Kemarin hariku yang paling buruk saat dosen beku memarahiku dan membuat hukuman berlarian 50 kali putaran keliling kampus. Namun, gak sampai diputaran 50 baru sampai di putaran ke 4 aku pingsan dan dibawa ke unit kesehatan kampus (UKK).
Berharap semoga saja hari ini nasibku baik. Selama masuk kampus dan mengambil jurusan Akuntansi di BEU. Aku belum punya musuh. Walau musuhku cuman Dosen phobia wanita itu.Aku mendapat julukan Miss Balsem, ratu balsem, nenek pembawa balsem tetap harus kuat iman, serta membentengi hati supaya tidak membalas cacian mereka yang kadang tepat menghunus jantung. Tapi, cacian itu tak sebanding dengan perlakukan dosen beku yang membuatku kewalahan kemaren.Hari ini hujan begitu mengguyur kampus. Suasana mendingin lebih kunikmati daripada harus berpapasan atau bertemu dosen beruang kutub itu. Kejam sekali kalau di pikir-pikir aku menyebutnya beruang dalam hati. So, tak apa yang penting cuma dalam hati kan?Kebiasaan saat hujan semakin deras. Aku paling suka memakai balsem apalagi kalau cuaca dingin seperti ini. Huaa bawaannya galau-galau terhempas jauh.Aku berlari sekuat tenaga menuju toilet. Jangan sampai keduluan orang lain nanti gak kebagian toilet dong! Sesampainya di toilet ada mahasiswi cantik yang berbisik nyaring. Hah? Emangnya aku akan termakan oleh gosipan renyah mereka? Tentu saja tidak. Basi sekali ternyata gosipnya tentang aku.Nyaman sekali saat kuusap-usap dileher, bahu. Kuhirup dalam-dalam aroma balsem yang menenangkan. Aroma ini lebih menyegarkan dibandingkan mencium aroma Pak Kunang.Lah emangnya aku pernah nyium aroma Pak Kunang? Ada-ada saja aku ini. Seketika geli dengan ucapan sendiri.Menghempaskan segala pikiran negatif seraya membuka pintu menyambut hujan yang menggelegar. Gempita petir bersarang di atap kampus. Rasa takut pun muncul. Napasku memburu aku segera keluar dari toilet.Setengah berlari, berfikir menggunakan taxi online. Kalau ojek nanti aku kena hujan. Namun, ongkosnya cukup mahal. Duh aku kok jadi orang bingung gini sih! Arrghh .... Mana hari ini aku gak bawa sepeda bututku.Untung aku selalu sedia payung sebelum hujan. Ini kesempatan untuk ....Baru saja aku melayangkan kaki melangkah menyentuh derasnya hujan. Belum kaki jatuh ke tanah basah, netraku menangkap sosok dingin di sekitar koridor. Sosok itu terlihat lemah dan mengenaskan. Apakah dia phobia hujan sampai mimik wajahnya ketakutan begitu?Kuhampiri enggak yah? Pikirku bimbang.Kulihat Pak Kunang seperti menggigil. Merasa iba kalau aku meninggalkannya. Tapi, berhadapan dengannya tubuhku bisa menegang.Oke untuk kali ini saja Bening baik padanya.Gontai kakiku melangkah maju. Setelah berada di depannya. Ia seperti tidak merasakan keberadaanku, entah pikirannya ada dimana sekarang. Pak Kunang memeluk tubuhnya dengan erat. Bibirnya pucat. Matanya pun tinggal segaris. Oh ini sungguh pemandangan yang memilukan. Tapi, kalau begini kenapa menambah keimutannya. Astaga aku malah memujinya."Pak? Ke--kenapa belum pulang?" tanyaku agak serak. Sangat takut kalau ia tidak akan menggubris pertanyaanku. Gengsi banget dong. Sungguh aku males sebenarnya menyapa-nyapa pria, apalagi kalau ingat masalaluku waktu SMP."Si--siapa kamu, di sana?" Ia mulai membuka perlahan kedua kelopak matanya. Lalu ia menyodorkan ponsel kepadaku.Mataku mendelik. Apakah Pak Kunang mau memberikan ponselnya untukku?"Bapak memberikan ponsel Bapak padaku? Apa ponsel ini sudah tidak