Compartir

Anggur dari Tanah Miskin

last update Última actualización: 2025-10-10 18:15:23

Sementara Avelinne berhadapan dengan tatapan dingin Lady Vareen, Elowen sudah menyelinap ke dapur kastil Devereux.

Dapur itu hiruk pikuk: panci mendidih, roti panggang baru keluar dari tungku, pelayan berlarian dengan nampan penuh. Elowen menaruh keranjangnya di pojok, lalu sigap menyambar celemek lusuh yang tergantung di paku.

“Hei, bocah!” seru seorang juru masak tambun—Marta, wanita paruh baya yang sudah puluhan tahun mengatur dapur, tangannya cekatan tapi lidahnya lebih cepat.

Elowen hampir loncat, lalu cepat menirukan logat pelayan kota, “Ya, Nyonya! Baru direkrut pagi ini!”

Marta mendengus, menaruh tangan di pinggang. “Cuci sayuran itu—cepat. Pesta sebentar lagi.”

Elowen bergegas, namun telinganya tak berhenti menangkap bisik-bisik. Finn, pelayan muda yang lebih suka bergosip, berbisik sambil menata piring, “Kau lihat Lady Lucienne pagi tadi? Marah besar—gaunnya dari Paris belum datang.”

“Padahal pesta ini untuk Tuan Sebastian, bukan dirinya,” sahut teman di sampingnya.

Finn mendengus kecil. “Justru itu. Ia memang istri Tuan Marcus… tapi tingkahnya, seakan nyonya rumah sesungguhnya.”

Elowen menunduk, pura-pura sibuk; sudut bibirnya nyaris menegang.

Suara Garrick, kepala pelayan tua dan keras, memotong seperti palu, “Cukup. Kastil ini penuh telinga. Tahan lidah kalian kalau tak mau celaka.”

Hening. Denting sendok kembali memenuhi ruang.

Bagi Elowen, potongan obrolan itu sudah cukup: ada istri bangsawan yang ingin berkuasa, dan rumah ini menyimpan retakan yang bisa dimanfaatkan.

Tiba-tiba seekor kucing abu-abu melompat ke meja dapur.

Gerakannya secepat kilat—sup hampir tumpah, roti bergeser, dan karung tepung terjungkal, meledak jadi kabut putih yang membuat semua orang batuk-batuk.

“Kucing! Bagaimana bisa masuk ke dapur ini!” jerit Marta sampai centong di tangannya ikut melayang.

Finn langsung meloncat bangkit. “Biar aku tangkap! Jangan biarkan dia kabur!” teriaknya gagah—lalu terpeleset di tumpahan tepung, hampir menabrak panci sup mendidih. Marta menjerit lagi, kali ini lebih nyaring dari sebelumnya.

Kucing itu justru melesat ke tengah meja, ekornya menyapu piring-piring seperti cambuk. Ia berhenti tepat di bawah cahaya tungku, menoleh dengan mata abu-abu berkilat seperti bara yang mengejek.

Dari sisi lain meja, Garrick sudah berdiri tegak, pisau daging terangkat setinggi bahu. Suaranya berat dan dingin:

“Mau lari ke mana kau, makhluk kecil…”

“Jangan diiris di meja pesta, Garrick!” seru Marta panik, mencoba menahan tangannya.

Finn masih terbatuk-batuk karena tepung.

“Kalau sup ini tumpah, bukan cuma kucing itu—kepalaku juga ikut dipanggang!”

Dalam kekacauan itu, Elowen maju satu langkah cepat. Tangannya menyambar kucing sebelum Garrick sempat mengayunkan pisaunya. Ia mendekap erat, lalu berkata dengan senyum setengah licik:

“Dia tidak merusak apa-apa. Justru tikus tak berani muncul kalau ada dia.”

Garrick mendengus, menurunkan pisaunya dengan berat hati. “Kalau satu piring jatuh lagi, bocah, kucing itu yang pertama jadi korban.”

Marta masih mengibas-ngibas tepung dari wajahnya. “Astaga… dapur ini seperti panggung sandiwara murahan!”

Finn menatap Elowen seolah baru menyaksikan sulap. “Aku hampir jadi rebusan ayam gara-gara kucing itu…” gumamnya, lalu menutup wajah dengan saputangan yang kini penuh noda putih.

Elowen hanya pura-pura mengangguk patuh, melangkah pergi sambil menggendong kucing yang masih bergetar di pelukannya—seolah menahan tawa.

