Share

Ratu Drama

Adoooh, malu, Bestieee. Udah dari tadi tampil cantik, anggunli, dan berkarakter. Malah jatuh gara-gara rok sama baju ketat luar biasa ini gak mau diajak kerja sama. Salah sendiri, kok, mau disuruh pakai baju ketat.

Bukan maunya aku, wei. Soale ini, kan, size-nya si nenek lampir yang buat aku tersiksa jadi istri orang. Kayaknya badan orangnya setipis triplek. Makanya ketat banget di badan aku yang bohay kayak gentong pinguin.

Mana nggak ada yang mau nolongin aku. Semuanya ketawa, termasuk Mas Jimmi(n). Awas, kamu, ya, Mas, tak uyel-uyel palamu pakai jurus petir ala Boboiboy. Terus aku terpaksa jalan anggunli lagi ke atas panggung.

Pesta selesai. Tinggal kami pihak keluarga yang ada belakang gedung. Aku buru-buru ganti baju super mini ini. Nyiksa, beud, kentutku ketahan dari tadi. Mau dilepas juga malu bukan main di depan orang.

“Can, Nak. Mama, Papa, sama masmu yang lain, pulang duluan, ya,” kata mamaku.

Eh, jangan, donk, jangan tinggalin anakmu, Maaaa.

“Mah, terus, Can gimana?”

“Lah, kamu, kan udah jadi istri orang, Nak. Tanggung jawab kamu udah sama Mas Jimmi sekarang.” Mama ngomong gitu pas banget Tante Dian datang.

“Iya, Nduk, tinggal sama Tante dulu sebentar, ya. Nanti baru pindah ke rumah Mas Jimmi. Itu kado-kado udah dipindahin ke mobil. Nah, nanti kamu sama Mas Jimmi buka kadonya. Urusan malam pertama kalau nggak capek ya, gas, aja, Can.”

Hah, groook, malam pertama terus, sih, yang dibahas sama dua mamaku ini.

Letih, aing, astaghfirullah. Udah capek disuruh sandiwara dari tadi. Masih harus mikirin malam pertama lagi? Aku pastikan tidak akan ada hal seperti itu. Dicium kening aja aku udah kayak cacing kepanasan. Apalagi kalau cium … tiiiiin, sensor, anak kecil lewat.

“Tapi baju-baju, Can, gimana, Ma? Masak Can pakai daster?”

“Itu gampang, nanti Mama suruh Mas Hilmi antar ke rumah Tante Dian, ya. Tinggal sat set sat set, selesai. Dadah anak bungsu Mama yang udah nikah. Mudah-mudahan cepet dapat cucu.” Ya ampun cucu lagi yang dibahas.

“Aamiiiin.” Kompakan keluarga dari dua belah pihak mendoakan.

Aduh, gawat ini, aku maunya pernikahan ini cuman sandiwara. Tapi kalau lihat reaksi kedua belah pihak. Kok, kayak bahagia dan mendoakan banget aku sama Mas Jimmi jadi beneran. Jadian dalam versi halal. Mimpi, apa, sih, aku tadi malam?

“Can, kita pulang, yuk. Satu mobil.” Mas Jimmi(n) muncul selesai mamaku pergi. Dia sudah ganti baju pakai celana jeans dan kaus berkerah. Rapi, ganteng, tapi galak, Bestiee.

“Ya, tunggu bentar, Mas. Eh, gado-gado tadi masih ada sisa, nggak?” Suer aku nggak sempat rasain makanan itu tadi. Sate Padang cuman dapat kuahnya doank.

“Habis. Nanti bisa dibuat di rumah. Ya udah, Mas, tungguin di luar.” Dia biasa aja ngelihatin aku. Begitu pun denganku.

Karena apa, ya? Mungkin udah kenal dari dulu. Jadi nggak ada rasa penasaran lagi. Iya kalau kenal doank. Ini saling membulli satu sama lain. Mas bilang aku ketus. Aku bilang Mas galak. Anehnya kami jadi sepasang pengantin di pelaminan. Harusnya aku jadi tamu. Sekali lagi jadi tamu. Tahu gini, aku nggak datang ke acara nikahan!

***

“Tuh, Nak, mobil Mas Jimmi. Kamu naik ke sana, ya.” Hari sudah gelap waktu Tante Dian—yang sekarang sudah jadi mama mertuaku menyuruhku masuk ke mobil. Jujur hari ini memang sangat luar biasa dalam hidupku.

