MasukKamar itu terlalu besar. Dindingnya menjulang tinggi dengan lukisan wajah-wajah bangsawan yang menatap tajam, seolah mata mereka mengawasi setiap gerakan. Lilin di meja hanya memberi cahaya kuning redup, sementara sudut-sudut ruangan tenggelam dalam bayangan pekat.
Avelinne duduk di tepi ranjang kanopi, jemarinya meremas lipatan gaun. Setiap derit lantai kayu di lorong terdengar seperti bisikan rahasia. Ia menarik napas panjang; aroma kayu tua bercampur dupa menusuk indera. Kastil ini seperti perut monster, pikirnya, dan aku baru saja menyalakan api di dalamnya. Ketukan pelan terdengar dari luar pintu. “Avelinne… ini aku.” Suara lirih, nyaris berbisik. Avelinne hampir meloncat berdiri. Pintu berderit terbuka, dan dari celahnya menyembul kepala Elowen. Gadis kecil itu masuk dengan kucing gendutan di pelukannya. “Aku berhasil! Mereka pikir aku pelayan baru. Lihat—aku dapat celemek!” bisiknya penuh kemenangan sambil menunjuk kain putih kebesaran yang menjuntai di tubuh mungilnya. Avelinne memejamkan mata, perasaan lega bercampur gemas. “Elowen… kau gila. Kalau mereka tahu—” “Tenang saja,” potong Elowen cepat. “Tak ada yang perhatikan. Semua sibuk dengan gaun dan cermin mereka sendiri.” Avelinne menatapnya lama. Di wajah polos itu ada keberanian yang terlalu besar untuk usianya. Ia menghela napas, lalu tersenyum tipis. “Kalau begitu, pastikan kau tak pernah ketahuan. Kalau sampai tertangkap… kita berdua akan berakhir di luar tembok ini. Atau lebih buruk.” Elowen mengangguk mantap. Ia mengangkat kucingnya tinggi-tinggi. “Dan kau butuh bala bantuan, bukan? Kita beri nama kucing ini… Mocha. Mulai sekarang, Mocha akan jadi mata dan telinga kita. Meong.” Avelinne terkekeh, bahunya bergoyang ringan. “Sebelum jadi mata-mata, Mocha sudah menagih tulang duluan, kan?” Tawa kecil meletup sesaat di ruangan itu, memecah keheningan mencekam. Aveline kemudian merebahkan diri, menatap tirai ranjang yang bergoyang perlahan. Ia tahu malam-malam berikutnya tak akan pernah benar-benar sunyi. Di balik dinding batu kastil, ada mata yang selalu mengawasi. Dan permainan ini… baru saja dimulai. ******* Matahari baru menembus kaca tinggi aula timur kastil, memantul di marmer putih yang dingin. Lonjakan suara sepatu para pelayan yang sibuk mengisi kendi anggur, menyalakan lilin, dan merapikan meja panjang terdengar jelas—seolah seluruh rumah ini tidak pernah benar-benar tidur. Avelinne duduk di tepi ranjang besar berhias ukiran emas. Ia menatap gaun hijaunya yang kini tergantung lusuh di kursi. Ada rasa asing di dadanya: perasaan kecil, nyaris terkubur oleh kemegahan ruangan. Pintu kamarnya berderit. Elowen menyelinap masuk sambil membawa nampan roti dan buah. Wajahnya setengah bersemangat, setengah cemas. “Avelinne, kau harus lihat… para tamu lain sarapan dengan sendok perak yang lebih mengkilap dari cermin kita di rumah. Kalau aku melirik terlalu lama, mungkin aku bisa melihat wajahku jadi lebih cantik di situ.” Aveline menghela napas, menahan senyum. “Elowen, kau seharusnya tidak berkeliaran. Kalau ketahun—” “hei, kau lupa? aku sedang menyamar jadi pelayan di kastil ini” Aveline berdiri, merapikan rambutnya ke belakang. “Baiklah.Hari