Share

Pengantin Lelaki Pengganti
Pengantin Lelaki Pengganti
Penulis: Tutut Pamka

1. Pertemuan yang tak diinginkan

Langkahnya terhuyung-huyung perlahan menghampiri pria yang duduk di sofa memandangnya dengan penuh kebingungan dan tanda tanya yang bersarang di otaknya. Entah kenapa perempuan itu nampak lemah tak sanggup menatap kekasih hati yang duduk itu. "Nikahi aku, Kunang ...." terucap dari bibir seorang gadis. Ia menahan air mata yang mau mengucur deras.

"Tentu saja Honey! Aku akan menikahimu setelah kita lulus kuliah. Okey?" Tanpa keraguan Kunang menjawab. Ia berusaha meyakinkan gadisnya. Nampak terukir lengkungan senyum manis bak bulan sabit. Namun wanitanya hanya mematung dengan bibir pucat yang seperti tidak minum beberapa hari. Bola mata indah itu menatap kosong ke depan seakan tak bernyawa. Relung hatinya tak puas mendengar jawaban Mahasiswa itu.

Wanita itu hanya menggelengkan kepala dan berkata, "Tidak Kunang! Bukan jawaban itu yang aku butuhkan. Nikahi aku sekarang juga. Kalau tidak, maka cepatlah kamu menjauh dariku."

Seperti belati yang menancap tepat menghunus hati Kunang. Pria itu mendadak gusar. Dia tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Sementara ia berencana mau menyelesaikan kuliah dan baru memikirkan soal pernikahan. Ia tak mau kuliahnya terganggu. Tapi diluar nalar malah sang kekasih mengajaknya untuk menikah menjalin rumah tangga. Hati pria mahasiswa itu belum sanggup.

"Baiklah aku segera menikahimu. Kamu jangan menjauh dariku, Honey! Aku tidak bisa jauh darimu." Pernyataan mengejutkan dari Kunang Dramasta. Dilubuk hati yang terdalam, ia tidak mau sampai kehilangan sang pujaan hati yang terpatri di dalam lubuk jiwa. Kunang mahasiswa yang amat sangat bucin dengan kekasihnya. Setiap saat dia harus mengabari kekasihnya itu, setiap makan. Bahkan setiap buang air kecil pun Kunang selalu mengabari. Aneh memang, tapi itulah kebucinan pria kaku kalau sudah sangat amat bucin.

Bahkan tiap hari Kunang memberikan bunga pada sang pujaan hati. Sehari bisa memberikan bunga lebih sepuluh kali. Sudah diluar batas kebucinan. Hanya saja Kunang adalah pria yang menjaga pujaan hatinya. Ia sama sekali tidak berani menyentuh, ataupun melakukan hal diluar batas seperti berhubungan layaknya suami istri. Itu tidak pernah terpikirkan olehnya.

"Serius?" Tatapan perempuan itu menatap lekat bola mata Kunang. Ia memancarkan kebahagiaan.

Kunang merespon dengan anggukan cepat. Ia tak mau kekasihnya sampai tidak yakin padanya.

"Ta-tapi.” Bibir wanita itu mendadak kelu seakan makan cabe yang banyak.

Kunang setia menunggu apa yang mau diungkapkan sama wanita pujaannya. Ditataplah wanitanya dengan tatapan lembut selembut sutra sambil melengkungkan senyum termanisnya yang lebih manis dari madu.

“Jangan gugup, Honey!” Kunang membentuk simbol love menggunakan kedua tangannya supaya wanitanya tidak gugup.

“Ta-tapi kamu janji nggak bakal marah mendengar fakta tentangku,” cicit wanita itu menundukkan kepala.

“Tidak ada alasan untukku buat memarahi kekasih hatiku. Kamu pasti tau betapa bucinnya aku sama kamu. Kamu pasti ingat tiap malam aku mengirimkan pesan. Bahkan mengajakmu video call? Jangan kau lupakan itu, Honey.”

Wanita itu meremas bajunya. Tangannya sangat gemetaran untuk mengungkapkan fakta tentang dirinya. Ia mengambil napas dalam-dalam lalu ia hembuskan perlahan. 

“Aku sangat mempercayaimu Kunangku. Ta--tapi maukah kamu menerima bayiku?" pertanyaan dari gadisnya membuat Kunang terperanjat dari sofa. Matanya menatap tak percaya apa yang dikatakan sang pujaannya.

