Inicio / Romansa / Pengantin Bangsawan Yang Kubenci / Keutamaan Sejati dan Jeruji Kastil

Compartir

Keutamaan Sejati dan Jeruji Kastil

last update Última actualización: 2025-10-11 18:58:34

Suara denting gelas memutus alunan waltz. Lady Verenne Devereux berdiri di balkon kecil, anggun dalam gaun ungu tua. Senyumnya halus, namun sorot matanya dingin, menyapu belasan gadis muda yang menanti di aula.

“Malam ini bukan sekadar jamuan,” ucapnya jernih. “Ini adalah awal dari sebuah pencarian. Putra sulung saya, Sebastian Devereux, membutuhkan seorang pendamping yang pantas—seorang istri yang kelak menjaga nama keluarga ini.”

Hening jatuh. Tidak ada tepuk tangan, hanya bisik lirih dan senyum yang disembunyikan.

Aveline merasakan darahnya berdesir.

Jadi… inilah panggungnya.

Dari barisan, seorang wanita maju dengan percaya diri. Rambut pirangnya dihiasi mutiara, gaun biru safirnya berkilau di bawah cahaya lilin. Gerakannya sehalus tarian.

Sylvette Charbonneau —rival dalam sayembara calon istri Devereux.

Nama yang sudah disebut-sebut bahkan sebelum malam ini. Beberapa peserta saling berbisik, kagum sekaligus cemas.

Sylvette menoleh, matanya jatuh pada Aveline. Senyumnya ramah—terlalu ramah.

“Gaunmu indah sekali, Nona. Kesederhanaan seperti itu… butuh keberanian untuk dipakai di ruangan ini.”

Aveline membalas senyum tipis, suaranya jernih.

“Kesederhanaan memang menuntut keberanian. Sama seperti keindahan… kadang menuntut pengorbanan yang besar.”

Senyum Sylvette meretih, hanya sekejap, tapi cukup membuat Aveline tahu ucapannya tepat sasaran.

Di balkon, Lucienne mendekat pada Lady Verenne, segelas anggur masih di tangan.

“Kurasa pesta kita sudah disusupi rakyat jelata.”

Lady Verenne tidak menoleh, hanya menatap ke bawah, pada para peserta.

“Aku tahu,” bisiknya dingin. “Dan itu justru akan menjadi pertunjukan menarik. Mari kita lihat… berapa lama tikus itu bisa bertahan di rumah bangsawan.”

Musik melambat. Para gadis dipersilakan duduk di meja panjang berhias lilin dan perak. Daging panggang, roti lembut, sup beraroma rempah tersaji, namun Aveline segera menyadari: yang diuji malam ini bukan perut, melainkan lidah.

Lady Verenne duduk di ujung meja, anggun bak ratu tak bertakhta. Sebastian di sisi kanannya, diam, hanya sesekali meneguk anggur.

“Mari kita mulai dengan percakapan ringan,” ucap Lady Verenne lembut, namun bernada perintah. “Apa keutamaan seorang wanita bangsawan sejati?”

Sejenak hening.

Sylvette Charbonneau tentu bicara pertama. “Keanggunan. Tanpa martabat dalam tutur kata dan penampilan, seorang wanita hanyalah hiasan murahan.”

Beberapa gadis mengangguk. Lady

Verenne tersenyum samar.

Seorang gadis lain menimpali:

“Kesetiaan. Seorang pria hanya bisa berdiri tegak jika istrinya tak pernah goyah di sisinya.”

Nada manis itu menyenggol, seakan menantang loyalitas bahkan sebelum ikatan terjalin.

Giliran Aveline tiba. Semua mata menunggu ia tergelincir.

Ia menegakkan punggung, suaranya tenang:

“Keutamaan sejati adalah keberanian. Keanggunan bisa dibeli, kesetiaan bisa diucapkan tanpa bukti. Tapi keberanian… hanya lahir dari hati. Tanpanya, semua kebajikan hanyalah perhiasan rapuh.”

Keheningan turun. Sylvette meneguk anggur, jelas terusik. Lady Verenne menatap Avelinne lama, senyum tipisnya tak bisa dibaca.

Di sisi lain, Sebastian memutar gelas anggur, bergumam lirih: “Keberanian…”

Jamuan berlanjut, namun percakapan lebih tajam daripada pisau perak.

Sylvette mencondongkan tubuh, senyumannya manis, matanya menghitung.

“Keberanian memang memesona. Tapi berlebihan membuat seorang wanita sulit diatur. Menurut Anda, harus setia… atau berani menentang suaminya?”

