Share

Bab 2

Penulis: Pilar Waisakha
last update Terakhir Diperbarui: 2025-10-09 20:19:31

Kereta kayu sederhana berderak menyusuri jalan berbatu Bordeaux. Roda-rodanya mengaduk debu musim panas, sementara burung-burung camar beterbangan dari arah pelabuhan, sayap-sayapnya berkilat disinari matahari pagi.

Di dalamnya, Aveline Rosse duduk tegak dengan gaun hijau tua yang ia jahit semalaman. Cahaya pagi menyingkap jahitan kasar di ujung kain, namun ia tak peduli. Tatapannya lurus ke depan, dingin, seolah hanya ada satu tujuan di matanya. Dalam genggamannya, tas kulit kecil menyimpan amplop bersegel lilin merah—tiket masuk ke dunia yang ingin ia taklukkan.

Di sampingnya, Elowen hampir tak bisa diam. Matanya berkilat, jemarinya sibuk memainkan pita yang menghiasi rambutnya.

“Aveline, lihat!” serunya sambil menunjuk keluar jendela sempit kereta.

“Itu rumah besar, kan? Kalau jadi bangsawan, apakah kita juga akan punya rumah setinggi itu? Dan pelayan yang selalu membawakan teh?”

Aveline hanya melirik sekilas.

“Kalau kita berhasil, Elowen… yang akan kita dapat bukan teh, tapi keadilan.”

Namun adiknya tak menggubris nada getir itu. Ia malah sibuk menunduk, menyembunyikan kucing abu-abu di balik keranjang berisi kain. Hewan itu mengeong lirih, gelisah oleh guncangan jalan.

“Shhh… kau harus diam. Kalau tidak, kita ketahuan,” bisik Elowen sambil menepuk lembut kepala kucing itu.

Aveline menekan pelipisnya dengan jari, menahan sabar.

“Elowen, kau sadar kan? Jika seekor kucing muncul di pesta bangsawan, kita bisa diusir sebelum sempat melangkah masuk.”

Elowen menoleh dengan senyum manis.

“Kalau begitu kita bilang saja ini simbol keberuntungan keluarga Rosse. Siapa tahu Putra Devereux penyayang kucing.”

Nama itu—Devereux—menusuk telinga Aveline. Satu nama yang ia benci, namun kini harus ia dekati. Seorang pria yang belum pernah ia lihat wajahnya, tapi menjadi kunci antara dendam dan masa depan.

Kereta berhenti di jalan menanjak. Dari balik jendela, tampaklah kastil Devereux berdiri megah di atas bukit, menara-menara batu menjulang dengan kaca patri berkilau memantulkan sinar pagi. Di sekelilingnya, kebun anggur membentang hijau, tertata rapi, seolah mengejek ingatan Aveline tentang kebun keluarganya yang kini tinggal kenangan pahit.

Jantungnya berdegup kencang. Tangannya meremas tas kulit berisi undangan itu hingga buku-buku jarinya memutih.

“Elowen,” bisiknya pelan, suara bergetar halus,

“mulai dari sini, kita bukan lagi gadis pasar. Kita adalah tamu bangsawan. Apa pun yang terjadi… jangan tunjukkan ketakutanmu.”

Elowen mengangguk mantap. Lalu dengan polos menegakkan bahunya dan mengubah nada bicaranya:

“Kalau begitu, bolehkah aku berbicara dengan aksen sombong? Seperti ini: ‘Oui, mesdames, saya pelayan pribadi Lady Aveline Rosse, calon pengantin bangsawan!’”

Aveline menoleh, hampir memprotes, namun akhirnya hanya memutar mata. Di balik gurauan itu, entah bagaimana, ada kekuatan yang menyalakan hatinya. Elowen—dengan segala kepolosan dan candanya—memberi Aveline sesuatu yang bahkan dendam tak bisa berikan: keberanian untuk melangkah.

Kereta kembali berguncang, membawa mereka mendekat ke gerbang besi hitam kastil Devereux. Dan di balik dinding-dinding batu itu, takdir sudah menunggu—dingin, tinggi, tak tergoyahkan.

Gerbang besi hitam itu berderit terbuka, seolah lambang dunia baru yang hendak menelan siapa pun yang berani masuk. Kereta kayu yang ditumpangi Aveline dan Elowen berderak pelan melintasi jalan berbatu, masuk ke halaman luas kastil Devereux.

