Home / Rumah Tangga / Pengantin Kedua Janardana / A 02 - Kencan Sampai Malam

Share

A 02 - Kencan Sampai Malam

Author: Olivia Yoyet
last update Last Updated: 2024-04-29 00:40:25

Kediaman Thamrin Sabtu malam itu terlihat ramai. Acara pertunangan sekaligus lamaran Arudra pada Zivara telah dilaksanakan dengan khidmat dan lancar. Kemudian pasangan pemilik rumah mempersilakan semua tamu, untuk menyicipi hidangan yang disajikan di dua meja prasmanan panjang.

Pasangan calon pengantin duduk berdampingan di kursi teras samping kanan sambil menikmati hidangan di piring masing-masing. Mereka sengaja memisahkan diri karena hendak mencoba pendekatan supaya bisa lebih akrab.

"Mas, acara lamaran ke keluarga Lanika, apa sudah dilakukan?" tanya Zivara dengan suara pelan agar tidak terdengar oleh orang-orang di ruangan dalam.

"Belum. Papa sama Mama menolak hadir buat acara itu," terang Arudra di sela-sela mengunyah.

"Kenapa?"

"Mereka nggak setuju aku nikah sama Lanika. Mereka cuma mau kamu yang menjadi menantu."

"Ehm, lalu, gimana?"

"Aku sudah minta bantuan ke Om Rianto, tapi belum ada tanggapan."

"Mas nggak nyoba minta bantuan ke keluarganya Mama Indriati?"

"Aku kurang dekat sama mereka. Mungkin karena jauh dan aku ke Ciwidey juga jarang-jarang. Beda sama Om Rianto. Beliau ikut ngasuh aku dan adik-adik, jadinya akrab. Begitu juga dengan Tante Yani dan ketiga anaknya."

Zivara mengangguk paham. "Kalau aku, lebih dekat ke keluarga Ibu dibandingkan keluarga Ayah. Hanya ke Paman Tarmizi, aku dan Kang Fazwan cukup dekat. Mungkin karena dulu beliau pernah tinggal di sini dan ikut merawat kami."

"Ehm, Zi. Fazwan beneran jadi ajudannya Mas Leandru?"

"Iya, sudah sebulan dia kerja di sana. Betah, katanya."

"Aku nggak nyangka dia mau jadi pengawal."

"Dia tuh, sedih karena dulu gagal lolos tes AKABRI. Sama Ayah mau didaftarkan ke polisi, tapi Akang nggak mau," terang Zivara. "Lulus kuliah, dia kerja jadi staf bank. Lalu, dia ketemu Bang Rusdi, Kakak kelasnya di SMU yang kerja jadi pengawal keluarga Pangestu," lanjutnya.

"Pulang acara reuni, tiba-tiba Akang ngomong ke Ayah, mau pindah kerja jadi pengawal. Dia bosan jadi orang kantoran. Awalnya Ayah nggak setuju, karena menurut Ayah, karier di bank lebih menjamin. Tapi Akang ngotot berhenti dan Ayah nggak bisa nolak, karena itu Akang yang jalani."

"Alasan Akang buat resign, aku memahaminya. Selain karena di bank itu pasti terlilit riba, Akang memang lebih suka dunia yang menantang, bukan harus duduk berjam-jam di depan meja."

"Aku bisa lihat Akang lebih bahagia jadi pengawal. Mungkin dia bisa menyalurkan keinginan buat melindungi orang. Walaupun nggak jadi tentara yang melindungi negara, bagi Akang melindungi keluarga bos itu sudah cukup," pungkas Zivara.

"Jiwanya suka dunia pengamanan," timpal Arudra.

"Hu um, sama kayak Engking, beliau, kan, tentara. Tapi, anak dan cucunya satu pun nggak ada yang jadi tentara."

"Akangmu sudah separuh tentara."

Zivara tersenyum. "Ya, dari dulu dia memang protektif. Penjagaku paling kuat, sekaligus Akang yang penyayang."

***

Pekikan penuh semangat terdengar di se-antero ruangan luas di tempat kebugaran. Zivara memimpin gerakan pilates cardio dengan lincah sembari mengatur ritme dan napasnya.

