LOGINTiba di basement Shangri-La Hotel yang terletak tak jauh dari Menara Eiffel, suasana semakin sunyi, menyisakan jejak malam yang menyejukkan. Edmund turun dengan sigap dari kursi kemudi. Sementara itu, di jok belakang, Joana masih sibuk menenangkan jantungnya yang berdetak tak karuan. Pernikahan itu terjadi begitu cepat tanpa ia prediksi.
“Turun,” ujar Kennard dari sampingnya. Suaranya tak bernada, tetapi jelas tidak bisa dibantah. Joana mengangguk ragu. Namun, kala hendak membuka pintu, Kennard terlebih dahulu keluar dan mengitari bodi mobil, lalu tanpa aba-aba membuka pintu sebelah Joana dan mengangkat tubuh istri dadakannya ke dalam gendongan lagi. “Tu-Tuan! Aku bisa jalan sendiri!” pekik Joana tertahan. Terkejut. “Lantai marmer ini dingin dan tajam. Kamu tidak memakai alas kaki, dan saya tidak mau menanggung biaya rumah sakit karena kakimu lecet,” gumam Kennard dingin, tetapi ada sedikit nada protektif yang tak bisa disangkal. Edmund hanya terkekeh kecil dari belakang mereka, lalu mengikuti sambil menyeret koper kecil miliknya dan juga milik sang tuan muda, lantas langsung menuju lobi. Tak butuh waktu lama bagi asisten pribadi berdedikasi itu untuk menyelesaikan proses check-in di meja resepsionis. Dua kartu kunci digital kamar pun didapatkan. Elevator membawa mereka ke lantai tujuh tempat kamar suite dengan pemandangan langsung menara Eiffel berada. Kennard menunggu Edmund menempelkan kartu akses sebelum pintu terbuka. Kamar itu mewah, dengan pencahayaan hangat dan interior elegan khas Paris. Setelah sang asisten pribadi mengantarkan koper ke dalam kamar lalu pergi, Joana diturunkan oleh suaminya itu hati-hati di atas ranjang king size. Membuat gadis tersebut semakin gugup. Kini, Kennard menatapnya lekat meski wajahnya datar. Joana sampai kesusahan menelan ludah. Apakah mereka akan melewati malam pertama sungguhan walau hanya terikat pernikahan kontrak? Pikirannya benar-benar kacau. Kennard tiba-tiba mencondongkan tubuhnya. Napas Joana tercekat, matanya membulat, dan tubuhnya menegang. Ia refleks memejamkan mata, bersiap untuk kemungkinan terburuk. Namun, di luar dugaan bukan ciuman yang mendarat, melainkan sebuah sentilan kecil di kening. "Argh," gumam Joana yang segera membuka matanya sambil meringis. Padahal, tidak benar-benar sakit. Hanya nyalinya yang menciut karena wajah Kennard berada tepat di depannya sekarang. Lelaki bermata biru ocean itu mengernyit. Tangannya dengan hati-hati menyentuh pelipis Joana. “Apa ini?” tanyanya pelan, menunjuk bekas luka dan memar samar di balik riasan tipis Joana. Joana menepis tangan itu pelan. “Bukan apa-apa,” jawabnya cepat. “Jelas ini tidak mungkin luka karena kecelakaan besar. Ini juga bukan luka biasa akibat terantuk. Apa ada yang dengan sengaja mendorongmu atau ... menyakitimu?” Joana tetap bungkam. Tatapannya beralih ke pintu balkon yang ditutupi tirai cokelat pastel. Jelas ia tidak ingin membahasnya lagi. Terlalu sakit hati. Kennard menatapnya dalam-dalam sebelum akhirnya berdiri, melonggarkan dasinya. “Kalau kamu tidak mau cerita, saya tidak akan memaksa. Tapi, luka seperti ini bukan sesuatu yang biasa, bisa infeksi kalau tidak dirawat dengan baik.” Suaranya terdengar lebih lembut dari biasanya meski tetap tegas. Ia lalu berbalik menuju kamar mandi. “Saya mandi dulu. Jangan pergi ke mana-mana.” Begitu pintu kamar mandi tertutup, Joana mengembuskan napas berat. Ia beringsut turun dari ranjang lalu menatap pantulan dirinya di cermin rias besar. Gaun pengantin itu benar-benar sudah kusut dan bernoda. Ia melangkah ke arah walk-in closet, kagum sejenak karena wardrobe di sana begitu lengkap. Gantungan berisi gaun malam, piama satin, juga kimono mandi hotel. Semua tampak mahal. Ia memilih untuk mengenakan piama putih dengan aksen renda tipis. Namun, sebelum itu, begitu mencoba membuka ritsleting belakang gaun pengantinnya, Joana mengalami kendala. Ritsletingnya tersangkut. “Astaga ...!” ucapnya panik sambil terus mencoba menjangkau ke belakang tubuhnya. Saat sedang berjuang sendiri, suara langkah