Di sekeliling mereka, deretan kereta bangsawan berkilauan, kuda-kuda putih meringkik gagah, dan pelayan berbaris rapi memberi hormat. Gaun-gaun sutra berwarna emas, safir, dan ungu berderai seperti gelombang, disertai tawa elegan dan bisikan penuh gengsi yang menyesaki udara.

Sebelum turun, Aveline meraih tangan adiknya, genggamannya erat.

“Ingat, Elowen. Kita berpisah setelah ini. Aku masuk sebagai peserta. Kau—bayangan. Kalau ada bahaya, kita kembali ke titik temu. Kode kita?”

Elowen menahan senyum, lalu menjawab lirih dengan percaya diri:

“Tiga kali ketukan, satu kali siul.”

Aveline mengangguk.

“Bagus. Jaga dirimu.”

Ia turun lebih dulu. Gaun hijau tua hasil jahitan semalam segera tampak asing di antara lautan sutra mengilap. Mata-mata terarah padanya, lirih cibiran menyusul cepat:

“Siapa gadis itu? Gaunnya tampak… lusuh sekali.”

“Mungkin pelayan yang salah masuk.”

Aveline pura-pura tak mendengar. Ia sudah terlalu sering hidup dengan tatapan merendahkan.

Elowen turun dengan cekatan, keranjang di tangan, lalu menyelinap ke barisan pelayan. Tubuhnya kecil, gerakannya lincah; ia menunduk sopan seperti bagian dari mereka. Seorang pelayan tua sempat melirik curiga, tapi Elowen membalas dengan senyum malu-malu—cukup meyakinkan untuk membuatnya luput. Dalam sekejap, gadis itu menghilang di antara meja jamuan, sempat mengintip dari balik pilar, lalu lenyap ke lorong samping. Aveline melihat sekilas, dan hatinya sedikit lega. Rencana mereka sejauh ini berjalan.

Namun langkah Aveline terhenti di teras marmer.

Seorang pria berdiri tegak di sana, seakan menjadi pusat gravitasi halaman. Tinggi, bahu bidang, jas hitamnya terpotong rapi dengan detail sutra perak di kerah. Wajahnya tampan, tapi dingin: rahang tegas, mata abu-abu menusuk, nyaris tak menyisakan kelembutan.

Sebastian Devereux. Putra sulung keluarga itu.

Tatapannya menyapu kerumunan tamu bak hakim di pengadilan. Saat matanya berhenti pada Aveline, dunia terasa hening. Ada sesuatu yang menguliti, seolah rahasia terdalamnya nyaris terkuak.

Aveline tidak menunduk. Ia balas menatap, tegap, tanpa senyum.

Jadi itu dia… pikirnya.

Pria dari keluarga yang menghancurkan hidup kita.

Suara gaun berdesir memecah ketegangan. Dari atas tangga, Lady Vareen Devereux melangkah turun dengan anggun. Ia bukan sekadar nyonya besar rumah itu—dialah perempuan yang membesarkan pewaris Devereux, sosok yang bayangannya menyelimuti setiap sudut kastil. Kehadirannya membuat aula seketika hening; para tamu putri bangsawan menunduk penuh hormat.

Ia berhenti tepat di hadapan Aveline, sorot matanya menilai dari kepala hingga ujung kaki, seolah menimbang barang dagangan. Suaranya dalam, tenang, penuh nada menguji:

“Nama Anda, Nona?”

Aveline menarik napas, lalu menjawab lantang:

“Aveline Rosse, My Lady.”

Bibir Lady Vareen melengkung tipis—bukan senyum, lebih mirip ejekan.

“Rosse…” gumamnya, seakan mencicipi nama itu.

“Gaun Anda berbeda dari yang lain. Apakah Anda tidak tahu aturan sayembara ini menuntut… kesempurnaan?”

Beberapa tamu menahan tawa, kipas mereka menutupi bibir yang berbisik.

Aveline menatap lurus ke matanya. Suaranya tenang, tapi setiap kata mengandung tantangan:

“Kesempurnaan tidak selalu tampak dari sutra atau permata. Kadang justru dari keberanian berdiri di antara orang-orang yang menunggu ia tersandung.”

Keheningan jatuh. Beberapa wajah tampak terperangah.

Lady Vareen tidak bergeming. Matanya yang setajam obsidian menyipit, menghirup keberanian Aveline seperti menghirup debu. Tangan kanannya, berhias cincin berlian besar, terangkat perlahan ke dagu.

