Share

2. Melihat sosok dingin dikoridor kampus

Kemarin hariku yang paling buruk saat dosen beku memarahiku dan membuat hukuman berlarian 50 kali putaran keliling kampus. Namun, gak sampai diputaran 50 baru sampai di putaran ke 4 aku pingsan dan dibawa ke unit kesehatan kampus (UKK).

Berharap semoga saja hari ini nasibku baik. Selama masuk kampus dan mengambil jurusan Akuntansi di BEU. Aku belum punya musuh. Walau musuhku cuman Dosen phobia wanita itu.

Aku mendapat julukan Miss Balsem, ratu balsem, nenek pembawa balsem tetap harus kuat iman, serta membentengi hati supaya tidak membalas cacian mereka yang kadang tepat menghunus jantung. Tapi, cacian itu tak sebanding dengan perlakukan dosen beku yang membuatku kewalahan kemaren.

Hari ini hujan begitu mengguyur kampus. Suasana mendingin lebih kunikmati daripada harus berpapasan atau bertemu dosen beruang kutub itu. Kejam sekali kalau di pikir-pikir aku menyebutnya beruang dalam hati. So, tak apa yang penting cuma dalam hati kan?

Kebiasaan saat hujan semakin deras. Aku paling suka memakai balsem apalagi kalau cuaca dingin seperti ini. Huaa bawaannya galau-galau terhempas jauh.

Aku berlari sekuat tenaga menuju toilet. Jangan sampai keduluan orang lain nanti gak kebagian toilet dong! Sesampainya di toilet ada mahasiswi cantik yang berbisik nyaring. Hah? Emangnya aku akan termakan oleh gosipan renyah mereka? Tentu saja tidak. Basi sekali ternyata gosipnya tentang aku.

Nyaman sekali saat kuusap-usap dileher, bahu. Kuhirup dalam-dalam aroma balsem yang menenangkan. Aroma ini lebih menyegarkan dibandingkan mencium aroma Pak Kunang.

Lah emangnya aku pernah nyium aroma Pak Kunang? Ada-ada saja aku ini. Seketika geli dengan ucapan sendiri.

Menghempaskan segala pikiran negatif seraya membuka pintu menyambut hujan yang menggelegar. Gempita petir bersarang di atap kampus. Rasa takut pun muncul. Napasku memburu aku segera keluar dari toilet.

Setengah berlari, berfikir menggunakan taxi online. Kalau ojek nanti aku kena hujan. Namun, ongkosnya cukup mahal. Duh aku kok jadi orang bingung gini sih! Arrghh .... Mana hari ini aku gak bawa sepeda bututku.

Untung aku selalu sedia payung sebelum hujan. Ini kesempatan untuk ....

Baru saja aku melayangkan kaki melangkah menyentuh derasnya hujan. Belum kaki jatuh ke tanah basah, netraku menangkap sosok dingin di sekitar koridor. Sosok itu terlihat lemah dan mengenaskan. Apakah dia phobia hujan sampai mimik wajahnya ketakutan begitu?

Kuhampiri enggak yah? Pikirku bimbang.

Kulihat Pak Kunang seperti menggigil. Merasa iba kalau aku meninggalkannya. Tapi, berhadapan dengannya tubuhku bisa menegang.

Oke untuk kali ini saja Bening baik padanya.

Gontai kakiku melangkah maju. Setelah berada di depannya. Ia seperti tidak merasakan keberadaanku, entah pikirannya ada dimana sekarang. Pak Kunang memeluk tubuhnya dengan erat. Bibirnya pucat. Matanya pun tinggal segaris. Oh ini sungguh pemandangan yang memilukan. Tapi, kalau begini kenapa menambah keimutannya. Astaga aku malah memujinya.

"Pak? Ke--kenapa belum pulang?" tanyaku agak serak. Sangat takut kalau ia tidak akan menggubris pertanyaanku. Gengsi banget dong. Sungguh aku males sebenarnya menyapa-nyapa pria, apalagi kalau ingat masalaluku waktu SMP.

"Si--siapa kamu, di sana?" Ia mulai membuka perlahan kedua kelopak matanya. Lalu ia menyodorkan ponsel kepadaku.

Mataku mendelik. Apakah Pak Kunang mau memberikan ponselnya untukku?

"Bapak memberikan ponsel Bapak padaku? Apa ponsel ini sudah tidak berguna lagi untuk bapak?

"Apah! Aku gak pernah memberikan ponselku! Dengarkan aku dulu!"

Waduh dia tegas juga bicaranya meskipun sudah menggigil begitu.

Pak Kunang malah menarik tanganku. Dadaku berdegup kencang saat wajahku mendekat padanya. Oh, ini memalukan! Untung suasana kampus terlihat sepi.

Masih hening. Kudengar hanya detak jantungku yang berbunyi dan suara arlogi Pak Kunang.

Aku segera bangkit. Namun, sebelum aku bangkit. Ia membuka suara.

"Tolong telepon Ikhsan. Dia supir saya ... bawa saya pulang." lirihnya. Suaranya terdengar serak. Sepertinya ia lagi sakit.

Segera aku bangkit. Tak tahan merasakan aroma tubuhnya yang maskulin. Adegan memandangi wajahnya yang dekat itu lebih parah dari gelegar petir.

Kucari nama Ikhsan di ponselnya dan kutekan tombol menelepon.