“Jangan bercanda, gitulah Honey, nggak lucu tauk! Kamu pasti punya bayi dariku setelah nikah. Tapi bukan sekarang.” Kunang tertawa karena ia pikir itu hanya candaan.

Air mata lolos membasahi kedua pipi mulus wanita itu. Ia meneteskan air mata sangat banyak yang sedari tadi dibendungnya. Rasa sesak di dalam jiwanya menyerebak luas ke seluruh organnya. Hatinya patah tak berdarah mengingat kejadian kelam yang membuatnya sangat rapuh serapuh-rapuhnya seperti ranting yang patah. Sakit tapi tak berdarah. Ada apa sebenarnya?

“Percayalah sekarang aku hamil Kunang. Mau tidak mau kamu harus mengakui bayi ini. Awalnya aku tidak mau melahirkan bayi ini. Aku berulang kali mencoba menggugurkannya tapi aku tidak tega dengan bayi semungil ini Kunang. Lalu apa kata teman-teman dan keluargaku mendengar kabar jika aku hamil diluar nikah? Hanya kamu yang mampu melepasku dari beban ini.” Wanita itu tak mampu bersuara lagi. Bibirnya kelu.

"Ba-bayi siapa? Tidak mungkin itu bayiku kan? Aku selalu menjagamu. Aku tidak pernah menyentuhmu." Kunang bingung sekaligus tak menyangka wanitanya telah mengkhianati dirinya. Sangat sakit yang ia rasakan.

"Kunang ini memang bukan bayimu tapi biar aku jelaskan padamu ...." Tangisnya semakin pecah. Perempuan itu tertunduk lemas, kedua kakinya tak bisa menopang tubuhnya dan bayi yang ia kandung. 

 "Apa itu bukan bayiku? Dasar gadis murahan! Sudah kau berikan pada siapa kesucianmu? Hah? Aku sangat kecewa padamu!" Dengan langkah gemetar Kunang bangkit dari sofa. Ia merasakan puluhan belati menancap tepat di jantungnya. Sangat sakit. Pria itu kecewa berat pada kekasihnya yang sangat ia cintai sejak sekolah menengah atas. Kunang langsung meninggalkan gadis itu tanpa sepatah katapun lagi, membuat hati gadis itu hancur berkeping-keping.

"Kunang .... aku masih belum menjelaskan semuanya padamu. Kenapa kamu terlalu terburu-buru pergi meninggalkan aku?" rintihan yang keluar dari bibir tipi gadis itu.

POV Bening

Aku pecinta balsem. Aku mengambil jurusan akuntansi. Kalau balance hatiku berdentam-dentam seperti sedang merasakan jatuh cinta, hehe.

Tak muluk-muluk dalam berpenampilan. Aku memakai jilbab menjuntai yang warnanya senada. Tak lupa pagiku diawali selalu dengan menghirup balsem kesayanganku. 

"Bening beraroma nenek ...."

Tatkala berjalan di koridor kampus menikmati pemandangan di koridor yang sejuk dan juga menghirup udara. Aku mendengar sosok yang memanggil dengan nada mengejek. Sebenarnya malas meladeni mereka yang selalu memanggilku dengan Bening beraroma nenek. Kubalikkan tubuhku yang tidak seberapa seksi ini guna memastikan siapa yang hendak memanggilku.

Belum sempat aku menjawab pertanyaannya, aku sudah kaget bukan kepalang melihat mukanya. Ya terlihat wajah sok kegantengan dengan bibir tipis yang menyeringai menunjukkan sikap sombongnya. Meski kuakui dirinya memang ganteng gagah nan rupawan. Tapi, tak sepantasnya dia mengejekku seperti itu. Mentang-mentang dia anak holang kaya. Ya dia adalah Dion mahasiswa yang paling nyebelin. Entah mengapa suasana hariku menjadi buruk jika bertemu dengannya

"Anda sedang memanggil saya?" Kutunjuk raga ini memakai telunjuk sambil celingukan ke kanan ke kiri. Ya siapa tau yang ia panggil bukan aku.

"Ya, bisa bicara sebentar?" 

“Maaf saya nggak punya waktu untuk meladeni makhluk astral seperti Anda!”