Ya… kita sama, kau dan aku. Kecil, dianggap remeh, tapi cukup cerdik untuk membuat raksasa-raksasa ini kehilangan keseimbangan.

******

Aula utama kastil diterangi ratusan lilin. Cahaya keemasan menari di atas kristal anggur, berkilau di permukaan gaun sutra para bangsawan yang berputar mengikuti waltz. Udara sarat aroma mawar dan parfum mahal, namun juga penuh penghakiman—setiap senyum adalah pisau berselubung manis.

Aveline berdiri di dekat meja minuman, jemarinya mengelus pelan gelas anggur yang tak tersentuh. Gaunnya memang sederhana, tapi cara ia menegakkan punggung membuatnya tidak tampak kalah dibandingkan kilau para wanita di sekitarnya.

Dari kejauhan, Marcus Devereux—putra kedua keluarga itu—masuk bersama istrinya. Marcus membawa wibawa tenang, tapi pandangan matanya kerap melirik Lucienne D’Artoile, istrinya yang bergaun merah darah. Lucienne berjalan dengan kepala terangkat, seolah setiap tatapan bangsawan hanyalah debu di ujung sepatunya.

Aveline menatap mereka, dingin.

Siapa pun mereka, tak penting. Selama menyandang nama Devereux, mereka sudah termasuk dalam daftar yang harus kuhancurkan.

Tarikan napasnya panjang, matanya berkilat—bukan kagum, melainkan tekad yang beku.

Tiba-tiba seorang putri bangsawan mendekat. Wajahnya cantik tersusun rapi, senyumnya manis, tapi matanya menyelidik.

“Nona… dari keluarga mana, ya? Saya rasa belum pernah melihat Anda di pesta mana pun.”

Nada ramah, tapi maksudnya jelas: undangan untuk mempermalukan. Beberapa tamu yang mendengar pura-pura sibuk dengan minuman mereka, namun jelas menunggu apakah gadis asing ini akan tergagap.

Aveline menoleh perlahan. Bibirnya melengkung tipis, sinis nyaris tak kentara.

“Benar, Nona. Anda memang belum pernah melihat saya. Itu justru membuat kehadiran saya… lebih mudah diingat, bukan?”

Sejenak hening. Beberapa wanita bangsawan menahan senyum—antara geli dan kagum pada keberaniannya.

Namun Aveline sadar, bukan hanya peserta lain yang menguji. Dari ujung ruangan, Lady Vareen memperhatikannya dengan tatapan tajam, seperti hendak menelisik: apakah gadis asing ini sekadar berani bicara… atau benar-benar tahu apa yang ia lakukan.

Bisik-bisik tentang Aveline belum reda ketika langkah anggun terdengar mendekat. Gaun merah darah berkilau di bawah cahaya lilin, setiap bordirnya tampak seperti nyala api.

Lucienne D’Artoile.

Istri Marcus Devereux.

Senyumnya tidak pernah sampai ke mata. Tatapannya menyapu gaun Aveline, lama, seakan menilai kain pasar yang nekat masuk butik mewah.

“Oh,” ucapnya lembut, beracun, “saya kira semua undangan malam ini berasal dari keluarga ternama. Rupanya… ada pengecualian.”

Beberapa tamu menahan tawa.

Aveline menegakkan bahu, menahan dingin di dadanya.

“Mungkin karena saya tidak butuh nama besar untuk berdiri di sini, Nyonya.”

Senyum Lucienne menajam, indah sekaligus rapuh seperti kaca retak.

“Keberanian itu penting, tapi tanpa darah yang tepat… ia hanya hiburan. Dan hiburan selalu berakhir cepat di rumah sebesar ini."

Udara menegang. Semua menunggu apakah Avelinne akan tersandung.

Dari kejauhan, Sebastian Devereux berdiri diam. Mata abu-abunya mengukur, seolah ia tengah menimbang harga, bukan keberanian.

Lucienne menyesap anggurnya perlahan, yakin lawannya akan tersedak sebelum sempat membalas.

Namun Aveline tetap menatap lurus, suaranya jernih meski lembut:

“Darah saya memang tak punya gelar. Tapi bukankah anggur terbaik sering lahir dari tanah miskin—bukan ladang penuh pujian?”

Hening.

Beberapa tamu terperangah, ada yang menahan senyum, ada pula yang berpaling pura-pura sibuk dengan gelas mereka.

