Share

6. Harapan

Akhirnya aku pulang ke rumah. Kata orang, rumah adalah istana. Ya, rumahku adalah istanaku. Meskipun rumahku ini tidak sebesar rumah Pak Kunang. Aku tetap menganggapnya istana. Daripada harus mendengar pertengkaran Pak Kunang dan Dion.

Kubuka kamar lalu mengirim tubuh ke tempat tidur yang tidak terlalu empuk ini. Tapi aku senang bisa balik ke rumahku. Apalagi bertemu ibu yang selalu ada untukku. Selalu tegar dan mampu menghilangkan penat yang ada dipikiranku.

Aku kenapa malah mengingat perkataan Dion tentang kekasih dosen phobia itu. Pasti dia sangat cantik sehingga Pak Kunang tak bisa melupakannya.

"Bening? Bagaimana perasaanmu di sana? Dosen kamu itu tampan dan baik hati ya? Ibu rela kamu dinikahi dia."

Suara ibu mengagetkan dan menyadarkan aku dari lamunan.u selalu saja begitu bertanya banyak.

"Ibu apaan sih, mana mungkin dia mau sama Bening yang buluk ini?" jawabku minder.

"Hust jangan merendah seperti itu! Berdoa saja ya sama Allah. Kamu cantik loh Bening. Dulu aja kamu buluk."

Kuanggukkan saja ucapan konyol Ibu. Tiba-tiba saja aku kangen Ayah. Sejak ayah meninggal rumah ini menjadi sepi, dan aku baru ingat kalau mama Pak Kunang memberiku secarik kertas.

Kusodorkan secarik kertas yang berisi alamat mama Pak Kunang. Seketika Ibu langsung jingkrak-jingkrak seperti orang kegirangan. Ada apa dengan Ibu?

Ibu memelukku dengan erat. Sambil mengedipkan mata.Tak ketinggalan dia mengecup keningku.

"Ada apa Bu? Kok terlihat sangat senang gitu?"

"Iya dong! Apalagi setelah sekian lama akhirnya Ibu mendapatkan alamat Jessi. Dia juga punya janji yang sangat ibu nanti," ungkap ibu.

"Jangan terlalu berharap pada seseorang ya, Bu. Kalau harapan yang kita inginkan tidak sesuai, maka kita sendiri yang akan sakit." Aku berusaha mengingatkan ibu. Ya, karena memang tak ada gunanya berharap atau menginginkan sesuatu dari manusia.

"Kau benar, Bening!"

Baguslah perkataanku bisa ibu cerna. Aku senang akhirnya ibu tidak mau berharap.

"Tapi ... harapan ibu yang ini pasti jadi kenyataan. Buktinya dia memberi alamatnya pada ibu serta nomer telponnya. Walau nantinya harapan ibu ini tidak benar maka tak apa. Masih ada harapan lain." Ibu berkedip dan meninggalkanku.

Kutepak jidat. Seketika aku tertawa melihat tingkah ibu. Entah janji apa yang Tante Jessi buat sampai membuat ibu sangat kegirangan seperti itu.

Aku berpamit ke Ibu. Kucium punggung tangannya. Sekarang bukan waktunya aku berlarut dalam kesedihan. Ya, aku memang kangen ayah. Namun, untuk saat ini aku harus fokus kuliah dulu.

Aku pakai sepeda karatan warisan kakek. Tidak peduli puluhan mata mahasiswa mengejekku nanti. Yang jelas aku kangen dengan sejuta kenangan di sepeda ini. Kemaren aku tidak bawa sepeda karena belum siap. Sekarang aku sudah siap.

"Bening?"

Sesampainya diparkiran terdengar suara tak asing lagi. Ia berlari mendekatiku.

"Kenapa kamu bawa sepeda karatan?"

"Daripada naik ojek terus. Ya aku pakai sepeda ini," ucapku sambil memakirkannya.

"Ikut aku yuk! Ada yang mau aku bicarakan."

Tumben Dion bernada rendah dan halus. Pasti ini ada maunya. Aku mengekor di belakang Dion. Dan kami berdua duduk di kursi memanjang yang agak sepi.

Apa yang akan dibicarakan cowok yang keren ini? Kulihat dia sekarang memakai jaket biru. Dengan celana jeans.

Ya memang kuakui dia keren tapi mulutnya kadang tak terkontrol.

"Kamu sudah punya pacar belum?" Pertanyaan Dion membuatku menganga membentuk huruf 'o' kecil di mulut.

"Aku tidak suka pacaran, Dion! Pacaran itu tidak ada dalam islam," tukasku.

