Argan sudah merasa sangat kesal, meski pernikahan belum dimulai. Tentu saja alasannya adalah karena ini bukan lah pernikahan yang ia inginkan. Jika saja yang menjadi pengantinnya adalah kekasihnya, Alison, Argan tidak akan sekesal ini. Dia mungkin akan jadi pria yang paling bahagia.
Tapi, saat ini jangankan untuk bersikap tenang, untuk melengkungkan senyum palsu saja Argan kesulitan. Rasanya dia ingin melarikan diri seperti apa yang Alison lakukan. Tapi, jika ia melakukan itu, maka keluarganya yang akan terkena masalah. Saat ini pernikahan terpaksa dilanjutkan untuk menyelamatkan nama baik keluarga. Jika Argan membatalkan semuanya, maka keluarganya yang akan menanggung malu.Orang tua Argan mungkin tidak akan bisa memaafkannya jika ia melakukan kesalahan sebesar itu.Argan menghela napas kasar. Saat ini, ia terjebak dalam situasi yang tidak terduga.Argan juga tidak mengerti, kenapa Alison sampai tega meninggalkannya seperti ini. Jika ia menolak lamarannya, itu akan lebih baik. Argan akan lebih suka mengundur waktu pernikahan mereka, menunggu hingga Alison siap. Dari pada merencanakan semua pernikahan ini dan saat hampir tiba waktunya, ia justru menghilang. Rasanya seperti dipermainkan.“Dimana calon istrimu?” Mia bertanya pada Argan. Sejak tadi dia menunggu, dan belum melihat batang hidung calon menantunya sama sekali.“Alison pergi, Ibu sudah tahu sendiri,” jawab Argan malas.Dia meringis saat tiba-tiba mendapat tamparan di lengan kanannya.“Maksud Ibu bukan dia.Tapi Aliya,” ucap Mia meluruskan. Dia bahkan sudah tidak mau mengingat Alison lagi. Gadis itulah yang membuat mereka semua mengalami masalah ini. Jika bukan karena dia, Mia tidak akan kebingungan menjelang hari pernikahan putranya. Sungguh, Mia benar-benar marah dengan sikap kekasih dari putranya itu. Padahal jika memang ia belum siap menikah, seharusnya ia bicara baik-baik dengan mereka. Tidak harus dengan cara seperti ini. Apa yang ia lakukan saat ini justru membuat buruk namanya di mata semua orang. Dia juga terlihat tidak peduli pada dampak yang ditimbulkan dari perbuatannya.“Aku tidak tahu,” decak Argan malas. Dia bahkan tidak terlalu mengingat nama perempuan yang mendadak menjadi pengganti pengantin wanita itu. Jika bisa, rasanya Argan lebih memilih membatalkan ini semua dari pada menggantikan mempelai wanita dengan gadis itu.“Kamu ini.” Mia menggelengkan kepala. Ia tidak mengerti dengan putranya itu. Padahal Mia sudah berusaha keras menyelamatkan nasib putranya yang baru saja ditinggal kekasihnya. Tapi, kenapa dia justru terlihat tidak senang? “Belajarlah menerima Aliya. Setidaknya dia lebih baik dari kekasihmu yang manja dan kekanakan itu.”Ada nada cibiran dalam kalimat yang Mia katakan.Tentu saja Argan menyadarinya karena ia sudah biasa mendengar Ibunya mengeluh tentang Alison. Sejak Argan mengenalkannya, Ibunya terlihat tidak setuju. Tapi, karena Argan yang sangat mencintai Alison, Ibunya pun tidak memiliki pilihan lain selain merestui hubungan mereka.“Kalian juga akan menjadi suami istri.”“Aku tahu,” jawab Argan enggan. Ini adalah pilihan yang sulit. Tapi, Argan juga tidak bisa memilih jalan lain. Ia benar-benar terjebak dan harus melewati jalan ini meski rasanya ia ingin berbalik dan pergi.“Jangan hanya berkata ‘aku tahu,” omel Mia. ”Tapi buktikan jika kamu memang akan mendengarkan perkataan Ibu.”