Share

Ratu Drama

Penulis: Rosa Rasyidin
last update Terakhir Diperbarui: 2023-08-08 18:39:28

Adoooh, malu, Bestieee. Udah dari tadi tampil cantik, anggunli, dan berkarakter. Malah jatuh gara-gara rok sama baju ketat luar biasa ini gak mau diajak kerja sama. Salah sendiri, kok, mau disuruh pakai baju ketat.

Bukan maunya aku, wei. Soale ini, kan, size-nya si nenek lampir yang buat aku tersiksa jadi istri orang. Kayaknya badan orangnya setipis triplek. Makanya ketat banget di badan aku yang bohay kayak gentong pinguin.

Mana nggak ada yang mau nolongin aku. Semuanya ketawa, termasuk Mas Jimmi(n). Awas, kamu, ya, Mas, tak uyel-uyel palamu pakai jurus petir ala Boboiboy. Terus aku terpaksa jalan anggunli lagi ke atas panggung.

Pesta selesai. Tinggal kami pihak keluarga yang ada belakang gedung. Aku buru-buru ganti baju super mini ini. Nyiksa, beud, kentutku ketahan dari tadi. Mau dilepas juga malu bukan main di depan orang.

“Can, Nak. Mama, Papa, sama masmu yang lain, pulang duluan, ya,” kata mamaku.

Eh, jangan, donk, jangan tinggalin anakmu, Maaaa.

“Mah, terus, Can gimana?”

“Lah, kamu, kan udah jadi istri orang, Nak. Tanggung jawab kamu udah sama Mas Jimmi sekarang.” Mama ngomong gitu pas banget Tante Dian datang.

“Iya, Nduk, tinggal sama Tante dulu sebentar, ya. Nanti baru pindah ke rumah Mas Jimmi. Itu kado-kado udah dipindahin ke mobil. Nah, nanti kamu sama Mas Jimmi buka kadonya. Urusan malam pertama kalau nggak capek ya, gas, aja, Can.”

Hah, groook, malam pertama terus, sih, yang dibahas sama dua mamaku ini.

Letih, aing, astaghfirullah. Udah capek disuruh sandiwara dari tadi. Masih harus mikirin malam pertama lagi? Aku pastikan tidak akan ada hal seperti itu. Dicium kening aja aku udah kayak cacing kepanasan. Apalagi kalau cium … tiiiiin, sensor, anak kecil lewat.

“Tapi baju-baju, Can, gimana, Ma? Masak Can pakai daster?”

“Itu gampang, nanti Mama suruh Mas Hilmi antar ke rumah Tante Dian, ya. Tinggal sat set sat set, selesai. Dadah anak bungsu Mama yang udah nikah. Mudah-mudahan cepet dapat cucu.” Ya ampun cucu lagi yang dibahas.

“Aamiiiin.” Kompakan keluarga dari dua belah pihak mendoakan.

Aduh, gawat ini, aku maunya pernikahan ini cuman sandiwara. Tapi kalau lihat reaksi kedua belah pihak. Kok, kayak bahagia dan mendoakan banget aku sama Mas Jimmi jadi beneran. Jadian dalam versi halal. Mimpi, apa, sih, aku tadi malam?

“Can, kita pulang, yuk. Satu mobil.” Mas Jimmi(n) muncul selesai mamaku pergi. Dia sudah ganti baju pakai celana jeans dan kaus berkerah. Rapi, ganteng, tapi galak, Bestiee.

“Ya, tunggu bentar, Mas. Eh, gado-gado tadi masih ada sisa, nggak?” Suer aku nggak sempat rasain makanan itu tadi. Sate Padang cuman dapat kuahnya doank.

“Habis. Nanti bisa dibuat di rumah. Ya udah, Mas, tungguin di luar.” Dia biasa aja ngelihatin aku. Begitu pun denganku.

Karena apa, ya? Mungkin udah kenal dari dulu. Jadi nggak ada rasa penasaran lagi. Iya kalau kenal doank. Ini saling membulli satu sama lain. Mas bilang aku ketus. Aku bilang Mas galak. Anehnya kami jadi sepasang pengantin di pelaminan. Harusnya aku jadi tamu. Sekali lagi jadi tamu. Tahu gini, aku nggak datang ke acara nikahan!