Sebelum Avelinne menjawab, Lucienne D’Artoile menyambar lantang:

“Oh, saya setuju. Rumah tangga runtuh jika wanita merasa sejajar dengan pria. Di keluarga sebesar Devereux, kita butuh wanita yang tahu kapan harus diam.”

Tawa kecil pecah di meja. Semua tatapan menekan Avelinne.

Ia meletakkan sendok perlahan, menoleh pada keduanya.

“Kesetiaan tak pernah lahir dari ketakutan—melainkan keberanian. Istri yang hanya tahu diam tampak patuh, tapi rapuh. Pria bijak butuh pendamping yang bisa berdiri… ketika semua orang lain berlutut.”

Diam. Ada yang terperangah, ada yang berpura batuk menutupi kegugupan.

Lucienne menyipitkan mata. Sylvette masih tersenyum, namun jemarinya mengepal di pangkuan.

Sebastian duduk tenang, matanya abu-abu mengamati. Ia menimbang bukan hanya kata-kata Avelinne, melainkan keteguhan yang melingkupinya.

Ketegangan di meja makan belum sempat reda ketika Lady Verenne berdiri. Ia mengangkat sendok peraknya dan menyentuhkan ke gelas kristal. Ting—ting. Suara bening itu langsung membungkam semua percakapan.

Senyum tipisnya tidak pernah benar-benar hangat, namun auranya memaksa setiap tamu duduk lebih tegak.

“Malam ini hanyalah permulaan, Nona-nona,” ucapnya jernih, dingin, dan tak memberi ruang sanggahan.

“Sayembara ini bukan sekadar memilih istri bagi putra saya. Ini adalah ujian—kesetiaan, keberanian, dan… kecocokan dengan nama besar keluarga Devereux.”

Ia berhenti, membiarkan keheningan menegaskan wibawanya.

“Mulai malam ini, para kandidat akan tetap tinggal di kastil hingga seleksi berakhir. Dengan begitu, saya bisa mengawasi kalian lebih dekat… dan melihat siapa yang benar-benar layak.”

Bisikan berdesir sepanjang meja. Beberapa gadis berseri, merasa terhormat. Sebagian lain pucat, menyadari mereka tak lagi bisa bersembunyi di balik senyum.

Avelinne menahan napas. Tinggal di sini? Degup jantungnya bercampur antara tekad dan kecemasan. Matanya sempat mencari Elowen—namun pelayan kecil itu sudah lenyap, hanya bayangan gaunnya sempat terlihat menyelinap ke dapur.

Di ujung meja, Lucienne D’Artoile menyeringai, suaranya sengaja keras agar seluruh ruangan mendengar:

“Oh, betapa menyenangkan. Setiap hari kita bisa saling mengenal lebih dekat. Meski tentu, tidak semua orang akan tahan hidup di rumah sebesar ini.”

Sylvette Charbonneau menimpali dengan tawa tipis, melirik Avelinne seakan menusukkan belati ke dalam hatinya.

Lucienne mengetuk gelas anggurnya sekali—sebuah isyarat kecil, namun cukup membuat Avelinne merasa dirinya resmi masuk ke dalam permainan yang lebih berbahaya dari yang ia perkirakan.

Sebastian Devereux bangkit perlahan. Tanpa sepatah kata pun, ia meninggalkan ruangan. Namun keheningan yang menyertai langkahnya justru lebih berat daripada suara siapa pun malam itu.

******

Lampu minyak berkelip pelan di ruang pribadi keluarga Devereux. Rak buku tua menjulang di dinding, aroma kertas menguning bercampur kayu ek memenuhi udara. Lady Verenne berdiri dekat jendela, jari-jarinya menyusuri tirai beludru ungu seakan menguji teksturnya.

Sebastian masuk. Langkah sepatunya teredam karpet tebal. Ia menunduk sekilas memberi hormat, tapi sikapnya dingin, jauh dari kelembutan seorang putra.

“Apakah perlu sampai sejauh ini, Ibu?” suaranya rendah, menahan ketegangan.

“Mengurung mereka di kastil… seperti burung dalam sangkar?”

Lady Verenne menoleh perlahan. Senyum samar menghiasi bibirnya, tapi matanya berkilat.

“Hanya dengan begitu kita tahu siapa yang mampu bertahan dalam tekanan. Pernikahan bukan sekadar pesta, Sebastian. Itu ujian kekuatan.”

Sebastian menyempitkan mata.

“Dan ataukah ini hanya permainan kekuasaanmu?”

Ia sengaja menekankan kata terakhir.

Lady Verenne tidak tersinggung; sebaliknya, ia berjalan pelan menghampiri, gerakannya bagai predator yang sabar.

