Home / Romansa / Pengantin Buruk Rupa yang Kembali / Bab 3: Lelaki Misterius

Share

Bab 3: Lelaki Misterius

Author: Intan SR
last update Last Updated: 2025-03-10 17:21:03

Saat ini...

Elara membuka matanya perlahan, kelopak matanya terasa berat seolah dunia baru saja kembali padanya setelah lama tenggelam dalam kegelapan.

Cahaya putih dari lampu rumah sakit menusuk pandangannya, membuatnya mengerjap beberapa kali untuk menyesuaikan diri. Ruangan itu sunyi, hanya terdengar suara alat medis yang berdenting pelan di sekitarnya.

Seorang perawat berdiri di sisi ranjangnya, tampak terkejut begitu melihatnya sadar. Tanpa banyak bicara, perawat itu segera berbalik dan keluar dari ruangan, kemungkinan untuk memberi tahu dokter.

Tak lama kemudian, seorang dokter masuk, wajahnya tenang tapi profesional, dengan clipboard di tangannya. Ia memeriksa Elara, memastikan kondisinya stabil sebelum akhirnya berbicara.

“Kondisi Anda sudah cukup stabil sekarang,” katanya lembut, menatapnya dengan tatapan menenangkan.

Elara menelan ludah, suaranya terasa serak ketika ia akhirnya bertanya, “Maaf… apa yang sebenarnya terjadi pada saya?”

Dokter itu meletakkan clipboard-nya dan menatapnya dengan penuh pertimbangan. “Anda mengalami kecelakaan dan sudah dirawat di rumah sakit selama tiga minggu.”

Ingatan akan kecelakaan itu tiba-tiba menyeruak dalam benaknya. Dentuman keras, tubuhnya terhempas, rasa sakit yang luar biasa—semuanya kembali begitu jelas. Napasnya tercekat, tapi ia memaksakan diri untuk tetap tenang.

Namun, ada hal lain yang lebih mendesak. Sesuatu yang sejak tadi mengganggu pikirannya.

“Apakah…” suaranya bergetar, “…suami saya datang mengunjungi saya?”

Hening sejenak. Dokter itu menoleh ke perawat, seolah memberikan kesempatan padanya untuk menjawab. Perawat itu tampak ragu sebelum akhirnya bersuara.

“Apakah nama suami Anda Damian Everstone?” tanyanya hati-hati.

Elara mengangguk lemah. “Ya… dia suamiku.”

Perawat itu menatapnya dengan ekspresi yang sulit diterjemahkan sebelum akhirnya menghela napas pelan. “Suami Anda datang ke rumah sakit saat kecelakaan terjadi. Dia menandatangani berkas persetujuan operasi… tapi setelah itu, dia tak pernah datang lagi.”

Seketika itu juga, seluruh dunianya terasa runtuh.

Napas Elara tercekat di tenggorokannya, dan sesuatu di dalam dadanya mencengkeram erat, menimbulkan rasa sakit yang jauh lebih tajam dari luka di tubuhnya. Ia ingin percaya bahwa ia salah dengar. Bahwa Damian hanya sibuk atau mungkin tak bisa datang karena keadaan. Tapi tiga minggu… TIGA MINGGU… dan dia tak pernah kembali?

Ia memejamkan mata sejenak, berusaha menelan kenyataan pahit itu. Dadanya terasa sesak, seakan udara di ruangan ini menghilang begitu saja.

Bukankah seharusnya suaminya ada di sisinya? Bukankah seharusnya Damian khawatir, menunggu di samping ranjangnya, menggenggam tangannya seperti yang selalu ia bayangkan selama ini?

Namun, nyatanya, ia dibiarkan sendiri.

Elara merasakan matanya mulai panas, tapi ia menolak untuk menangis. Tidak sekarang. Tidak di hadapan orang lain.

Dokter berdeham pelan, mencoba mencairkan ketegangan yang tiba-tiba memenuhi ruangan. “Lalu… siapa pria yang sering berkunjung ke sini?” tanyanya sambil menatap perawat.

Perawat itu tampak berpikir sejenak sebelum menjawab, “Beliau adalah direktur dari rumah sakit lain. Beliau sering datang… Apa Anda mengenalnya, Nyonya?”

Elara mengerutkan kening samar, kebingungan bercampur kelelahan. Ia menggeleng pelan. “Saya tidak punya teman seorang direktur rumah sakit.”

Suaranya nyaris tak terdengar, dipenuhi kebingungan dan kelelahan. Rasa sakit di tubuhnya mungkin perlahan berkurang, tapi rasa sakit di hatinya justru semakin tajam, menusuk hingga ke dasar jiwanya.

Suaminya meninggalkannya.

