“Bismillah, maafkan aku Ibu, bukan aku tidak mempunyai rasa terima kasih. Namun, Senja tidak mau jika harus menikah di usia Senja yang bahkan belum genap 17 tahun. Ibu mengapa kamu begitu tega,” lirih Senja. Waktu menunjukkan pukul dua dini hari, Senja yang semenjak semalam tidak menutup matanya tengah bersiap. Tekadnya sudah bulat,ia akan meninggalkan tempat tinggalnya. Senja tidak mau di nikahkan, dan ia lebih memilih melarikan diri. Apalagi setelah mendengarkan ucapan sang ibu semalam,membuatnya semakin bertekad. Tadinya, Senja memilih bertahan tetapi semua rasanya percuma saja. Senja keluar dari rumahnya dengan cara mengendap, ia berjalan dengan sangat perlahan sekali. Takut jika salah satu dari mereka memergokinya. Keadaan ruangan yang gelap,tidak menyurutkan Senja untuk tetap berjalan. Senja sengaja mengambil jalan melalui pintu samping. Semalam ia sengaja tidak menguncinya agar lebih mudah ketika ia keluar. Pagi pun tiba, waktu s
Senja terus melangkah mengikuti kata hatinya. Meski lelah menerpa, ia terus mencoba untuk bertahan. Bayangan menikah dengan seorang pria paruh baya, membuatnya membulatkan tekad untuk pergi menjauh dari orang yang selama ini merawatnya. Bukan Senja tidak tahu diri ataupun tidak tahu berterima kasih. Senja hanya tidak ingin mengorbankan masa depannya demi kata balas budi. Biarlah ia relakan rumah yang menjadi warisan dari sang ayah angkat, asalkan ia bebas dari jeratan ibu dan saudara angkatnya. “Ternyata … ibu melarangku untuk menginjakkan kakiku di dunia luar, supaya aku menjadi orang yang bodoh. Sekolah pun aku tidak pernah, Ya Tuhan apakah kesalahanku hingga ibu, orang yang aku hormati setelah ayah begitu tega berbuat hal seperti ini padaku. Di mana letak kasih sayangnya, Tuhan. Tidakkah ia memiliki setitik saja kasih sayangnya untukku,” gumam Senja. Ia menyeka peluh yang mulai membasahi pelipisnya. Sesekali dirinya menelan salivanya kasar, hanya kar
“Menggemaskan,” batin Alarich. Gadis itu masih mengerjapkan matanya seraya memandangi wajah Alarich. Ia masih betah memandang wajah tampan nan dingin itu. Alarich sendiri biasanya ia tidak mau jika ada orang asing yang memandangi wajahnya. Entah kenapa, melihat wajah polos itu membuat Alarich tidak tega. Ia seperti melihat wajah Sheinafia dan juga Jasmine. “Kau siapa? Harus berapa kali aku bertanya padamu! Jawablah, jika kau tidak ingin menjawabnya kau bisa keluar dari dalam mobilku.” Gadis itu pun menggelengkan kepalanya. Ia tidak mau, sebisa mungkin dirinya harus meminta pertolongan pada orang lain. “Ma-af. Maafkan aku karena sudah lancang, tetapi aku tidak mempunyai pilihan lain. Kedua wanita tadi adalah ibu dan saudara angkatku, mereka … mereka akan menikahkanku dengan seorang pria yang bahkan lelaki itu pantasnya menjadi ayahku. Aku masih menerima jika ibu dan saudaraku menyiksaku, memukul tetapi menikah? Masa depanku masih panjang, dan
“Dasar anak tidak tahu di untung, tidak tahu berterima kasih. Anak pembawa sial!” hardik wanita paruh baya itu pada sang putri angkat. Senja pun terkesiap, keringat dingin membasahi keningnya. Senja mengedarkan pandangannya, kamar indah nan luas itu membuat Senja mengernyitkan keningnya. Bentakan yang barusan ia dengar terasa nyata. Senja mencoba mengumpulkan kesadarannya. Nafasnya masih terengah-engah, sesak dan sakit sekali rasanya. Senja bahkan sampai memegang dadanya. “Aku di mana,” ucapnya berbisik lirih. Senja belum ingat jika tadi ia sempat tak sadarkan diri. Alarich membawanya ke kamar tamu yang ada di lantai bawah. Nandini pun langsung menyuruh dokter pribadinya untuk memeriksa Senja. Penjelasan dokter cukup membuat Alarich dan yang lainnya tercengang. Senja trauma, meskipun gadis itu mencoba untuk menguatkan diri. Namun, di alam bawah sadarnya, rasa takut mendominasi pikirannya. Dokter pun menyarankan membawa Senja ke psikiater.