berguna lagi untuk bapak?"Apah! Aku gak pernah memberikan ponselku! Dengarkan aku dulu!"Waduh dia tegas juga bicaranya meskipun sudah menggigil begitu.Pak Kunang malah menarik tanganku. Dadaku berdegup kencang saat wajahku mendekat padanya. Oh, ini memalukan! Untung suasana kampus terlihat sepi.Masih hening. Kudengar hanya detak jantungku yang berbunyi dan suara arlogi Pak Kunang.Aku segera bangkit. Namun, sebelum aku bangkit. Ia membuka suara."Tolong telepon Ikhsan. Dia supir saya ... bawa saya pulang." lirihnya. Suaranya terdengar serak. Sepertinya ia lagi sakit.Segera aku bangkit. Tak tahan merasakan aroma tubuhnya yang maskulin. Adegan memandangi wajahnya yang dekat itu lebih parah dari gelegar petir.Kucari nama Ikhsan di ponselnya dan kutekan tombol menelepon.Sudah beberapa menit aku telepon. Namun, hasilnya nihil. Ini tidak bisa dibiarkan. Pak Kunang terlihat sangat ketakutan. Apakah dia phobia petir atau hujan? Entahlah, selain phobia wanita. Aku belum tahu banyak tentang phobianya. Lagian aku kan bukan kekasihnya."Ahaaaa ...." Aku menjerit seketika Pak Kunang mendelik dan menatapku sinis.Untung dia sekarang lagi kedinginan. Jadi, aku tidak takut. Aku seakan mendapatkan lampu di atas kepalaku. Ya, aku akan memberikan Pak Kunang balsem favoritku.Kubuka tas agak lusuh dan kurogoh balsem bewarna hijau. Setelah terbuka, aku bingung mau mengoleskannya di bagian mana ya?Tanpa berpikir panjang dan tanpa meminta persetujuannya langsung kuoleskan dileher Pak Kunang. Ia mencengkeram pergelangan tanganku."Kamu ma--mau apa? Hah!""Diam dan tenanglah Pak. Sa--saya hanya ingin mengoleskan balsem," ucapku sembari mengoleskan balsem di lehernya. Namun usahaku gagal. Pak Kunang menjauhkan tanganku dari lehernya. Oke ini uji nyali! Terus saja tanganku menerobos ke lehernya."SAYA GAK SUKA BALSEM!" Pak Kunang menjerit sejadi-jadinya. Aku panik bagaimana kalau aku dikira menganiaya dosen beruang kutub?"Oke Pak, sudah cukup kok!" ucapku tanpa merasa bersalah."Bening! Nilaimu saya kurangi." Suaranya tidak terdengar tegas. Jadi, aku bisa mengemis nilai padanya nanti."Saya phobia suara petir ... gimana, apakah Ikhsan sudah kamu telepon?""Oke Pak, saya chat saja. Ikhsan tidak mengangkat telepon. Mungkin signal di sini buruk."Ya, signal di sini memanglah buruk. Seburuk ragaku yang bertemu dirimu, Pak, gerutuku."Bantu saya berjalan. Saya takut petir itu menyambar. Badan saya pun menggigil karena saya tadi kena hujan.""Tidak, Pak! Kita bukan mahram," jawabanku sudah seperti wanita sholehah. Tapi semoga saja Aamiin ya Allah. Aku mengusap lembut wajahku dengan kedua tanganku. Pak Kunang menatapku dengan tatapan anehnya.Pak Kunang bangkit berjalan tertatih-tatih. Melihat pemandangan yang mengenaskan. Aku tidak tega dan merasa iba. Aku merasa menjadi tokoh antagonis di sini.Kuayunkan tangan untuk menyentuh tangan Pak Kunang. Namun, aku berubah pikiran. Aku takut menyentuh tangan beruang es ini. Aku tidak boleh gegabah dalam bertindak, dia bukan mahramku."Bapak masih kuat berjalan, kan?" tanyaku untuk memastikan.Ia menganggukkan kepala sambil memeluk tubuhnya.Aku buka payung yang ada ditas. Payungnya cukup kecil untuk kami berdua. Aku bawa payung lipat, bagaimana ini? Sedangkan Pak Kunang bukan anak kecil. Apakah muat dipakai berdua?"Kamu mikir apa?" tanya sedikit melirikku.Rasanya tidak mungkin aku bilang kalau payung ini tidak akan muat. Kasian ia berdiri dengan tubuhnya