Sekali-sekali Zivara akan berhenti untuk berbalik dan mengecek gerakan pesertanya, yang sebagian besar merupakan anggota lama pusat kebugaran.

Belasan menit terlewati, Zivara telah duduk bersila menghadap peserta. Mereka tengah melakukan pendinginan seusai memacu otot dan napas selama hampir 1 jam.

Zivara menghitung dengan lambat ketika melakukan peregangan otot pinggang dan punggung. Dia menelungkup sambil menempelkan dahinya ke lutut, hingga merasakan bagian belakang tubuhnya lebih ringan.

"Zi, ada panggilan dari resepsionis," tukas Isfani, sahabat Zivara, sesaat setelah sesi pendinginan usai.

"Panggilan?" tanya Zivara.

"Hu um. Kamu telepon aja ke Wenda."

"Oke. Sekalian aku mau minum."

Zivara bangkit sambil berpegangan ke pundak Isfani yang tengah duduk bersila. Perempuan bersetelan olahraga serba hijau, melemaskan pergelangan kakinya terlebih dahulu, sebelum melangkah menuju tempat istirahat khusus instruktur.

Sarah, manajer tempat kebugaran, menunjuk gagang telepon putih yang tergeletak di meja. Zivara mengangguk mengiakan, kemudian meraih benda itu dan menempelkannya ke telinga kanan.

"Ada tamu?" tanya Zivara, setelah sang resepsionis menerangkan maksudnya.

"Ya, Teh," jawab Wenda. "Laki-laki, lumayan cakep. Badannya tegap dan senyumannya manis pisan," lanjutnya sambil memandangi orang yang sedang duduk di sofa hitam.

Zivara mengerutkan dahi. "Namanya, siapa?"

"Arudra."

Zivara membeliakkan mata. "Ehm, minta dia tunggu setengah jam. Aku mau mandi dulu."

"Oke, Teteh paling cantik se-gym.”

Tawa Wenda di seberang telepon memancing Zivara untuk tersenyum. Setelah meletakkan gagang telepon putih ke tempat semula, Zivara bergegas jalan menuju ruangan pengelola di sudut kiri lantai dua bangunan.

Tiga puluh lima menit berlalu, gadis berhidung bangir telah tiba di lantai satu. Dia menyambangi pria berkemeja biru tua yang sedang memandangi jalanan, sambil mengunyah kacang.

"Mas, datang ke sini, kok, nggak bilang-bilang?" tanya Zivara, sesaat setelah duduk di kursi tunggal sisi kanan.

"Aku chat dan nelepon kamu dari jam tiga, tapi nggak diangkat. Akhirnya aku ke sini aja," jelas Arudra sembari mengamati perempuan yang rambutnya masih lembap. "Kamu habis mandi?"

"Ya, tadi baru beres cardio. Keringatan. Nggak enak nemuin Mas kalau badan bau."

"Ehm, Mas, ke sini, mau ngapain?"

"Ada yang mau kuomongin ke kamu." Arudra memindai sekitar. "Kita ngobrol di tempat lain, yuk!" ajaknya.

"Bentar, aku mau izin dulu ke manajer. Karena harusnya jadwalku sampai jam enam."

Tidak berselang lama, Arudra dan Zivara telah berada di kursi tengah mobil MPV hitam. Bilal mengemudi dengan sangat hati-hati, karena banyaknya kendaraan yang memadati jalan raya.

Zivara bertanya-tanya dalam hati ketika mobil mengarah ke Soekarno-Hatta. Awalnya dia menduga jika mereka akan menuju rumah ayahnya. Namun, Bilal melewati gerbang kompleks perumahan tempat tinggal Zivara, dan meneruskan perjalanan.

Kala Bilal membelokkan kemudi ke kiri, Zivara memerhatikan sekitar. Banyaknya gerbang kompleks di sisi kiri dan kanan jalan, menjadikannya paham jika mereka tengah berada di area perumahan baru.

Deretan rumah-rumah berkonsep modern minimalis, membuat Zivara berdecak kagum dalam hati. Sejak dulu dia memimpikan memiliki rumah dengan bentuk seperti itu.