ini mereka akan mulai menilai, Elowen. Bukan soal cantik atau tidak, tapi soal siapa yang bisa bertahan di bawah tatapan mereka.” Elowen meletakkan nampan dengan sedikit bunyi, lalu menatap kakaknya dengan keseriusan yang jarang ia tunjukkan. “kalau mereka menilai dengan mata yang penuh kebencian, apa kau masih yakin ingin terus menatap balik?” Avelinne menunduk sebentar, lalu meraih tangan adiknya. “Aku tidak datang untuk mencari persetujuan mereka. Aku datang untuk mengambil sesuatu yang sudah dirampas dari kita.” Suara denting lonceng kastil tiba-tiba menggema, memanggil semua kandidat ke ruang pertemuan. Elowen buru-buru merapikan gaun lusuh kakaknya. “Cepat, Avelinne. Kalau terlambat, mereka akan langsung menyingkirkanmu. Dan kalau mereka menyingkirkanmu, lalu siapa yang akan kupelototi diam-diam dari balik tirai?” Keduanya saling menatap. Satu dengan tekad yang tegang, yang lain dengan humor getir yang hanya bisa lahir dari ketakutan. Di aula bawah, suara para gadis lain sudah terdengar, bercampur bisik-bisik dan tawa palsu. Hari pertama di Kastil Devereux telah dimulai. ****** Meja makan panjang di aula timur berkilau oleh perak dan kristal. Porselen tertata sempurna; di ujung meja Lady Verenne duduk tegak, tak perlu mahkota untuk memancarkan wibawa. Di sisi kirinya Marcus dan Lucienne, sementara Sebastian memilih kursi lebih jauh, seolah jarak itu bagian dari pernyataannya sendiri. Para kandidat wanita mengambil tempat. Gaun-gaun berdesis pelan, tatapan beradu cepat—menimbang, menghitung, menunggu siapa yang lebih dulu menonjol. Pelayan menuangkan kopi, menyajikan roti hangat. Lady Verenne mengangkat cangkir, lalu memecah hening. “Di meja ini, bukan hanya rasa yang diuji. Seorang istri bangsawan harus tahu kapan berbicara… dan kapan diam.” Seorang gadis langsung membuka percakapan tentang puisi Paris terbaru, suaranya jelas dibuat-buat. Sylvette menyusul, suaranya manis namun tajam: “Saya percaya, hanya keluarga besar seperti Devereux yang mampu melindungi seni dan budaya kita.” Lady Verenne mengangguk samar, beberapa kepala cepat mengikutinya. Avelinne masih diam. Jemarinya menggenggam cangkir hingga hangatnya menusuk kulit. Semua mata seakan menunggu ia tergagap atau bungkam. Lalu, pelan tapi tegas: “Perlindungan tak selalu datang dari nama besar. Kadang justru dari orang kecil—dengan kerja dan keringatnya.” Sejenak meja senyap. Beberapa gadis menyembunyikan tawa. Lucienne bersuara, lengking manis namun beracun. “Indah sekali nona Rosse. Tapi kerja dan keringat tak cukup menjaga warisan sebesar Devereux, bukan? Itu sebabnya… kita di sini.” Tawa ringan pecah. Sylvette melirik Avelinne, penuh sindir setuju. Lady Verenne mengangkat tangan halusnya. Pelayan masuk membawa dua botol anggur tanpa label. Gelas kristal segera dipenuhi cairan merah, berkilau di bawah cahaya lilin. “Cicipilah,” ucap Lady Verenne datar. “Seorang calon pendamping Devereux harus tahu anggur mana yang pantas untuk meja ini.” Sylvette menyesap lebih dulu, senyum percaya diri mengembang. “Yang pertama. Manis, lembut—jelas yang terbaik.” Gadis lain ikut menebak, kebanyakan hanya mengulang. Avelinne mengangkat gelas tanpa tergesa. Ia