***

“Tuh, Nak, mobil Mas Jimmi. Kamu naik ke sana, ya.” Hari sudah gelap waktu Tante Dian—yang sekarang sudah jadi mama mertuaku menyuruhku masuk ke mobil. Jujur hari ini memang sangat luar biasa dalam hidupku.

“Nggak bisa sama Tante aja?” Serius, aku takut satu mobil sama Mas Jimmi. Takut dilempar panci sama dia.

“Lah, kenapa? Mas Jimmi nggak galak, kok, Nduk. Dia itu emang suaranya tegas gitu dari dulu. Udah, nggak apa-apa. Nanti kalau mamasmu galak bilang sama Tante, ya. Eh, jangan panggil Tante lagi, donk, harusnya, yah. Panggil apa, Can?” tanya Tante Dian kayak anak TK.

“Panggil Mama,” jawabku sambil bergaya dua tangan mekar di dagu ala-ala girl band korea.

Akhirnya di sinilah aku, Ukhti, Bestie, Kunti sekalian. Satu mobil sama Mas Jimmi. Di kursi bagian penumpang ada beberapa kado yang masih terbungkus rapi. Kami cuman diem. Nggak tahu sampai kapan. Mungkin sampai monyet nikah sama kambing dan lahirlah buaya warna warni.

Tanya, nggak, ya, kenapa si nenek lampir ninggalin Mas Jimmi. Ditanya segan. Nggak ditanya penisirin. Sesekali aku melirik dia dari kaca spion. Yang ternyata dia juga melirik aku. Sampai kapan kami lirik-lirikan? Sampai Upin Ipin tumbuh rambut lebat kayak iklan sampho di televisi.

“Aku … jadi duta shampo lain, ahahahahha.” Refleks aku ngomong gitu. Gak sengaja, suer. Sampai Mas Jimmi kedip-kedip matanya. Mungkin dia juga nyesel kali, ya. Kenapa harus seorang Cantika Ayu Jelitta yang jadi istrinya.

Ya terus ente ngarep siapa, Mas? Lisa Black Pink? Atau Ji Soo. Mimpi kali yeee.

“Kamu masih laper?” Si Mamas akhirnya bicara juga. Jarak dari rumah dia ke gedung nikah lumayan jauh, sih. Sekitar 45 menit kalau bawa mobilnya kayak kura-kura. Beda cerita kalau aku yang bawa. Aku jamin nggak akan pernah sampai ke rumah. Karena apa? Karena aku nggak bisa nyetir, please.

“Masih, Mas. Mana kenyang makan angin.”

“Mau makan pecel lele, nggak? Kalau mau buat gado-gado bisa. Cuma Mas lagi capek banget mau masuk ke supermarket beli bahannya.” Eh, mana galaknya Mas Jimmi(n). Kok jadi lemah lembut baik hati meleleh kayak es crem gini, ya? Kesambet apa?

“Can,” panggilnya lagi.

Seketika aku menoleh ke arahnya. Kami terpaku sejenak. Adeeh absurd bener. Mending kita berantem, aja, deh, Mas, kayak dulu. Aku tu bingung mau jawab apa.

“Ya, boleh, Mas. Eh, kirain chef itu nggak suka makan makanan pinggiran, loh.”

“Sama aja yang penting enak. Setiap hari masakin buat orang. Untuk diri sendiri sering nggak diperhatikan.” Gitu kata Mas Jimmi(n).

Aduh, apes, beud, nasibmu, Mas. Udahlah nggak keurus. Dapat binik nggak bisa masak pula. Ya, gimana, ya. Terlele dadakan, sih. Coba kasih aba-aba dari tiga bulan lalu. Aku, kan, bisa belajar masak duluan.

Mobil diberhentikan Mas Jimmi(n) di sebuah pecel lele pinggir jalan. Belum terlalu rame yang datang. Kami cari tempat duduk di dalam tenda. Ada menu bakar, goreng, ada juga soto lamongan. Aku ikut aja. Aku nggak ada pantangan makan.

Sebagai pasangan suami istri baru menetas. Sambil menunggu pesanan datang, kami nggak saling tukar cerita. Malah sibuk main hape sendiri-sendiri. Aku melihat konten yang terakhir aku upload siang tadi. Widiiiih panen kolom komentar dari para buaya. Katanya, hancur sudah harapannya karena si cantik jadi milik si pemberani.