Bilal menghentikan mobil di depan rumah ujung kanan. Arudra turun terlebih dahulu, lalu memutari kendaraan untuk membukakan pintu buat Zivara.

Diperlakukan seperti itu membuat sang gadis tersenyum. Dia keluar, lalu mengucapkan terima kasih yang dibalas Arudra dengan anggukan.

Setelah menutup pintu mobil, Arudra mengajak Zivara menuju pintu depan rumah bercat abu-abu muda. Bilal mengikuti di belakang sambil membawa tas kecil milik sang bos.

"Ini, rumahmu," tutur Arudra, sesaat setelah membuka pintu lebar-lebar.

"Rumahku?" tanya Zivara sembari memandangi pria di sebelah kanannya.

"Ya, sesuai janjiku tempo hari."

Zivara mengalihkan pandangan ke ruangan dalam yang masih kosong. "Ini, bagus banget. Aku suka."

"Ehm, aku ngorek informasi dari ibumu, dan beliau bilang, kamu suka rumah model begini."

"Kapan Mas nanya ke Ibu?"

"Setelah acara lamaran."

"Ibu nggak ada ngomong ke aku."

"Aku yang meminta Ibu merahasiakan ini."

Zivara manggut-manggut. "Hatur nuhun, Mas."

"Sami-sami." Arudra mengarahkan tangan kanan ke dalam rumah. "Ayo, kita masuk. Kamu bisa memikirkan perabotan yang mau dibeli. Besok, kita cari di toko furniture," ungkapnya.

***

Matahari belum naik sepenggalah ketika Arudra tiba di kediaman Thamrin, Sabtu pagi. Kedatangannya disambut Ruslita, Ibu Zivara dengan senyuman. Perempuan berjilbab biru mengajak calon menantunya memasuki ruang tamu, kemudian dia memanggil asisten rumah tangga untuk menyediakan suguhan.

Zivara menuruni undakan tangga hingga tiba di lantai satu. Dia menyempatkan diri untuk mematut tampilannya di cermin besar dekat tangga, lalu dia meneruskan langkah menuju ruangan depan.

Selama beberapa menit berikutnya, Zivara mendengarkan percakapan Arudra dan Ruslita. Gadis berbaju sage membatin bila kentara sekali ibunya menyukai pria tersebut.

Zivara menghela napas berat dan mengembuskannya perlahan. Dia tidak bisa membayangkan reaksi orang tuanya, jika mengetahui jika Zivara merupakan istri kedua Arudra.

Perempuan yang menjepit sebagian rambutnya ke atas, mengamati pria berkulit putih yang mengenakan t-shirt hijau lumut. Zivara mengakui bila Arudra sangat manis. Ditambah dengan postur tubuhnya yang tegap, menjadikan tampilan pria tersebut kian gagah.

"Ehm, Zi, sudah siap?" tanya Arudra sambil menatap calon istrinya yang terlihat menawan.

"Ya," sahut Zivara. "Mau berangkat sekarang?" tanyanya.

"Hu um." Arudra berdiri, lalu menyalami calon Ibu mertuanya di kursi seberang. "Saya pamit, Bu," ucapnya sambil menarik tangannya.

"Ya, hati-hati nyetirnya," jawab Ruslita sembari berdiri.

Zivara menyalami ibunya dengan takzim. "Aku berangkat, Bu," imbuhnya.

"Mukenanya dibawa, nggak, Neng?" tanya Ruslita.

"Dibawa." Zivara menepuk tas bahunya. "Plus baju ganti. Karena aku pulangnya malam," lanjutnya.

"Loh, kok, malam?"

"Ada acara pertemuan anggota PC, Bu," sela Arudra. "Saya mau memperkenalkan Zivara pada istri-istri mereka. Supaya nanti nggak canggung lagi kalau ada acara selanjutnya," terangnya.

"Pertemuannya, kapan dan di mana?" desak Ruslita.

"Di Lembang. Resor milik BPAGK. Acaranya jam 2 nanti. Sore, ada permainan. Lanjut makan malam, baru pulang."