memutar perlahan, memperhatikan kilau warnanya, lalu menghirup dalam sebelum menyesap tipis. “Yang kedua,” ucapnya tenang. “Lebih pekat, lebih matang. Ada aroma tanah basah… hanya kebun tua yang bisa memberikannya. Yang pertama manis, ya—tapi karena dipetik terlalu cepat.” Keheningan turun. Bahkan Lucienne berhenti tersenyum. Sylvette tertawa tipis, kaku. “Oh? Lidah seorang ahli, rupanya?” Beberapa gadis saling melirik, menahan senyum. Aveline tak menanggapi, hanya meneguk sisa anggur dengan tenang. Sebastian mengangkat kepala, pandangannya beralih dari gelas ke wajah Avelinne. Abu-abu matanya menyipit, dingin, penuh hitungan yang tak diucapkan. Hening di meja itu terasa lebih panjang daripada seharusnya. Bahkan lilin di atas meja seolah menahan nyala. Lady Verenne meletakkan cangkirnya perlahan, bunyinya nyaring dalam keheningan. “Menarik,” ucapnya datar. “Sangat… menarik.” Barulah suara langkah para pelayan terdengar, masuk membersihkan meja. Gesekan porselen dan denting sendok mengisi udara yang masih menegang. Gadis-gadis bangkit dengan senyum sopan, tapi tatapan mereka saling berkilat—sarapan barusan hanyalah ronde pertama; pertarungan sesungguhnya baru dimulai.Di dapur yang mulai sunyi, Sebastian menumpuk mangkuk terakhir. Gerakannya teratur seperti biasa, namun tiba-tiba ia berhenti—seolah ada sesuatu yang melintas begitu halus di udara hingga hanya naluri paling dasar yang mampu menangkapnya. Ia menegakkan tubuh, memiringkan kepala sedikit. Elowen, yang sedang mengeringkan tangan dengan kain lusuh, memperhatikannya. “Ada apa? Kau seperti… mendengar sesuatu.” Sebastian tidak langsung menjawab. Tatapannya mengarah ke lorong menuju kamar tempat Avelinne beristirahat—bukan curiga, hanya kepekaan tak jelas yang membuatnya meraih lentera. “Aku ingin memastikan Avelinne baik-baik saja.” Elowen menghela napas kecil, lalu mengambil Mocha yang mengekor di kakinya. “Baiklah. Sekalian aku bawa Mocha tidur.” Mereka berjalan menyusuri lorong remang menuju kantor, langkah keduanya lembut agar tidak mengganggu siapa pun yang mungkin sudah terlelap. Elowen sebenarnya ingin bercanda, tetapi melihat raut Sebastian—hati-hati, tapi tidak geli
Langit di luar sudah menghitam ketika para pekerja pulang satu per satu, meninggalkan gudang dalam keheningan yang nyaman. Bangunan besar itu, yang biasanya dipenuhi suara langkah berat, denting perkakas, dan bisik-bisik percakapan para pekerja, kini seperti menutup dirinya sendiri. Hanya dapur kecil di sudut bangunan itu yang masih bercahaya—sebuah titik hangat di tengah gelapnya malam—beraroma sup dan rempah yang mengepul lembut, mengisi udara dengan kenyamanan sederhana yang sulit dijelaskan.Avelinne baru saja menutup panci ketika Elowen melahap suap demi suap dengan semangat yang hanya dimiliki gadis kelaparan. Gerakan tangannya cepat, seolah takut mangkuk itu akan direbut darinya kapan saja. “Pelan sedikit, Elowen. Kau bisa tersedak,” tegur Avelinne sambil tersenyum. “Ini terlalu enak untuk pelan,” jawab Elowen, mulutnya masih penuh. Ia menunduk pada Mocha di bawah meja. “Iya kan, Mocha?” Mocha mengeong kecil, mengunyah potongan daging yang diberi Elowen seolah menyetujui.
