Beranda / Romansa / Pengantin Bangsawan Yang Kubenci / Tatapan yang Mengubah Aturan

Share

Tatapan yang Mengubah Aturan

Penulis: Pilar Waisakha
last update Terakhir Diperbarui: 2025-10-17 18:47:04
Para pelayan mulai menyajikan hidangan. Sendok perak berkilau, aroma sup hangat memenuhi ruangan, namun atmosfer di meja itu lebih menyerupai sidang politik ketimbang makan malam.

Di lorong belakang, Elowen mendorong troli penuh mangkuk. Jemarinya cepat menaburkan bubuk cabai ke salah satu sup, lalu ia tersenyum miring, mendorong troli kembali seolah tak ada yang terjadi.

Di meja makan kekaisaran, percakapan pelan bergulir di antara bangsawan. Avelinne menyendok supnya dengan tenang, gerakannya rapi dan terukur.

Sylvette, duduk di sampingnya, pura-pura meraih roti. Tubuhnya sengaja condong, piring Avelinne tergeser halus, membuat sendoknya hampir tumpah.

“Sepertinya meja ini terlalu sempit untuk kita berdua,” ujarnya, manis namun tajam.

Avelinne meletakkan sendok perlahan, senyum tipis menghiasi wajahnya. Ia tak membalas kata-kata, hanya diam yang membuat Sylvette semakin resah.

Lucianne, dari seberang meja, menyesap anggur dengan tenang. Senyumnya samar, matanya waspa
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terbaru

  • Pengantin Bangsawan Yang Kubenci   Ketika Hening Melahirkan Pengkhianatan

    Di dapur yang mulai sunyi, Sebastian menumpuk mangkuk terakhir. Gerakannya teratur seperti biasa, namun tiba-tiba ia berhenti—seolah ada sesuatu yang melintas begitu halus di udara hingga hanya naluri paling dasar yang mampu menangkapnya. Ia menegakkan tubuh, memiringkan kepala sedikit. Elowen, yang sedang mengeringkan tangan dengan kain lusuh, memperhatikannya. “Ada apa? Kau seperti… mendengar sesuatu.” Sebastian tidak langsung menjawab. Tatapannya mengarah ke lorong menuju kamar tempat Avelinne beristirahat—bukan curiga, hanya kepekaan tak jelas yang membuatnya meraih lentera. “Aku ingin memastikan Avelinne baik-baik saja.” Elowen menghela napas kecil, lalu mengambil Mocha yang mengekor di kakinya. “Baiklah. Sekalian aku bawa Mocha tidur.” Mereka berjalan menyusuri lorong remang menuju kantor, langkah keduanya lembut agar tidak mengganggu siapa pun yang mungkin sudah terlelap. Elowen sebenarnya ingin bercanda, tetapi melihat raut Sebastian—hati-hati, tapi tidak geli

  • Pengantin Bangsawan Yang Kubenci   Keheningan yang Menyembunyikan Kehidupan

    Langit di luar sudah menghitam ketika para pekerja pulang satu per satu, meninggalkan gudang dalam keheningan yang nyaman. Bangunan besar itu, yang biasanya dipenuhi suara langkah berat, denting perkakas, dan bisik-bisik percakapan para pekerja, kini seperti menutup dirinya sendiri. Hanya dapur kecil di sudut bangunan itu yang masih bercahaya—sebuah titik hangat di tengah gelapnya malam—beraroma sup dan rempah yang mengepul lembut, mengisi udara dengan kenyamanan sederhana yang sulit dijelaskan.Avelinne baru saja menutup panci ketika Elowen melahap suap demi suap dengan semangat yang hanya dimiliki gadis kelaparan. Gerakan tangannya cepat, seolah takut mangkuk itu akan direbut darinya kapan saja. “Pelan sedikit, Elowen. Kau bisa tersedak,” tegur Avelinne sambil tersenyum. “Ini terlalu enak untuk pelan,” jawab Elowen, mulutnya masih penuh. Ia menunduk pada Mocha di bawah meja. “Iya kan, Mocha?” Mocha mengeong kecil, mengunyah potongan daging yang diberi Elowen seolah menyetujui.

