Share

Yang Dibuang dari Kastil

Penulis: Pilar Waisakha
last update Terakhir Diperbarui: 2025-10-26 18:00:03
Sore itu, halaman kastil terbungkus cahaya tembaga yang memudar. Kereta kuda menunggu di depan, hitam berkilap, roda besinya berkilau dingin. Dua pria asing berdiri di samping, postur tegap, wajah nyaris tanpa ekspresi—seakan bagian dari mesin yang telah dipersiapkan jauh sebelum hari ini.

Elowen berlari melintasi halaman, langkahnya terburu, napasnya terputus.

“Avelinne!” serunya, suara pecah di antara derit tali kekang.

Avelinne menoleh, senyum tipis tergambar, lebih sebagai penenang daripada jawaban.

“Benarkah Lady Verenne akan mengirimmu jauh?” Elowen menahan napas.

“Katanya begitu. Untuk belajar menjadi wanita yang anggun,” ucap Avelinne. Nada suaranya datar, namun tatapannya menembus cakrawala seolah mencari sesuatu di balik kabut sore.

Elowen mengangkat gendongan mochi di tangannya.

“Kalau begitu, aku ikut.”

Sebelum ia naik, Avelinne menahan pundaknya.

“Aku tidak tahu apa yang menunggu di sana, Elowen. Kalau kau tetap di sini, setidaknya kau aman dari a
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terbaru

  • Pengantin Bangsawan Yang Kubenci   Rahasia yang Tertinggal di Malam Hujan

    Langit telah sepenuhnya gelap di atas rumah kecil peninggalan Edmund Rosse—bangunan tua yang berdiri lebih karena kenangan daripada kekuatan. Rintik hujan jatuh perlahan, mengetuk atap kayu dengan bunyi lembut yang justru menambah sunyi. Di dalam kamar sempit, Avelinne terbaring di atas ranjang reot. Gaun putihnya masih melekat—kusut, ternodai debu dan air mata. Wajahnya pucat, napasnya tipis namun teratur, seolah tubuhnya bertahan hanya karena belum diberi izin untuk runtuh sepenuhnya. Elowen berdiri di sisi ranjang, jemarinya saling mencengkeram. Di sebelahnya, Osric diam membatu. Seorang dokter tua menunduk memeriksa Avelinne—menyentuh pergelangan tangannya, mendekatkan telinga ke dadanya, menghitung denyut dengan kesabaran yang nyaris kejam bagi dua orang yang menunggu. Ia terlalu lama diam. Elowen menahan napas. “Apakah kakakku… baik-baik saja?” Dokter itu mengangkat wajahnya perlahan. “Dia hanya pingsan.” Elowen mengembuskan napas lega yang rapuh. Namun Osric

  • Pengantin Bangsawan Yang Kubenci   Pengakuan yang Membatalkan Segalanya

    Marlowe. Tangannya gemetar meremas topinya. Matanya beralih pada Avelinne—penuh ketakutan, penuh penyesalan. Avelinne membeku. Elowen menggeleng pelan ke arahnya. Isyarat tanpa suara: jangan. Sebastian menatap pria itu, bingung. “Marlowe…?” Marlowe menelan ludah. Suaranya keluar lirih. “Maafkan aku, Rosse.” Lady Vareen mendekat. “Katakan,” perintahnya. “Siapa wanita itu sebenarnya.” Marlowe memejamkan mata. Lalu membuka kembali—dan berbicara. “Avelinne Rosse adalah putri Edmund Rosse.” Nama itu jatuh berat. Seperti lonceng kematian yang dipukul terlalu dekat. “Pemilik kebun anggur yang kini dikelola Devereux,” lanjutnya. “Ia tidak datang ke keluarga ini sebagai calon istrimu… melainkan untuk membalas dendam. Untuk merebut kembali tanah ayahnya.” Jari Avelinne bergetar. Ia meremas gaunnya, napasnya goyah. Sebastian menoleh padanya, wajahnya kosong. “Edmund Rosse…?” Nama itu asing. Dan justru karena itu, mematikan. “Avelinne,” suaranya pecah. “Apa maksud s