“I-iya, Ibu.” Argan menghindar saat tangan Ibunya memberi cubitan-cubitan kecil di pinggangnya. Dia selalu seperti itu untuk membuat Argan mendengarkannya. Terkadang, Argan merasa seperti anak kecil saat Ibunya mengomeli dia seperti ini.“Awas saja jika ibu sampai mendengar kamu menyakiti Aliya.” Mia memperingati. Karena ialah yang membuat Aliya menikah dengan Argan, ia merasa bertanggung jawab jika terjadi sesuatu pada calon menantunya itu.“Tidak akan. Aku juga tidak mungkin menyakiti istriku sendiri.” Argan menjawab dengan sebal. Apa di mata Ibunya ia sejahat itu? Meski memang ia tidak menyukai Aliya, bukan berarti ia akan menyakiti perempuan itu.“Ibu akan rutin mengunjungi kalian setiap bulan.”Argan terlihat keberatan, ”Kenapa harus sesering itu?”“Tentu saja karena ibu harus memastikan kamu memperlakukan istrimu dengan baik,” jawab Mia ringan. “Dan jangan lupa untuk segera memberi kabar baik untuk ibu. Ibu ingin kalian segera memiliki momongan.”“Astaga.” Argan mengusap wajahnya kasar, Dia tidak habis pikir dengan Ibunya itu. “Aku bahkan baru akan melangsungkan pernikahan. Apa Ibu pikir semudah itu memiliki seorang anak?”“Itu tidak sulit, jika kamu sering berusaha. Maka, lakukanlah yang terbaik.” Mia menyemangati putranya, Dia mengukir senyum yang terlihat aneh di mata Argan.Sesaat, Argan bergidik melihatnya.“Ayo, Argan. Ibu akan mendukungmu. Bahkan ibu tidak keberatan memberimu rahasia-rahasia kecil yang bisa membuat istrimu cepat hamil.”“Ibu, hentikan!”Argan tidak tahan mendengarnya. Apa Ibunya tidak sadar di mana mereka sekarang? Membicarakan hal seperti itu di tempat ramai begini membuat banyak orang mencuri dengar. Argan bahkan mendengar suara cekikikan orang-orang.Argan menutup wajahnya frustasi. Rasanya ia ingin menyembunyikan diri di bawah tanah karena malu.“Hal ini sudah biasa untuk pengantin baru.” Mia menanggapi dengan santai. Sebagai orang dewasa, memberi nasehat pada mereka yang belum memiliki pengalaman apapun tentu menjadi sebuah keharusan.”Kamu masih muda, dan mungkin kamu belum tahu bagaimana cara melakukannya.”Ibunya sepertinya masih belum bisa berhenti. Argan harus mencari cara supaya bisa membuat mulut Ibunya berhenti mengoceh, atau Argan akan benar-benar habis ditelan rasa malu.“Ah! Iya. Apa ibu perlu memberikan sedikit pengarahan juga? Kamu mungkin bingung saat pertama kali mencobanya.”“Astaga.” Argan melengos kasar. Dia memilih pergi karena merasa tidak tahan. Tawa orang-orang itu bahkan bisa ia dengar semakin jelas.“Dia hanya malu, Mia.”Argan mendengar seseorang bicara pada Ibunya. Mungkin sekarang, para orang tua itu berkumpul untuk membicarakan hal yang menggelikan seperti tadi.“Aku hanya khawatir dia akan kesulitan.” Itu suara Ibunya.”Menurutmu, apa putraku bisa melakukannya?”Damn! Haruskan ia bertanya pada orang lain tentang itu?Demi tuhan, Argan merasa malu sekali.“Sedang apa kamu di sini?”Argan menoleh ketika seseorang bertanya padanya.Dia terpaku.Ada seorang wanita cantik yang berdiri di depan sebuah ruangan, tampak menyandarkan tubuhnya di dinding dengan kedua tangan yang terlipat di dada.Untuk sesaat, Argan merasa lupa cara untuk bernapas. Wanita di depannya ini … terlalu menawan.Pikiran Argan sempat melanglang buana, berpikir andai saja wanita di depannya ini yang akan ia nikahi untuk menggantikan Alison, Argan pasti tidak akan keberatan.