“Ibu,dia siapa?” Sheinafia baru saja datang bersama sang suami dengan yang lainnya, mengernyit heran menatap ibunya nan tengah memeluk seorang gadis muda. Sheinafia takut, jika kejadian Syifa kembali menimpanya. Sheinafia mematung, ia tidak jadi mendekati Nandini. Perempuan muda itu lebih memilih berbalik dan menjauh. Rain menatap heran, lalu tanpa berkata apapun ia lebih menyusul sang istri. “Sayang,” panggil Rain lembut. Sheinafia menoleh,lalu tersenyum menatap sang suami. Suami? Ah rasanya Sheinafia masih merasa bermimpi bisa menikah dengan Rain, laki-laki yang notabene begitu membencinya. Ternyata di balik sikap dingin dan datarnya, Rain menyembunyikan cintanya. Rain menghampiri Sheinafia dengan senyuman di bibirnya, senyum yang hanya bisa di lihat olehnya. “Ada apa, hmm,” tanya Rain. Sheinafia diam, ia hanya menggelengkan kepalanya. Rain tahu, jika sang istri tengah gelisah. Lelaki tampan itu pun memeluk sang istri dan
Nandini menjelaskan dengan sabar siapa Senja pada Sheinafia. Besar harapan jika putrinya akan bersahabat baik, mengingat Sheinafia tidak mempunyai teman dekat. Adapun yang selalu menjaga Sheinafia, Alarich nan selalu setia menjaga putrinya. Terkadang Nandini takut jika Alarich akan memiliki perasaan lebih dari sekedar sepupu pada Sheinafia. Tapi kekhawatirannya ternyata tidak terbukti. "Ibu berharap jika kamu akan berteman baik dengannya, Nak. Kasihan dia, ayah dan yang lainnya pun tengah mencari informasi mengenai siapa Senja sebenarnya." Sheinafia masih terdiam, mencoba untuk mencerna ucapan dan perkataan sang ibu. Perempuan muda itu menatap lekat mata sang ibu, seolah ia tengah mencari kebenaran dari binar mata Nandini. Tak berapa lama, Sheinafia pun mengangguk. Mencoba menerima kehadiran Senja. "Baik, Ibu. Maafkan Shei, jika pikiran Shei terlalu jauh dan negatif," ujar Sheinafia pelan. Nandini mengangguk, lalu memeluk tubuh sang putri,
“Al, jadi siapa yang akan mendatangi orang tua angkat Senja? Papa atau kamu?” tanya Arshaka Dewangga Romanov yang tak lain adalah ayah dari pria muda yang bernama Alarich. Pria muda nan tampan itu, menatap ke tiga pria paruh baya yang ada di hadapannya. Lantas ia menghela nafas lelah. “Apakah harus sampai menemui mereka, Pa? Kita baru saja kenal gadis itu, bagaimana jika dia hanya bermain peran? Dan semua itu hanya karangannya belaka?” Arshaka menaikkan alisnya, matanya menyipit menatap sang putra. Lantas kepalanya menggeleng tidak percaya. “Nak, meskipun kita baru mengenal gadis itu. Tapi Papa, Ayah dan Daddy langsung mencari informasi, semua data-data tentangnya. Tidak ada salahnya jika kita ingin menolong seseorang, Nak. Toh kami pun tidak mungkin akan sembarangan dalam mengambil tindakan,” ucap Arshaka bijak. “Apa yang di katakan Papa-mu benar, Nak. Melihat Senja, Ayah seolah melihat Ibu-mu dulu. Bagaimana hidupnya yang susah dan menjadi pelamp
Bab 82 - S2 - Murka Saat ini, Senja bersama dengan Namilea dan juga Alarich tengah berada di perjalanan untuk menemui orang tua angkat Senja. Kedua wanita berbeda usia itu kini duduk di kursi belakang sementara Alarich bertugas menjadi supir mereka berdua. Nandini ingin ikut menemani, tetapi Xavier memaksanya untuk ikut. Menemaninya ke acara pertemuan antar kolega di perusahaannya. Meskipun sedikit merengut, dan tidak rela, Nandini tetap mengikuti suaminya. Alarich melirik ekspresi wajah Senja, ekspresi gadis itu terlihat begitu tegang dan keringat sudah membasahi keningnya. Jujur Senja enggan menginjakkan kakinya kembali di rumah itu, terlalu banyak luka yang ia dapat. Namilea merasakan ketegangan Senja, lalu wanita paruh baya itu segera mengenggam tangan gadis itu mencoba menyalurkan ketenangan padanya. “Semua akan baik-baik saja, hmm. Jangan terlalu khawatir, ada Mama dan juga Al di sini,” ujar Namilea lembut. Akhirnya setelah menempuh perjalan