Si cantik? Maksudnya aku gitu? Ihh ya ampuun, kembang lubang hidungku baca komennya. Eh, eh, terus si pemberani Mas Jimmi(n) gitu. Bukan berani, sih. Ini namanya modal nekat.

Iya, sih, kami kenal dari kecil. Tapi, kan, luarnya aja? Cara tahu bagian dalam Mas Jimmi(n) gimana, ya? Apakah aku harus membuka seluruh bajunya. Duh, Gusti Allah, pikiranku mulai berkelana.

“Kenapa, Can?” tanya Mas Jimmi(n), mungkin dia lihat aku ketawa sendirian.

“Nggak ada, Mas, nungguin lele bakarnya, kok, lama banget.” Aku terpaksa berbohong. Dari pada si Mamas tahu isi pikiranku yang random gini.

“Sabar. Chef, tukang masak, ibu rumah tangga yang ngurus dapur, itu kadang capek luar biasa.”

“Injih, Mas.”

Nah, akhirnya pesanan kami datang. Tercium aroma nasi uduk yang menggoda selera. Aku cicip dikit. Wow, Gusti Allah, enak bener rasanya bikin merem melek. Tolong jangan mikir yang nggak-nggak, ya.

Kami fokus makan sendiri-sendiri, karena saking laparnya. Aku mencubit daging lele bakar itu. Heem, orang-orang bisa masak enak ini tangannya terbuat dari apa ya?

Dari arah kejauhan aku melihat perempuan pakai baju merah. Nggak terlalu kenal. So, aku cuek aja. Tapi tiba-tiba dia lempar dompetnya ke atas meja makan kami. Si Mamas melihat ke arah perempuan itu dan langsung narik napas panjang.

“Jim, kamu lebih milih nikah sama anak bebek ini, daripada menuhin mahar yang aku minta?”

Eh, eh, bentar. Dia bilang aku anak bebek? Dia nggak tahu apa aku megang sabuk hitam taekwondo ya? Huuh sepak mulutmu baru tahu.

“Pergi dari sini!” jawab Mas Jimmi(n).

Kapok! Rasain! Diusir. Sampai sini aku paham, pasti perempuan ini namanya Kayla jedar, jeder, jedur.

“Jim. Please, udah lima tahun kita pacaran. Segampang itu kamu baca ijab qabul sama anak bebek ini.”

Woooi, enak aja mulutnya. Didiemin ngelunjak lama-lama. Aku ambil timun sama daun kemangi. Aku colekin sambel terasi banyak-banyak. Pas dia buka mulut, haaap, aku suapin dah tu ke mulutnya. Pedes mampuslah. Rasain! Resek amat jadi orang.

“Jim. Lihat, dia nggak punya manner sama sekali, tahu.”

“Kay, pergi dari sini. Saya sudah jadi suami orang,” ucap Mas Jimmin(n).

“Jangan jadi pelakor wei, tak jahit mulutmu nanti baru tahu.” Aku nggak mau diem aja, donk.

“Nggak bisa gini, Jim. Kamu nggak bisa mencampakkan aku gini aja, donk.”

Aku lihat mata nenek lampir ini mulai berkaca-kaca. Sokor-sokor entar lagi pecah. Kok, malah dia yang playing victim, ya?

“Saya sudah sampai batas sabar, Kay. Hubungan kita sudah berakhir. Anggap aja di antara kita sudah selesai. Karena memang saya nggak akan pernah jadi suami kamu.”

“Saya, kamu ngomong saya sama aku, Jim. Kamu berubah, ya dalam setengah hari ini. Gara-gara anak bebek ini? Luar biasa sekali pengaruhnya. Apa, sih, bagusnya dia? Cantik juga nggak. Makan nggak kira-kira. Sampai tulang juga mau dimasukin ke mulut.” Kayla memandangku yang sedang membersihkan tulang ikan lele. Enak, loh, cobain, deh, sendiri.

Kamu bikin aku kesel, Kayla! Aku ambil kepala lele yag belum aku makan. Aku masukin kobokan terus masukin lagi dalam mulutnya. Telanlah situ. Kelihatan muka dia jutek.