“Kata-kata yang indah, Nona Rosse,” katanya, suaranya kini sedikit lebih rendah, mengandung nada ancaman yang nyaris tak terdengar. “Tapi keberanian hanyalah bualan jika tidak ditopang oleh dasar yang kuat.”

Ia melangkah mendekat, auranya yang dingin memaksa Aveline menahan napas.

“Sayembara ini bukan tempat bagi siapa pun yang datang sembarangan. Apakah Anda membawa undangan resmi yang mengesahkan langkah Anda ke dalam kastil ini?”

Aveline merasakan jantungnya berdentum keras. Pertanyaan itu yang paling ia takuti—dan ia tahu, Lady Vareen mencium bau kebohongan.

Dengan gerakan tenang, Aveline meraih lipatan gaunnya dan mengeluarkan sebuah amplop bersegel lilin merah berlogo Devereux. Sudutnya tampak robek halus. Ia menyodorkannya. Jemarinya bergetar samar, bukan oleh takut, melainkan oleh tantangan.

Lady Vareen tidak mengambilnya. Ia hanya mencondongkan kepala, matanya menelusuri amplop itu lama, hingga rasa curiga seolah merembes ke kulit Aveline. Sebuah senyum tipis, penuh perhitungan, sempat melintas di bibirnya lalu lenyap.

“Baiklah,” katanya datar, seolah kecewa karena tak menemukan cacat fatal. Ia meluruskan tubuhnya kembali.

“Silakan masuk, Nona Rosse. Jamuan telah dimulai.”

Namun di ambang pintu, ia menoleh sedikit. Tatapannya dingin, ucapannya lirih, hanya untuk Aveline:

“Mari kita lihat, Nona Rosse… seberapa lama Anda bisa bertahan di rumah ini. Kastil ini tidak ramah bagi tamu yang tak tahu tempatnya.”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Pengantin Bangsawan Yang Kubenci   Bab 19

    Bau jerami lembap dan kayu basah meruap di udara. Seekor kuda meringkik pelan, memecah keheningan malam. Elowen duduk di atas bal jerami, mulut sibuk mengunyah roti kering yang ia selundupkan dari dapur. Matanya berkilat nakal saat menceritakan kejailannya. “ Kau harusnya lihat wajah Sylvette tadi pagi… begitu kecoak itu muncul, dia melompat seperti anak kucing yang ekornya terjepit pintu! Aku hampir tersedak menahan tawa.” Avelinne ikut tertawa, bersandar pada dinding kayu yang dingin. “ Elowen, kalau sampai ketahuan, kau bukan cuma tidur di kandang. Bisa-bisa kau diusir lebih cepat dari yang kau kira.” Elowen hanya cengengesan, menggigit lagi rotinya. “ Ah, biarlah… seseorang harus membuat pesta ini sedikit lebih hidup. Lagi pula, Lucianne selalu muncul diam-diam, menutupi kekurangan Sylvette. Rasanya seperti dua serigala yang berbagi mangsa.” Kening Avelinne berkerut, sorot matanya menajam. “ Ya, mereka licik sekaligus rapi. Tidak heran satu per satu peserta lain tumban

  • Pengantin Bangsawan Yang Kubenci   Bab 18

    Cahaya pucat menembus jendela tinggi, membelah kabut tipis fermentasi yang menggantung di udara. Debu dan uap alkohol berputar samar di antara deretan drum kayu. Bau anggur masam bercampur kelembapan lantai basah, menekan dada seperti beban tak kasat mata. Langkah Sebastian berderap masuk, bukan menuju kantor, melainkan ruang laboratorium kecil di ujung gudang—tempat sampel anggur diuji sebelum resmi menyandang nama Devereux. Osrich sudah menunggunya dengan clipboard di tangan. “Selamat pagi, Tuan.” “Pagi. Kau sudah kerjakan semua yang kuperintahkan kemarin?” “Ya, Tuan. Ini hasilnya.” Sebastian menerima laporan itu. Angka-angka tercetak rapi, namun setiap baris seperti duri menusuk matanya. Ia menghela napas berat. “Persis… seperti yang dikatakan gadis itu,” bisiknya, lebih mirip pengakuan pada dirinya sendiri. Osrich menambahkan, suaranya rendah:

  • Pengantin Bangsawan Yang Kubenci   Bab 17

    Malam menyelimuti atap kastil Devereux, jendela-jendela besar menjulang seolah mata curiga yang mengawasi siapa pun yang melintas. Di ruang makan utama, denting sendok dan garpu terdengar nyaring, memecah keheningan megah. Para gadis peserta sayembara menunduk anggun, menikmati hidangan mereka dengan khidmat. Namun jelas, sebagian besar hanya menjadi hiasan di panggung permainan keluarga Devereux. Di sisi meja utama, Lady Vareen duduk tegak, ditemani Marcus, Lucianne, dan Sylvette yang mendapat kursi dekat keluarga inti—sebuah penegasan halus akan posisinya yang istimewa. Lady Vareen perlahan meletakkan tangannya di meja. Pandangannya jatuh pada kursi kosong di hadapannya. “Marcus, di mana Sebastian? Mengapa dia tidak hadir?” Marcus mengangkat kepala, bibirnya melengkung tipis. “Mungkin ia sedang tidur bersama botol-botol anggur di gudangnya,” jawabnya, nada sinis seolah mengejek kakaknya sendiri. Lucianne menoleh sekilas pada suaminya, lalu kembali pada piringny

  • Pengantin Bangsawan Yang Kubenci   Bab 16

    Kereta kuda berderit melewati pagar besi tinggi berukir lambang keluarga Devereux—seperti rahang monster yang menjaga rahasia di dalamnya. Roda berhenti di pintu belakang gudang anggur, bangunan batu tua yang hari itu riuh oleh para pekerja. Laki-laki berotot mondar-mandir memanggul keranjang anggur segar, aroma manis bercampur asam memenuhi udara, diselingi sengatan tajam alkohol yang menusuk hidung. Mereka turun dari gerobak. Saat Avelinne menjejakkan kaki di tanah, ia sempat mengernyit tipis, lalu menarik napas panjang, seakan seluruh indranya menimbang tempat itu. Elowen melirik kakaknya—ia tahu tatapan itu bukan sekadar kagum, melainkan penuh perhitungan. Mereka ikut membantu pelayan tua menurunkan peti-peti berat. Di dalam, pemandangan lebih mencengangkan. Rak kayu menjulang dipenuhi botol berlabel emas, drum besar dari kayu ek berbaris rapi di sepanjang dinding. Beberapa pekerja sibuk memeriksa fermentasi; suara cai

  • Pengantin Bangsawan Yang Kubenci   Bab 15

    Siang itu, aula kastil riuh oleh tawa dan bisik-bisik para gadis bangsawan. Seperti pesta tanpa akhir, mereka saling menonjolkan kelebihan, berlomba menjadi bintang paling bersinar. Hari-hari di kastil terasa lebih seperti pameran kecantikan ketimbang ujian.Di sisi tangga besar, Sylvette menuruni anak-anak undakan dengan langkah mantap. Dagu terangkat, gaun sutra berdesir, menyapu permadani merah tua yang terbentang. Cahaya siang dari kaca patri memantul di rambut emasnya, membuatnya tampak seolah baru turun dari lukisan.Para peserta di bawah aula serentak menoleh; beberapa menahan napas, yang lain sekadar terpaku.Di pojok ruangan, Martha dan seorang pelayan tengah merangkai bunga, berbisik lirih di balik denting piring perak.“Lihatlah… betapa anggun wanita itu.”“Aku yakin, dialah yang paling pantas menjadi istri Tuan Sebastian.”Sylvette mendengar. Senyum tipis melengkung di bibirnya, penuh keyakinan diri. Ia mela

  • Pengantin Bangsawan Yang Kubenci   Bab 14

    Kabut pagi menyelimuti halaman kastil, tipis seperti tirai putih yang menggantung rendah. Dari atap kandang, sisa hujan menetes satu-satu, jatuh ke genangan kecil di tanah becek. Udara lembap menusuk hidung, bercampur bau jerami basah dan kuda yang meringkik resah.Avelinne menggeliat di antara jerami, tubuhnya kaku oleh dingin malam. Saat membuka mata, ia merasakan sesuatu yang asing—hangat yang tidak ada sebelumnya. Selimut.Ia terbangun cepat, jemarinya meraba kain itu dengan ragu. Alisnya berkerut dalam.“Elowen…” bisiknya sambil menggoyang bahu adiknya, “siapa yang menaruh selimut di sini?”Elowen hanya menggumam, lalu mengucek mata. Rambutnya berantakan, dipenuhi helaian jerami. Ia menguap panjang sebelum menjawab malas, “Mungkin… hantu kastil. Atau arwah bangsawan yang mati penasaran.”“Jangan bercanda,” Aveline mendesis. Nada suaranya lebih tegang daripada marah.Elowen terkekeh kecil, meski wajahnya masih set

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status