menggigil. Kutahan ketakutan berdekatan dengannya. Menggigit bibir bagian bawah guna menahan panas dingin yang menjalar."Ayo ...," ajakanku tidak ada penolakan darinya.Sepertinya ia benar tidak enak badan saat ini. Kami berdua berada dalam satu payung. Aku mengekor di belakang, biarlah tubuhku terkena hujan. Daripada harus menempelkan tubuh ini padanya. Beginikah nasib maba sepertiku? Harus rela kedinginan dan kehujanan.Terasa tubuhku mulai menggigil, padahal tadi sudah mengoleskan balsem. Mengapa tidak ngefek? Rasanya hujan ini sangat lebat. Bibirku gemetaran tak tahan menahan bulir-bulir hujan menetes diatas jilbabku.Aku belum meminum obat anemiaku, astaga.Sesekali ia menoleh ke belakang untuk melihat diriku. Kepalaku langsung tertunduk saat mendapati ia yang tengah menoleh. Entah rasa canggung itu bersarang di hati. Aku tak sanggup melihat wajah tampannya."Bening! Kamu niat gak sih bantuin saya?"Kenapa suara Pak Kunang terdengar jauh? Astaga ternyata aku malah berhenti berjalan dan membiarkan Pak Kunang berjalan lebih dulu. Tubuhnya basah terkena guyuran hujan gara-gara aku. Segera aku berlari mendekatinya. Namun, entah apa yang kuinjak sampai aku pun jatuh.Mulutku terasa penuh tanah. Aku berusaha berdiri ternyata tenagaku tidak sanggup. Badanku terasa gemetar. Kepalaku tiba-tiba pusing dan mataku berkunang-kunang."Hey bangun!" Itulah suara terakhir seseorang kudengar dan semua berubah menjadi gelap.Kupegangi kepala yang sakit dan berdenyut. Entah apa yang terjadi. Membuka perlahan mata. Suasananya berbeda, aroma kamar juga beda. Ini seperti bukan kamarku? Lemari yang bewarna gelap. Lampu tidur dan semua perabotan mewah. Ini kamar siapa? Apakah aku sudah mati dan berada di surga? Aku berusaha mengingat kembali apa yang terjadi. Oh iya aku kan mau mengantar Pak Kunang pulang? Kenapa bisa berada di kamar asing?Aku bangkit dan berkaca di kaca berukuran besar, badanku terlihat jelas. Wah aku terlihat sangat memukau dengan gamis baru merah jambu. Kerudung yang menjuntai. Aku seperti bidadari yang turun dari kayangan, hehe.Tercium aroma kamar yang berbau khas kamar pria. Hah kamar pria? Berarti aku sedang berada di kamar siapa? Dan tunggu, siapa yang menganti pakaianku?"AAAA ...." Aku menjerit diiringi tangisan yang meraung-raung. Aku seperti kesurupan, Kulemparkan semua barang yang ada di dalam kamar dan tak terkecuali vas. Hingga pecahan vas itu menyakiti kakiku. Aku tak peduli. Y
Inikah takdir jodohku? Apa pria kutub selatan itu adalah jodoh yang dikirim Allah untukku? Yang tertulis di lauful mahfuz?Mengetik kata-kata konyol itu di memo ponselku. Seketika aku terkekeh karena ulah sendiri. Bisa-bisanya mengetik hal yang konyol.Dreeet!Ada yang ngechat nanyain kabarku. Siapa lagi kalau bukan Intan.[Kamu kenapa pingsan? Sorry saat aku mau ke sana eh malah Pak Kunang membantumu.][Mungkin aku lagi kedinginan saja.] Balasku singkat di chat."Ehem ...," dehaman seseorang mengagetkanku. Hampir saja ponselku jatuh. Apa dia tidak tahu kalau aku jenuh?"Ponselnya ditaruk dulu ya... tanganmu kan masih perih.""Emm ...." Lidahku kenapa? Kok kelu banget sih.Pak Kunang langsung mencabut ponsel yang kupegang dan menaruhnya di saku celananya."Loh? Balikin, Pak!""Sudah, besok saja saya balikin," jawabnya masih datar. Entah kenapa aku gak suka nada datarnya.Kenapa aku malah repot mengurusi jawabannya. Lama-lama diri ini merasa aneh.DOR DOR DOR!!!"MAS! MAS! BUKA PINTU!"