Lah. Ini gimana, konsepnya, ya? Kan, dia, yang batalin nikah. Kok, malah dia yang sedih.

“Kita pulang.” Mas Jimmi(n) mencuci tangan. Otomatis aku ikut, mana lalapan masih banyak lagi.

Mamas meletakkan selembar uang seratus ribuan di meja. Dih, itu masih ada baliknya loh.

“Yok.” Mas Jimmi(n) memegang tanganku.

“Bentar, Mas. Sayang ditinggal.” Tangan kananku mengambil tahu dan tempe potongan terakhir. Kami meninggalkan Kayla yang nangis di meja makan. Mungin dia sedih karena nasi uduknya habis.

Bersambung …

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Pengantin Dadakan    Bulan Madu

    Beneran ternyata gaes aku udah nikah. Buktinya aku sekarang duduk di pelaminan barengan dia setelah tadi melewati barisan pedang pora. Seragam kami kali ini hijau muda. Jangan dibayangin seperti lontong, pokoknya aku cantik, kata dia gitu. “Kamu cantik, deh, Sayang.” Entah udah keberapa kali buaya di sebelah aku bilang gini. Mual, terlalu manis kata-katanya, heeem.“Makasih, nggak ada uang kecil.” “Nggak perlu bayar pakai uang, cukup pakai—” “Udahlah. Ya Allah, kenapa itu terus dibahas dari tadi.” Hu hu huuu, ketahuan juga sifat asli Bang Ale sejak tadi kami sudah jadi suami istri. Takut sebenernya, tapi nggak mungkin juga minta cere, kan. Nggak lucu deh. “Ya, kan, salah satu tujuan nikah untuk itu, Istriku.” “Hueek!” Mendadak ingin muntah aku tu. “Belum juga diapa-apain udah hamil duluan, tenang aja Abang akan tanggung jawab atas perbuatan kita di atas bukit.” “Hoi, bisa diem, nggak? Makin lama makin ngadi-ngadi isi kepala Abang. Di atas bukit itu dua tahun lalu juga keles. Ka

  • Pengantin Dadakan    Beneran?

    Ya, malam ini aku dandan cantik sekali. Aku nggak kelihatan seperti chef lagi, melainkan seorang putri yang akan menerima lamaran dari seorang pangeran. Setengah jam lagi seharusnya mereka tiba di sini. Setelah segala drama dan begini begitunya, akhirya kami memutuskan untuk menikah. Sempat hampir berantem dan biasalah aku minta udahan aja, tapi akhirnya lanjut lagi. Soalnya pengajuan nikah militer, ampuuu cyiiiiiin, mumet ndasku mikirnya. “Ayo, Nak, semangat, udah cantik itu jangan mandang cermin melulu,” mamaku masih sambil menggedong adekku tersayang. Segala sesuatu telah kami siapkan. Makanan, dekorasi, termasuk pihak keluarga perempuan, kecuali kamera paparazzi. Aku lagi males diliput wartawan sebisa mungkin aku rahasiakan aja dari khalayak ramai.Satu demi satu tamu mulai datang. Suara Bang Ale udah mulai kedengeran. Diandra masuk dan memberikanku segelas kopi hangat racikan tangannya sendiri. Aku minum pakai sedotan biar nggak rusak lipstik. Baru aja aku mau melangkah, eh,

  • Pengantin Dadakan    Persiapan

    Sekilas aku melihat ternyata Iqis ikut juga jadi chef di pertemuan internasional antara negara timur tengah dan Indonesia. Aku kenal dia, tapi dia nggak kenal aku. Hiiih anak itu, es batunya luar biasa. Hampir empat harian di sini, kami nggak sempat saling menyapa. Iqis harus on point di dapur dan aku pada bagian keamanan. Kemeja hitam dan jas putih senantiasa aku kenakan agar terlihat rapi. Sebenarnya letih setelah dari luar negeri tugas lagi, tapi memang mengawal orang penting perlu orang-orang berpengalaman. Ajaibnya lagi aku jumpa sama Abu Lahab. Dia ngaku baru putus sama pacarnya satu, masih ada cadangan dua lagi. Astaghfirullah, buaya arab memang beda. “That girl, my girlfriend,” tunjukku sama Iqis yang lagi jalan membawa nampan berisi makanan. Abu Lahab bilang jamilah jamilah. “May be she is boring with you,” katanya. “No, no.” Aku tegaskan tidak. Jarang jumpa memang iya, tapi bosan kayaknya nggak. Entar aku buktikan. “You don’t look handsome.” Mulut Abu Jahal emang lain.