“Nggak bisa sama Tante aja?” Serius, aku takut satu mobil sama Mas Jimmi. Takut dilempar panci sama dia.

“Lah, kenapa? Mas Jimmi nggak galak, kok, Nduk. Dia itu emang suaranya tegas gitu dari dulu. Udah, nggak apa-apa. Nanti kalau mamasmu galak bilang sama Tante, ya. Eh, jangan panggil Tante lagi, donk, harusnya, yah. Panggil apa, Can?” tanya Tante Dian kayak anak TK.

“Panggil Mama,” jawabku sambil bergaya dua tangan mekar di dagu ala-ala girl band korea.

Akhirnya di sinilah aku, Ukhti, Bestie, Kunti sekalian. Satu mobil sama Mas Jimmi. Di kursi bagian penumpang ada beberapa kado yang masih terbungkus rapi. Kami cuman diem. Nggak tahu sampai kapan. Mungkin sampai monyet nikah sama kambing dan lahirlah buaya warna warni.

Tanya, nggak, ya, kenapa si nenek lampir ninggalin Mas Jimmi. Ditanya segan. Nggak ditanya penisirin. Sesekali aku melirik dia dari kaca spion. Yang ternyata dia juga melirik aku. Sampai kapan kami lirik-lirikan? Sampai Upin Ipin tumbuh rambut lebat kayak iklan sampho di televisi.

“Aku … jadi duta shampo lain, ahahahahha.” Refleks aku ngomong gitu. Gak sengaja, suer. Sampai Mas Jimmi kedip-kedip matanya. Mungkin dia juga nyesel kali, ya. Kenapa harus seorang Cantika Ayu Jelitta yang jadi istrinya.

Ya terus ente ngarep siapa, Mas? Lisa Black Pink? Atau Ji Soo. Mimpi kali yeee.

“Kamu masih laper?” Si Mamas akhirnya bicara juga. Jarak dari rumah dia ke gedung nikah lumayan jauh, sih. Sekitar 45 menit kalau bawa mobilnya kayak kura-kura. Beda cerita kalau aku yang bawa. Aku jamin nggak akan pernah sampai ke rumah. Karena apa? Karena aku nggak bisa nyetir, please.

“Masih, Mas. Mana kenyang makan angin.”

“Mau makan pecel lele, nggak? Kalau mau buat gado-gado bisa. Cuma Mas lagi capek banget mau masuk ke supermarket beli bahannya.” Eh, mana galaknya Mas Jimmi(n). Kok jadi lemah lembut baik hati meleleh kayak es crem gini, ya? Kesambet apa?

“Can,” panggilnya lagi.

Seketika aku menoleh ke arahnya. Kami terpaku sejenak. Adeeh absurd bener. Mending kita berantem, aja, deh, Mas, kayak dulu. Aku tu bingung mau jawab apa.

“Ya, boleh, Mas. Eh, kirain chef itu nggak suka makan makanan pinggiran, loh.”

“Sama aja yang penting enak. Setiap hari masakin buat orang. Untuk diri sendiri sering nggak diperhatikan.” Gitu kata Mas Jimmi(n).

Aduh, apes, beud, nasibmu, Mas. Udahlah nggak keurus. Dapat binik nggak bisa masak pula. Ya, gimana, ya. Terlele dadakan, sih. Coba kasih aba-aba dari tiga bulan lalu. Aku, kan, bisa belajar masak duluan.

Mobil diberhentikan Mas Jimmi(n) di sebuah pecel lele pinggir jalan. Belum terlalu rame yang datang. Kami cari tempat duduk di dalam tenda. Ada menu bakar, goreng, ada juga soto lamongan. Aku ikut aja. Aku nggak ada pantangan makan.

Sebagai pasangan suami istri baru menetas. Sambil menunggu pesanan datang, kami nggak saling tukar cerita. Malah sibuk main hape sendiri-sendiri. Aku melihat konten yang terakhir aku upload siang tadi. Widiiiih panen kolom komentar dari para buaya. Katanya, hancur sudah harapannya karena si cantik jadi milik si pemberani.

Si cantik? Maksudnya aku gitu? Ihh ya ampuun, kembang lubang hidungku baca komennya. Eh, eh, terus si pemberani Mas Jimmi(n) gitu. Bukan berani, sih. Ini namanya modal nekat.

