Share

Bab 5

last update Last Updated: 2025-10-12 19:11:47

Kamar itu terlalu besar. Dindingnya menjulang tinggi dengan lukisan wajah-wajah bangsawan yang menatap tajam, seolah mata mereka mengawasi setiap gerakan. Lilin di meja hanya memberi cahaya kuning redup, sementara sudut-sudut ruangan tenggelam dalam bayangan pekat.

Avelinne duduk di tepi ranjang kanopi, jemarinya meremas lipatan gaun. Setiap derit lantai kayu di lorong terdengar seperti bisikan rahasia.

Ia menarik napas panjang; aroma kayu tua bercampur dupa menusuk indera.

Kastil ini seperti perut monster, pikirnya, dan aku baru saja menyalakan api di dalamnya.

Ketukan pelan terdengar dari luar pintu.

“Avelinne… ini aku.” Suara lirih, nyaris berbisik.

Avelinne hampir meloncat berdiri. Pintu berderit terbuka, dan dari celahnya menyembul kepala Elowen. Gadis kecil itu masuk dengan kucing gendutan di pelukannya.

“Aku berhasil! Mereka pikir aku pelayan baru. Lihat—aku dapat celemek!” bisiknya penuh kemenangan sambil menunjuk kain putih kebesaran yang menjuntai di tubuh mungilnya.

Avelinne memejamkan mata, perasaan lega bercampur gemas.

“Elowen… kau gila. Kalau mereka tahu—”

“Tenang saja,” potong Elowen cepat. “Tak ada yang perhatikan. Semua sibuk dengan gaun dan cermin mereka sendiri.”

Avelinne menatapnya lama. Di wajah polos itu ada keberanian yang terlalu besar untuk usianya. Ia menghela napas, lalu tersenyum tipis.

“Kalau begitu, pastikan kau tak pernah ketahuan. Kalau sampai tertangkap… kita berdua akan berakhir di luar tembok ini. Atau lebih buruk.”

Elowen mengangguk mantap. Ia mengangkat kucingnya tinggi-tinggi.

“Dan kau butuh bala bantuan, bukan? Kita beri nama kucing ini… Mocha. Mulai sekarang, Mocha akan jadi mata dan telinga kita. Meong.”

Avelinne terkekeh, bahunya bergoyang ringan.

“Sebelum jadi mata-mata, Mocha sudah menagih tulang duluan, kan?”

Tawa kecil meletup sesaat di ruangan itu, memecah keheningan mencekam. Aveline kemudian merebahkan diri, menatap tirai ranjang yang bergoyang perlahan.

Ia tahu malam-malam berikutnya tak akan pernah benar-benar sunyi. Di balik dinding batu kastil, ada mata yang selalu mengawasi. Dan permainan ini… baru saja dimulai.

*******

Matahari baru menembus kaca tinggi aula timur kastil, memantul di marmer putih yang dingin. Lonjakan suara sepatu para pelayan yang sibuk mengisi kendi anggur, menyalakan lilin, dan merapikan meja panjang terdengar jelas—seolah seluruh rumah ini tidak pernah benar-benar tidur.

Avelinne duduk di tepi ranjang besar berhias ukiran emas. Ia menatap gaun hijaunya yang kini tergantung lusuh di kursi. Ada rasa asing di dadanya: perasaan kecil, nyaris terkubur oleh kemegahan ruangan.

Pintu kamarnya berderit. Elowen menyelinap masuk sambil membawa nampan roti dan buah. Wajahnya setengah bersemangat, setengah cemas.

“Avelinne, kau harus lihat… para tamu lain sarapan dengan sendok perak yang lebih mengkilap dari cermin kita di rumah. Kalau aku melirik terlalu lama, mungkin aku bisa melihat wajahku jadi lebih cantik di situ.”

Aveline menghela napas, menahan senyum.

“Elowen, kau seharusnya tidak berkeliaran. Kalau ketahun—”

“hei, kau lupa? aku sedang menyamar jadi pelayan di kastil ini”

Aveline berdiri, merapikan rambutnya ke belakang.

“Baiklah.Hari ini mereka akan mulai menilai, Elowen. Bukan soal cantik atau tidak, tapi soal siapa yang bisa bertahan di bawah tatapan mereka.”