  • Pengantin Dadakan    Keringat Dingin

    Habis drama kejar-kejaran di bandara, akhirnya aku dan dia berbaikan. Sengaja aku mengajak Bang Ale makan di restaurant tradisional Indonesia milik salah satu rekanku. Tebak apa? Dia makan banyak banget sampai tambah. “Kangen makanan Indonesia, ya?” tanyaku ketika dia tambah nasi. Bang Ale nggak menjawab hanya mengangguk saja. Ada sih, beberapa orang yang melihat kami, tapi ya, bodo amat bukan urusanku juga. “Kalau sama aku kangen, nggak?” Tsaaah, tumben aku nanyain ginian. Hatiku, kenapa kamu tidack bisa diajak kompromi sama sekali. Bang Ale berhenti makan dan menatapku sekilas. Tatapan yang membuatku ingin menyiram minyak panas ke wajahnya. Habis itu dia makan lagi. Dasar, nggak dijawabnya pertanyaan aku. “Petenya enak,” katanya, serah lo deh. “Sama kayak kamu.” Maksudnya apa, ya?“Jadi aku dan pete itu sama?” “Sama, sama-sama bauk.” Santai aja dia ngomong itu, loh, nggak ada rasa bersalah sama sekali. Refleks aku cium ketek, nggak ada bauk sama sekali. Aku udah pakai deodor

  • Pengantin Dadakan    Gadis Terasi

    Aku senang dia udah membaik keadaannya di sana. Ya, meski harus menderita beberapa luka-luka ringan. Ada satu hal yang aku sadari. Aku bukan Iqis yang dulu, ada seseorang di hati, ahaaay. Ya, gimana, ya, namaya manusia bisa jatuh cinta. Aku, kan bukan patung. Hari-hariku LDR sama dia terasa begitu cepat. Aku masih jadi juri, sekaligus influencer yang mengusung nilai-nilai kebaikan dalam setiap makanan. Sloganku jangan biarkan bahan terbuang percuma. Aku diundang memasak di istana negara ketika ada tamu dari timur tengah. Dengan senang hati aku mengerjakan semuanya. Semua rupiahku yang hilang akibat membayar kompensansi tergantikan dalam waktu setahun lebih. Nggak terasa juga lama kami LDR. Dan kalian tahu apa, Bestieh, apa yang aku dapat lagi dalam setahun. Ya, agak gimana ya, umur udah 24 tahun dapat adek bayi lagi. Ewekwekwek, Mama hamil lagi. Katanya iseng, apaan, cobak? Aku sama Diandra berasa jadi mama muda. Adek kami laki-laki, namanya Adam tanpa Smith. Adam Devano Zolla.

  • Pengantin Dadakan    Ikan Asin

    “Bang Ale, sini kamu jangan lari.” Eeh, kenapa tiba-tiba Iqis marah sama aku. Padahal aku cuman bercanda soal udah kawin lagi. Emang, sih, gadis Lebanon cakep, mata biru ada juga yang hijau ada juga yang putih semua, tapi tetap aja dia yang paling memikat hati. “Hiat.” Iqis serius lagi marah dan dia menghantam pundakku sampai jatuh di pasir. Punggungku ditekan pakai siku dia, sangat kuat sampai aku jejeritan. Gusti Allah tolooong, kenapa dia jadi liar seperti peserta MMA yang pakai kutangan sama kolor doank. “Mati kamu, hiiiiat!” Astaghfirullah. Aku bangun terkesiap ketika Iqis hampir duduk di kepalaku. Aku kucek mata dan masih berada di dalam jeep. Otewe ke desa lagi untuk bagi makanan dan membantu evakuasi warga apabila diperlukan. “What’s wrong, ya, akhi?” tanya temenku yang tadi ponselnya aku pinjam buat telpon Iqis. Itu pun pulsanya masih ngutang, nanti pas udah membaik semuanya aku bayar deh. “My girl friend, she comes in my dream, almost kiliing me.” Aku mengusap dadaku

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status