“Ikut sebentar napa!” Matanya melotot ke arahku. 

Akhirnya aku mengalah. Aku mengekor di belakang dengan mengikuti langkah kakinya yang cukup lebar. Aku mengikutinya bukan karena takut tapi aku hanya ingin tahu apa urusan dia memanggilku sampai mau mengobrol denganku. Setauku setiap hari dia hanya ingin mengejekku tanpa mau bercakap-cakap.

Pria setengah tampan itu duduk di bawah pohon rindang sembari memandangi halaman kampus.

"Aku butuh bantuan kamu," ucap Dion. Ya namanya Dion, orangnya dibilang cakep ya nggak cakep-cakep amet sih menurutku. Apa karena penampilannya yang kayak preman yah. Gimana nggak kayak preman atuh, celana Dion robek-robek. Rambutnya digayain kayak kena setrum aja. Terus yang lebih parahnya lagi dia pakai kalung banyak. Entah kalung siapa aja yang dia pakai. Apa sampek kalung nenek moyangnya juga dipakai?

Belum lagi celana jeansnya dia pakein rantai. Waduh emangnya itu celana mau dicolong orang sampai dirantai segalak. Aneh banget ini orang.

Kata orang sih kalau nggak cinta pasti orang ganteng sekalipun disebut nggak ganteng karena nggak cinta. Coba kalau orang yang mukanya standar, meski kata orang nggak ganteng tapi menurut orang yang cinta pasti ganteng. Semua makhluk ciptaan Allah pasti mempunyai kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Tidak ada yang sempurna kecuali Sang Maha Pencipta-Nya.

Aneh dengan sikap Dion yang tiba-tiba meminta bantuan padaku. Apakah dia kerasukan? Padahal jelas saja tadi mengejekku dengan sebuah kata yang cukup mengena di hati. Dia menatapku dari atas sampai bawah. Sungguh itu membuatku risih ditatap intens begitu. Ternyata jika diam ketampanannya bertambah sih. Cuman sikapnya itu loh ngeselin parah. Ah kenapa aku malah memujinya. Kupukul pelan kepalaku yang tertutup jilbab, terserah Dion mau berpikir apa kepadaku. Aku nggak peduli.

"Hahaha ucul, yah, tadi Lo ngejek gue, eh sekarang malah ngemis minta bantuan!" sengaja aku membentaknya agar dia tidak memandangku dengan tatapan aneh. Pasti dia menahan mulutnya buat mengejekku. Maklum saja di tanganku ada balsem yang kupegang. Kalau ada maunya aja nahan mulut pedasnya.

"Emang gue ngejek lo, dan lo nggak bisa mengelak ejekan gue, paham. Itu semua kenyataan, lo suka bawa balsem ke mana-mana. Ya, kan? Kebanyakan Nenek-nenek yang bawa balsem. So gue nggak salah kan manggil lo dengan sebutan Bening beraroma Nenek? Jangan menyangkal, deh."

Aku tertegun atas ucapannya. Memang saat ini aku tak bisa berkelit. Kuakui perkataannya sangatlah benar tidak salah sedikitpun. Tapi aku juga punya perasaan, dan perasaan bukan cuma nenek yang suka bawa balsem di era jaman sekarang. Yang muda pun juga suka. Namun, kalau berdebat soal ini bakalan panjang. Lebih baik aku diam saja.

Kulihat lengan Dion bergeser mau mengenai tangkai bunga mawar.

“Awas Dion!” Aku sponstan mencegah tangkai bunga mawar mengenai lengannya. Bisa-bisa lengannya berdarah bukan? Ya aku melakukan ini karena rasa kemanusiaan. Tidak lebih dari itu. Alhasil tanganku yang berdarah karena memegang tangkai bunga mawar. Sangat sakit rasanya. Duri tangkainya menancap banyak di tanganku.

Dion nampak kaget melihat tanganku yang berdarah.

“Dasar Bodoh! Kenapa lo nyelametin lengan gue? Emang gue bakalan simpatik sama lo?” Kulihat Dion mau memegang tanganku. Aku segera menjauhkan tanganku darinya. Kita berdua kan bukan mahram. Jadi tidak sepantasnya Dion mau memegangku, enak saja. Terlihat kekecewaan di wajahnya saat aku berusaha menjauhkan tanganku darinya.