Elowen meletakkan nampan dengan sedikit bunyi, lalu menatap kakaknya dengan keseriusan yang jarang ia tunjukkan.

“kalau mereka menilai dengan mata yang penuh kebencian, apa kau masih yakin ingin terus menatap balik?”

Avelinne menunduk sebentar, lalu meraih tangan adiknya.

“Aku tidak datang untuk mencari persetujuan mereka. Aku datang untuk mengambil sesuatu yang sudah dirampas dari kita.”

Suara denting lonceng kastil tiba-tiba menggema, memanggil semua kandidat ke ruang pertemuan.

Elowen buru-buru merapikan gaun lusuh kakaknya.

“Cepat, Avelinne. Kalau terlambat, mereka akan langsung menyingkirkanmu. Dan kalau mereka menyingkirkanmu, lalu siapa yang akan kupelototi diam-diam dari balik tirai?”

Keduanya saling menatap. Satu dengan tekad yang tegang, yang lain dengan humor getir yang hanya bisa lahir dari ketakutan.

Di aula bawah, suara para gadis lain sudah terdengar, bercampur bisik-bisik dan tawa palsu.

Hari pertama di Kastil Devereux telah dimulai.

******

Meja makan panjang di aula timur berkilau oleh perak dan kristal. Porselen tertata sempurna; di ujung meja Lady Verenne duduk tegak, tak perlu mahkota untuk memancarkan wibawa.

Di sisi kirinya Marcus dan Lucienne, sementara Sebastian memilih kursi lebih jauh, seolah jarak itu bagian dari pernyataannya sendiri.

Para kandidat wanita mengambil tempat. Gaun-gaun berdesis pelan, tatapan beradu cepat—menimbang, menghitung, menunggu siapa yang lebih dulu menonjol.

Pelayan menuangkan kopi, menyajikan roti hangat. Lady Verenne mengangkat cangkir, lalu memecah hening.

“Di meja ini, bukan hanya rasa yang diuji. Seorang istri bangsawan harus tahu kapan berbicara… dan kapan diam.”

Seorang gadis langsung membuka percakapan tentang puisi Paris terbaru, suaranya jelas dibuat-buat.

Sylvette menyusul, suaranya manis namun tajam:

“Saya percaya, hanya keluarga besar seperti Devereux yang mampu melindungi seni dan budaya kita.”

Lady Verenne mengangguk samar, beberapa kepala cepat mengikutinya.

Avelinne masih diam. Jemarinya menggenggam cangkir hingga hangatnya menusuk kulit. Semua mata seakan menunggu ia tergagap atau bungkam. Lalu, pelan tapi tegas:

“Perlindungan tak selalu datang dari nama besar. Kadang justru dari orang kecil—dengan kerja dan keringatnya.”

Sejenak meja senyap. Beberapa gadis menyembunyikan tawa.

Lucienne bersuara, lengking manis namun beracun.

“Indah sekali nona Rosse. Tapi kerja dan keringat tak cukup menjaga warisan sebesar Devereux, bukan? Itu sebabnya… kita di sini.”

Tawa ringan pecah. Sylvette melirik Avelinne, penuh sindir setuju.

Lady Verenne mengangkat tangan halusnya. Pelayan masuk membawa dua botol anggur tanpa label. Gelas kristal segera dipenuhi cairan merah, berkilau di bawah cahaya lilin.

“Cicipilah,” ucap Lady Verenne datar. “Seorang calon pendamping Devereux harus tahu anggur mana yang pantas untuk meja ini.”

Sylvette menyesap lebih dulu, senyum percaya diri mengembang.

“Yang pertama. Manis, lembut—jelas yang terbaik.”

Gadis lain ikut menebak, kebanyakan hanya mengulang.

Avelinne mengangkat gelas tanpa tergesa. Ia memutar perlahan, memperhatikan kilau warnanya, lalu menghirup dalam sebelum menyesap tipis.

“Yang kedua,” ucapnya tenang. “Lebih pekat, lebih matang. Ada aroma tanah basah… hanya kebun tua yang bisa memberikannya. Yang pertama manis, ya—tapi karena dipetik terlalu cepat.”