“Kau terlalu keras menilai, Sebastian. Marcus mungkin tampak lebih unggul dalam urusan pendamping, tapi bukan berarti ia tanpa celah. Kau… harus memilih wanita yang mampu menopangmu, bukan yang diam-diam menjerumuskanmu.”

Sorot Sebastian membeku, tajam.

“Dan bagaimana Ibu tahu bedanya? Antara wanita yang pantas… dan boneka yang hanya pandai memainkan peran?”

Lady Verenne berhenti tepat di hadapannya. Senyumnya menegang, berubah menjadi topeng dingin yang tak bisa ditembus.

“Itulah sebabnya aku menutup pintu kastil ini. Di balik tembok, kebenaran akan muncul. Cepat atau lambat, mereka akan menunjukkan wajah aslinya.”

Sebastian tidak menjawab. Ia hanya menegakkan tubuh, rahangnya mengeras. Lalu ia berbalik, langkahnya berat menuju pintu.

Sesaat sebelum daun pintu tertutup, matanya menangkap lilin di meja kerja—nyalanya merayap pendek, hampir padam. Dalam tatapan singkat itu, ia tahu: waktu di kastil ini akan membakar lebih banyak dari sekedar cahaya.

Continúa leyendo este libro gratis
Escanea el código para descargar la App

Último capítulo

  • Pengantin Bangsawan Yang Kubenci   Ketika Hening Melahirkan Pengkhianatan

    Di dapur yang mulai sunyi, Sebastian menumpuk mangkuk terakhir. Gerakannya teratur seperti biasa, namun tiba-tiba ia berhenti—seolah ada sesuatu yang melintas begitu halus di udara hingga hanya naluri paling dasar yang mampu menangkapnya. Ia menegakkan tubuh, memiringkan kepala sedikit. Elowen, yang sedang mengeringkan tangan dengan kain lusuh, memperhatikannya. “Ada apa? Kau seperti… mendengar sesuatu.” Sebastian tidak langsung menjawab. Tatapannya mengarah ke lorong menuju kamar tempat Avelinne beristirahat—bukan curiga, hanya kepekaan tak jelas yang membuatnya meraih lentera. “Aku ingin memastikan Avelinne baik-baik saja.” Elowen menghela napas kecil, lalu mengambil Mocha yang mengekor di kakinya. “Baiklah. Sekalian aku bawa Mocha tidur.” Mereka berjalan menyusuri lorong remang menuju kantor, langkah keduanya lembut agar tidak mengganggu siapa pun yang mungkin sudah terlelap. Elowen sebenarnya ingin bercanda, tetapi melihat raut Sebastian—hati-hati, tapi tidak geli

  • Pengantin Bangsawan Yang Kubenci   Keheningan yang Menyembunyikan Kehidupan

    Langit di luar sudah menghitam ketika para pekerja pulang satu per satu, meninggalkan gudang dalam keheningan yang nyaman. Bangunan besar itu, yang biasanya dipenuhi suara langkah berat, denting perkakas, dan bisik-bisik percakapan para pekerja, kini seperti menutup dirinya sendiri. Hanya dapur kecil di sudut bangunan itu yang masih bercahaya—sebuah titik hangat di tengah gelapnya malam—beraroma sup dan rempah yang mengepul lembut, mengisi udara dengan kenyamanan sederhana yang sulit dijelaskan.Avelinne baru saja menutup panci ketika Elowen melahap suap demi suap dengan semangat yang hanya dimiliki gadis kelaparan. Gerakan tangannya cepat, seolah takut mangkuk itu akan direbut darinya kapan saja. “Pelan sedikit, Elowen. Kau bisa tersedak,” tegur Avelinne sambil tersenyum. “Ini terlalu enak untuk pelan,” jawab Elowen, mulutnya masih penuh. Ia menunduk pada Mocha di bawah meja. “Iya kan, Mocha?” Mocha mengeong kecil, mengunyah potongan daging yang diberi Elowen seolah menyetujui.

  • Pengantin Bangsawan Yang Kubenci   Sekutu Senja dan Pengkhianatan Sunyi

    Cahaya jingga senja merayapi kebun anggur Devereux yang mulai pulih. Sulur-sulur merambat naik, daun muda bergetar oleh angin lembut, dan bulir-bulir anggur menggantung berat, berkilau seolah dilapisi madu tipis. Marcus berjalan perlahan di antara deretan tanaman itu, sepatu botnya menginjak tanah lembap dengan ritme yang hampir sombong. Lucianne menyusul satu langkah di belakangnya—anggun, diam, namun mata hijaunya memantulkan perhitungan yang tak pernah padam. “Luar biasa,” gumam Lucianne sambil menyentuh satu tandan anggur. “Sepertinya sudah siap panen.” “Lebih dari siap,” sahut Marcus, dagunya terangkat sedikit. “Tak lama lagi aku punya bisnis anggurku sendiri. Devereux akan kembali bersinar di tanganku.” Lucianne tersenyum—senyum tipis seorang wanita yang tahu betul apa artinya berada di sisi pemenang. Dan aku, pada akhirnya akan menjadi satu-satunya nyonya Devereux di kastil itu, batinnya puas. Namun pikiran itu tergelincir begitu nama tertentu muncul dalam benaknya.

