Di hari berikutnya, Ananta sengaja membawa Zanitha keluar berdua sebagai kencan mengingat mereka tidak pernah merasakan pengalaman berkencan.“Kita mau ke mana sih, Ta?” tanya Zanitha yang begitu cantik dibalut gaun malam berwarna emerald, begitu kontras dengan kulitnya yang putih.Perhiasan berlian dengan ukuran sedang tidak berlebihan bertengger di leher telinga juga pergelangan tangan Zanitha.Sedangkan Ananta begitu tampan dibalut stelan jas mahal.“Kita butuh waktu hanya berdua,” bisiknya lembut di telinga Zanitha sembari memeluk dari belakang dan menatap Zanitha melalui pantulan cermin setinggi tiga meter di depan mereka.Zanitha tersenyum lalu mengurai rantai tangan di pinggangnya.“Kalau begitu kita pergi sekarang, sebelum Ares bangun.”Ananta menggenggam tangan Zanitha, menuntunnya ke teras mansion di mana mobil sudah terparkir menunggu mereka.Ananta membawa Zanitha mengunjungi sebuah galeri seni di pusat kota, tempat lukisan-lukisan klasik dan modern berpameran. Zan
Udara sore di mansion keluarga Von Rotchschild berembus lembut melalui jendela-jendela besar, membawa aroma bunga musim semi yang baru mekar.Di lantai atas, di salah satu kamar yang kini resmi menjadi milik Ares, Zanitha sibuk menata ruangan kecil itu dengan penuh perhatian.Tangannya cekatan menggantung lukisan hasil coretan Ares di dinding lalu ia mengatur koleksi mainan di rak rendah agar mudah dijangkau tangan mungil itu.Selimut berwarna biru muda dengan motif pesawat terbang dibentangkannya dengan hati-hati di atas ranjang kecil, setiap lipatan dirapikan seolah itu adalah takhta untuk pangeran kecilnya.“Supaya Ares nyaman,” gumam Zanitha pelan, matanya berbinar dengan kasih sayang.Tanpa ia sadari, Sebastian mengawasinya dari taman rumah Simon saat jalan pagi. Mata lelaki tua itu menyipit, seolah ingin mengerti sesuatu yang selama ini sulit ia terima: ketulusan Zanitha terhadap keluarganya.Namun, Sebastian memilih tidak menampakkan diri. Ia berbalik perlahan, meninggalk
Keesokan harinya, mereka memulai petualangan kecil di sekitar chalet. Ares berlari-lari di padang rumput, mengejar kupu-kupu dan memungut bunga liar untuk ibunya. Ananta dan Zanitha mengawasinya dengan senyum bahagia, meskipun harus terus-menerus mengejar Ares yang tak kenal lelah.Sementara Zanitha duduk di sebuah bangku dari bahan kayu, sesekali ponselnya merekam Ananta dan Ares lalu menangkap momen tersebut.Zanitha membuka sosial media yang sudah lama tidak dia sentuh.Memposting foto Ananta sedang berlari mengejar Ares dan memberi caption. “Duniaku.”Saat makan siang, mereka memutuskan untuk piknik di tepi danau kecil.Di atas selembar kain piknik sederhana yang dibentangkan di atas rerumputan, Zanitha sibuk merapikan bekal: potongan sandwich, pot salad, dan sebotol jus buah segar sementara Ananta membantu Ares membangun perahu kecil dari ranting dan daun. Tawa Ares menggema di udara saat perahu kecilnya mengapung di permukaan air. “Ares, makan siang sudah siap!” panggil Z
Setelah melewati hari-hari yang penuh ketegangan dan intrik keluarga, Ananta memutuskan untuk membawa Zanitha dan Ares berlibur singkat ke pegunungan Alpen Swiss.Mereka memilih sebuah chalet kecil yang terpencil, jauh dari hiruk-pikuk kota, tempat di mana mereka bisa menikmati kebersamaan tanpa gangguan meski tetap dikelilingi kemewahan.Perjalanan dimulai dengan penuh semangat. Ares, dengan mata berbinar, tak henti-hentinya bertanya tentang segala hal yang dilihatnya dari jendela mobil.“Mommy, itu apa?” tanya Ares sambil menunjuk ke arah ladang yang luas.“Itu ladang, sayang. Tempat petani menanam tanaman,” jawab Zanitha sambil tersenyum.“Kenapa tanahnya cokelat?” tanya Ares lagi.“Karena belum ditanami. Nanti kalau sudah ditanami, akan ada warna hijau dari tanaman yang tumbuh,” jelas Ananta sambil melirik ke arah putranya melalui kaca spion. Ares mengangguk-angguk, lalu matanya tertuju pada sekumpulan sapi yang sedang merumput. “Lihat, sapi! Mommy, Daddy, ada sapi!”“Iya
Zanitha tiba di ruang teh yang terletak di sisi barat mansion Rafael. Ruang itu indah, dipenuhi cahaya matahari pagi dan aroma mawar dari taman kaca yang mengelilinginya. Di sana sudah duduk Winna, Seraina, dan Livia. Di atas meja terhidang kue-kue kecil, teh earl grey, dan buah-buahan segar.“Selamat pagi, Zanitha,” sapa Winna sambil tersenyum. “Senang akhirnya kamu bergabung.”“Selamat pagi,” balas Zanitha sopan, lalu duduk di kursi yang disiapkan di sebelah Seraina.“Aku sudah minta pelayan menyajikan teh melati. Kudengar itu favoritmu,” ucap Winna sambil menuangkan teh ke cangkir Zanitha.Zanitha sedikit terkejut, tapi tetap menjaga senyum. “Terima kasih, Winna. Itu perhatian yang tidak terduga.”“Oh, kami semua sudah berubah, Zanitha. Kembalinya kamu ke mansion membuat suasana berbeda. Apalagi setelah Ananta resmi menjadi Chairman, kamu otomatis jadi pusat perhatian,” kata Winna, nadanya halus tapi mengandung ujian tersembunyi.“Dan kamu tahu,” sam