Sudah beberapa menit aku telepon. Namun, hasilnya nihil. Ini tidak bisa dibiarkan. Pak Kunang terlihat sangat ketakutan. Apakah dia phobia petir atau hujan? Entahlah, selain phobia wanita. Aku belum tahu banyak tentang phobianya. Lagian aku kan bukan kekasihnya.

"Ahaaaa ...." Aku menjerit seketika Pak Kunang mendelik dan menatapku sinis.

Untung dia sekarang lagi kedinginan. Jadi, aku tidak takut. Aku seakan mendapatkan lampu di atas kepalaku. Ya, aku akan memberikan Pak Kunang balsem favoritku.

Kubuka tas agak lusuh dan kurogoh balsem bewarna hijau. Setelah terbuka, aku bingung mau mengoleskannya di bagian mana ya?

Tanpa berpikir panjang dan tanpa meminta persetujuannya langsung kuoleskan dileher Pak Kunang. Ia mencengkeram pergelangan tanganku.

"Kamu ma--mau apa? Hah!"

"Diam dan tenanglah Pak. Sa--saya hanya ingin mengoleskan balsem," ucapku sembari mengoleskan balsem di lehernya. Namun usahaku gagal. Pak Kunang menjauhkan tanganku dari lehernya. Oke ini uji nyali! Terus saja tanganku menerobos ke lehernya.

"SAYA GAK SUKA BALSEM!" Pak Kunang menjerit sejadi-jadinya. Aku panik bagaimana kalau aku dikira menganiaya dosen beruang kutub?

"Oke Pak, sudah cukup kok!" ucapku tanpa merasa bersalah.

"Bening! Nilaimu saya kurangi." Suaranya tidak terdengar tegas. Jadi, aku bisa mengemis nilai padanya nanti.

"Saya phobia suara petir ... gimana, apakah Ikhsan sudah kamu telepon?"

"Oke Pak, saya chat saja. Ikhsan tidak mengangkat telepon. Mungkin signal di sini buruk."

Ya, signal di sini memanglah buruk. Seburuk ragaku yang bertemu dirimu, Pak, gerutuku.

"Bantu saya berjalan. Saya takut petir itu menyambar. Badan saya pun menggigil karena saya tadi kena hujan."

"Tidak, Pak! Kita bukan mahram," jawabanku sudah seperti wanita sholehah. Tapi semoga saja Aamiin ya Allah. Aku mengusap lembut wajahku dengan kedua tanganku. Pak Kunang menatapku dengan tatapan anehnya.

Pak Kunang bangkit berjalan tertatih-tatih. Melihat pemandangan yang mengenaskan. Aku tidak tega dan merasa iba. Aku merasa menjadi tokoh antagonis di sini.

Kuayunkan tangan untuk menyentuh tangan Pak Kunang. Namun, aku berubah pikiran. Aku takut menyentuh tangan beruang es ini. Aku tidak boleh gegabah dalam bertindak, dia bukan mahramku.

"Bapak masih kuat berjalan, kan?" tanyaku untuk memastikan.

Ia menganggukkan kepala sambil memeluk tubuhnya.

Aku buka payung yang ada ditas. Payungnya cukup kecil untuk kami berdua. Aku bawa payung lipat, bagaimana ini? Sedangkan Pak Kunang bukan anak kecil. Apakah muat dipakai berdua?

"Kamu mikir apa?" tanya sedikit melirikku.

Rasanya tidak mungkin aku bilang kalau payung ini tidak akan muat. Kasian ia berdiri dengan tubuhnya menggigil. Kutahan ketakutan berdekatan dengannya. Menggigit bibir bagian bawah guna menahan panas dingin yang menjalar.

"Ayo ...," ajakanku tidak ada penolakan darinya.

Sepertinya ia benar tidak enak badan saat ini. Kami berdua berada dalam satu payung. Aku mengekor di belakang, biarlah tubuhku terkena hujan. Daripada harus menempelkan tubuh ini padanya. Beginikah nasib maba sepertiku? Harus rela kedinginan dan kehujanan.

Terasa tubuhku mulai menggigil, padahal tadi sudah mengoleskan balsem. Mengapa tidak ngefek? Rasanya hujan ini sangat lebat. Bibirku gemetaran tak tahan menahan bulir-bulir hujan menetes diatas jilbabku.

Aku belum meminum obat anemiaku, astaga.

Sesekali ia menoleh ke belakang untuk melihat diriku. Kepalaku langsung tertunduk saat mendapati ia yang tengah menoleh. Entah rasa canggung itu bersarang di hati. Aku tak sanggup melihat wajah tampannya.

"Bening! Kamu niat gak sih bantuin saya?"

Kenapa suara Pak Kunang terdengar jauh? Astaga ternyata aku malah berhenti berjalan dan membiarkan Pak Kunang berjalan lebih dulu. Tubuhnya basah terkena guyuran hujan gara-gara aku. Segera aku berlari mendekatinya. Namun, entah apa yang kuinjak sampai aku pun jatuh.

Mulutku terasa penuh tanah. Aku berusaha berdiri ternyata tenagaku tidak sanggup. Badanku terasa gemetar. Kepalaku tiba-tiba pusing dan mataku berkunang-kunang.

"Hey bangun!" Itulah suara terakhir seseorang kudengar dan semua berubah menjadi gelap.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status