Adrian tetap berdiri tegap di depan ranjang Elara, ekspresinya tenang, seolah tak terganggu oleh keterkejutan wanita itu.
Tentu saja Elara tidak mengenalinya. Bertahun-tahun yang lalu, ketika dia berusia tujuh belas tahun, pada sebuah pesta megah yang diadakan kakeknya, perhatian Elara hanya tertuju pada satu orang—Damian. Saat itu, dia jatuh cinta pada pandangan pertama, begitu terpesona hingga tak menyadari kehadiran siapa pun di sekitarnya, termasuk Adrian. Adrian mengingat semuanya. Betapa gadis itu tampak bersinar dalam gaun putihnya, betapa matanya berbinar saat menatap Damian. Tidak ada celah bagi Adrian untuk masuk ke dalam dunianya. Namun kini, keadaan berbalik. Setelah mengetahui bahwa Elara mengalami kecelakaan, koma selama tiga minggu, dan dikhianati oleh suaminya, Adrianlah yang datang menunggunya, menjenguknya, merawatnya dari kejauhan. Karena dia telah jatuh cinta pada Elara sejak lama. Elara menatap pria di hadapannya, kebingungan masih menguasai benaknya. "Maaf, saya tidak ingat siapa Anda," katanya akhirnya, suaranya ragu-ragu. Adrian tersenyum, sorot matanya teduh namun tajam. "Tak apa-apa," ujarnya ringan. "Aku pernah datang ke pesta kakekmu. Waktu itu, kau mengenakan gaun putih dengan sepatu Mary Jane yang cantik." Elara membeku. Dia sendiri hampir lupa detail itu, tapi pria ini mengingatnya dengan begitu jelas. "Lalu… apa alasan Anda datang ke sini?" tanyanya, masih ragu. Adrian menatapnya lekat-lekat sebelum akhirnya berkata dengan suara yang dalam dan penuh keyakinan, "Aku menyukaimu, Elara. Ceraikan Damian, dan aku akan membantumu membalas dendam atas semua yang telah dia lakukan padamu." Elara terperanjat, menatapnya dengan keterkejutan yang sulit disembunyikan. "Jangan bercanda," katanya dengan suara serak. "Apa Anda tidak lihat keadaan wajah saya?" Adrian tersenyum tipis. "Wajah bisa diubah," katanya lembut. "Tapi bagaimana dengan hati? Aku akan membantumu mendapatkan kecantikanmu kembali seperti dulu." Elara menegakkan punggungnya, menatap pria itu lebih lama, seolah mencari kejujuran dalam sorot matanya. ** Setelah beberapa hari dirawat, Elara akhirnya diizinkan pulang. Namun, langkahnya terhenti di depan rumah sakit. Dia tak tahu harus ke mana. Rumah orang tuanya dan kakeknya telah disegel, tak ada tempat untuknya kembali. Satu-satunya pilihan yang tersisa adalah rumah Damian—tempat yang dulu dia sebut rumah, meski tak pernah benar-benar merasa memilikinya. Dengan hati yang berat, Elara melangkah masuk. Tak ada sambutan, tak ada kehangatan. Matanya langsung tertuju pada Damian yang sedang duduk santai di ruang tengah bersama Alicia. Keduanya tertawa pelan, bercanda akrab di sofa, menikmati kebersamaan yang selama ini diimpikan Elara—namun tak pernah menjadi miliknya. Langkah kakinya yang menggema membuat Damian menoleh. Mata pria itu melebar, terkejut melihatnya berdiri di ambang pintu. “Kau?!” suara Damian terdengar tajam, penuh kejijikan. “Apa yang kau lakukan di sini?” Elara menelan ludah, berusaha menahan luka yang kembali menganga. "Aku masih istrimu, Damian," katanya lirih. "Aku tak punya tempat tinggal." Damian mendengus sinis. "Dan aku peduli?" Tatapannya penuh rasa muak saat melihat wajahnya yang kini penuh bekas luka. “Bukankah aku sudah bilang aku akan menceraikanmu?” Suasana ruangan itu tiba-tiba terasa semakin