"Oh, begitu. Tapi, sebelum jam 10, Neng sudah harus sampai rumah." Ruslita memandangi kedua anak muda tersebut. "Jangan lupa telepon Ayah. Supaya beliau tidak kaget, kalian kencan sampai malam," paparnya yang menyebabkan Arudra dan Zivara sama-sama meringis malu.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Mispri Yani
duh ngga kebayang kecewanya keluarga Thamrin kalo tahu Zivara cuman di jadiin istri kedua semoga aja nggaa da baku hantam
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Pengantin Kedua Janardana    Bab 143 - Pasukan Janardana

    Awal malam itu, Lanika tiba di bandara Cengkareng, bersama Sebastian, Rylee dan Cornelia. Mereka dijemput Uday yang kemudian mengantarkan keempatnya ke hotel tempat tim PG dan PC menginap. Setibanya di tempat tujuan, Bilal dan Yolla telah menunggu di lobi. Seusai berbincang sesaat, mereka bergegas menuju ruang pertemuan di lantai tiga, untuk menghadiri jamuan makan malam yang diadakan oleh Tio. Ruangan luas itu seketika heboh. Semua orang menyambut kedua anggota PC yang baru tiba, dengan rangkulan. Hal nyaris serupa juga dilakukan tim para istri pada Cornelia dan Lanika. Kendatipun tidak terlalu mengenal Lanika, tetapi Mayuree dan rekan-rekannya tetap bersikap ramah pada perempuan tersebut. Seusai melepas rindu pada keluarganya, Lanika mendatangi Zivara dan langsung memeluk sahabatnya tersebut dengan erat. Kemudian dia mengurai dekapan dan beralih menciumi Keef yang sedang dipangku maminya. "Masyaallah, asa tambah kasep, pangeran Ate," puji Lanika sembari menggosok-gosokkan hidun

  • Pengantin Kedua Janardana    Bab 142 - Wǒ jiào dùmùzhāng

    Ruang rapat di gedung kantor PG, siang menjelang sore itu terlihat ramai. Lebih dari 100 pria bersetelan jas biru mengilat, berkumpul untuk mendengarkan pidato Tio. Setelahnya, komisaris PG memanggil orang-orang yang hendak berangkat ke Kanada. Mereka berdiri di kiri Tio, sambil memandang ke depan. Arudra, Drew, Ghael, dan Myron bergantian mengucapkan kalimat perpisahan. Benigno yang akan mengantarkan rekan-rekannya ke Kanada, juga turut memberikan pidato singkat. Sementara Alvaro yang menjadi pemimpin rombongan tersebut, hanya diam sambil memandangi semua orang di ruangan. "Teman-teman, mari kita bersalaman dengan para pejuang ini. Berikan dukungan terbaik buat mereka, yang akan bekerja keras menyelesaikan berbagai proyek kita di Kanada," ungkap Tio sembari turun dari podium. "Mid, tolong atur barisan," pinta Tio yang segera dikerjakan direktur operasional PG. Tio menyalami Arudra dan mendekapnya sesaat. Kemudian Tio memundurkan tubuh dan berbincang singkat dengan rekannya terse

  • Pengantin Kedua Janardana    Bab 141 - Genk Pengejar Nona Muda

    Jalinan waktu terus bergulir. Minggu terakhir berada di Bandung, digunakan Arudra dan Zivara untuk lebih dekat dengan keluarga. Setiap hari mereka bergantian mengunjungi kediaman Rahmadi atau Thamrin, agar bisa bercengkerama dengan keluarga inti dan sanak saudara. Kamis sore, Arudra dan Zivara mendatangi kediaman ketua RT tempat mereka tinggal dan tetangga terdekat, untuk berpamitan. Pasangan tersebut tidak lupa untuk berpamitan pada para pedagang di sekitar kompleks, yang menjadi langganan mereka selama menetap di sana.Jumat pagi, Nirwan melajukan mobil sang bos menuju kediaman Rahmadi. Fazwan dan Disti menyusul menggunakan mobil SUV putih milik Zivara. Tidak berselang lama, Bilal datang bersama Yolla dan keluarganya. Demikian pula dengan Thamrin dan Ruslita. Mereka hendak ikut mengantarkan Arudra dan kelompoknya ke Jakarta. Seusai membaca doa bersama, semua orang menaiki kendaraan. Kemudian Bhadra yang berada di mobil terdepan, menekan klakson sebagai tanda perjalanan akan seg

