Share

03 | Putri yang Sudah Dewasa

Aliya mendengar apa yang Ibu dan Ayahnya katakan di depan pintu. Dia merasa ikut sedih mendengar tangis Ibunya yang kecewa pada sikap Alison. Kembarannya itu seperti tidak peduli pada kesulitan yang dihadapi mereka. Dia dengan tidak tahu dirinya malah pergi dan membiarkan mereka semua menanggung akibat dari perbuatannya.

Aliya menghela napas. Sejujurnya dia sangat ingin pergi dan melarikan diri juga. Tapi Aliya masih memikirkan orang tuanya. Jika ia pergi, bagaimana dengan mereka? Orang tuanya pasti akan mengalami masalah yang lebih besar jika Aliya juga melakukan hal yang sama dengan Alison.

Tapi, Aliya tidak yakin untuk menghadapi semua ini. Jika ia harus menikah secepat ini dengan pria yang bahkan tidak ia kenal, akan seperti apa kehidupannya nanti?

Aliya mungkin harus bicara dengan pria itu setelah resepsi selesai. Mungkin ia bisa bernegosiasi tentang perceraian setelah pernikahan berlangsung.

“Aliya, bagaimana? Apa kamu sudah siap?”

Aliya menoleh ke arah pintu ketika mendengar suara Ayahnya bertanya. Dia melihat pria itu melongokkan kepala di ambang pintu.

Addyson tertegun melihat wajah putrinya yang berbeda dari biasanya. Ia tidak bisa berkata-kata, terlalu terkejut dengan perubahan Aliya.

“Ayah?” Aliya terlihat bingung dengan keterdiaman Ayahnya yang tiba-tiba. “Apa Ayah baik-baik saja?” tanya Aliya khawatir.

Addy tersadar. Ia segera menggelengkan kepalanya untuk membuat dirinya lebih fokus. Kecantikan yang dimiliki putrinya bahkan membuat ia terpana.

“Maafkan Ayah. Ayah hanya tidak menyangka jika kamu bisa secantik ini,” puji Addy.

Aliya terkekeh kecil. Dia merasa sedikit tersanjung dengan pujian Ayahnya. Jika diingat, baru kali ini Ayahnya itu memberi pujian untuk Aliya. Hati Aliya terasa sedikit lebih baik setelah bertemu dengan Ayahnya itu.

“Terima kasih, Ayah,” ucap Aliya. “Hari ini aku akan menikah, tentu saja aku harus terlihat lebih cantik dari biasanya.”

“Ya. Dan kamu membuat Ayah tercengang,” kekeh Addy. Ia bahkan tidak menyangka jika putrinya ini bisa melebihi Alison. Mungkin karena Aliya jarang merias diri seperti yang selalu Alison lakukan, kecantikan yang ia miliki juga jadi sedikit tertutupi.

“Ayah berlebihan.” Aliya meletakkan kedua tangannya di pipi. Dia merasa sedikit malu. “Jangan terus memujiku seperti itu.”

“Putriku sangat pemalu, rupanya.” Addy mencubit pipi putrinya itu sambil tertawa ringan. Dia memeluk Aliya untuk terakhir kalinya sebelum ia melepaskannya untuk dimiliki pria lain.

Dalam hati, Addy merasa tidak rela membuat Aliya menanggung ini semua. Tapi, ia tidak memiliki pilihan. Addy hanya bisa berharap semoga Aliya bahagia setelah pernikahannya ini.

Jika Argan memilih untuk mengembalikan Aliya padanya, Addy juga tidak akan keberatan.

“Tidak terasa, putri Ayah sudah semakin besar.” Rasanya baru kemarin Addy memarahi Aliya karena terlalu sering memanjat pohon tetangga untuk mencuri buah. Tingkah ajaib putrinya itu sering membuat ia sakit kepala. Tapi terkadang, kenakalannya juga kerap kali membuatnya ingin tertawa.

“Tentu saja. Tidak mungkin aku akan terus menjadi seorang gadis,” ucap Aliya. Dia membalas pelukan Ayahnya, merasakan kehangatan yang sudah lama tidak ia rasakan.

Kapan terakhir kali orang tuanya memeluk Aliya seperti ini? Rasanya sudah lama sekali. Mereka terlalu sibuk dengan Alison, dan Alison juga terlalu memonopoli mereka, hingga Aliya lebih memilih menyibukkan dirinya di lingkungan luar. Karena Alison, Aliya berpikir jika rumah bukanlah tempat untuknya.

“Terakhir kali Ayah ingat, kamu sering bolos dari sekolah, lalu kabur dari rumah karena takut ayah akan memarahimu,” ucap Addy sembari menerawang ke masa itu. Waktu itu sebenarnya cukup lucu. Ia tidak marah pada Aliya, ia hanya khawatir karena Aliya membolos dengan teman-temannya yang merupakan laki-laki semuanya. Addy memang menunggu putrinya, tapi bukan untuk mengomeli. Addy hanya ingin menasehati Aliya untuk berhati-hati saat bergaul dengan lawan jenisnya. Bagaimana pun juga, putrinya itu adalah seorang perempuan.