Dan entah kenapa, justru orang asing yang selalu datang.

**

Malam itu, akhirnya Damian datang.

Namun, ia tidak datang sendiri.

Elara menegang di tempatnya ketika melihat seorang wanita berjalan di samping suaminya—Alicia. Perempuan itu tersenyum licik, jemarinya dengan sengaja mengelus perutnya yang masih rata, seolah ingin pamer dan mengingatkan Elara akan sesuatu yang menyakitkan.

Ia sedang mengandung anak Damian.

Elara menatap mereka dalam diam, tubuhnya terasa membeku. Tiga minggu terbaring di rumah sakit, dan kini, setelah akhirnya sadar, suaminya datang membawa wanita lain?

“Wah, ada apa dengan wajahmu, Elara?” suara Alicia terdengar penuh kepura-puraan, sarat dengan ejekan halus. Ia merogoh tasnya, mengeluarkan sebuah cermin kecil, lalu menatapnya dengan tatapan mengasihani yang dibuat-buat.

Damian tidak mengatakan apa pun, tapi sorot matanya berbicara lebih dari cukup. Jijik. Sinis.

Seolah Elara tak lebih dari sampah yang tak layak dipandang.

Elara menelan ludah, tenggorokannya terasa kering.

“Kamu belum tahu?” Alicia berdecak kecil sebelum menyodorkan cermin itu ke tangannya.

Elara ragu-ragu menerimanya. Jemarinya sedikit gemetar saat ia mengangkat cermin itu, menatap refleksi dirinya sendiri untuk pertama kalinya sejak kecelakaan.

Napasnya tercekat.

Wajahnya… berubah.

Bekas luka bakar akibat kecelakaan itu mencemari kulitnya, menghapus kecantikan yang dulu sering dipuji banyak orang. Wajah yang dulu ia kenal kini tampak asing—menyeramkan, penuh bekas luka yang tak rata.

Bagaimana bisa ini terjadi?

Dadanya terasa sesak. Ada dorongan kuat untuk melempar cermin itu jauh-jauh, seolah dengan begitu ia bisa mengusir kenyataan yang terpampang di hadapannya. Tapi ia tetap diam, terlalu terkejut, terlalu hancur untuk bereaksi.

Damian mendengus pelan, lalu bersandar santai di sisi ranjang, menatapnya seolah ia adalah sesuatu yang menjijikkan.

“Aku semakin yakin untuk tidak melanjutkan pernikahan ini, Elara,” katanya dingin. “Dulu, setidaknya kamu masih bisa kupamerkan. Tapi sekarang?” Ia tertawa kecil, sarkastik. “Bahkan wajahmu lebih buruk dari monster.”

Terlalu kejam.

Elara tidak bisa berkata apa-apa. Tenggorokannya terasa tercekat, matanya panas, tapi air matanya enggan jatuh.

“Kasihan sekali,” Alicia menimpali dengan nada manis yang dibuat-buat. “Seharusnya kamu lebih berhati-hati saat menyetir. Kenapa kamu begitu ceroboh, Elara?” Ia mengedikkan bahu, lalu tanpa malu-malu menggamit lengan Damian, seolah ingin menunjukkan betapa eratnya hubungan mereka.

Elara masih tidak bisa bersuara. Ia hanya duduk di sana, masih terjebak dalam keterkejutan yang belum sepenuhnya hilang.

Damian menghela napas seolah lelah berlama-lama di tempat ini. “Aku akan menyiapkan surat cerai untukmu,” katanya tanpa basa-basi. “Aku tak peduli dengan omong kosong soal keberuntungan itu. Lihat dirimu sekarang—bahkan kamu sendiri terkena sial.”

Ia menatapnya dengan tatapan puas, seolah menikmati penderitaannya.

“Kamu bisa membayar utang keluargamu dengan cara lain,” tambahnya tanpa perasaan.

“Sayang,” Alicia mencubit lengan Damian manja. “Sebaiknya kita pergi. Aku tidak mau aku dan anak kita terkena sial karena terlalu lama di sini.”

**

Usai kepergian Damian, Elara masih terdiam di atas ranjangnya. Dadanya naik turun tak beraturan, seakan tubuhnya menolak kenyataan yang baru saja terjadi. Jemarinya yang masih menggenggam cermin kecil itu terasa kaku.

Rasa sakit di hatinya semakin menguat, seperti ombak ganas yang terus menghantam tanpa henti.

Tanpa berpikir panjang, ia mengangkat cermin itu dan melemparkannya dengan sekuat tenaga ke arah pintu. Suara kaca pecah bergema di seluruh ruangan, serpihannya berhamburan di lantai.

Tepat pada saat itu, pintu kamar terbuka.