Merasakan aroma maskulin yang menyeruak menyebar di rongga hidung. Memeluk guling yang terasa begitu menghangatkan. Tunggu dulu, baunya seperti aroma sosok yang tak asing, seperti Pak Kunang. Apakah setiap ingin tidur pinguin dingin itu memakai parfum? Sampai aromanya melekat di guling. Setelah membuka mata betapa kagetnya diriku mendapati mata tegas, rahang kokoh dan wajah tampan yang menyiratkan tanda tanya. Di depanku ia berdiri bersidekap. Detak jantungku tiba-tiba tak beraturan. Mungkin saja tadi ia tengah memerhatikanku yang sedang memeluk gulingnya dengan erat."Kamu tidak mau shalat subuh?" Pertayaannya sangat datar, dingin dan membuat bulu kuduk merinding. Langsung saja kubangkit dari tidur, mengubah posisi menjadi duduk. Sambil menunggu apa yang mau ia bicarakan. Seketika mengingat saat memeluk gulingnya. Tangan terasa lemas tanpa tulang, bisa-bisanya tadi bertingkah memalukan dengan memeluk guling Pak Kunang. Tapi lebih parah lagi kalau aku sampai memeluk dirinya. Astaga
Akhirnya aku pulang ke rumah. Kata orang, rumah adalah istana. Ya, rumahku adalah istanaku. Meskipun rumahku ini tidak sebesar rumah Pak Kunang. Aku tetap menganggapnya istana. Daripada harus mendengar pertengkaran Pak Kunang dan Dion.Kubuka kamar lalu mengirim tubuh ke tempat tidur yang tidak terlalu empuk ini. Tapi aku senang bisa balik ke rumahku. Apalagi bertemu ibu yang selalu ada untukku. Selalu tegar dan mampu menghilangkan penat yang ada dipikiranku.Aku kenapa malah mengingat perkataan Dion tentang kekasih dosen phobia itu. Pasti dia sangat cantik sehingga Pak Kunang tak bisa melupakannya."Bening? Bagaimana perasaanmu di sana? Dosen kamu itu tampan dan baik hati ya? Ibu rela kamu dinikahi dia."Suara ibu mengagetkan dan menyadarkan aku dari lamunan.u selalu saja begitu bertanya banyak."Ibu apaan sih, mana mungkin dia mau sama Bening yang buluk ini?" jawabku minder."Hust jangan merendah seperti itu! Berdoa saja ya sama Allah. Kamu cantik loh Bening. Dulu aja kamu buluk."Ku
Memapah bedak tipis-tipis supaya tidak terlalu terlihat pucat. Tidak ingin terlihat menor juga. Kupakai gamis pemberian orang yang entah dari siapa. Ibu merahasiakan orang yang telah memberikan gamis menjuntai, indah dengan bordiran bunga-bunga ini. Kupandangi pantulan diriku dicermin, begitu memukau. Seakan lebih cantik gaun ini daripada diriku. Ketika mengolesi lip balm pada bibir. Sepintas bayangan dosen beku bergelayut dibenakku. Ada apa denganku? Mengapa aku malah membayangkan wajah tampan tapi bukan muhrimku? Astagfirullah ini tidak benar! Kuusap wajahku dengan kasar. Membaca istigfar berulang kali.Ceklek!Suara derit pintu kamar terbuka. Derap langkah seseorang yang kukenal makin mendekat. Segera kubalikkan badan dan tatapan bersirobok pada wajah ibu yang begitu berbinar. Siluet wajah yang kelihatan sangat bahagia.Astaga ada apa dengan Ibu? Mengapa begitu sangat bahagia? Fikiranku mulai sambil menerka-nerka apa yang membuatnya sebahagia ini."Waw amazing! Putri ibu tidak la