Tapi, sebelum Addy bertemu dengannya pun, Aliya sudah lebih dulu melarikan diri karena takut.

“Itu sudah lama sekali,” ucap Aliya.

Saat itu ia masih berumur sembilan tahun. Memang hanya di usia seperti itulah ia dan orang tuanya masih belum terlalu jauh. Semakin ia besar, semakin terbentang jarak antara mereka.

Aliya yang merasa sadar diri pun memilih untuk menjauh dengan sendirinya. Meski terkadang ia juga merasa kesepian dan iri dengan orang lain yang bisa dekat dengan orang tua mereka.

“Banyak yang sudah Ayah lewatkan,” ucap Addy. Ia menyesal tidak melihat pertumbuhan Aliya. Sekarang ia sudah harus melepaskan putrinya itu untuk pria lain.

“Tidak apa.” Aliya tidak masalah tidak memiliki banyak moment bersama mereka. Dia justru bahagia melihat Alison bisa mendapatkan kasih sayang penuh dari orang tua mereka. “Ayah selalu menjadi ayah terbaik untukku.”

Putrinya terlalu pengertian, hingga Addy semakin merasa tidak berguna. Kenapa dia tidak bisa bersikap adil untuk kedua putrinya? Kenapa baru saat ini ia menyadari ketidakbecusannya sebagai orang tua?

“Maafkan Ayah, Aliya.”

“Jangan terus berkata seperti itu.” Lama-lama, Aliya jengah mendengar kata-kata itu dari orang tuanya. Mereka bersikap terlalu berlebihan, seolah-olah di sini Aliya didorong untuk dikorbankan. Padahal, ia hanya akan menikah dengan pria yang seharusnya menikah dengan kembarannya. Ini tidak seburuk yang mereka pikir. Aliya juga tidak mungkin tidak bisa melindungi dirinya sendiri.  Meski ia belum mengetahui perangai Argan, Aliya rasa ia bisa menghadapi pria itu jika dia bersikap kurang ajar padanya.

“Aku akan segera menikah. Tersenyumlah, Ayah.” Aliya menarik sudut bibirnya, membentuk senyuman. Dia juga meminta Ayahnya melakukan hal yang sama. Dia lebih suka melihat mereka memperlihatkan ekspresi seperti itu dari pada raut wajah bersalah mereka. Aliya merasa menjadi penyebab kesedihan mereka jika mereka terus seperti itu.

“Kamu bahkan tidak merasa sedih,” ucap Addy tersenyum getir. Padahal ia dan Kirana sudah merasa begitu terpukul karena memaksa Aliya untuk melakukan pernikahan ini. Tapi putrinya itu bisa melaluinya dengan tanpa beban.

Atau mungkin, ia hanya tidak menunjukkan emosinya karena tidak ingin membuat orang tuanya khawatir.

“Jangan mengkhawatirkan aku. Jika aku tidak bahagia, aku akan segera pulang dan menemui kalian.” Aliya berucap dengan sungguh-sungguh. Dia memegangi tangan Ayahnya, berusaha meyakinkan. Hanya dengan cara ini ia bisa membuat perasaan orang tuanya menjadi lebih baik. Dia tidak ingin melihat wajah sendu dari mereka. Setidaknya, walau ini pernikahan yang tidak diinginkan, Aliya tidak ingin orang tuanya menunjukkan ekspresi tidak rela saat Aliya mengucapkan janji pernikahan.

“Berbahagialah, Ayah. Hari ini, tidak seharusnya ada yang menangis,” ucap Aliya. “Jika pun ada air mata yang menetes, itu hanya air mata kebahagiaan. Lepaskan aku dan ridhoi aku untuk pergi bersama suamiku.”

“Kamu terlalu dewasa.” Mata Addy penuh dengan air mata yang menggenang. Sekuat tenaga ia menahan, tapi derai air mata tetap meluncur di wajahnya. Hatinya sakit, melihat ketegaran putrinya yang melebihi dirinya. Aliya bahkan terlihat tidak memiliki beban apapun dalam menghadapi masalah ini. “Jangan menyembunyikan apapun dari ayah, Nak. Jika suatu saat dia menyakitimu, kembalilah, dan katakan semuanya pada Ayah. Rumah ini, akan selalu terbuka untukmu.”

Aliya tersenyum, merasa tersentuh dengan apa yang dikatakan Ayahnya. Orang tuanya pasti sangat mengkhawatirkannya sehingga sulit bagi mereka untuk tersenyum di hari bahagia ini.

“Tentu, Ayah.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status