“Maaf Dion. Kita belum mahram.” Aku meniup tanganku.

“Siniin tangan lo. Gue janji nggak bakalan nyentuh tangan lo!”

Haruskah aku mempercayaimu, Dion?

“Haruslah!” 

Hah kenapa dia bisa tahu? Padahal aku ngomongnya di dalam hati.

“Sudah jangan kebanyakan mikir! Mana tangan lo kesiniin. Cepat!”

“Awas saja kalau macem-macem!” Mataku melotot supaya Dion takut. Dia hanya cengar cengir.

Aku mendekatkan tanganku yang berdarah dan betapa kagetnya aku ketika dia meniup tanganku dengan telaten. Aku segera menyembunyikan tanganku.

“Sudah sembuh, kok. Nggak perlu niup tanganku gitu.” Ya aku harus mengakhiri sikapnya yang sok perhatian.

“Oh oke.” Dion terlihat kikuk sambil garuk kepala.

"Oke Dion, apa keuntungan gue bantuin Lo!" nadaku sedikit meninggi. Aku tidak mau dong ngikutin titah dia tanpa meraih keuntungan, hehe luciknya aku. Eh, tunggu dulu, kalau Dion nyuruh aku berbuat yang macam-macam gimana? Aku harus berpikir seribu kali buat setuju. Ya aku jangan gampang main embat aja perintahnya.

Kulihat Dion menggaruk kepala, terlihat nampak kebingungan dari sorot matanya. Mungkin Dion tidak bisa menjawab perkataanku tadi. Bisa aku perkirakan sudah lima menit pria itu berpikir dalam otaknya, entah berapa lama lagi aku harus berada di samping Dion yang menyebalkan ini. Aku sudah tak tahan berdekatan dengannya. Menyebalkan sekali.

"Aku tidak punya keuntungan buat Lo," jawaban Dion setelah sekian lama membuatku menunggu.

Mendengar pernyataan Dion. Tawaku jelas saja pecah seketika, tak peduli puluhan mata menatapku aneh. Sungguh saat ini pria di sampingku mampu menciptakan lelucon yang cukup menggelitik perut. Bisa-bisanya dia tidak memikirkan keuntungan bagiku dan hanya memikirkan keuntungannya saja. Emangnya aku boneka yang bisa dia suruh-suruh. Aku pikir dia akan memberiku uang jajan atau apa gitu.

"Kamu kesurupan?"

Suara lain terdengar lebih berat dari suara Dion, bisa kupastikan itu bukan suara Dion. Ya itu bukan suara Dion karena suaranya cukup lumayan bagus! Suara itu seketika menghentikan gelak tawaku, mengubahnya menjadi ketakutan yang menggeluti ulu hati. Entah dari mana datangnya sosok menakutkan ini. Dahinya mengernyit, ia terkenal sebagai dosen dingin dan dosen phobia wanita.

Segera aku mengedarkan pandangan, guna mencari keberadaan Dion ternyata ia sudah kabur. Tega sekali Dion meninggalkan aku bersama dosen dingin tapi tampan. Astaga! Untung aku hanya memujinya di dalam hati saja. Bagaimana kalau dia bisa membaca pikiranku? Ah tidak mungkin. Aku mencoba menetralkan detak jantung yang berdetak jauh lebih cepat dari biasanya.

"Kalau ketawa itu jangan berlebihan. Jangan permalukan kampus ini, paham!" bentaknya.

Sesudah berkata, Pak Kunang pergi mengayunkan kakinya menjauhiku. Keringat mengucur deras dari pelipis, harusnya mahasiswa baru sepertiku bisa lebih berhati-hati dalam bertindak. Jangan sampai mendapat masalah di kampus ini. Apalagi mendapat masalah dari dosen phobia. Dih ngeri!!!

"Dorr ....!"

Seseorang mengagetkanku dengan memelukku dari belakang. Langsung aku membalikkan badan guna mencari tahu siapa sosok itu. Ternyata Intan sahabatku yang paling the best. Aku kira Pak Kunang memelukku. Ah mikir apa sih aku! Aku menepak jidat sendiri.

"Is, kamu ngagetin deh," gerutuku.

"Tadi aku lihat kamu ditegur sama Pak Kunang, yah," ucap Intan. Aku hanya mengangguk.