“Hei!”Jentikan jari di depannya membuat Argan terkesiap. Ia mundur selangkah saat menyadari wanita itu berdiri di depannya. Jarak mereka terlalu dekat.“Maafkan aku.”Wanita itu mengernyit. Dia terlihat bingung.Apa ada yang salah dengan cara bicara Argan?“Kenapa minta maaf?” tanyanya, tersenyum geli.“Aku …aku mungkin mengganggumu,” jawab Argan gugup. Dia mengusap tengkuknya seraya memalingkan wajah. Tangannya saat ini juga terasa berkeringat.Seperti menyadari sesuatu, wanita itu tiba-tiba tertawa.“Ah, ya. Aku lupa jika wajahku baru saja dirias.”Argan mengerutkan keningnya, tidak mengerti.Wanita di depannya itu menganggukkan kepala, “Aku mulai mengerti sekarang.”Dia melangkah mendekat, dan membuat Argan tersudut.Argan menahan napas karena jarak mereka yang sempit. Seharusnya ia mendorong wanita itu menjauh, karena akan jadi masalah jika ada orang lain yang melihat mereka seperti ini. Tapi, Argan justru punya keinginan kuat untuk merengkuh pinggang wanita itu, dan merasakan tubuhnya dalam pelukan.“Jadi, apa kamu tidak ingat padaku … calon suamiku?”Argan tidak tahu bagaimana bisa istrinya berada di sini. Saat Argan keluar, dia bertemu dengan istrinya yang tengah berkacak pinggang dan menatapnya dengan tajam."Jelaskan padaku!" tegas Aliya."Itu ...." Argan menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal. Dia sedikit tidak mengerti di bagian mana ia harus menjelaskan."Argan!" pekik Aliya. Dia tidak mau menunggu terlalu lama untuk mendengarkan pria itu bicara. "Cepat jelaskan apa yang kamu lakukan pada Alison! Aku melihatnya menangis tadi.""Ini tidak seperti yang kamu pikir, sayang." Argan menjelaskan dengan hati-hati. "Sebenarnya, tapi kami hanya membicarakan tentang masa lalu. Alison meminta maaf padaku. Karena dia menangis, aku tidak tega dan segera memeluknya. Jangan cemburu.""Aku tidak cemburu!" tukas Aliya menyangkal."Oke. Oke. Aku akan memeluknya lebih sering."Aliya seketika melotot padanya. Argan meringis kecil."Aku bercanda, sayang."Apakah ini saat yang tepat untuk itu? Aliya melengos malas. Meski Alison adalah adikn
Alison baru akan menjenguk ibunya yang masih berada di rumah sakit. Tapi di salah satu koridor dia bertemu dengan Argan. Pria itu berhenti saat menyadari kehadirannya."Dimana kakakku?" tanya Alison. Dia tidak melihat sosok Aliya di dekat Argan. "Apakah dia tidak ikut?""Tidak. Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Argan. Pria itu berjalan mendekat dan berhenti tepat di depan Alison. "Apakah kamu melarikan diri lagi dari suamimu?""Tentu saja tidak," tukas Alison. Dia merenggut. "Max tahu aku datang ke sini. Aku juga sudah meminta ijin padanya.""Itu bagus." Pria itu tampak menganggukkan kepalanya. "Memang sebaiknya kamu meminta ijin pada suamimu saat ingin pergi kemana pun.""Ku dengar kamu memiliki masalah." Karena bertemu Argan, Alison jadi teringat tentang masalah yang dibicarakan Max kemarin. "Apakah terjadi sesuatu pada Aliya?""Apakah kamu peduli?" Argan tersenyum sinis. "Bukankah kamu senang setiap Aliya celaka?""Aku tidak ingin ribut denganmu sekarang," decak Alison. Walau s