  • Pengantin Bangsawan Yang Kubenci   Ketika Saksi Dipanggil

    Mobil Marcus berhenti di depan sebuah gereja batu tua. Bangunannya tidak besar, tapi terawat—jendela kaca patri memantulkan cahaya kelabu pagi yang belum sepenuhnya pecah. Dari kejauhan, terlihat siluet dua sosok berdiri berhadapan di dalamnya. Diam. Khidmat. Lady Vareen menyipitkan mata. “Di sini?” tanyanya pelan, seolah bertanya pada nalurinya sendiri. “Gereja terdekat dari gudang hanya ini,” jawab Marcus singkat. “Masuk akal.” Henry bersuara dari belakang, tenang namun mendesak. “Kita turun saja. Kalau benar, kita akan tahu.” Lucianne lebih dulu membuka pintu dan melangkah keluar. Lady Vareen menyusul, langkah sepatunya mantap, tanpa ragu. Marcus dan Henry mengikuti. Pintu gereja terbuka. Udara di dalam dingin dan hening, dipenuhi bau lilin dan kayu tua. Bangku-bangku terisi—tidak penuh, tapi cukup untuk disebut pernikahan yang sah. Beberapa kepala menoleh ketika rombongan itu masuk. Bisik-bisik kecil mulai bergerak seperti riak di air. Di depan altar, sepasang me

  • Pengantin Bangsawan Yang Kubenci   Badai yang Sedang Menemukan Jalannya

    Hari itu langit menggantung rendah—mendung tanpa hujan, seperti dada yang menahan napas terlalu lama. Jalanan basah memantulkan warna kelabu, dan udara terasa sunyi dengan cara yang tidak wajar; tidak ada angin, tidak ada suara burung, hanya kesan bahwa sesuatu sedang ditahan agar tidak pecah terlalu cepat. Mobil Marcus melaju tenang di jalan utama, rodanya membelah genangan tipis. Di dalamnya, tak ada percakapan yang perlu. Ketika kendaraan itu berbelok di tikungan terakhir, gerbang gudang anggur Devereux muncul di hadapan mereka—kokoh, diam, seolah tak tahu apa yang sedang mendekat. Mobil berhenti. Lady Vareen turun lebih dulu. Sepatu haknya menyentuh tanah basah tanpa ragu. Marcus menyusul, wajahnya tertutup, lalu Lucianne di belakang mereka, tatapannya bergerak cepat, mencatat lebih banyak daripada yang ia perlihatkan. Mereka masuk ke dalam. Langkah Lady Vareen terdengar jelas di lorong gudang—tegas, terukur. Suara hak sepatunya memantul di antara dinding batu dan rak

  • Pengantin Bangsawan Yang Kubenci   Menuju Altar yang Tak Pernah Menjadi

    Fajar bahkan belum memutus kelam; hanya abu-abu dingin yang menempel di jendela. Avelinne sudah terjaga—atau mungkin memang tak pernah tertidur. Ia duduk bersandar, menatap langit pucat yang masih enggan berubah. Hari ini seharusnya menjadi puncak rencananya: menjadi istri Sebastian, menjejak tanah yang dulu dicabut dari keluarganya, mengunci jalan menuju balas dendam. Namun anehnya… dadanya terasa seperti diikat simpul yang tak bisa diuraikan. Di ranjang bawah, Elowen menggeliat. “Avelinne… kau sudah bangun?” Avelinne menoleh lambat. “Hari ini… aku menikah dengan Sebastian.” Elowen terlompat duduk. “Benarkah? Jadi kau akan resmi…?” Avelinne mengangguk tipis. “Itu satu-satunya cara agar kita tetap di sini.” “Kalau begitu kenapa kau belum bersiap?” tanya Elowen polos. “Gaunmu mana?” Avelinne menarik napas pendek. “Dia tidak bilang harus memakai apa. Mungkin sederhana saja. Ini pernikahan kecil.” “Tanpa pesta?” Elowen bingung. “Kukira semua pernikahan—”

  • Pengantin Bangsawan Yang Kubenci   Sesaat Sebelum Segalanya Runtuh

    Siang merayap perlahan ke ruang produksi selai, membawa hangat tipis yang memecah aroma anggur dari baki-baki terbuka. Para pekerja mulai menata makan siang, percakapan mereka hanya gumaman tentang cuaca dan panen—ringan, mengambang seperti jeda yang tidak menuntut apa pun. Melalui celah pintu gudang yang terbuka sedikit, Sebastian berhenti. Ia seharusnya berjalan menuju bagian penyimpanan untuk memeriksa catatan Osric, tapi langkahnya membeku ketika melihat sosok itu. Avelinne berdiri di bawah cahaya siang yang temaram, wajahnya menegang halus—bukan sakit, bukan lelah—lebih seperti seseorang yang menangkap bisikan yang tidak didengar oleh siapa pun. Sebastian tetap diam, tubuhnya setegak bayangan rak anggur. Gerakan Avelinne tampak wajar bagi pekerja lain, namun tidak bagi Sebastian: tangannya sesekali berhenti tanpa alasan, matanya menatap sesaat ke suatu titik di udara—seperti ia merasa ada sesuatu bergerak lembut di dalam dirinya. Sesuatu yang hanya bisa dirasakan, bukan di

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status