"Ya sudah. Kita nikah saja!"

BUMMMM!

Jantungku seakan meledak mendengar perkataan Dion. Haruskah aku menerimanya? Bagaimana kalau dia hanya main-main saja.

"Ma--maksud kamu apa?"

"Iya maksud aku kita nikah, Bening!"

Dion membuatku mati kutu sekarang. Ini terlalu cepat. Aku takut kalau gegabah dalam memilih pasangan.

"Kamu serius? Apa alasanmu untuk menikahiku?" tanyaku sambil garuk kepala.

"Aku pernah bilang kan sama kamu? Aku minta bantuan kamu! Aku ingin kita berpura-pura menikah, undangan kita sebar padahal kita sebenarnya tidak akan menikah. Supaya Diana cemburu dan bisa balikan sama aku!" Dia berbicara membelakangiku seolah dia tidak bersalah berkata seperti itu

Entah apa yang ada diotak pria ini? Kupikir dia berubah saat kejadian malam waktu aku nasehati. Ternyata dia tidak bisa berubah. Kalau aku menuruti kemauannya itu sama saja enak di dia gak enak diaku. Hati terasa kecewa mendengar pernyataan Dion. Jadi dia hanya memanfaatkanku saja. Memangnya aku perempuan apaan. Dia sungguh tega mempermainkan hatiku.

Tanpa menjawab permintaan konyolnya. Kaki lemah ini melangkah segera menjauhi Dion yang tak punya perasaan.

"Hey ratu balsem kamu mau kemana! Tunggu!"

Sekuat apa pun dia memanggilku. Aku tidak mau menoleh sedikitpun. Ratu katanya? Tapi, dia tak mampu meratukan wanita.

Langkah kaki ini semakin menjauh. Sakit menggelut di dada. Kukepalkan tangan sehingga darah dari balutan perban ini mengalir. Luka ini tak sebanding dengan permintaan konyol Dion yang membuatku sangat kecewa.

"Miss Bening!"

"Cewek Balsem!"

"Awas ada cewek Balsem!"

"Ratu bualsem!"

Entah mengapa suara beruntun dari mahasiswa di sini terdengar sangat merdu di telinga. Awalnya perkataan itu seperti cacian. Makian. Tapi ada yang lebih menyakitkan dari pada sebutan itu. Ya, Dion sangat menyakitkan! Lelaki itu seharusnya memikirkan perasaanku. Bukan mementingkan keinginan konyolnya.

Ah lagian ngapain aku mikirin Dion. Hapus orang cecumut gak penting itu.

"Lukamu menganga!"

Suaranya seperti seseorang kukenali. Seseorang yang tak asing lagi. Tapi, untuk saat ini aku malas berbicara dengan siapa pun dan berbagi kedukaanku ini.

"Bening? Kenapa menangis?"

Ternyata benar dia Pak Kunang si beruang kutub yang ganas itu. Entah aku enggan mengatakan masalah ini padanya. Biarlah masalah ini kupendam saja. Lagian apa dia peduli dengan masalah yang menimpaku. Kurasa dia sama saja dengan adiknya itu. Keduanya tidak bisa diharapkan. Lah mikir apaan, sih aku. Ngapain juga ngarepin keduanya. Enggak sama sekali.

"Tidak apa-apa kok, Pak! Saya hanya kelilipan saja." Sejak kapan lidah ini mendadak kelu, berada di dekat beruang kutub. Memang kalau berada di dekatnya itu terasa horor banget.

"Ini lukamu perlu diganti perbannya. Nanti makin ...."

Belum Pak Kunang selesai berucap, entah mengapa aku reflek menyentuh bibirnya dengan telunjukku. Padahal aku sama sekali tidak ingin menyentuh bibirnya.

Darahku berdesir hebat. Jantung tak karuan saat tangan ini menyentuh bibir lembut Pak Kunang.

"Maaf Pak. Sudah saya katakan saya tidak apa-apa, dan masalah perban ini, biar saya sendiri saja yang urus. Bapak tidak perlu mengurusi saya."

Kumelangkah menjauhi Dosen yang terbengong tadi. Entah dia bengong karena bibirnya aku sentuh pakai jari atau dia bengong karena tagihan kartu kredit, aku tidak peduli. Semoga saja dia tidak curiga dengan perkataanku.

Setelah sampai diruanganku. Intan melihatku dengan sorot mata yang terlihat begitu khawatir. Mungkin karena melihat mataku yang masih memerah ini. Ya gimana gamau merah kalau habis nangis.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Listiana Suwito
mantap ..aku suka ceritanya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status