Keheningan turun. Bahkan Lucienne berhenti tersenyum.

Sylvette tertawa tipis, kaku.

“Oh? Lidah seorang ahli, rupanya?”

Beberapa gadis saling melirik, menahan senyum. Aveline tak menanggapi, hanya meneguk sisa anggur dengan tenang.

Sebastian mengangkat kepala, pandangannya beralih dari gelas ke wajah Avelinne. Abu-abu matanya menyipit, dingin, penuh hitungan yang tak diucapkan.

Hening di meja itu terasa lebih panjang daripada seharusnya. Bahkan lilin di atas meja seolah menahan nyala.

Lady Verenne meletakkan cangkirnya perlahan, bunyinya nyaring dalam keheningan.

“Menarik,” ucapnya datar. “Sangat… menarik.”

Barulah suara langkah para pelayan terdengar, masuk membersihkan meja. Gesekan porselen dan denting sendok mengisi udara yang masih menegang. Gadis-gadis bangkit dengan senyum sopan, tapi tatapan mereka saling berkilat—sarapan barusan hanyalah ronde pertama; pertarungan sesungguhnya baru dimulai.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pengantin Bangsawan Yang Kubenci   Bab 19

    Bau jerami lembap dan kayu basah meruap di udara. Seekor kuda meringkik pelan, memecah keheningan malam. Elowen duduk di atas bal jerami, mulut sibuk mengunyah roti kering yang ia selundupkan dari dapur. Matanya berkilat nakal saat menceritakan kejailannya. “ Kau harusnya lihat wajah Sylvette tadi pagi… begitu kecoak itu muncul, dia melompat seperti anak kucing yang ekornya terjepit pintu! Aku hampir tersedak menahan tawa.” Avelinne ikut tertawa, bersandar pada dinding kayu yang dingin. “ Elowen, kalau sampai ketahuan, kau bukan cuma tidur di kandang. Bisa-bisa kau diusir lebih cepat dari yang kau kira.” Elowen hanya cengengesan, menggigit lagi rotinya. “ Ah, biarlah… seseorang harus membuat pesta ini sedikit lebih hidup. Lagi pula, Lucianne selalu muncul diam-diam, menutupi kekurangan Sylvette. Rasanya seperti dua serigala yang berbagi mangsa.” Kening Avelinne berkerut, sorot matanya menajam. “ Ya, mereka licik sekaligus rapi. Tidak heran satu per satu peserta lain tumban

  • Pengantin Bangsawan Yang Kubenci   Bab 18

    Cahaya pucat menembus jendela tinggi, membelah kabut tipis fermentasi yang menggantung di udara. Debu dan uap alkohol berputar samar di antara deretan drum kayu. Bau anggur masam bercampur kelembapan lantai basah, menekan dada seperti beban tak kasat mata. Langkah Sebastian berderap masuk, bukan menuju kantor, melainkan ruang laboratorium kecil di ujung gudang—tempat sampel anggur diuji sebelum resmi menyandang nama Devereux. Osrich sudah menunggunya dengan clipboard di tangan. “Selamat pagi, Tuan.” “Pagi. Kau sudah kerjakan semua yang kuperintahkan kemarin?” “Ya, Tuan. Ini hasilnya.” Sebastian menerima laporan itu. Angka-angka tercetak rapi, namun setiap baris seperti duri menusuk matanya. Ia menghela napas berat. “Persis… seperti yang dikatakan gadis itu,” bisiknya, lebih mirip pengakuan pada dirinya sendiri. Osrich menambahkan, suaranya rendah:

  • Pengantin Bangsawan Yang Kubenci   Bab 17

    Malam menyelimuti atap kastil Devereux, jendela-jendela besar menjulang seolah mata curiga yang mengawasi siapa pun yang melintas. Di ruang makan utama, denting sendok dan garpu terdengar nyaring, memecah keheningan megah. Para gadis peserta sayembara menunduk anggun, menikmati hidangan mereka dengan khidmat. Namun jelas, sebagian besar hanya menjadi hiasan di panggung permainan keluarga Devereux. Di sisi meja utama, Lady Vareen duduk tegak, ditemani Marcus, Lucianne, dan Sylvette yang mendapat kursi dekat keluarga inti—sebuah penegasan halus akan posisinya yang istimewa. Lady Vareen perlahan meletakkan tangannya di meja. Pandangannya jatuh pada kursi kosong di hadapannya. “Marcus, di mana Sebastian? Mengapa dia tidak hadir?” Marcus mengangkat kepala, bibirnya melengkung tipis. “Mungkin ia sedang tidur bersama botol-botol anggur di gudangnya,” jawabnya, nada sinis seolah mengejek kakaknya sendiri. Lucianne menoleh sekilas pada suaminya, lalu kembali pada piringny