Cahaya jingga senja merayapi kebun anggur Devereux yang mulai pulih. Sulur-sulur merambat naik, daun muda bergetar oleh angin lembut, dan bulir-bulir anggur menggantung berat, berkilau seolah dilapisi madu tipis. Marcus berjalan perlahan di antara deretan tanaman itu, sepatu botnya menginjak tanah lembap dengan ritme yang hampir sombong. Lucianne menyusul satu langkah di belakangnya—anggun, diam, namun mata hijaunya memantulkan perhitungan yang tak pernah padam. “Luar biasa,” gumam Lucianne sambil menyentuh satu tandan anggur. “Sepertinya sudah siap panen.” “Lebih dari siap,” sahut Marcus, dagunya terangkat sedikit. “Tak lama lagi aku punya bisnis anggurku sendiri. Devereux akan kembali bersinar di tanganku.” Lucianne tersenyum—senyum tipis seorang wanita yang tahu betul apa artinya berada di sisi pemenang. Dan aku, pada akhirnya akan menjadi satu-satunya nyonya Devereux di kastil itu, batinnya puas. Namun pikiran itu tergelincir begitu nama tertentu muncul dalam benaknya.
Begitu mobil berhenti, aroma fermentasi anggur menyambut mereka—hangat, manis, dan nyaris menenangkan. Avelinne menarik napas dalam-dalam seperti sedang kembali ke tempat yang selalu memeluknya. Elowen, lupa sejenak pada kecemasannya, berlari kecil sambil menggendong Mocha. “Osric! Kami kembali!” Osric muncul dari balik tumpukan tong kayu, wajahnya berseri. “Elowen! Nona Rosse. Senang melihat kalian lagi.” “Bagaimana fermentasi dan selainya?” tanya Elowen, matanya berbinar. “Semua berjalan baik,” jawab Osric. “Meski—jika boleh jujur—kami merindukan kehadiran kalian di sini.” Sebastian mendekat, senyum tipis menghiasi wajahnya. “Kabar baiknya, aku sudah memutuskan menikahi Avelinne.” Osric terbelalak.
Matahari siang memukul ladang anggur Marlowe dengan panas yang tak biasa—panas yang membuat udara bergetar, dan membuat setiap napas terasa seperti menelan logam. Di dalam rumah kecilnya, Marlowe duduk membungkuk, memperbaiki gunting besar yang bilahnya sudah tumpul. Ritme krek—krek dari batu asah memecah keheningan. Tiga ketukan keras menghajar pintu. Tidak ada salam. Tidak ada seruan nama. Marlowe berhenti. Gunting di tangannya nyaris terpeleset. Dengan napas berat, ia bangkit. Sepatu bot tuanya menghantam lantai batu dengan bunyi pendek yang seakan menandai awal sesuatu yang buruk. Ia membuka pintu hanya separuh. Di luar berdiri dua pria asing berjaket gelap, topi hitam menunduk rendah, wajah mereka tertutup bayangan. “Siapa kalian?” suara Marlowe serak, namun masih berusaha tegar. Pria di depan menjawab cepat, seperti seseorang yang tidak terbiasa ditanya balik. “Apa kau mengenal Avelinne Rosse?” Nama itu menghantam ruangan kecil itu seperti badai. Namun M
Pagi itu meja makan keluarga Devereux terasa terlalu sunyi. Hanya denting halus gelas teh Marcus yang beradu dengan piring—ritme kecil yang justru membuat keheningan tampak lebih tajam. Lucianne duduk di sampingnya dengan anggun; bahunya tegak, posturnya nyaris santai. Seperti seorang nyonya yang kembali menikmati paginya… walau semua orang tahu semalam kastil nyaris hancur moralnya. Pintu ruang makan terbuka perlahan. Lady Vareen masuk. Kecantikannya—yang biasanya begitu sempurna dan menuntut penghormatan—pagi ini tampak retak. Bekas cakaran Mocha masih memerah di sisi wajahnya, menurunkan wibawa itu beberapa derajat. Ada guratan lelah yang bahkan bedak tipis pun tak mampu sembunyikan. Marcus yang pertama bersuara. “Selamat pagi, Ibu.” Lucianne menyusul, suaranya lembut namun sarat ironi terbungkus satin. “Bagaimana lukamu? Sudah membaik?” Lady Vareen menarik napas sebelum duduk, seperti seseorang yang tidak yakin tubuhnya masih sanggup menahan martabatnya sendiri. “Aku tid







