkan itu.
“Biar Sekar yang ambilkan, Bu.” Sekar menyela dan mengambil satu piring untuk sang mertua.
“Aku bisa mengambilnya sendiri,” ketus Aini lalu mengambil makanan untuknya sendiri tanpa menunggu Sekar mengambilkan untuknya.
“Ambilkan untukku saja, Sayang.” Aditya berucap sembari memberikan embel-embel Sayang yang sontak membuat Aini dan Sekar terkejut secara bersamaan.
Sekar menoleh kepada Aditya dan Aditya hanya memberikan senyuman ringannya.
“Iya, Mas,” timpal Sekar lantas mengambilkan makanan untuk Aditya.
Belum sempat makanan itu diberikan kepada Aditya, ponsel Aditya berdering. Pria itu memutuskan meninggalkan ruang makan sepersekian detik setelahnya.
Setelah ketiadaan Aditya di ruang makan, suasana menjadi canggung. Apalagi hanya ada Sekar dan Aini. Aini menatap Sekar dengan tajam, sukses membuat Sekar hanya terdiam membeku.
“Juna datang menemuiku dan aku harus bicara dengannya. Kamu makan sama ibu dulu ya, Sekar,” ujar Aditya lantas terburu-buru meninggalkan ruang makan.
Sekar meneguk ludahnya kasar. Lagi-lagi ia harus berhadapan dengan sang mertua. Sekar masih ingat bagaimana tatapan tajam perempuan paruh baya itu kepadanya.
“Makanlah!” titah Aini.
“Aku tidak mungkin membiarkanmu kelaparan di rumahku,” tambahnya.
Sekar manggut-manggut dan segera menyantap makan malamnya. Berbeda dengan Aini yang mengenakan sendok, Sekar memilih menyantap makanannya dengan tangan.
Bagi Sekar, cukup menyusahkan makan ayam bakar dengan garpu dan sendok, apalagi dengan daging-daging yang berada di sela-selanya.
“Apakah kamu selalu makan tanpa sendok dan garpu?”
Sekar mengangguk dengan pipinya yang penuh makanan.
Aini yang melihat itu cukup terkejut. Sangat berbeda sekali dengan tata cara makan di mansionnya itu. Makan dengan tangan dan sedikit berantakan lalu mulut yang penuh dengan makanan.
“Dasar kampungan! Perbaiki cara makanmu! Aku tidak ingin melihatmu makan berantakan seperti ini,” tegas Aini lantas meninggalkan Sekar yang masih menyantap makan malamnya.
Sekar tertohok dengan pernyataan Aini. Ia bahkan tak mampu melanjutkan makan malamnya.
Apakah seperti ini orang kaya itu? Aku hanya ingin makan dan memang sangat lapar. Sekar membatin perih.
****
Aditya melenggang ke dalam mansion setelah bertemu dengan Juna. Sesaat lalu, ia putuskan bertemu dengan Juna di kafe tak jauh dari mansionnya.
Rupanya hanya ada Sekar yang masih menyantap makan malamnya. Aditya terkekeh ringan. “Apakah kamu sangat lapar?” Aditya melontarkan pertanyaannya.
“Di mana, Ibu? Dia sudah selesai makan?”
“Sudah, Mas.”
“Apakah Ibu menyakitimu?” tanya Aditya lagi yang sukses membuat Sekar terdiam sempurna. Benaknya berputar riuh.
Aditya selalu menanyakan hal yang sama ketika ia bersama dengan Aini. Sekar tahu betul ada kekhawatiran dari Aditya untuknya.
Sekar menggeleng sempurna. “Mas tidak perlu khawatir! Ibu baik kok sama aku,” ujar Sekar lalu senyum manis mengembang di bibir Sekar.
Aditya memberikan anggukan singkat meski dia tahu Sekar menutupi sesuatu.
“Makanlah, Mas! Apakah aku perlu ambilkan?” celetuk Sekar memecah hening.
“Tidak, aku bisa ambil sendiri. Lagipula kamu sedang makan bukan?” Aditya lantas mengambil makan malamnya.
Diam-diam Sekar pandangi wajah Aditya yang tertekuk itu seolah ada kesedihan yang tak dibicarakan.