  • Pengantin Bangsawan Yang Kubenci   Bab 16

    Kereta kuda berderit melewati pagar besi tinggi berukir lambang keluarga Devereux—seperti rahang monster yang menjaga rahasia di dalamnya. Roda berhenti di pintu belakang gudang anggur, bangunan batu tua yang hari itu riuh oleh para pekerja. Laki-laki berotot mondar-mandir memanggul keranjang anggur segar, aroma manis bercampur asam memenuhi udara, diselingi sengatan tajam alkohol yang menusuk hidung. Mereka turun dari gerobak. Saat Avelinne menjejakkan kaki di tanah, ia sempat mengernyit tipis, lalu menarik napas panjang, seakan seluruh indranya menimbang tempat itu. Elowen melirik kakaknya—ia tahu tatapan itu bukan sekadar kagum, melainkan penuh perhitungan. Mereka ikut membantu pelayan tua menurunkan peti-peti berat. Di dalam, pemandangan lebih mencengangkan. Rak kayu menjulang dipenuhi botol berlabel emas, drum besar dari kayu ek berbaris rapi di sepanjang dinding. Beberapa pekerja sibuk memeriksa fermentasi; suara cai

  • Pengantin Bangsawan Yang Kubenci   Bab 15

    Siang itu, aula kastil riuh oleh tawa dan bisik-bisik para gadis bangsawan. Seperti pesta tanpa akhir, mereka saling menonjolkan kelebihan, berlomba menjadi bintang paling bersinar. Hari-hari di kastil terasa lebih seperti pameran kecantikan ketimbang ujian.Di sisi tangga besar, Sylvette menuruni anak-anak undakan dengan langkah mantap. Dagu terangkat, gaun sutra berdesir, menyapu permadani merah tua yang terbentang. Cahaya siang dari kaca patri memantul di rambut emasnya, membuatnya tampak seolah baru turun dari lukisan.Para peserta di bawah aula serentak menoleh; beberapa menahan napas, yang lain sekadar terpaku.Di pojok ruangan, Martha dan seorang pelayan tengah merangkai bunga, berbisik lirih di balik denting piring perak.“Lihatlah… betapa anggun wanita itu.”“Aku yakin, dialah yang paling pantas menjadi istri Tuan Sebastian.”Sylvette mendengar. Senyum tipis melengkung di bibirnya, penuh keyakinan diri. Ia mela

  • Pengantin Bangsawan Yang Kubenci   Bab 14

    Kabut pagi menyelimuti halaman kastil, tipis seperti tirai putih yang menggantung rendah. Dari atap kandang, sisa hujan menetes satu-satu, jatuh ke genangan kecil di tanah becek. Udara lembap menusuk hidung, bercampur bau jerami basah dan kuda yang meringkik resah.Avelinne menggeliat di antara jerami, tubuhnya kaku oleh dingin malam. Saat membuka mata, ia merasakan sesuatu yang asing—hangat yang tidak ada sebelumnya. Selimut.Ia terbangun cepat, jemarinya meraba kain itu dengan ragu. Alisnya berkerut dalam.“Elowen…” bisiknya sambil menggoyang bahu adiknya, “siapa yang menaruh selimut di sini?”Elowen hanya menggumam, lalu mengucek mata. Rambutnya berantakan, dipenuhi helaian jerami. Ia menguap panjang sebelum menjawab malas, “Mungkin… hantu kastil. Atau arwah bangsawan yang mati penasaran.”“Jangan bercanda,” Aveline mendesis. Nada suaranya lebih tegang daripada marah.Elowen terkekeh kecil, meski wajahnya masih set

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status