Iya, sih, kami kenal dari kecil. Tapi, kan, luarnya aja? Cara tahu bagian dalam Mas Jimmi(n) gimana, ya? Apakah aku harus membuka seluruh bajunya. Duh, Gusti Allah, pikiranku mulai berkelana.

“Kenapa, Can?” tanya Mas Jimmi(n), mungkin dia lihat aku ketawa sendirian.

“Nggak ada, Mas, nungguin lele bakarnya, kok, lama banget.” Aku terpaksa berbohong. Dari pada si Mamas tahu isi pikiranku yang random gini.

“Sabar. Chef, tukang masak, ibu rumah tangga yang ngurus dapur, itu kadang capek luar biasa.”

“Injih, Mas.”

Nah, akhirnya pesanan kami datang. Tercium aroma nasi uduk yang menggoda selera. Aku cicip dikit. Wow, Gusti Allah, enak bener rasanya bikin merem melek. Tolong jangan mikir yang nggak-nggak, ya.

Kami fokus makan sendiri-sendiri, karena saking laparnya. Aku mencubit daging lele bakar itu. Heem, orang-orang bisa masak enak ini tangannya terbuat dari apa ya?

Dari arah kejauhan aku melihat perempuan pakai baju merah. Nggak terlalu kenal. So, aku cuek aja. Tapi tiba-tiba dia lempar dompetnya ke atas meja makan kami. Si Mamas melihat ke arah perempuan itu dan langsung narik napas panjang.

“Jim, kamu lebih milih nikah sama anak bebek ini, daripada menuhin mahar yang aku minta?”

Eh, eh, bentar. Dia bilang aku anak bebek? Dia nggak tahu apa aku megang sabuk hitam taekwondo ya? Huuh sepak mulutmu baru tahu.

“Pergi dari sini!” jawab Mas Jimmi(n).

Kapok! Rasain! Diusir. Sampai sini aku paham, pasti perempuan ini namanya Kayla jedar, jeder, jedur.

“Jim. Please, udah lima tahun kita pacaran. Segampang itu kamu baca ijab qabul sama anak bebek ini.”

Woooi, enak aja mulutnya. Didiemin ngelunjak lama-lama. Aku ambil timun sama daun kemangi. Aku colekin sambel terasi banyak-banyak. Pas dia buka mulut, haaap, aku suapin dah tu ke mulutnya. Pedes mampuslah. Rasain! Resek amat jadi orang.

“Jim. Lihat, dia nggak punya manner sama sekali, tahu.”

“Kay, pergi dari sini. Saya sudah jadi suami orang,” ucap Mas Jimmin(n).

“Jangan jadi pelakor wei, tak jahit mulutmu nanti baru tahu.” Aku nggak mau diem aja, donk.

“Nggak bisa gini, Jim. Kamu nggak bisa mencampakkan aku gini aja, donk.”

Aku lihat mata nenek lampir ini mulai berkaca-kaca. Sokor-sokor entar lagi pecah. Kok, malah dia yang playing victim, ya?

“Saya sudah sampai batas sabar, Kay. Hubungan kita sudah berakhir. Anggap aja di antara kita sudah selesai. Karena memang saya nggak akan pernah jadi suami kamu.”

“Saya, kamu ngomong saya sama aku, Jim. Kamu berubah, ya dalam setengah hari ini. Gara-gara anak bebek ini? Luar biasa sekali pengaruhnya. Apa, sih, bagusnya dia? Cantik juga nggak. Makan nggak kira-kira. Sampai tulang juga mau dimasukin ke mulut.” Kayla memandangku yang sedang membersihkan tulang ikan lele. Enak, loh, cobain, deh, sendiri.

Kamu bikin aku kesel, Kayla! Aku ambil kepala lele yag belum aku makan. Aku masukin kobokan terus masukin lagi dalam mulutnya. Telanlah situ. Kelihatan muka dia jutek.

Lah. Ini gimana, konsepnya, ya? Kan, dia, yang batalin nikah. Kok, malah dia yang sedih.

“Kita pulang.” Mas Jimmi(n) mencuci tangan. Otomatis aku ikut, mana lalapan masih banyak lagi.

Mamas meletakkan selembar uang seratus ribuan di meja. Dih, itu masih ada baliknya loh.

“Yok.” Mas Jimmi(n) memegang tanganku.

“Bentar, Mas. Sayang ditinggal.” Tangan kananku mengambil tahu dan tempe potongan terakhir. Kami meninggalkan Kayla yang nangis di meja makan. Mungin dia sedih karena nasi uduknya habis.

Bersambung …

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status