เข้าสู่ระบบSuara denting gelas memutus alunan waltz. Lady Verenne Devereux berdiri di balkon kecil, anggun dalam gaun ungu tua. Senyumnya halus, namun sorot matanya dingin, menyapu belasan gadis muda yang menanti di aula.
“Malam ini bukan sekadar jamuan,” ucapnya jernih. “Ini adalah awal dari sebuah pencarian. Putra sulung saya, Sebastian Devereux, membutuhkan seorang pendamping yang pantas—seorang istri yang kelak menjaga nama keluarga ini.” Hening jatuh. Tidak ada tepuk tangan, hanya bisik lirih dan senyum yang disembunyikan. Aveline merasakan darahnya berdesir. Jadi… inilah panggungnya. Dari barisan, seorang wanita maju dengan percaya diri. Rambut pirangnya dihiasi mutiara, gaun biru safirnya berkilau di bawah cahaya lilin. Gerakannya sehalus tarian. Sylvette Charbonneau —rival dalam sayembara calon istri Devereux. Nama yang sudah disebut-sebut bahkan sebelum malam ini. Beberapa peserta saling berbisik, kagum sekaligus cemas. Sylvette menoleh, matanya jatuh pada Aveline. Senyumnya ramah—terlalu ramah. “Gaunmu indah sekali, Nona. Kesederhanaan seperti itu… butuh keberanian untuk dipakai di ruangan ini.” Aveline membalas senyum tipis, suaranya jernih. “Kesederhanaan memang menuntut keberanian. Sama seperti keindahan… kadang menuntut pengorbanan yang besar.” Senyum Sylvette meretih, hanya sekejap, tapi cukup membuat Aveline tahu ucapannya tepat sasaran. Di balkon, Lucienne mendekat pada Lady Verenne, segelas anggur masih di tangan. “Kurasa pesta kita sudah disusupi rakyat jelata.” Lady Verenne tidak menoleh, hanya menatap ke bawah, pada para peserta. “Aku tahu,” bisiknya dingin. “Dan itu justru akan menjadi pertunjukan menarik. Mari kita lihat… berapa lama tikus itu bisa bertahan di rumah bangsawan.” Musik melambat. Para gadis dipersilakan duduk di meja panjang berhias lilin dan perak. Daging panggang, roti lembut, sup beraroma rempah tersaji, namun Aveline segera menyadari: yang diuji malam ini bukan perut, melainkan lidah. Lady Verenne duduk di ujung meja, anggun bak ratu tak bertakhta. Sebastian di sisi kanannya, diam, hanya sesekali meneguk anggur. “Mari kita mulai dengan percakapan ringan,” ucap Lady Verenne lembut, namun bernada perintah. “Apa keutamaan seorang wanita bangsawan sejati?” Sejenak hening. Sylvette Charbonneau tentu bicara pertama. “Keanggunan. Tanpa martabat dalam tutur kata dan penampilan, seorang wanita hanyalah hiasan murahan.” Beberapa gadis mengangguk. Lady Verenne tersenyum samar. Seorang gadis lain menimpali: “Kesetiaan. Seorang pria hanya bisa berdiri tegak jika istrinya tak pernah goyah di sisinya.” Nada manis itu menyenggol, seakan menantang loyalitas bahkan sebelum ikatan terjalin. Giliran Aveline tiba. Semua mata menunggu ia tergelincir. Ia menegakkan punggung, suaranya tenang: “Keutamaan sejati adalah keberanian. Keanggunan bisa dibeli, kesetiaan bisa diucapkan tanpa bukti. Tapi keberanian… hanya lahir dari hati. Tanpanya, semua kebajikan hanyalah perhiasan rapuh.” Keheningan turun. Sylvette meneguk anggur, jelas terusik. Lady Verenne menatap Avelinne lama, senyum tipisnya tak bisa dibaca. Di sisi lain, Sebastian memutar gelas anggur, bergumam lirih: “Keberanian…” Jamuan berlanjut, namun percakapan lebih tajam daripada pisau perak. Sylvette mencondongkan tubuh, senyumannya manis, matanya menghitung. “Keberanian memang memesona. Tapi berlebihan membuat seorang wanita sulit diatur. Menurut Anda, harus setia… atau berani menentang suaminya?” Sebelum