dingin. "Pelayan!" seru Damian tiba-tiba. "Bawa semua barang wanita ini! Jangan sampai satu pun tertinggal!" Para pelayan yang sejak tadi diam langsung bergerak ke lantai atas. Tak butuh waktu lama, mereka turun dengan koper yang sudah disiapkan—seolah mereka sudah menantikan saat ini jauh-jauh hari. Seorang pelayan menyerahkan koper itu pada Elara, namun dia terlalu terpaku pada kenyataan yang terjadi. Sementara itu, Damian berjalan ke ruang kerjanya, lalu kembali dengan setumpuk kertas di tangannya. Ia meletakkan dokumen itu di meja dengan tatapan dingin. “Ini surat cerai,” katanya tegas. “Tandatangani sekarang.” Elara menggigit bibirnya, tangannya mengepal di sisi tubuhnya. “Aku…” suaranya hampir tak terdengar. “Aku tidak bisa.” Damian menyipitkan mata. Bibirnya melengkung dalam senyum kejam. "Kalau kau tak mau tanda tangan…" dia mendekat, suaranya rendah namun menusuk, "kau tak akan pernah bisa melihat ayah dan ibumu lagi." Darah Elara seketika membeku. "Kau tahu kan, mereka sudah menjadi budak di keluargaku?" lanjut Damian, nada suaranya terdengar puas melihat reaksi Elara yang kini menegang. Air mata menggenang di sudut mata Elara, tapi dia menolaknya jatuh. Dia bisa bertahan jika Damian hanya menyakitinya. Tapi ayah dan ibunya? Dengan tangan gemetar, ia meraih pulpen di meja dan menandatangani surat cerai itu. Ketika akhirnya dia menyerahkan kembali kertas itu ke tangan Damian, hatinya terasa kosong. Ia menatap Damian dan Alicia bergantian, mengukir wajah mereka dalam ingatannya. “Aku akan mengingat malam ini,” suaranya tenang, namun sarat dengan sesuatu yang dingin. “Aku akan mengingat setiap penghinaan yang kalian berikan padaku. Dan ingat ini baik-baik, Damian…” Tatapannya mengunci mata pria itu. “Aku akan kembali untuk membalas semua yang telah kalian lakukan.” Alicia tertawa kecil, lalu melingkarkan lengannya di lengan Damian. "Balas dendam?" dia mendengus mengejek. "Sebaiknya kau perbaiki dulu wajah jelekmu itu sebelum berpikir untuk membalas siapa pun." Elara menahan napas, dadanya sesak oleh rasa sakit yang menggerogoti setiap sudut hatinya. Namun, meski tubuhnya rapuh, hatinya kini membara. ** Keluar dari rumah Damian, Elara menghela napas panjang, mencoba mengusir sesak di dadanya. Namun, langkahnya terhenti begitu melihat sosok seorang pria berdiri di dekat sebuah mobil mewah yang terparkir di depan gerbang. Pria itu bersandar santai di samping mobilnya, jasnya terpotong sempurna mengikuti lekuk tubuhnya. Saat melihat Elara, dia mendorong tubuhnya tegak dan melangkah mendekat, senyuman lembut menghiasi wajahnya. "Apa kau masih mau menerima tawaranku, Elara?" tanyanya dengan nada yang tenang, tapi penuh keyakinan. Elara menegakkan punggungnya. Hatinya yang penuh luka dan dendam kini menemukan secercah harapan. "Apa Anda juga bisa mengembalikan perusahaan keluargaku seperti semula?" suaranya bergetar, matanya berkilat oleh air mata yang tertahan. Adrian menatapnya dalam, lalu tersenyum kecil. "Tentu saja," katanya, nadanya seolah menjanjikan dunia. "Aku akan membantumu mendapatkan semuanya kembali. Bahkan lebih dari itu..." Dia mendekat, suaranya lebih rendah namun tajam. "Aku akan membuat laki-laki itu bersujud di depanmu suatu hari." Elara terdiam. Matanya mengunci pada wajah pria di hadapannya, mencoba mencari kebohongan, tapi yang dia lihat hanyalah