"Jangan dimasuki ke hati yah, Pak Kunang memang seperti itu pada semua wanita. Katanya sih dia itu phobia wanita," tukas Intan membuatku tak tahan menahan tawa.

"Hahaha ... mana ada cowok dikasih cewek cantik nolak? Tak mungkin di jaman now masih ada kata phobia wanita."

Aku meneruskan tawa sampai mengeluarkan bunyi dut dut, membuat mata Intan membulat lebar.

"Kamu kentut yah, Bening ... tahan dong kentutnya." Intan mengibas-ngibas wajahnya dengan tangan.

"Sorry Tan, kebablasan," ucapku ngeles.

"Eh barusan kenapa pipimu merah ketika aku peluk kamu dari belakang? Jangan bilang kalau kamu mengira laki-laki yang meluk kamu barusan. Ayo ngaku?" tanya Intan sambil mencolek perutku. Ah siap kenapa Intan bisa membaca pikiranku?

"Enggak ngapain aku mengira laki-laki yang meluk aku?" tanyaku balik berpura-pura tenang di hadapan sahabatku. Ya aku harus berpura-pura tenang.

"Ah sudahlah jangan ngeles. Atau jangan-jangan kamu pikir Pak Kunang yang meluk kamu dari belakang?" pertanyaan Intan makin konyol saja. Aku segera membungkam mulutnya pakai tanganku. Kalau anak-anak lain denger gimana? Bisa jadi fitnah nih.

"Oke, kembali ke laptop, yah Bening. Jadi, menurut isu yang beredar dulu Pak Kunang mempunyai kekasih yang teramat ia cintai. Namun, cinta mereka kandas saat wanita yang Pak Kunang cinta kecelakaan."

Tawaku berubah menjadi kepedihan. Bulir bening jatuh meluruh di pipi, kisah cinta tragis yang Intan ceritakan membuatku cukup menghimpit dada jadi terasa sesak. Cengengnya aku saat mendengar kisah cinta yang begitu memilukan. Bahkan membaca novel saja aku harus memilah dulu, aku takut kalau sampai membaca novel yang ujungnya sad ending.

"Kok kamu yang nangis sih, Bening? Harusnya yang sakit itu Pak Kunang bukan kamu," tutur Intan.

"Memang kamu gak sedih apa ... Tan? Coba kamu pikir kalau kamu berada di posisi Pak Kunang." Perkataanku cukup membuat Intan menganga. Kulihat mata Intan nanar dan dipenuhi genangan air mata, air mata Intan mengucur deras. Kami berpelukan dan berada dalam isak tangis yang sama, tak peduli puluhan pasang mata yang melihat kami dengan tatapan aneh.

--

Dalam ruangan kelas, aku dan Intan sama-sama diam. Larut dalam pemikiran masing-masing. Kalau saja berada dalam posisi Pak Kunang, sungguh aku tak sanggup membayangkan betapa lecetnya hatiku.

Sosok tinggi dengan hentaman kaki masuk ke ruangan. Deg! Ternyata sekarang kelas diajarkan oleh Dosen Pak Kunang. Semua murid diam tak berani membuat suara bising, karena Pak Kunang sangat anti kebisingan, katanya sih.

Lagi-lagi air mataku luruh saat melihat wajah Pak Kunang yang seperti tidak ada beban. Hati begitu kagum mendapati dosen seperti dia, bagaimana mungkin ia begitu tegar dalam menjalani hidup tanpa kekasihnya. Lamunanku berlanjut pada wajah mulus Pak Kunang yang terlihat bekas air mata.

Air mata mengucur deras, di sini aku seperti membaca novel yang endingnya ngegantung. Kisah cinta Pak Kunang benar-benar tragis, teringat perkataan Intan tentang phobia Pak Kunang, hati ini berdesir perih. Tangan tergenggam kuat menahan suara tangis yang mungkin akan keluar dari bibir mungilku.

"Kamu kenapa?" Aku bergeming, ternyata suara tangisku terdengar. Kulihat Intan mengedikkan bahu seakan mengisyaratkan sesuatu, mungkin Intan ingin bertanya aku kenapa.