Avelinne menjawab, Lucienne D’Artoile menyambar lantang: “Oh, saya setuju. Rumah tangga runtuh jika wanita merasa sejajar dengan pria. Di keluarga sebesar Devereux, kita butuh wanita yang tahu kapan harus diam.” Tawa kecil pecah di meja. Semua tatapan menekan Avelinne. Ia meletakkan sendok perlahan, menoleh pada keduanya. “Kesetiaan tak pernah lahir dari ketakutan—melainkan keberanian. Istri yang hanya tahu diam tampak patuh, tapi rapuh. Pria bijak butuh pendamping yang bisa berdiri… ketika semua orang lain berlutut.” Diam. Ada yang terperangah, ada yang berpura batuk menutupi kegugupan. Lucienne menyipitkan mata. Sylvette masih tersenyum, namun jemarinya mengepal di pangkuan. Sebastian duduk tenang, matanya abu-abu mengamati. Ia menimbang bukan hanya kata-kata Avelinne, melainkan keteguhan yang melingkupinya. Ketegangan di meja makan belum sempat reda ketika Lady Verenne berdiri. Ia mengangkat sendok peraknya dan menyentuhkan ke gelas kristal. Ting—ting. Suara bening itu langsung membungkam semua percakapan. Senyum tipisnya tidak pernah benar-benar hangat, namun auranya memaksa setiap tamu duduk lebih tegak. “Malam ini hanyalah permulaan, Nona-nona,” ucapnya jernih, dingin, dan tak memberi ruang sanggahan. “Sayembara ini bukan sekadar memilih istri bagi putra saya. Ini adalah ujian—kesetiaan, keberanian, dan… kecocokan dengan nama besar keluarga Devereux.” Ia berhenti, membiarkan keheningan menegaskan wibawanya. “Mulai malam ini, para kandidat akan tetap tinggal di kastil hingga seleksi berakhir. Dengan begitu, saya bisa mengawasi kalian lebih dekat… dan melihat siapa yang benar-benar layak.” Bisikan berdesir sepanjang meja. Beberapa gadis berseri, merasa terhormat. Sebagian lain pucat, menyadari mereka tak lagi bisa bersembunyi di balik senyum. Avelinne menahan napas. Tinggal di sini? Degup jantungnya bercampur antara tekad dan kecemasan. Matanya sempat mencari Elowen—namun pelayan kecil itu sudah lenyap, hanya bayangan gaunnya sempat terlihat menyelinap ke dapur. Di ujung meja, Lucienne D’Artoile menyeringai, suaranya sengaja keras agar seluruh ruangan mendengar: “Oh, betapa menyenangkan. Setiap hari kita bisa saling mengenal lebih dekat. Meski tentu, tidak semua orang akan tahan hidup di rumah sebesar ini.” Sylvette Charbonneau menimpali dengan tawa tipis, melirik Avelinne seakan menusukkan belati ke dalam hatinya. Lucienne mengetuk gelas anggurnya sekali—sebuah isyarat kecil, namun cukup membuat Avelinne merasa dirinya resmi masuk ke dalam permainan yang lebih berbahaya dari yang ia perkirakan. Sebastian Devereux bangkit perlahan. Tanpa sepatah kata pun, ia meninggalkan ruangan. Namun keheningan yang menyertai langkahnya justru lebih berat daripada suara siapa pun malam itu. ****** Lampu minyak berkelip pelan di ruang pribadi keluarga Devereux. Rak buku tua menjulang di dinding, aroma kertas menguning bercampur kayu ek memenuhi udara. Lady Verenne berdiri dekat jendela, jari-jarinya menyusuri tirai beludru ungu seakan menguji teksturnya. Sebastian masuk. Langkah sepatunya teredam karpet tebal. Ia menunduk sekilas memberi hormat, tapi sikapnya dingin, jauh dari kelembutan seorang putra. “Apakah perlu sampai sejauh ini, Ibu?” suaranya rendah, menahan ketegangan. “Mengurung mereka di kastil… seperti burung dalam sangkar?” Lady Verenne menoleh perlahan. Senyum samar menghiasi bibirnya, tapi matanya berkilat. “Hanya dengan begitu kita tahu siapa yang mampu bertahan dalam