ketegasan dan janji yang tak main-main. Perlahan, dia mengangguk. "Baiklah," katanya, suaranya tak lagi ragu. "Saya bersedia menjadi wanita Anda." Namun, Adrian tersenyum lebih lebar, kali ini dengan tatapan yang lebih dalam. "Lebih dari itu, Elara." Dia mengangkat tangan dan menyentuh dagunya dengan lembut, membuat Elara menahan napas. "Aku ingin kau menjadi istriku." Jantung Elara berdegup kencang. Tak ada keraguan. Dia sudah tahu bagaimana rasanya terikat dalam pernikahan tanpa cinta—betapa menderitanya hidup dengan pria yang menginjak harga dirinya tanpa ampun. Maka kali ini, dia memilih. "Saya bersedia," jawabnya, suaranya teguh, seolah nasibnya kini berada di tangannya sendiri.Adrian berdiri terpaku di ambang pintu kamar sempit itu. Bau apek alkohol, asap rokok, dan tubuh yang terlalu lama terbaring tanpa perawatan membuat udara begitu menyesakkan. Jantungnya seperti berhenti berdetak. Tubuh kecil yang tergeletak di atas kasur reyot itu begitu pucat, begitu sunyi… terlalu sunyi. Mata Dante tertutup, bibirnya membiru, dan tubuhnya tampak kaku.“Dante…” bisik Adrian, nyaris tanpa suara.Langkahnya terhuyung mendekat. Ia jatuh berlutut di sisi tempat tidur yang ringkih, tangannya gemetar saat menyentuh wajah bocah itu. Dingin. Tak ada respons. Air matanya mulai menggenang tanpa ia sadari. Napasnya tercekat di tenggorokan.“Dia… dia sudah…” ucap Adrian, suaranya pecah.Namun sebelum duka itu benar-benar melumpuhkannya, salah satu anak buahnya—seorang pria bernama Richie—berjongkok cepat di sisi Adrian. Ia mengambil denyut nadi di pergelangan tangan Dante dengan teliti, lalu menyentuh leher anak itu dengan jari terlatih.“Tuan… tunggu sebentar,” ucap Richie p
Adrian menerima telepon dengan tangan gemetar. Suara berat dari seberang terdengar jelas, dingin dan tanpa rasa."Kami akan serahkan anakmu di bawah jembatan layang. Pastikan kau datang sendiri."Adrian mengepalkan tangan. "Baiklah. Aku akan ke sana."Namun, hatinya terasa tak tenang. Firasatnya begitu buruk. Sejak tadi, pikirannya berkecamuk tak henti. Sesuatu terasa janggal. Terlalu mudah. Terlalu cepat. Tapi dia tak bisa menunggu lagi. Dante adalah prioritasnya.Tanpa membuang waktu, ia bergegas menuju lokasi yang disebutkan. Di dalam mobil, bersama dua orang kepercayaannya, ia menyusun rencana. Mereka akan berpencar, mengelilingi area. Mengantisipasi segala kemungkinan, termasuk jika para penculik berbohong atau merencanakan sesuatu yang lebih kejam.---Di bawah jembatan, malam hari…Langit menggantung kelam tanpa bintang. Hanya suara angin yang merayap di antara tiang-tiang beton dan bayangan malam yang menyelimuti. Di kejauhan, langkah kaki Adrian menggema pelan. Setiap lang
Adrian dan Laurent saling berpandangan, tatapan mereka kosong namun penuh makna. Di antara keheningan yang menyelimuti ruang kerja itu, keduanya masih mencoba mencerna kenyataan: beberapa menit lalu, telepon dari penculik Dante akhirnya masuk.Suaranya parau, penuh tekanan dan tanpa belas kasihan.“Jika ingin anakmu selamat, sebaiknya jangan libatkan kepolisian.”Ancaman itu menusuk tajam ke telinga Adrian. Rahangnya mengeras, ekspresi wajahnya menegang seketika. Hanya satu kata yang keluar dari mulutnya, datar tapi penuh ketegasan.“Baiklah.”Setelah panggilan berakhir, ruangan kembali sunyi. Hanya suara detak jam dinding yang terdengar samar. Laurent memandang Adrian, matanya bergetar.“Kau yakin ingin memberikan uang tebusan itu?” tanyanya pelan, hampir seperti bisikan.Adrian mengangguk mantap tanpa menoleh. “Tak ada pilihan lain.”“Tapi bagaimana kalau mereka berbohong? Kau tahu sendiri, penculik tak akan semudah itu menyerahkan tawanan. Bagaimana kalau... mereka tak pernah bern