Senyum Lucienne melebar, tapi kaku. Jemarinya mengetuk batang gelas, menahan bara di balik wajah tenangnya.

“Kata-kata indah. Mari kita lihat… apakah tanah miskin itu bisa bertahan di musim dingin.”

Ia berbalik. Gaunnya berkilau seperti nyala api, bisikan-bisikan langsung pecah mengiringi langkahnya.

Aveline menarik napas pelan. Tangannya sedikit bergetar, tapi sorot matanya tetap tegak. Ia tidak sadar, tatapan Sebastian masih tertuju padanya—dingin, abu-abu, seperti seorang penilai anggur yang menimbang apakah buah asing ini akan jadi vintage berharga… atau hanya busuk sebelum sempat diperas.

Continúa leyendo este libro gratis
Escanea el código para descargar la App

Último capítulo

  • Pengantin Bangsawan Yang Kubenci   Ketika Hening Melahirkan Pengkhianatan

    Di dapur yang mulai sunyi, Sebastian menumpuk mangkuk terakhir. Gerakannya teratur seperti biasa, namun tiba-tiba ia berhenti—seolah ada sesuatu yang melintas begitu halus di udara hingga hanya naluri paling dasar yang mampu menangkapnya. Ia menegakkan tubuh, memiringkan kepala sedikit. Elowen, yang sedang mengeringkan tangan dengan kain lusuh, memperhatikannya. “Ada apa? Kau seperti… mendengar sesuatu.” Sebastian tidak langsung menjawab. Tatapannya mengarah ke lorong menuju kamar tempat Avelinne beristirahat—bukan curiga, hanya kepekaan tak jelas yang membuatnya meraih lentera. “Aku ingin memastikan Avelinne baik-baik saja.” Elowen menghela napas kecil, lalu mengambil Mocha yang mengekor di kakinya. “Baiklah. Sekalian aku bawa Mocha tidur.” Mereka berjalan menyusuri lorong remang menuju kantor, langkah keduanya lembut agar tidak mengganggu siapa pun yang mungkin sudah terlelap. Elowen sebenarnya ingin bercanda, tetapi melihat raut Sebastian—hati-hati, tapi tidak geli

  • Pengantin Bangsawan Yang Kubenci   Keheningan yang Menyembunyikan Kehidupan

    Langit di luar sudah menghitam ketika para pekerja pulang satu per satu, meninggalkan gudang dalam keheningan yang nyaman. Bangunan besar itu, yang biasanya dipenuhi suara langkah berat, denting perkakas, dan bisik-bisik percakapan para pekerja, kini seperti menutup dirinya sendiri. Hanya dapur kecil di sudut bangunan itu yang masih bercahaya—sebuah titik hangat di tengah gelapnya malam—beraroma sup dan rempah yang mengepul lembut, mengisi udara dengan kenyamanan sederhana yang sulit dijelaskan.Avelinne baru saja menutup panci ketika Elowen melahap suap demi suap dengan semangat yang hanya dimiliki gadis kelaparan. Gerakan tangannya cepat, seolah takut mangkuk itu akan direbut darinya kapan saja. “Pelan sedikit, Elowen. Kau bisa tersedak,” tegur Avelinne sambil tersenyum. “Ini terlalu enak untuk pelan,” jawab Elowen, mulutnya masih penuh. Ia menunduk pada Mocha di bawah meja. “Iya kan, Mocha?” Mocha mengeong kecil, mengunyah potongan daging yang diberi Elowen seolah menyetujui.

  • Pengantin Bangsawan Yang Kubenci   Sekutu Senja dan Pengkhianatan Sunyi

    Cahaya jingga senja merayapi kebun anggur Devereux yang mulai pulih. Sulur-sulur merambat naik, daun muda bergetar oleh angin lembut, dan bulir-bulir anggur menggantung berat, berkilau seolah dilapisi madu tipis. Marcus berjalan perlahan di antara deretan tanaman itu, sepatu botnya menginjak tanah lembap dengan ritme yang hampir sombong. Lucianne menyusul satu langkah di belakangnya—anggun, diam, namun mata hijaunya memantulkan perhitungan yang tak pernah padam. “Luar biasa,” gumam Lucianne sambil menyentuh satu tandan anggur. “Sepertinya sudah siap panen.” “Lebih dari siap,” sahut Marcus, dagunya terangkat sedikit. “Tak lama lagi aku punya bisnis anggurku sendiri. Devereux akan kembali bersinar di tanganku.” Lucianne tersenyum—senyum tipis seorang wanita yang tahu betul apa artinya berada di sisi pemenang. Dan aku, pada akhirnya akan menjadi satu-satunya nyonya Devereux di kastil itu, batinnya puas. Namun pikiran itu tergelincir begitu nama tertentu muncul dalam benaknya.