Saat ini Alison tengah menikmati makan malam dengan Max di rumah mereka. Tidak ada lagi suasana dingin dan menyesakkan. Hari yang mereka lalui menjadi semakin baik. Terlebih, setelah mereka pindah ke rumah ini."Apa kamu dengar? Katanya keluarga Alfred tengah menghukum seseorang." Max memecah suasana hening di meja makan. Sesekali ia memang akan mengajak istrinya bicara di saat makan kala ia mengingat sesuatu yang ingin ia katakan. Dan berita yang ia dengar ini cukup menarik menurutnya."Menghukum seseorang?" Alison mengernyit. Mulutnya masih bergerak karena makanan yang ia kunyah. "Siapa?""Ku dengar itu salah satu teman Aliya.""Rasanya tidak mungkin." Alison mendengus geli. Ia mengenal dengan baik bagaimana sifat Aliya. Dia mana tega membiarkan temannya sendiri dihukum? Terlebih oleh keluarga Alfred."Sungguh. Aku tidak berbohong."Max bahkan langsung memeriksa kebenaran itu. Bukan karena penasaran, tapi ia jelas harus memastikan berita itu sebelum benar-benar menyampaikannya pada
Sejak tadi Aliya menunggu dengan gelisah. Ia khawatir jika kejadian ini akan menjadi masalah besar. Bagaimana jika polisi menangkap suaminya? Aliya tidak ingin itu terjadi. Apalagi saat ini Aliya sedang dalam keadaan hamil. Ia ingin suaminya ada menemani selama anak ini tumbuh dalam perutnya. Aliya ingin suaminya ada saat anak ini lahir ke dunia."Tenanglah, sayang." Mia sudah mengingatkan beberapa kali pada menantunya itu untuk tidak cemas, tapi Aliya tetap saja khawatir. Dia berjalan bolak balik di dekat sofa, menggigit ujung kukunya dengan gelisah. "Percaya pada ibu. Argan akan bisa menangani masalah ini. Bahkan ayah mertuamu juga ada di sana, kan? Semua akan baik-baik saja.""Aku tidak bisa berhenti cemas, Ibu. Sebelum aku tahu jika suamiku memang tidak kenapa-napa," ucap Aliya."Masalah seperti ini biasa terjadi." Mia meminum tehnya dengan santai. Dia tidak terlihat cemas sedikit pun. Berbeda sekali dengan Aliya. "Kamu tahu sendiri kan bagaimana keluarga kami? Kami tidak akan mem
"Bu, Aliya mana?"Mia menoleh kala mendengar suara putranya bertanya. Tampak Argan yang berdiri di depannya dengan wajah mengantuk. Sepertinya dia baru bangun tidur."Tadi dia meminta ijin untuk keluar sebentar. Katanya ada yang harus ia beli di supermarket."Kedua mata Argan terbuka sempurna. Rasa kantuk sebelumnya kini seolah lenyap seketika."Kenapa Ibu mengijinkannya?!" tanya Argan kesal. "Apa Ibu lupa jika Aliya sedang hamil?""Dia hanya ke supermarket yang ada di seberang jalan. Kenapa kamu begitu khawatir?" balas Mia mengernyit heran.Argan berdecak. Ibunya sama sekali tidak mengerti. Argan kembali ke kamarnya hanya untuk membasuh muka dan menggosok gigi dengan cepat. Dia mengganti pakaian dan bergegas pergi setelah selesai."Argan, kamu mau kemana?" tanya Mia kala melihat putranya itu melintas."Mencari istriku.""Anak itu." Mia menggelengkan kepalanya. "Padahal Aliya hanya ke supermarket. Kenapa dia khawatir begitu?"Argan bergegas ke supermarket yang dimaksud ibunya. Dia mas
Alison benci saat air mata di wajahnya tidak mau berhenti. Padahal ia bukan perempuan cengeng sejak dulu. Dia bisa mencaci siapa saja yang sudah membuatnya marah atau menyakitinya. Tapi yang Alison lakukan justru pergi dan bersembunyi hanya untuk menangis di kamarnya sendirian."Semua pria sama saja," rutuknya. Air matanya masih saja tidak mau berhenti. Sebanyak apapun Alison menghapusnya, ia tetap mengalir dengan deras. "Max sialan! Seharusnya aku tahu dia brengsek sejak dulu. Bodohnya aku sempat tertipu dengan semua kata-katanya. Pembohong!"Pintu kamar tiba-tiba terbuka. Di sana Max berdiri dengan keadaan berantakan. Napasnya terengah-engah. Dia menjatuhkan bunga yang dipegangnya. Lalu berjalan ke arah Alison yang duduk di samping ranjang sembari memeluk lututnya.Saat Max semakin mendekat, Alison memalingkan wajah ke arah lain. Dia enggan melihat pria itu."Aku datang ke kampusmu untuk menjemputmu. Kenapa kamu pergi lebih dulu?" tanya Max."Aku tidak tahu." Alison menjawab dengan