tekanan. Pernikahan bukan sekadar pesta, Sebastian. Itu ujian kekuatan.” Sebastian menyempitkan mata. “Dan ataukah ini hanya permainan kekuasaanmu?” Ia sengaja menekankan kata terakhir. Lady Verenne tidak tersinggung; sebaliknya, ia berjalan pelan menghampiri, gerakannya bagai predator yang sabar. “Kau terlalu keras menilai, Sebastian. Marcus mungkin tampak lebih unggul dalam urusan pendamping, tapi bukan berarti ia tanpa celah. Kau… harus memilih wanita yang mampu menopangmu, bukan yang diam-diam menjerumuskanmu.” Sorot Sebastian membeku, tajam. “Dan bagaimana Ibu tahu bedanya? Antara wanita yang pantas… dan boneka yang hanya pandai memainkan peran?” Lady Verenne berhenti tepat di hadapannya. Senyumnya menegang, berubah menjadi topeng dingin yang tak bisa ditembus. “Itulah sebabnya aku menutup pintu kastil ini. Di balik tembok, kebenaran akan muncul. Cepat atau lambat, mereka akan menunjukkan wajah aslinya.” Sebastian tidak menjawab. Ia hanya menegakkan tubuh, rahangnya mengeras. Lalu ia berbalik, langkahnya berat menuju pintu. Sesaat sebelum daun pintu tertutup, matanya menangkap lilin di meja kerja—nyalanya merayap pendek, hampir padam. Dalam tatapan singkat itu, ia tahu: waktu di kastil ini akan membakar lebih banyak dari sekedar cahaya.Bau jerami lembap dan kayu basah meruap di udara. Seekor kuda meringkik pelan, memecah keheningan malam. Elowen duduk di atas bal jerami, mulut sibuk mengunyah roti kering yang ia selundupkan dari dapur. Matanya berkilat nakal saat menceritakan kejailannya. “ Kau harusnya lihat wajah Sylvette tadi pagi… begitu kecoak itu muncul, dia melompat seperti anak kucing yang ekornya terjepit pintu! Aku hampir tersedak menahan tawa.” Avelinne ikut tertawa, bersandar pada dinding kayu yang dingin. “ Elowen, kalau sampai ketahuan, kau bukan cuma tidur di kandang. Bisa-bisa kau diusir lebih cepat dari yang kau kira.” Elowen hanya cengengesan, menggigit lagi rotinya. “ Ah, biarlah… seseorang harus membuat pesta ini sedikit lebih hidup. Lagi pula, Lucianne selalu muncul diam-diam, menutupi kekurangan Sylvette. Rasanya seperti dua serigala yang berbagi mangsa.” Kening Avelinne berkerut, sorot matanya menajam. “ Ya, mereka licik sekaligus rapi. Tidak heran satu per satu peserta lain tumban
Cahaya pucat menembus jendela tinggi, membelah kabut tipis fermentasi yang menggantung di udara. Debu dan uap alkohol berputar samar di antara deretan drum kayu. Bau anggur masam bercampur kelembapan lantai basah, menekan dada seperti beban tak kasat mata. Langkah Sebastian berderap masuk, bukan menuju kantor, melainkan ruang laboratorium kecil di ujung gudang—tempat sampel anggur diuji sebelum resmi menyandang nama Devereux. Osrich sudah menunggunya dengan clipboard di tangan. “Selamat pagi, Tuan.” “Pagi. Kau sudah kerjakan semua yang kuperintahkan kemarin?” “Ya, Tuan. Ini hasilnya.” Sebastian menerima laporan itu. Angka-angka tercetak rapi, namun setiap baris seperti duri menusuk matanya. Ia menghela napas berat. “Persis… seperti yang dikatakan gadis itu,” bisiknya, lebih mirip pengakuan pada dirinya sendiri. Osrich menambahkan, suaranya rendah:
Malam menyelimuti atap kastil Devereux, jendela-jendela besar menjulang seolah mata curiga yang mengawasi siapa pun yang melintas. Di ruang makan utama, denting sendok dan garpu terdengar nyaring, memecah keheningan megah. Para gadis peserta sayembara menunduk anggun, menikmati hidangan mereka dengan khidmat. Namun jelas, sebagian besar hanya menjadi hiasan di panggung permainan keluarga Devereux. Di sisi meja utama, Lady Vareen duduk tegak, ditemani Marcus, Lucianne, dan Sylvette yang mendapat kursi dekat keluarga inti—sebuah penegasan halus akan posisinya yang istimewa. Lady Vareen perlahan meletakkan tangannya di meja. Pandangannya jatuh pada kursi kosong di hadapannya. “Marcus, di mana Sebastian? Mengapa dia tidak hadir?” Marcus mengangkat kepala, bibirnya melengkung tipis. “Mungkin ia sedang tidur bersama botol-botol anggur di gudangnya,” jawabnya, nada sinis seolah mengejek kakaknya sendiri. Lucianne menoleh sekilas pada suaminya, lalu kembali pada piringny
Kereta kuda berderit melewati pagar besi tinggi berukir lambang keluarga Devereux—seperti rahang monster yang menjaga rahasia di dalamnya. Roda berhenti di pintu belakang gudang anggur, bangunan batu tua yang hari itu riuh oleh para pekerja. Laki-laki berotot mondar-mandir memanggul keranjang anggur segar, aroma manis bercampur asam memenuhi udara, diselingi sengatan tajam alkohol yang menusuk hidung. Mereka turun dari gerobak. Saat Avelinne menjejakkan kaki di tanah, ia sempat mengernyit tipis, lalu menarik napas panjang, seakan seluruh indranya menimbang tempat itu. Elowen melirik kakaknya—ia tahu tatapan itu bukan sekadar kagum, melainkan penuh perhitungan. Mereka ikut membantu pelayan tua menurunkan peti-peti berat. Di dalam, pemandangan lebih mencengangkan. Rak kayu menjulang dipenuhi botol berlabel emas, drum besar dari kayu ek berbaris rapi di sepanjang dinding. Beberapa pekerja sibuk memeriksa fermentasi; suara cai
Siang itu, aula kastil riuh oleh tawa dan bisik-bisik para gadis bangsawan. Seperti pesta tanpa akhir, mereka saling menonjolkan kelebihan, berlomba menjadi bintang paling bersinar. Hari-hari di kastil terasa lebih seperti pameran kecantikan ketimbang ujian.Di sisi tangga besar, Sylvette menuruni anak-anak undakan dengan langkah mantap. Dagu terangkat, gaun sutra berdesir, menyapu permadani merah tua yang terbentang. Cahaya siang dari kaca patri memantul di rambut emasnya, membuatnya tampak seolah baru turun dari lukisan.Para peserta di bawah aula serentak menoleh; beberapa menahan napas, yang lain sekadar terpaku.Di pojok ruangan, Martha dan seorang pelayan tengah merangkai bunga, berbisik lirih di balik denting piring perak.“Lihatlah… betapa anggun wanita itu.”“Aku yakin, dialah yang paling pantas menjadi istri Tuan Sebastian.”Sylvette mendengar. Senyum tipis melengkung di bibirnya, penuh keyakinan diri. Ia mela
Kabut pagi menyelimuti halaman kastil, tipis seperti tirai putih yang menggantung rendah. Dari atap kandang, sisa hujan menetes satu-satu, jatuh ke genangan kecil di tanah becek. Udara lembap menusuk hidung, bercampur bau jerami basah dan kuda yang meringkik resah.Avelinne menggeliat di antara jerami, tubuhnya kaku oleh dingin malam. Saat membuka mata, ia merasakan sesuatu yang asing—hangat yang tidak ada sebelumnya. Selimut.Ia terbangun cepat, jemarinya meraba kain itu dengan ragu. Alisnya berkerut dalam.“Elowen…” bisiknya sambil menggoyang bahu adiknya, “siapa yang menaruh selimut di sini?”Elowen hanya menggumam, lalu mengucek mata. Rambutnya berantakan, dipenuhi helaian jerami. Ia menguap panjang sebelum menjawab malas, “Mungkin… hantu kastil. Atau arwah bangsawan yang mati penasaran.”“Jangan bercanda,” Aveline mendesis. Nada suaranya lebih tegang daripada marah.Elowen terkekeh kecil, meski wajahnya masih set