Seorang pria berdiri di ambang pintu, matanya sedikit melebar karena terkejut.

Elara juga sama terkejutnya.

"Anda siapa?" tanyanya, suaranya masih serak karena emosi yang belum mereda.

Lelaki itu tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap Elara, seolah sedang memastikan sesuatu.

"Akhirnya kau sadar," ucapnya hampir bersamaan dengan pertanyaan Elara.

Pria itu kemudian melangkah masuk, mendekatinya dengan tenang. Ada aura otoritas yang begitu kentara dalam gerak-geriknya, membuat Elara sadar bahwa lelaki ini bukan orang sembarangan.

Ia terlihat berusia sekitar tiga puluh tahun, dengan rahang tegas dan mata tajam yang memancarkan sorot penuh keyakinan. Pakaian yang dikenakannya berkelas—setelan mahal yang terlihat pas di tubuh tegapnya.

Elara menelan ludah.

Ia merasa seharusnya mengenal pria ini, tapi ingatannya masih berantakan.

"Aku Adrian Vaughn," kata pria itu akhirnya, suaranya dalam dan berwibawa.

Adrian Vaughn?

Nama itu terdengar samar di telinganya.

"Apa kau lupa padaku?" tanyanya, ekspresinya tetap tenang, tapi ada sedikit perubahan dalam matanya—seperti menyimpan sesuatu yang lebih dalam.

Elara terdiam, mencoba menggali ingatannya yang berantakan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pengantin Buruk Rupa yang Kembali   bab 90 - Kembali Pulang

    Adrian berdiri terpaku di ambang pintu kamar sempit itu. Bau apek alkohol, asap rokok, dan tubuh yang terlalu lama terbaring tanpa perawatan membuat udara begitu menyesakkan. Jantungnya seperti berhenti berdetak. Tubuh kecil yang tergeletak di atas kasur reyot itu begitu pucat, begitu sunyi… terlalu sunyi. Mata Dante tertutup, bibirnya membiru, dan tubuhnya tampak kaku.“Dante…” bisik Adrian, nyaris tanpa suara.Langkahnya terhuyung mendekat. Ia jatuh berlutut di sisi tempat tidur yang ringkih, tangannya gemetar saat menyentuh wajah bocah itu. Dingin. Tak ada respons. Air matanya mulai menggenang tanpa ia sadari. Napasnya tercekat di tenggorokan.“Dia… dia sudah…” ucap Adrian, suaranya pecah.Namun sebelum duka itu benar-benar melumpuhkannya, salah satu anak buahnya—seorang pria bernama Richie—berjongkok cepat di sisi Adrian. Ia mengambil denyut nadi di pergelangan tangan Dante dengan teliti, lalu menyentuh leher anak itu dengan jari terlatih.“Tuan… tunggu sebentar,” ucap Richie p

  • Pengantin Buruk Rupa yang Kembali   Bab 89 - Alat untuk Balas Dendam itu Telah Pergi

    Adrian menerima telepon dengan tangan gemetar. Suara berat dari seberang terdengar jelas, dingin dan tanpa rasa."Kami akan serahkan anakmu di bawah jembatan layang. Pastikan kau datang sendiri."Adrian mengepalkan tangan. "Baiklah. Aku akan ke sana."Namun, hatinya terasa tak tenang. Firasatnya begitu buruk. Sejak tadi, pikirannya berkecamuk tak henti. Sesuatu terasa janggal. Terlalu mudah. Terlalu cepat. Tapi dia tak bisa menunggu lagi. Dante adalah prioritasnya.Tanpa membuang waktu, ia bergegas menuju lokasi yang disebutkan. Di dalam mobil, bersama dua orang kepercayaannya, ia menyusun rencana. Mereka akan berpencar, mengelilingi area. Mengantisipasi segala kemungkinan, termasuk jika para penculik berbohong atau merencanakan sesuatu yang lebih kejam.---Di bawah jembatan, malam hari…Langit menggantung kelam tanpa bintang. Hanya suara angin yang merayap di antara tiang-tiang beton dan bayangan malam yang menyelimuti. Di kejauhan, langkah kaki Adrian menggema pelan. Setiap lang