Pagi itu langit tampak muram, seolah ikut menyesap kegelisahan yang melingkupi rumah keluarga Vaughn. Di ruang makan yang dipenuhi aroma kopi hangat dan roti panggang yang tak tersentuh, suasana justru terasa dingin. Televisi di sudut ruangan menyala tanpa suara, menayangkan berita tentang penculikan Dante yang telah menyebar luas ke berbagai media.Laurent duduk di ujung meja dengan tubuh sedikit membungkuk, satu tangannya memijat pelipisnya yang terasa berat sejak tadi malam. Di hadapannya, tablet yang memuat berita-berita daring dan komentar netizen berseliweran tanpa ampun. Adrian duduk di seberangnya, masih mengenakan kaus putih dan celana tidur, wajahnya tampak lelah meski baru saja melewati malam yang panjang.“Konferensi pers belum bisa dilakukan,” gumam Laurent pelan, menahan nada frustasi di ujung lidahnya, “tapi netizen sudah berkomentar sesuka mereka... seolah mereka tahu segalanya.”Adrian menghela napas panjang, lalu meletakkan cangkir kopinya ke meja. “Aku sudah mel
Begitu pintu rumah terbuka, Laurent disambut oleh suara langkah kecil yang berlarian cepat di lantai marmer. Dante, dengan piyamanya yang sedikit kebesaran dan boneka kecil di tangan, berlari memeluk pinggang Laurent erat-erat.Anak itu tersenyum lebar, seolah melupakan semua luka masa lalunya. Namun hati Laurent tetap mengeras sejenak. Anak lima tahun itu seharusnya sudah bisa memanggilnya “Mama” jauh sebelum Alicia datang dan menyusup ke dalam rumah mereka dengan menyamar sebagai pengasuh. Sebelum semuanya berubah.Laurent membungkuk, membelai rambut lembut Dante dengan perlahan, menahan genangan air mata yang hampir tumpah.Tak lama kemudian, langkah kaki berat terdengar di ambang pintu. Adrian masuk dengan ekspresi serius di wajahnya.“Kita akan adakan konferensi pers,” ucapnya mantap. “Kita harus luruskan semuanya, Laurent. Publik berhak tahu—kalau kondisi Dante seperti ini karena ulah Alicia. Semua karena balas dendamnya padamu.”Laurent mengangguk pelan. Ia berdiri, menatap ke
Beberapa minggu setelah persidangan, udara pagi masih terasa lembab ketika Lauren dan Adrian membawa Dante ke klinik psikiatri anak di pusat kota. Gedung itu tenang dan nyaman, dindingnya dipenuhi lukisan warna-warni yang menenangkan, namun kecemasan tetap menggantung di benak Lauren.Dante duduk di pangkuannya saat mereka menunggu giliran. Anak itu sudah mulai bisa tersenyum, meski kadang-kadang masih terlihat seperti memaksa. Tapi bagi Lauren, itu adalah kemajuan besar. Setidaknya Dante tak lagi hanya menatap kosong seperti dulu.Ketika mereka akhirnya duduk di ruangan psikiater, seorang wanita paruh baya bernama Dr. Selina, suasana berubah menjadi lebih serius. Dokter itu membuka berkas, lalu menatap Lauren dan Adrian dengan lembut, namun penuh kehati-hatian.“Dante mengalami trauma berat,” ucapnya perlahan. “Selama berada dalam pengasuhan terdakwa, ia tidak hanya diberikan obat penenang dalam dosis yang tidak sesuai, tapi juga mengalami proses manipulasi mental yang cukup parah.