  • Pengantin Bangsawan Yang Kubenci   Awal Keruntuhan yang Tak Terlihat

    Begitu mobil berhenti, aroma fermentasi anggur menyambut mereka—hangat, manis, dan nyaris menenangkan. Avelinne menarik napas dalam-dalam seperti sedang kembali ke tempat yang selalu memeluknya. Elowen, lupa sejenak pada kecemasannya, berlari kecil sambil menggendong Mocha. “Osric! Kami kembali!” Osric muncul dari balik tumpukan tong kayu, wajahnya berseri. “Elowen! Nona Rosse. Senang melihat kalian lagi.” “Bagaimana fermentasi dan selainya?” tanya Elowen, matanya berbinar. “Semua berjalan baik,” jawab Osric. “Meski—jika boleh jujur—kami merindukan kehadiran kalian di sini.” Sebastian mendekat, senyum tipis menghiasi wajahnya. “Kabar baiknya, aku sudah memutuskan menikahi Avelinne.” Osric terbelalak.

  • Pengantin Bangsawan Yang Kubenci   Pertanda yang Tak Seorang Pun Berani Sebut

    Matahari siang memukul ladang anggur Marlowe dengan panas yang tak biasa—panas yang membuat udara bergetar, dan membuat setiap napas terasa seperti menelan logam. Di dalam rumah kecilnya, Marlowe duduk membungkuk, memperbaiki gunting besar yang bilahnya sudah tumpul. Ritme krek—krek dari batu asah memecah keheningan. Tiga ketukan keras menghajar pintu. Tidak ada salam. Tidak ada seruan nama. Marlowe berhenti. Gunting di tangannya nyaris terpeleset. Dengan napas berat, ia bangkit. Sepatu bot tuanya menghantam lantai batu dengan bunyi pendek yang seakan menandai awal sesuatu yang buruk. Ia membuka pintu hanya separuh. Di luar berdiri dua pria asing berjaket gelap, topi hitam menunduk rendah, wajah mereka tertutup bayangan. “Siapa kalian?” suara Marlowe serak, namun masih berusaha tegar. Pria di depan menjawab cepat, seperti seseorang yang tidak terbiasa ditanya balik. “Apa kau mengenal Avelinne Rosse?” Nama itu menghantam ruangan kecil itu seperti badai. Namun M

  • Pengantin Bangsawan Yang Kubenci   Saat Sang Putra Memilih Hasrat di Atas Darah

    Pagi itu meja makan keluarga Devereux terasa terlalu sunyi. Hanya denting halus gelas teh Marcus yang beradu dengan piring—ritme kecil yang justru membuat keheningan tampak lebih tajam. Lucianne duduk di sampingnya dengan anggun; bahunya tegak, posturnya nyaris santai. Seperti seorang nyonya yang kembali menikmati paginya… walau semua orang tahu semalam kastil nyaris hancur moralnya. Pintu ruang makan terbuka perlahan. Lady Vareen masuk. Kecantikannya—yang biasanya begitu sempurna dan menuntut penghormatan—pagi ini tampak retak. Bekas cakaran Mocha masih memerah di sisi wajahnya, menurunkan wibawa itu beberapa derajat. Ada guratan lelah yang bahkan bedak tipis pun tak mampu sembunyikan. Marcus yang pertama bersuara. “Selamat pagi, Ibu.” Lucianne menyusul, suaranya lembut namun sarat ironi terbungkus satin. “Bagaimana lukamu? Sudah membaik?” Lady Vareen menarik napas sebelum duduk, seperti seseorang yang tidak yakin tubuhnya masih sanggup menahan martabatnya sendiri. “Aku tid

Más capítulos
Explora y lee buenas novelas gratis
Acceso gratuito a una gran cantidad de buenas novelas en la app GoodNovel. Descarga los libros que te gusten y léelos donde y cuando quieras.
Lee libros gratis en la app
ESCANEA EL CÓDIGO PARA LEER EN LA APP
DMCA.com Protection Status