  • Pengantin Buruk Rupa yang Kembali   Bab 88 - Kondisi Makin Buruk

    Adrian dan Laurent saling berpandangan, tatapan mereka kosong namun penuh makna. Di antara keheningan yang menyelimuti ruang kerja itu, keduanya masih mencoba mencerna kenyataan: beberapa menit lalu, telepon dari penculik Dante akhirnya masuk.Suaranya parau, penuh tekanan dan tanpa belas kasihan.“Jika ingin anakmu selamat, sebaiknya jangan libatkan kepolisian.”Ancaman itu menusuk tajam ke telinga Adrian. Rahangnya mengeras, ekspresi wajahnya menegang seketika. Hanya satu kata yang keluar dari mulutnya, datar tapi penuh ketegasan.“Baiklah.”Setelah panggilan berakhir, ruangan kembali sunyi. Hanya suara detak jam dinding yang terdengar samar. Laurent memandang Adrian, matanya bergetar.“Kau yakin ingin memberikan uang tebusan itu?” tanyanya pelan, hampir seperti bisikan.Adrian mengangguk mantap tanpa menoleh. “Tak ada pilihan lain.”“Tapi bagaimana kalau mereka berbohong? Kau tahu sendiri, penculik tak akan semudah itu menyerahkan tawanan. Bagaimana kalau... mereka tak pernah bern

  • Pengantin Buruk Rupa yang Kembali   Bab 87 - Nasib Dante

    Pagi itu langit tampak muram, seolah ikut menyesap kegelisahan yang melingkupi rumah keluarga Vaughn. Di ruang makan yang dipenuhi aroma kopi hangat dan roti panggang yang tak tersentuh, suasana justru terasa dingin. Televisi di sudut ruangan menyala tanpa suara, menayangkan berita tentang penculikan Dante yang telah menyebar luas ke berbagai media.Laurent duduk di ujung meja dengan tubuh sedikit membungkuk, satu tangannya memijat pelipisnya yang terasa berat sejak tadi malam. Di hadapannya, tablet yang memuat berita-berita daring dan komentar netizen berseliweran tanpa ampun. Adrian duduk di seberangnya, masih mengenakan kaus putih dan celana tidur, wajahnya tampak lelah meski baru saja melewati malam yang panjang.“Konferensi pers belum bisa dilakukan,” gumam Laurent pelan, menahan nada frustasi di ujung lidahnya, “tapi netizen sudah berkomentar sesuka mereka... seolah mereka tahu segalanya.”Adrian menghela napas panjang, lalu meletakkan cangkir kopinya ke meja. “Aku sudah mel

  • Pengantin Buruk Rupa yang Kembali   Bab 86. Tiket Kebebasan

    Begitu pintu rumah terbuka, Laurent disambut oleh suara langkah kecil yang berlarian cepat di lantai marmer. Dante, dengan piyamanya yang sedikit kebesaran dan boneka kecil di tangan, berlari memeluk pinggang Laurent erat-erat.Anak itu tersenyum lebar, seolah melupakan semua luka masa lalunya. Namun hati Laurent tetap mengeras sejenak. Anak lima tahun itu seharusnya sudah bisa memanggilnya “Mama” jauh sebelum Alicia datang dan menyusup ke dalam rumah mereka dengan menyamar sebagai pengasuh. Sebelum semuanya berubah.Laurent membungkuk, membelai rambut lembut Dante dengan perlahan, menahan genangan air mata yang hampir tumpah.Tak lama kemudian, langkah kaki berat terdengar di ambang pintu. Adrian masuk dengan ekspresi serius di wajahnya.“Kita akan adakan konferensi pers,” ucapnya mantap. “Kita harus luruskan semuanya, Laurent. Publik berhak tahu—kalau kondisi Dante seperti ini karena ulah Alicia. Semua karena balas dendamnya padamu.”Laurent mengangguk pelan. Ia berdiri, menatap ke

  • Pengantin Buruk Rupa yang Kembali   Bab 85. Semua akan Dapat Balasan

    Beberapa minggu setelah persidangan, udara pagi masih terasa lembab ketika Lauren dan Adrian membawa Dante ke klinik psikiatri anak di pusat kota. Gedung itu tenang dan nyaman, dindingnya dipenuhi lukisan warna-warni yang menenangkan, namun kecemasan tetap menggantung di benak Lauren.Dante duduk di pangkuannya saat mereka menunggu giliran. Anak itu sudah mulai bisa tersenyum, meski kadang-kadang masih terlihat seperti memaksa. Tapi bagi Lauren, itu adalah kemajuan besar. Setidaknya Dante tak lagi hanya menatap kosong seperti dulu.Ketika mereka akhirnya duduk di ruangan psikiater, seorang wanita paruh baya bernama Dr. Selina, suasana berubah menjadi lebih serius. Dokter itu membuka berkas, lalu menatap Lauren dan Adrian dengan lembut, namun penuh kehati-hatian.“Dante mengalami trauma berat,” ucapnya perlahan. “Selama berada dalam pengasuhan terdakwa, ia tidak hanya diberikan obat penenang dalam dosis yang tidak sesuai, tapi juga mengalami proses manipulasi mental yang cukup parah.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status