  • Pengantin Bangsawan Yang Kubenci   Sekutu Senja dan Pengkhianatan Sunyi

    Cahaya jingga senja merayapi kebun anggur Devereux yang mulai pulih. Sulur-sulur merambat naik, daun muda bergetar oleh angin lembut, dan bulir-bulir anggur menggantung berat, berkilau seolah dilapisi madu tipis. Marcus berjalan perlahan di antara deretan tanaman itu, sepatu botnya menginjak tanah lembap dengan ritme yang hampir sombong. Lucianne menyusul satu langkah di belakangnya—anggun, diam, namun mata hijaunya memantulkan perhitungan yang tak pernah padam. “Luar biasa,” gumam Lucianne sambil menyentuh satu tandan anggur. “Sepertinya sudah siap panen.” “Lebih dari siap,” sahut Marcus, dagunya terangkat sedikit. “Tak lama lagi aku punya bisnis anggurku sendiri. Devereux akan kembali bersinar di tanganku.” Lucianne tersenyum—senyum tipis seorang wanita yang tahu betul apa artinya berada di sisi pemenang. Dan aku, pada akhirnya akan menjadi satu-satunya nyonya Devereux di kastil itu, batinnya puas. Namun pikiran itu tergelincir begitu nama tertentu muncul dalam benaknya.

  • Pengantin Bangsawan Yang Kubenci   Awal Keruntuhan yang Tak Terlihat

    Begitu mobil berhenti, aroma fermentasi anggur menyambut mereka—hangat, manis, dan nyaris menenangkan. Avelinne menarik napas dalam-dalam seperti sedang kembali ke tempat yang selalu memeluknya. Elowen, lupa sejenak pada kecemasannya, berlari kecil sambil menggendong Mocha. “Osric! Kami kembali!” Osric muncul dari balik tumpukan tong kayu, wajahnya berseri. “Elowen! Nona Rosse. Senang melihat kalian lagi.” “Bagaimana fermentasi dan selainya?” tanya Elowen, matanya berbinar. “Semua berjalan baik,” jawab Osric. “Meski—jika boleh jujur—kami merindukan kehadiran kalian di sini.” Sebastian mendekat, senyum tipis menghiasi wajahnya. “Kabar baiknya, aku sudah memutuskan menikahi Avelinne.” Osric terbelalak.

  • Pengantin Bangsawan Yang Kubenci   Pertanda yang Tak Seorang Pun Berani Sebut

    Matahari siang memukul ladang anggur Marlowe dengan panas yang tak biasa—panas yang membuat udara bergetar, dan membuat setiap napas terasa seperti menelan logam. Di dalam rumah kecilnya, Marlowe duduk membungkuk, memperbaiki gunting besar yang bilahnya sudah tumpul. Ritme krek—krek dari batu asah memecah keheningan. Tiga ketukan keras menghajar pintu. Tidak ada salam. Tidak ada seruan nama. Marlowe berhenti. Gunting di tangannya nyaris terpeleset. Dengan napas berat, ia bangkit. Sepatu bot tuanya menghantam lantai batu dengan bunyi pendek yang seakan menandai awal sesuatu yang buruk. Ia membuka pintu hanya separuh. Di luar berdiri dua pria asing berjaket gelap, topi hitam menunduk rendah, wajah mereka tertutup bayangan. “Siapa kalian?” suara Marlowe serak, namun masih berusaha tegar. Pria di depan menjawab cepat, seperti seseorang yang tidak terbiasa ditanya balik. “Apa kau mengenal Avelinne Rosse?” Nama itu menghantam ruangan kecil itu seperti badai. Namun M

  • Pengantin Bangsawan Yang Kubenci   Saat Sang Putra Memilih Hasrat di Atas Darah

    Pagi itu meja makan keluarga Devereux terasa terlalu sunyi. Hanya denting halus gelas teh Marcus yang beradu dengan piring—ritme kecil yang justru membuat keheningan tampak lebih tajam. Lucianne duduk di sampingnya dengan anggun; bahunya tegak, posturnya nyaris santai. Seperti seorang nyonya yang kembali menikmati paginya… walau semua orang tahu semalam kastil nyaris hancur moralnya. Pintu ruang makan terbuka perlahan. Lady Vareen masuk. Kecantikannya—yang biasanya begitu sempurna dan menuntut penghormatan—pagi ini tampak retak. Bekas cakaran Mocha masih memerah di sisi wajahnya, menurunkan wibawa itu beberapa derajat. Ada guratan lelah yang bahkan bedak tipis pun tak mampu sembunyikan. Marcus yang pertama bersuara. “Selamat pagi, Ibu.” Lucianne menyusul, suaranya lembut namun sarat ironi terbungkus satin. “Bagaimana lukamu? Sudah membaik?” Lady Vareen menarik napas sebelum duduk, seperti seseorang yang tidak yakin tubuhnya masih sanggup menahan martabatnya sendiri. “Aku tid

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status