Aku berjalan mengekor di belakang orang yang sudah sah menjadi suamiku. Aku begitu tidak menyangka Pak Kunang bisa menyelesaikan ijab kabul dengan hikmat tapi penuh kepura-puraan. Sementara Dion hilang entah kemana mungkin saja ditelan bumi. Setelah akad nikah usai Pak Kunang bergeming dan mengantarkan aku ke kamar. Apakah dia bersungguh-sungguh dalam menjalani pernikahan ini? Ah membayangkannya saja itu tidak mungkin. Segera kutepis segala pikiran aneh yang berkelebat di kepala.Dilihat dari sorot mata yang kosong seperti itu, sudah jelas dia hanya menyelamatkan reputasi nama besar keluarganya. Kududuk di tepi ranjang kingsize ini, dengan membalas tatapan kosong yang dia berikan padaku.Terkejut saat Pak Kunang tiba-tiba mengunci pintu. Ya Allah apakah beruang kutub ini akan tidur bersamaku malam ini? Seketika panas dingin menjalar seakan tubuhku ini diberi formalin yang bisa membuat tubuhku membeku.Tiba-tiba kepala mendadak pusing, mungkin akibat kelamaan menunggu Dion di acara aka
Merasa begitu nyamannya tubuh dengan aroma maskulin. Aku semakin mengeratkan pelukan yang semakin membuatku merasa nyaman dan mata seakan enggan terbuka. Suara adzan berkumandang begitu merdu ditelinga sambil menikmati kehangatan yang menyerebak di jiwa.Kicauan burung terdengar di jendela geser yang terhubung di balkon. Seperti sedang bercengkrama, bersahutan mengisi pagi dengan harmoni alam, menciptakan simfoni yang membangunkan semangat.Saat pelukan tangan seseorang semakin erat dada berdentam-dentam. Siapa yang memelukku? Seketika mataku membola saat mendapati tubuh kekar dan berurat.Tubuhku berusaha menggeliat untuk melepaskan pelukan pria ini yang cukup kencang. Oh, tidak! Apakah semaleman kami berpelukan? "Pak, sudah subuh," lirihku ditelinganya. Namun usahaku sia-sia. Ia semakin mengeratkan pelukan. Emangnya aku guling apa?"Emm ... guling kali ini kok beda. Rasanya nyaman sekali." Perkataannya membuat panas dingin, juga merinding. Aku tak kuasa berada dalam dekapannya dan
Lama-lama sikapnya kayak anak kecil saja. Memang apa sulit untuk membuka kancing bajunya sendiri? Dengan segala keterpaksaan yang ada dalam hati. Menuruti perintahnya. Membuka satu persatu kancing dengan tangan gemetar serta hati berguncang.Kemudian kegugupan yang membuncah. Pelan-pelan memasangkan ke lengan kanan dan kemudian lengan kirinya serta tanpa berani melihat sorot mata tajamnya. Hati deg-degan saat mulai mengaitkan kancing satu persatu bagian depan teratas. Aku harus mendongak dulu sebab pria ini lebih tinggi dariku. Tak sengaja mata beradu dengan sorot mata yang indah. Dengan rasa canggung yang membebat hati. Memberanikan diri memandang manik matanya serta mengaitkan tiap kancing terus menerus walau dengan tangan yang gemetar."Kamu takut pada saya? Kenapa menunduk terus?""Emmm ... tidak Pak! Saya sama sekali tidak takut pada Bapak, buat apa saya takut sama Bapak? Bapak bukan hantu," jawabku mantap.Untuk apa takut dengan suami sendiri? Walaupun aku tidak dianggap. Hanya