Pagi itu dimulai dengan panggilan tak terduga. Klaus datang menghampiri Ananta yang tengah bersiap turun ke ruang makan.“Tuan Sebastian meminta Anda datang ke ruang kerjanya. Sendirian,” lapor Klaus dengan nada netral dan ekspresi serius.Ananta menarik napas panjang, lalu mengangguk. Ia tahu pertemuan ini tak bisa dihindari. Sudah lama sang kakek diam, mengamati dari balik tirai Mansionnya tanpa sepatah kata pun tentang Zanitha.“Baiklah ….” Ananta menyahut, tapi sebelum dia pergi menemui sang kakek, Ananta harus sarapan dulu agar kuat menghadapi beliau.Zanitha yang sedang menata meja tersenyum pelik menatap Ananta, dia mendengar apa yang disampaikan Klaus tadi.“Sarapan sayang …,” kata Zanitha basa-basi.Ananta mendekat lalu mengecup pelipis Zanitha sembari mengusap punggungnya lembut.“Makasih sayang,” balasnya lalu menghempaskan bokong di kursi makan di ujung meja.“Ares belum bangun?” Zanitha menggelengkan kepala. “Tadi pagi sekali dia terbangun … karena itu sekarang
Aroma roti hangat dari dapur mansion Von Rotchschild menyusup ke sela-sela tirai kamar dan menggoda Ares yang sudah lebih dulu bangun dan kini tengah duduk di meja makan kecilnya sambil mengayunkan kaki.Zanitha duduk di seberang meja, masih mengenakan kaus tidur putih lembut dan cardigan tipis. Rambutnya digelung seadanya, wajahnya polos tanpa riasan. Tapi ada ketenangan baru di matanya— tampak seperti ketenangan yang datang dari keberanian untuk kembali dan bertahan.Ananta menyusul ke ruang makan beberapa menit kemudian, mengenakan kaus hitam dan celana rumah. Ia menatap istri dan putranya dari balik pintu, membiarkan matanya menyapu pemandangan yang dulu hanya ia impikan—Zanitha menyuapi Ares dengan sendok kecil, sambil sesekali tertawa kecil melihat anaknya mengotori bibir dengan selai cokelat.“Pagi sayang,” gumam Ananta sambil berjalan mendekat lalu melabuhkan kecupan di puncak kepala Zanitha.Zanitha mendongak lalu tersenyum. “Selamat pagi, Tuan rumah,” godanya.Ananta me
Malam semakin larut. Setelah semua tamu keluarga berpamitan, Ananta menggandeng Zanitha kembali ke kamar mereka. Kamar itu tampak persis seperti dulu, bahkan gaun malam favorit Zanitha masih tergantung rapi di balik pintu lemari. Hanya saja, kini suasananya terasa lebih hangat.Zanitha berdiri di tengah kamar, memandangi pantulan dirinya di cermin. Tubuhnya sedikit lunglai karena lelah dan emosi, tapi ada aura berbeda—ia terlihat seperti perempuan yang telah melalui badai dan kembali dengan kekuatan baru.Ananta mendekat dari belakang, tangannya melingkari pinggang istrinya. “Kamu kelihatan luar biasa malam ini,” bisiknya.Zanitha menunduk, suaranya pelan. “Aku gugup .…”“Kenapa?” tanya Ananta lembut.“Karena ini pertama kalinya aku kembali ke sini sebagai perempuan yang kamu perjuangkan. Bukan sebagai istri kontrak.”Ananta membalikkan tubuh Zanitha, menatapnya lekat. “Kamu bukan hanya istri yang aku perjuangkan, Zanitha. Kamu adalah satu-satunya perempuan yang ingin aku habisk
Langit Zurich sore itu bersih dan membiru, seolah menyambut kembalinya Zanitha ke tanah yang pernah menjadi saksi cinta dan luka hatinya.Mobil hitam yang menjemput mereka dari bandara melaju pelan di jalan-jalan beraspal mulus, melintasi pepohonan yang mulai menunjukkan warna musim semi.Ares tertidur di pelukan Zanitha, kelelahan setelah penerbangan panjang, sementara Ananta sesekali melirik ke arah istrinya dengan ekspresi yang tak bisa disembunyikan—bahagia, lega, dan takut semuanya hanyalah mimpi.Zanitha menatap keluar jendela sepanjang jalan, dan ketika mobil mulai memasuki gerbang utama mansion Von Rotchschild, napasnya tercekat. Ia mengenal setiap sudut bangunan itu, setiap pot bunga di sepanjang jalur masuk, setiap jendela yang dulu mengurungnya dalam sepi—dan kini menyambutnya kembali sebagai seorang istri dan ibu.Pintu utama terbuka begitu mobil berhenti. Klaus, kepala pelayan senior yang telah bertugas selama puluhan tahun, berdiri dengan tubuh tegap di depan pintu b