LOGINHari itu langit menggantung rendah—mendung tanpa hujan, seperti dada yang menahan napas terlalu lama. Jalanan basah memantulkan warna kelabu, dan udara terasa sunyi dengan cara yang tidak wajar; tidak ada angin, tidak ada suara burung, hanya kesan bahwa sesuatu sedang ditahan agar tidak pecah terlalu cepat. Mobil Marcus melaju tenang di jalan utama, rodanya membelah genangan tipis. Di dalamnya, tak ada percakapan yang perlu. Ketika kendaraan itu berbelok di tikungan terakhir, gerbang gudang anggur Devereux muncul di hadapan mereka—kokoh, diam, seolah tak tahu apa yang sedang mendekat. Mobil berhenti. Lady Vareen turun lebih dulu. Sepatu haknya menyentuh tanah basah tanpa ragu. Marcus menyusul, wajahnya tertutup, lalu Lucianne di belakang mereka, tatapannya bergerak cepat, mencatat lebih banyak daripada yang ia perlihatkan. Mereka masuk ke dalam. Langkah Lady Vareen terdengar jelas di lorong gudang—tegas, terukur. Suara hak sepatunya memantul di antara dinding batu dan rak
Fajar bahkan belum memutus kelam; hanya abu-abu dingin yang menempel di jendela. Avelinne sudah terjaga—atau mungkin memang tak pernah tertidur. Ia duduk bersandar, menatap langit pucat yang masih enggan berubah. Hari ini seharusnya menjadi puncak rencananya: menjadi istri Sebastian, menjejak tanah yang dulu dicabut dari keluarganya, mengunci jalan menuju balas dendam. Namun anehnya… dadanya terasa seperti diikat simpul yang tak bisa diuraikan. Di ranjang bawah, Elowen menggeliat. “Avelinne… kau sudah bangun?” Avelinne menoleh lambat. “Hari ini… aku menikah dengan Sebastian.” Elowen terlompat duduk. “Benarkah? Jadi kau akan resmi…?” Avelinne mengangguk tipis. “Itu satu-satunya cara agar kita tetap di sini.” “Kalau begitu kenapa kau belum bersiap?” tanya Elowen polos. “Gaunmu mana?” Avelinne menarik napas pendek. “Dia tidak bilang harus memakai apa. Mungkin sederhana saja. Ini pernikahan kecil.” “Tanpa pesta?” Elowen bingung. “Kukira semua pernikahan—”
Siang merayap perlahan ke ruang produksi selai, membawa hangat tipis yang memecah aroma anggur dari baki-baki terbuka. Para pekerja mulai menata makan siang, percakapan mereka hanya gumaman tentang cuaca dan panen—ringan, mengambang seperti jeda yang tidak menuntut apa pun. Melalui celah pintu gudang yang terbuka sedikit, Sebastian berhenti. Ia seharusnya berjalan menuju bagian penyimpanan untuk memeriksa catatan Osric, tapi langkahnya membeku ketika melihat sosok itu. Avelinne berdiri di bawah cahaya siang yang temaram, wajahnya menegang halus—bukan sakit, bukan lelah—lebih seperti seseorang yang menangkap bisikan yang tidak didengar oleh siapa pun. Sebastian tetap diam, tubuhnya setegak bayangan rak anggur. Gerakan Avelinne tampak wajar bagi pekerja lain, namun tidak bagi Sebastian: tangannya sesekali berhenti tanpa alasan, matanya menatap sesaat ke suatu titik di udara—seperti ia merasa ada sesuatu bergerak lembut di dalam dirinya. Sesuatu yang hanya bisa dirasakan, bukan di
Pagi datang ke gudang anggur dengan sunyi yang berbeda dari kastil—lebih hangat, lebih manusiawi. Cahaya lembut masuk dari celah jendela kecil kamar, menimpa lantai kayu yang masih dingin oleh sisa malam. Avelinne berdiri di depan cermin, menyisir rambutnya perlahan. Wajahnya tampak tenang, meski ada bayangan halus yang ia sendiri belum mengerti. Di belakangnya, Elowen sedang mengikat celemek, matanya menatap melalui pantulan cermin. “Kau yakin sudah baikan?” tanya Elowen, suaranya lirih namun penuh perhatian. “Semalam Sebastian terus mengkhawatirkanmu.” Avelinne tersenyum samar, menoleh sedikit melalui pantulan kaca. “Aku baik-baik saja. Aku tidak mungkin berdiam diri di sini hari ini tanpa menyentuh anggur-anggur itu.” “Ya tentu saja,” gumam Elowen sambil merapikan celemeknya lebih rapi dari yang diperlukan. Mereka keluar kamar bersama. Kantor gudang anggur sudah terisi aroma kertas, tinta, dan fermentasi yang samar. Sebastian duduk di balik meja kayu ek gelapnya, dibent
Di dapur yang mulai sunyi, Sebastian menumpuk mangkuk terakhir. Gerakannya teratur seperti biasa, namun tiba-tiba ia berhenti—seolah ada sesuatu yang melintas begitu halus di udara hingga hanya naluri paling dasar yang mampu menangkapnya. Ia menegakkan tubuh, memiringkan kepala sedikit. Elowen, yang sedang mengeringkan tangan dengan kain lusuh, memperhatikannya. “Ada apa? Kau seperti… mendengar sesuatu.” Sebastian tidak langsung menjawab. Tatapannya mengarah ke lorong menuju kamar tempat Avelinne beristirahat—bukan curiga, hanya kepekaan tak jelas yang membuatnya meraih lentera. “Aku ingin memastikan Avelinne baik-baik saja.” Elowen menghela napas kecil, lalu mengambil Mocha yang mengekor di kakinya. “Baiklah. Sekalian aku bawa Mocha tidur.” Mereka berjalan menyusuri lorong remang menuju kantor, langkah keduanya lembut agar tidak mengganggu siapa pun yang mungkin sudah terlelap. Elowen sebenarnya ingin bercanda, tetapi melihat raut Sebastian—hati-hati, tapi tidak geli
Langit di luar sudah menghitam ketika para pekerja pulang satu per satu, meninggalkan gudang dalam keheningan yang nyaman. Bangunan besar itu, yang biasanya dipenuhi suara langkah berat, denting perkakas, dan bisik-bisik percakapan para pekerja, kini seperti menutup dirinya sendiri. Hanya dapur kecil di sudut bangunan itu yang masih bercahaya—sebuah titik hangat di tengah gelapnya malam—beraroma sup dan rempah yang mengepul lembut, mengisi udara dengan kenyamanan sederhana yang sulit dijelaskan.Avelinne baru saja menutup panci ketika Elowen melahap suap demi suap dengan semangat yang hanya dimiliki gadis kelaparan. Gerakan tangannya cepat, seolah takut mangkuk itu akan direbut darinya kapan saja. “Pelan sedikit, Elowen. Kau bisa tersedak,” tegur Avelinne sambil tersenyum. “Ini terlalu enak untuk pelan,” jawab Elowen, mulutnya masih penuh. Ia menunduk pada Mocha di bawah meja. “Iya kan, Mocha?” Mocha mengeong kecil, mengunyah potongan daging yang diberi Elowen seolah menyetujui.