“Ada apa, Mas? Kenapa wajahnya suram seperti rumah hantu seperti itu?” Sekar akhirnya menodong Aditya dengan pertanyaanya.
“Hanya masalah kecil. Kamu juga tidak perlu tahu karena ini adalah urusanku,” timpal Aditya tanpa menoleh pada Sekar. “Lagipula di peraturan pernikahan, kita tidak boleh ikut campur dalam urusan masing-masing, Sekar.”
Ucapan Aditya menampar ulu hati Sekar. Ia terdiam seribu bahasa dan memilih mengalihkan pandangannya ke arah lain.
Sekar ingat bahwa ia tidak membaca surat perjanjian itu dengan saksama. Harusnya kamu membacanya, Sekar! Kini kamu jadi malu sendiri! Ingatlah Sekar! Ingat, kamu sama Aditya hanya menikah kontrak, bukan menikah beneran! Jangan terlena dengan kebaikan Aditya! Sekar membatin dan berusaha meyakinkan dirinya lagi.
Sekar duduk membeku di tepi ranjang. Jantungnya berdebar lebih cepat dan tangannya dingin. Benaknya seketika riuh, tentang malam pertama. Apalagi setelah Airin, sahabat dekatnya itu bertanya tentang malam pertama kepadanya.“Udah unboxing belum, Kar?” Begitulah pesan nakal yang dikirimkan sahabat baiknya itu.Sekar menutup wajahnya yang merona ketika mengingat kembali pertanyaan nakal dari sahabatnya itu. Memikirkannya saja malu apalagi melakukan malam pertama? Begitulah batin Sekar bergemuruh.Untuk kali pertamanya Sekar akan tidur bersama dengan seorang pria, meski pria itu adalah suaminya. Rasa malu, takut, dan canggung seketika menyelimutinya.“Kamu belum tidur?”Suara Aditya menyapa indera pendengaran Sekar. Ia menoleh ke arah suara dan ditatapnya Aditya yang baru saja selesai mandi. Dengan percaya dirinya, Aditya hanya melilitkan handuk menutup pinggang hingga pahanya, sedangkan bagian atas dibiarkan terbuka hingga perut kotak-kotaknya itu terpampang jelas.Sekar seketika mengal
Sekar duduk seorang diri di ruang makan, tepat di malam hari setelah acara pernikahan usai. Tidak lama, Aditya menyusulnya setelah pria itu mengambil dua gelas air mineral. Satu diberikannya kepada Sekar dan satu lagi untuknya.“Kenapa wajahmu tegang begitu? Anggap saja rumah sendiri, Sekar. Tidak perlu canggung ataupun khawatir,” pungkas Aditya.“Tapi aku takut, Mas…” cicit Sekar sembari meraih ujung kaus yang Aditya pakai.Aditya mengerutkan keningnya keheranan lalu diraihnya tangan Sekar dan digenggamnya erat. Ia tahu betul perbedaan status sosial antara ia dan Sekar. Apalagi setelah Sekar masuk ke dalam dunia Aditya, semuanya jelas tampak baru dan Sekar membutuhkan adaptasi perihal itu.“Semua akan baik-baik saja, Sekar. Aku akan membantumu,” pungkas Aditya.Masih ingat jelas di benak Aditya tepat setelah acara pernikahan berlangsung, ayah Sekar, Yudho, memintanya untuk menjaga Sekar yang notabenenya adalah anak rumahan.Jauh di dalam lubuk hati Aditya, ia merasa bersalah setelah m
Sekar menatap pantulan dirinya di depan cermin. Ia tampak anggun dengan kebaya putih yang melekat di tubuhnya. Siger sunda pun terpasang melingkar di keningnya. Polesan wajahnya tampak natural tetapi tetap membuatnya pangling.Berulang kali Sekar bahkan bertanya, "Apakah ini benar aku? Apakah ini aku? Kenapa aku jadi cantik sekali." Terkadang Sekar masih tidak percaya bahwa dirinya akan menikah secepat ini. Ia bahkan tidak memikirkan untuk menikah dengan cepat. Mungkin Sekar akan teramat bahagia ketika ia benar-benar menikah tanpa embel-embel pernikahan kontrak.Senyum Sekar yang merekah seketika pudar. Setidaknya ada hal yang ia dapatkan dan ada yang harus ia korbankan. Utang-utang ayahnya lunas sudah cukup baginya, meski ia harus mengorbankan kebahagiaannya. "Jangan sedih dong, Sekar! Ini hari bahagia kamu!" Airin membuka suara, sahabat Sekar itu memberikan support terbaiknya. "Meskipun ini hanya pernikahan kontrak, ingat setidaknya kamu kawin dengan anak konglomerat. Kamu harus m