Hari ini Alison kembali masuk kuliah. Dia bersama Sofia tengah berada di kantin, menikmati makanan kecil sebelum kembali mengikuti kelas."Alison, apakah kamu masih berminat untuk menyewa orang?" tanya Sofia.Alison terpaku sesaat. Karena semua masalah besar yang terjadi, ia bahkan melupakan kebencian yang ia miliki pada Aliya, dan tentang Argan juga.Alison juga tidak menyangka ia bisa berseteru kecil dengan pria itu di rumah sakit seperti dua bocah yang bertengkar. Jika diingat kembali, dirinya sangat kekanakan, bukan? Alison hanya tidak suka pada Argan yang sering mengejeknya. Dan dia yang banyak bersikap manja pada Aliya, padahal badannya sudah besar. Maka dari itu Alison mengejeknya dengan sebutan 'bayi besar'."Aku lupa," balas Alison mengedikkan bahunya. "Untuk sekarang sepertinya tidak, Sofia.""Kenapa?!" pekik Sofia, kecewa. Padahal dia sudah menanti apa yang akan dilakukan Alison kali ini. Sofia yakin, jika Alison berani melakukan rencana ini, dia akan berakhir di penjara de
Ini pagi pertama bagi Max dan Alison di rumah baru mereka. Suasana pagi menyambut hangat keduanya. Jika bukan karena jam wacker yang berdering, mereka mungkin tidak akan terbangun saking nyenyaknya tidur."Aku suka suasana pagi ini," ucap Alison baru selesai membersihkan diri. Masih dengan bathrobe di tubuhnya, perempuan itu merentangkan tangannya sembari memejamkan mata di halaman belakang, menikmati udara segar."Sayang, apa kamu melihat kemejaku?" tanya Max mengacaukan kegiatan Alison.Perempuan itu menurunkan tangannya dan mendengus. Dia pun segera menemui suaminya yang baru saja berteriak itu.Saat tiba di kamar, Alison melihat pria itu tengah menggaruk belakang kepalanya, menghadap ke lemari. Dia terlihat bingung menatap jejeran pakaian di depannya."AL-"Max yang baru hendak kembali berseru, seketika mengatupkan mulutnya saat melihat keberadaan istrinya yang berdiri di ambang pintu sembari bersedekap.Bukannya terlihat menakutkan, saat ini istrinya justru terlihat sexy. Damn!A
Alison turun dari mobil, dia menatap rumah yang berdiri di depannya saat ini. Apakah ini akan menjadi tempat tinggal barunya yang bersama Max? Alison sedikit tak percaya jika ayah mertuanya akan menyiapkan semua ini. Padahal Alison sudah siap untuk menerima kemungkinan terburuk. Atas tindakan beraninya tadi, ia pikir akan ditendang dan dipaksa untuk bercerai."Max, apakah ayah marah?" tanya Alison khawatir. Tujuannya pindah ke rumah ini masih dipertanyakan. Meski Max berkata jika ini memang keinginannya dan ayahnya juga sudah memberi ijin, tetap saja Alison tidak bisa bercaya begitu mudahnya. "Apa sebenarnya kita diusir?""Bicara apa kamu ini?" Max terkekeh kecil. Dia menggelengkan kepalanya.Apa Alison khawatir dengan tindakannya sebelumnya? Bukankah tadi dia begitu berani seperti tidak takut akan resiko yang akan ia terima? Lantas kenapa sekarang dia menciut ketakutan?"Ayahku tidak marah sama sekali. Dia tampaknya merasa bersalah." Max mengatakan apa yang ia pikirkan. Ayahnya meman