  • Pengantin Kedua Janardana    Bab 140 - Until Jannah

    Senin pagi menjelang siang, Arudra dan Zivara beserta yang lainnya bertolak menuju Lombok. Fazwan dan Disti juga ikut dalam rombongan tersebut untuk menikmati bulan madu, sebagai hadiah dari para petinggi Janardana Grup dan Mahendra Grup. Pada awalnya para pria ingin kembali mengunjungi Pulau Komodo. Namun, karena banyak anak-anak yang ikut, akhirnya tempat tujuan diubah supaya cocok dengan anak kecil.Pesawat yang mereka tumpangi akhirnya tiba di Bandara Internasional Zainuddin Abdul Madjid (Bizam) menjelang pukul 4 sore. Perjalanan itu ditempuh dalam waktu yang cukup lama, karena pesawat harus transit di bandara Bali. Dari bandara menuju hotel milik BPAGK, rombongan tersebut menaiki bus berukuran besar yang disediakan pihak hotel. Agung, ketua pengawal Bali dan Nusa Tenggara, kembali menjadi pemandu wisata dadakan.Seperti biasa, para pengawal muda mengadakan kuis berhadiah kudapan dan minuman ringan. Sebab jumlah bos yang ikut cukup banyak, akhirnya semuanya ikut dan terbagi menj

  • Pengantin Kedua Janardana    Bab 139 - Menang Banyak

    Sabtu pagi di minggu kedua bulan Agustus, pernikahan Fazwan dan Disti dilangsungkan di gedung pertemuan kawasan Buah Batu. Rombongan keluarga calon pengantin pria tiba belasan menit sebelum acara dimulai. Yudha yang menjadi pemimpin, mengatur barisan bersama teman-teman pasukan pengawal area Bandung. Setelah diberi kode oleh tim panitia pihak perempuan, rombongan berseragam serba krem jalan perlahan menuju pintu utama gedung. Mereka berhenti di bawah tenda untuk menyaksikan sambutan dari kedua orang tua Disti. Susunan acara khas Sunda dilaksanakan dengan khidmat, sebelum akhirnya rombongan dipersilakan masuk. Keluarga inti, para petinggi PBK dan keluarga Janardana, serta Mahendra dan Pangestu, menempati kursi dua deretan terdepan sisi kanan. Di belakang mereka dipenuhi keluarga besar Fazwan, dan semua pengawal lapis satu hingga 12 yang hadir bersama keluarga masing-masing. Tidak berselang lama acara dimulai. Fazwan mendengarkan khotbah nikah dengan serius sambil merekamnya dalam

  • Pengantin Kedua Janardana    Bab 138 - Kamu Nyindir Aku?

    Minggu berganti menjadi bulan. Menjelang keberangkatan ke Kanada, Zivara justru disibukkan dengan persiapan pernikahan Fazwan. Sebab calon pengantin pria sedang sibuk mengikuti Arudra tugas ke luar kota, mau tidak mau Zivara yang menggantikan posisi akangnya untuk membantu Disti. Sore itu sepulang dari kantor, Zivara memacu mobil SUV putih menuju pusat perbelanjaan. Kala berhenti di perempatan lalu lintas, Zivara menyempatkan diri untuk menelepon Nini, yang tengah dijemput Isfani untuk menyusul Zivara, bersama Keef. Setibanya di tempat tujuan, Zivara memarkirkan mobilnya dengan rapi. Dia merapikan penampilan terlebih dahulu, kemudian menyemprotkan sedikit parfum ke baju. Sekian menit berikutnya, Zivara telah berada di dekat pintu utama. Dia menunggu kedatangan taksi yang ditumpangi Nini dan Isfani tiba, kemudian mereka bergegas menuju lantai tiga, di mana Disti dan kakaknya telah menunggu. Keempat perempuan bersalaman sambil beradu pipi. Sementara Nini hanya menyalami calon istri

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status