  • Pengantin Bangsawan Yang Kubenci   Awal Keruntuhan yang Tak Terlihat

    Begitu mobil berhenti, aroma fermentasi anggur menyambut mereka—hangat, manis, dan nyaris menenangkan. Avelinne menarik napas dalam-dalam seperti sedang kembali ke tempat yang selalu memeluknya. Elowen, lupa sejenak pada kecemasannya, berlari kecil sambil menggendong Mocha. “Osric! Kami kembali!” Osric muncul dari balik tumpukan tong kayu, wajahnya berseri. “Elowen! Nona Rosse. Senang melihat kalian lagi.” “Bagaimana fermentasi dan selainya?” tanya Elowen, matanya berbinar. “Semua berjalan baik,” jawab Osric. “Meski—jika boleh jujur—kami merindukan kehadiran kalian di sini.” Sebastian mendekat, senyum tipis menghiasi wajahnya. “Kabar baiknya, aku sudah memutuskan menikahi Avelinne.” Osric terbelalak.

  • Pengantin Bangsawan Yang Kubenci   Pertanda yang Tak Seorang Pun Berani Sebut

    Matahari siang memukul ladang anggur Marlowe dengan panas yang tak biasa—panas yang membuat udara bergetar, dan membuat setiap napas terasa seperti menelan logam. Di dalam rumah kecilnya, Marlowe duduk membungkuk, memperbaiki gunting besar yang bilahnya sudah tumpul. Ritme krek—krek dari batu asah memecah keheningan. Tiga ketukan keras menghajar pintu. Tidak ada salam. Tidak ada seruan nama. Marlowe berhenti. Gunting di tangannya nyaris terpeleset. Dengan napas berat, ia bangkit. Sepatu bot tuanya menghantam lantai batu dengan bunyi pendek yang seakan menandai awal sesuatu yang buruk. Ia membuka pintu hanya separuh. Di luar berdiri dua pria asing berjaket gelap, topi hitam menunduk rendah, wajah mereka tertutup bayangan. “Siapa kalian?” suara Marlowe serak, namun masih berusaha tegar. Pria di depan menjawab cepat, seperti seseorang yang tidak terbiasa ditanya balik. “Apa kau mengenal Avelinne Rosse?” Nama itu menghantam ruangan kecil itu seperti badai. Namun M

  • Pengantin Bangsawan Yang Kubenci   Saat Sang Putra Memilih Hasrat di Atas Darah

    Pagi itu meja makan keluarga Devereux terasa terlalu sunyi. Hanya denting halus gelas teh Marcus yang beradu dengan piring—ritme kecil yang justru membuat keheningan tampak lebih tajam. Lucianne duduk di sampingnya dengan anggun; bahunya tegak, posturnya nyaris santai. Seperti seorang nyonya yang kembali menikmati paginya… walau semua orang tahu semalam kastil nyaris hancur moralnya. Pintu ruang makan terbuka perlahan. Lady Vareen masuk. Kecantikannya—yang biasanya begitu sempurna dan menuntut penghormatan—pagi ini tampak retak. Bekas cakaran Mocha masih memerah di sisi wajahnya, menurunkan wibawa itu beberapa derajat. Ada guratan lelah yang bahkan bedak tipis pun tak mampu sembunyikan. Marcus yang pertama bersuara. “Selamat pagi, Ibu.” Lucianne menyusul, suaranya lembut namun sarat ironi terbungkus satin. “Bagaimana lukamu? Sudah membaik?” Lady Vareen menarik napas sebelum duduk, seperti seseorang yang tidak yakin tubuhnya masih sanggup menahan martabatnya sendiri. “Aku tid

Más capítulos
Explora y lee buenas novelas gratis
Acceso gratuito a una gran cantidad de buenas novelas en la app GoodNovel. Descarga los libros que te gusten y léelos donde y cuando quieras.
Lee libros gratis en la app
ESCANEA EL CÓDIGO PARA LEER EN LA APP
DMCA.com Protection Status