kaki terdengar mendekat. Lalu tanpa diduga, sebuah tangan kekar dingin menyentuh bagian belakangnya. Ritsletingnya pun diturunkan perlahan. Joana menoleh cepat. “Tu-Tuan Ken?” Kennard berdiri di belakangnya, baru selesai mandi, dibalut bathrobe berwarna putih. Wangi maskulin yang hangat dari tubuh lelaki itu menguar. “Saya tidak bermaksud mengintip. Kamu tadi kesulitan, jadi saya bantu,” ujarnya dengan suara rendah, lalu cepat-cepat berbalik setelah ritsleting selesai diturunkan. Joana berdiri membeku. Telinga Kennard memerah. Tanpa berkata apa-apa lagi, Kennard melangkah keluar dan menutup pintu walk-in closet dengan hati-hati. Sesaat kemudian, ia meninggalkan kamar dan berdiri di depan kamar Edmund seraya mengetuk pintu. Edmund membukanya sambil tersenyum geli karena penampakan sang tuan muda dalam balutan kimono mandi tersebut. “Akhirnya, Tuan muda bisa melewati malam pengantin baru juga. Ah, saya jadi tidak sabar lahirnya pewaris keluarga Darriston dari cucu kesayangan Grandpa Lionel.” “Sudahi leluconmu, Ed.” Kennard menggeram kecil. Edmund tergelak puas, lalu membiarkan sang CEO dingin itu masuk. “Saya ingin kamu selidiki latar belakang Joana. Keluarganya, siapa orang tuanya, kenapa dia sampai melarikan diri dari pernikahan itu malam ini. Ada yang janggal. Bekas luka di pelipisnya ... itu bukan dari kecelakaan biasa. Apa selama ini dia mendapatkan perlakuan tidak pantas di keluarganya?” Edmund akhirnya mengangguk, kali ini serius. “Baik, Tuan muda. Saya akan mulai malam ini juga.” Kennard mengangguk dan tak menunggu lama segera melangkah keluar, tetapi masih sempat berkata dingin, “Dan satu hal lagi. Jangan pernah ganggu Joana. Perlakukan dia dengan baik. Meskipun pernikahan ini hanya kontrak, dia tetap istri sah saya.” Edmund menyentuh dada sambil membungkuk hormat, senyumnya sedikit mengembang penuh arti. “Baik, Tuan muda.” Kennard pun berjalan kembali ke kamarnya. Dalam diam, pikirannya masih terus memutar ekspresi takut Joana dan luka samar di pelipisnya itu. Siapa sebenarnya gadis yang saya nikahi itu? To be continued ….Dunia Joana yang awalnya terasa damai mendadak tegang kala bayangan gelap itu jatuh di belakangnya. Refleksi samar di kaca besar memperlihatkan sosok perempuan berambut pendek—Ziola, salah satu karyawan butik yang sudah dua tahun terakhir bekerja di sana—berdiri tepat di belakang Joana sambil mengangkat gunting logam besar setinggi kepala. Cahaya lampu memantul di mata pisaunya, berkilat tajam.Waktu seolah-olah melambat. Joana menoleh cepat dengan mata membesar. Napasnya sukses tercekat.“Zi-Ziola?” serunya nyaris bergetar.Akan tetapi, sebelum sempat Ziola menjawab, pintu gudang bahan desain itu terbuka keras. “Joana!”Kennard muncul dengan langkah panjang dan wajah tegang. Matanya langsung menangkap pemandangan tersebut. Yang mana Ziola dengan gunting terangkat tinggi, berdiri di belakang istrinya yang sedang hamil muda.Refleks CEO dingin itu melangkah cepat dan mendorong tubuh Ziola hingga perempuan itu terjerembap ke lantai. Gunting di tangannya terlepas dan meluncur cepat ke uj
Atmosfer tegang belum sepenuhnya lenyap ketika mobil hitam Kennard berhenti di depan sebuah butik megah bergaya modern-klasik yang berdiri di kawasan La Défense. Begitu Kennard turun, ia langsung menoleh ke arah istrinya yang tengah berjuang membuka seatbelt sambil menahan mual ringan.“Pelan-pelan, Sayang,” ucapnya lembut, membungkuk sedikit dan membantu Joana keluar dari mobil.Tangannya menyokong punggung Joana dengan hati-hati. Diffuser yang memendar harum mawar itu menyambut mereka begitu melangkah ke dalam butik. Beberapa pegawai berdiri rapi memberi salam, tetapi pandangan mereka segera tertuju pada dua sosok yang tengah menunggu di area tengah butik. Siapa lagi jika bukan Edmund dan Ester.Ester tampak sangat cantik pagi itu dengan dress krem berpotongan sederhana ditambah blazer biru muda, dan rambutnya terurai indah dengan potongan bob layered. Akan tetapi, yang paling mencolok adalah tatapan canggung di wajahnya setiap melirik Edmund, yang berdiri di sebelahnya dengan poton