Aditya tak jemu memandangi foto Karaya yang dengan apik terpajang di dalam pigura berwarna emas tua itu. Perempuan dengan surai berombak dengan gaun merah jambu itu mengembangkan senyuman manisnya. Wanita itu tidak dapat dihubungi sebulan terakhir, membuatnya kelimpungan. Ia bahkan memeriksa kediaman pribadi Karaya, tetapi dia seolah hilang tanpa jejak. Karaya yang Aditya gantungkan reputasi perusahaannya itu rupanya menorehkan luka.Aditya harusnya menikahi Karaya agar perusahaannya semakin kokoh. Kedua orang tua Karaya pun telah setuju dengan pernikahan itu. Aditya sudah mengerahkan asisten dan menggunakan koneksinya pada kepolisian untuk mencari keberadaan Karaya, tetapi sampai kini pun tak kunjung membuahkan hasil."Aku gagal mendapatkan keuntungan jika aku gagal menikahinya,” gumam Aditya kesal. TOK....TOK....Suara pintu menggugah lamunan Aditya. Ia kembali menyimpan foto Karaya di dalam laci meja kerjanya. "Masuk!" titahnya. Derit pintu menyapa indera pendengaran Aditya. Keh
Di jalanan yang mulai riuh, pria asing itu mengemudikan mobilnya. Langit telah menggelap dan rintik hujan mulai jatuh. "Pakai jas ini, aku tahu kamu kedinginan dan tidak nyaman," ujar pria asing itu sembari memberikan jasnya yang baru ia lepas setelah lampu lalu lintas berubah merah. "Terima kasih, Om." Sekar menerima jas itu dan menyampirkannya pada paha putih gadingnya yang mulus. "Tidak bisakah kamu berhenti memanggilku Om? Apakah aku setua itu?" Pria itu akhirnya protes setelah berulang kali mendengar Sekar memanggilnya dengan sebutan Om. "Lalu saya harus memanggil bagaimana? Pak? Atau apa?" Sekar menoleh kepada pria asing itu dan keduanya beradu tatap untuk sepersekian detik."Aditya, namaku Aditya Cempoko." Akhirnya pria asing itu mengenalkan diri. "Aditya? Mas Aditya?" Sekar sedikit ragu berucap sembari tak mengalihkan pandang dari Aditya yang teramat intens menatapnya. Aditya menarik kedua sudut bibirnya, terlihat puas. "Aku suka mendengarnya," ucapnya sembari mengemudika
"Menikah, Om? O-Om serius? Mak-Maksud saya, kita baru kenal, tetapi kenapa bisa Om menawarkan hal seperti itu kepada saya?"Bukannya terganggu dengan setiap pertanyaan yang Sekar todongkan, pria asing itu malah terkekeh seolah hal itu lucu baginya."Karena kamu terlihat seperti perempuan baik. Di era seperti ini, sulit menemukan perempuan sepertimu. Lagipula bukankah kamu mengatakan bahwa kamu butuh uang?"Sekar masih tidak habis pikir dengan pria yang ada di hadapannya itu. "Tapi, 50 ribu dollar bukan uang yang sedikit, Om. Masa Om mau memberikan uang sebanyak itu untuk perempuan asing sepertiku secara cuma-cuma?" "Siapa bilang aku akan memberikan uang sebanyak itu secara cuma-cuma? Aku butuh kamu menjadi pengantinku. Kamu butuh uang, dan aku butuh kamu untuk menyelamatkan reputasiku." Sekar melongo, untuk ketiga kalinya ia terkejut dengan apa yang dikatakan oleh pria di hadapannya itu."Ma-Maksud Om, aku jadi pengantin bayaran?" Sekar menyimpulkan. Ia pikir hal-hal seperti yang ia