"Jangan menangis bagaikan anak kecil yang menciptakan kebisingan, paham!" bentak Pak Kunang dengan suara meninggi serta rahangnya yang mengeras, membuatku digeluti rasa takut, tadinya aku sangat prihatin atas apa yang menimpanya. Namun, prihatin yang mulai menggelut ini aku buang ke tong sampah saja, buat apa prihatin pada guru dingin. Setelah sadar menangisi sosok yang sama sekali tidak berperasaan, aku izin keluar, lama-lama gak betah berada di kelas.

"Saya izin keluar sebentar Pak."

"Oke, tapi jangan harap saya ngasih nilai kamu!" Lagi-lagi bentakan itu membuatku semakin benci pada sosok beku ini.

Mulutku monyong bak bebek kecebur got. Aku sangat kesal dengan sikap sosok beku itu.

"Kayaknya kamu menghina saya, ya?"

Hah? Terperangah saat sosok beku itu malah suudzon padaku. Padahal kan tadi cuma cemberut saja.

"Keluar Kamu keliling kampus 50 kali putaran!" bentaknya.

Jantungku berdetak. Bukan berdetak jatuh cinta. Akan tetapi sungguh kaget saat mendapat hukuman. Padahal aku tidak sampai sebulan di kampus BEU. Kenapa malah tertimpa kesialan mendadak sih? 

Gontai aku melangkah meninggalkan kelas. Sesekali aku melirik Intan yang kelihatan cemas dengan keadaanku.

"Pak! Jangan hukum Bening, dia ...."

Pak Kunang menstop Intan dengan memberi tanda tangan lima. Intan menutup mulutnya seketika.

Apakah aku kuat berlarian di kampus dengan 50 kali putaran? Seketika dada ini sangat sesak.

Oke start! Aku bermonolog sendiri. Kumulai berlarian. Pulusan pasang mata mahasiswa menatapku seakan punya hutang pada mereka. Ah sebel!

"Waduh cewek baru itu Lo apain? Dia sampai lari-larian gak jelas?" tanya salah satu mahasiswa kepada temannya yang entah aku tidak tahu siapa.

"Ya mana gue tahu! Kok elo nanyak sama gue anjir!" balas cowok yang aku gak kenal. Ia menatap kesal temannya.

"Mungkin dia lagi patah hati. Hahaha." Seseorang berbisik tapi bisikannya bisa kudengar. Dia mengejek dengan diiringi tawa oleh para segerombolan temannya. Siapa yang patah hati? Ada-ada saja mereka itu. Disini jelas bukan aku yang patah tapi dosen beku itu. Selain mematahkan hatinya sendiri. Dia juga sangat-sangat menyebalkan.

Mungkin tidak apa kalau berlarian keliling kampus tanpa ada mahasiswa. Namun kalau diliatin seluruh mahasiswa kayak gini. Malu bangetlah!

Kalau saja aku tahu titik kelemahan dosen beku itu. Pasti langsung kupites layaknya kutu yang berjalan santai di rambutku.

"STOP!" Sosok putih kayak kadal membuatku berhenti mendadak. Aku mengernyitkan dahi. Ada apa dengannya bela-belain kesini hanya demi membuatku berhenti dari hukuman yang dia buat sendiri padaku? Apakah dia sudah menyesal telah berbuat salah? Syukurlah mungkin dosen kutub telah menyesal dan akan meralat hukuman ini.

"Baik sekali sampeyan Pak Kunang!" Aku berbahasa memakai campuran bahasa madura. Lucu sekali saat matanya membeliak seakan tak paham dengan campuran bahasaku.

"Kamu bilang saya baik? Why?"

Aku mengangguk cepat tersenyum sedikit. Ya dikit tidak banyak.

"Karena bapak mau meralat hukuman saya." Aku memperlihatkan gigi rataku.

"Tentu tidak! Saya kesini hanya ingin memberimu minuman. Saya juga akan memantau kamu sampai menyelesaikan hukuman dari saya. Kamu paham!"

Glek! Tubuhku memanas sekejap seakan tak kuasa mendengar pernyataan darinya. Ingin rasanya menghilang dari bumi. Ya Allah cobaan apa ini .... Semoga hambamu tidak dicincang sama dosen beruang kutub ini.

"Pak jangan hukum saya dong!" Kumemohon padanya. Semoga ada secuil rasa kemanusiaan dalam diri Pak Kunang.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status