Apa yang salah dengan saya? Kenapa kalau disentuh Ester langsung bereaksi seaneh ini?Ester malah beralih memeluk erat hingga Edmund merasakan kepalanya pusing dan berat. Ia tidak biasa dengan reaksi aneh ini. Pernah sekali dipeluk Leah, tetapi tak semeresahkan ini reaksinya. “Aku yakin, hari ini aku semakin mencintaimu, Ed.” Gadis itu mendongak dengan mata berbinar, tetapi tiba-tiba ia merasakan ada pergerakan aneh di bawah sana. “Eh, apa ini? Kok—.”Ester hendak meraba celana Edmund, tetapi dengan cepat lelaki loyal itu menahan pergelangan tangannya. “Katanya mau ke barbershop, ‘kan? Ayo,” ajak Edmund dengan suara kian berat. Demi apa pun, ia bisa gila jika terus bertahan pada posisi ini dengan calon istrinya. Tolong Edmund! “Ya sudah, ayo. Setelah itu, kita ke butik Kak Ken. Aku tidak sabar melihat gaun pengantin rancangan Joana.” Ester kembali berjinjit dan mengecup rahang tegas Edmund, tetapi detik itu … ia membuat Edmund semakin tak mampu mengendalikan diri. Tangannya meraih
Pandangan yang saling mengunci dalam diam itu, melahirkan debar cinta yang tak bisa disanggah keduanya. Terlalu lama rasa ini bersemayam bersama rindu yang kian menyiksa. Tangan kekar Vernon pun terulur lantas menyelusup masuk ke balik tengkuk Agnesia dengan wajah yang ia condongkan tiba-tiba. Tentu saja sepupu bungsu Kennard itu mengerjap cepat. Namun, sebelum bibir tipis Vernon mendarat, suara bel sudah berbunyi riuh di seantero mansion. Refleks Vernon menarik diri dan melepaskan sang tunangan sambil tersenyum kikuk, lalu menggosok tengkuknya. Agnesia juga mendadak canggung. Nyaris saja ciuman pertama mereka terjadi. Akan tetapi, mungkin ini lebih baik, bukan?Untung saja gagal. Tidak lucu kalau first kiss kami malah terjadi di ruang keluarga. Eh, tapi itu siapa yang datang malam-malam? Agnesia memang bisa bernapas lega karena ciuman itu gagal, tetapi ia malah kepalang penasaran mengingat siapa tamu yang datang larut malam begini. “Ver, aku lihat dulu siapa tamunya, ya.” Ia pun
Kamar megah di lantai tiga mansion Darriston yang ditempati Kennard dan Joana terasa tenang, menciptakan suasana hangat yang berbeda dari malam-malam sebelumnya. Kini, Joana menyandarkan kepalanya manja di dada Kennard. Kennard, yang biasanya dingin, justru terdiam lama menatap wajah istrinya. Ada sesuatu yang berbeda di matanya—lebih dalam, lebih tulus, dan lebih lembut. Ia membawa tangannya perlahan untuk menyibak rambut Joana yang terurai berantakan di pipi.“Sayang, malam ini saya ingin menyentuhmu dalam keadaan sadar sepenuhnya. Tidak seperti pertama kita waktu itu. Can I …?”Joana mengerjap pelan, lalu tersenyum malu-malu. Pipinya seketika menghangat. “Kamu tidak perlu minta izin setiap kali ingin menyentuhku, Ken. Aku ini istrimu.”Kalimat sederhana itu seperti membuka pintu yang selama ini Kennard tahan rapat. Tangannya perlahan menyusuri sisi wajah Joana. Jari-jarinya menjelajahi pipi putih hingga rahang tirus itu, lalu berhenti di dagu. Sentuhan itu sangat hati-hati, seaka
Sudah satu minggu berlalu sejak Edmund mengejutkan semua orang dengan rencana pernikahannya bersama Ester. Siang itu, sebuah MPV hitam mengilap berhenti tepat di depan gerbang besi megah mansion Darriston di kawasan La Défense, Paris. Gerbang yang selama ini jarang terbuka penuh kini terayun lebar, ikut menyambut kedatangan sosok yang paling ditunggu semua orang. Di dalam mobil itu, Lionel duduk bersandar, tubuhnya masih tampak lemah meski wajahnya lebih segar dibanding satu minggu sebelumnya. Luka tusuk di dadanya sudah mulai pulih dan senyum teduhnya merekah ketika melihat barisan keluarga besar yang telah menunggu di halaman luas mansion.Mansion Darriston sendiri kini tampil berbeda. Dinding yang sempat ternoda amarah dan intrik telah dipugar. Beberapa ruangan direnovasi dalam waktu singkat, termasuk kamar Daniella yang selama ini menjadi sumber kegelapan. Ruangan itu dihancurkan, dirombak total hingga tak menyisakan jejak masa lalu. Bau cat baru masih samar tercium, menandakan







