Kiara menggenggam tangan Lucas erat saat mereka melangkah keluar dari kamar. Langkahnya penuh keraguan, namun kehadiran Lucas di sampingnya membuatnya merasa sedikit lebih tenang. Sinar lampu yang hangat menyambut mereka saat pintu ruang makan terbuka. Jantung Kiara berdebar kencang, menanti reaksi keluarga Lucas.
Begitu mereka melangkah masuk, semua mata langsung tertuju pada mereka, terutama Kiara. Seperti harimau yang mengincar mangsa, tatapan mereka penuh skeptisisme. Kiara menelan ludah, berusaha menampilkan senyum meski terasa kaku. “Selamat malam,” ucapnya, suaranya nyaris tertelan oleh keheningan. Namun, tak satupun dari mereka menjawab. Mereka menuju ke dua kursi kosong di ujung meja panjang. Lucas duduk dengan tenang, sementara Kiara mengambil tempat di sampingnya. Tamara, ibu tiri Lucas, memperhatikannya dengan saksama. Suaranya tajam seperti pisau saat dia mulai bertanya, “Bagaimana bisa seseorang sepertimu menjadi istri Lucas?” Kiara tertegun. “Saya—” “Saya ingin tahu latar belakangmu,” potong Tamara, matanya menyala penuh ketidakpuasan. “Dia tidak perlu menjelaskan apapun padamu,” Lucas bersuara, nada suaranya dingin dan tegas. Tamara menyeringai, “Oh, Lucas, kamu memang selalu melindungi orang-orang yang tidak pantas. Jangan bilang aku tidak memperingatkanmu.” “Perempuan seperti ini memangnya bisa bertahan di keluarga Alisher?” ujar Desi, bibi Lucas dengan tatapan mencemooh. “Dia hanya pengganti. Apa yang bisa dia lakukan,” timpal Kevin. “Kau tidak tahu apa yang sedang kau hadapi. Keluarga Alisher tidak bisa dipermainkan!” seru Tamara membuat Kiara menekan ujung kukunya. “Jangan berani-berani mengancamnya!” Lucas menyentak, suaranya penuh kemarahan. “Kiara tidak akan menjadi permainan kalian!” Semua orang terdiam tak ada yang berani bersuara lagi. Mata Lucas seolah berkata bahwa dia bisa membunuh siapapun yang menyentuh istrinya. Kiara merasakan ketegangan di sekeliling meja. Kiara bergetar di tempat duduknya. “Sudah cukup, mari kita makan.” Suara itu keluar dari mulut pria yang duduk di kepala meja, informasi yang Kiara dapat dari Bobby itu adalah ayah Lucas. Harry Alisher. Bak pinang dibelah jadi dua, wajah dan sifat Harry sangat mirip dengan Lucas. Keduanya sama-sama dingin dengan sorot mata tajam. Suasana makan malam di rumah utama keluarga Alisher terasa mencekam. Kiara duduk diam, sendoknya bergetar di atas piring. Dia merasakan tatapan tajam yang menghujam dari berbagai arah. Harry, ayah Lucas, tidak banyak bicara, tetapi aura ketegangan di sekelilingnya cukup untuk membuat Kiara merasa terperangkap. Kiara merasa sulit menelan makanannya, ketika pandangannya secara tidak sengaja bertemu dengan Kevin, wajahnya langsung memucat. Kevin tersenyum lebar, tetapi senyumnya itu penuh dengan niat yang tidak menyenangkan. Lucas yang berada di samping Kiara bisa merasakan kegelisahan Kiara. *** Rasa lega menyelimuti Kiara saat dia menutup pintu kamar. Dia melepaskan tangan Lucas, yang tampak berjalan dengan percaya diri meski tanpa tongkat, seolah sudah menghafal setiap sudut ruangan. “Aku mengantuk,” gumam lirih Kiara, sambil mengambil piyama dari paper bag dan melangkah ke kamar mandi. Suara air yang mengalir menjadi latar belakang saat dia mengganti pakaian, membiarkan pikirannya berkelana. Di ruang ganti, Lucas juga mengganti pakaiannya. Ketika pintu terbuka, Kiara keluar bersamaan dengan Lucas. Dia tertegun melihat pria itu hanya mengenakan celana pendek, tanpa kaos. Tubuhnya yang atletis terlihat jelas, dan Kiara merasa wajahnya memanas. Lucas melangkah santai menuju tempat tidur, sementara Kiara berusaha mengalihkan pandangannya. Dia menghela napas, berusaha menenangkan kegugupan yang tiba-tiba melanda. “Tuan Lucas tidak pakai kaos, tidak takut masuk angin?” tanyanya, suaranya ragu. “Aku terbiasa seperti ini,” jawab Lucas, singkat. “Oh ya, jangan panggil Tuan. Kita akan terlihat bukan suami istri jika terlalu formal.” Kiara menggaruk punggung tangannya, tak tahu harus berkata apa. Dia merasa seolah terjebak dalam situasi yang aneh dan janggal. “Baik, Ma-s Lucas,” jawab Kiara dengan ragu, dia lalu berjalan ke sofa dan merebahkan diri. “Kamu tidak ingin tidur?” tanya Lucas. “Ini mau tidur, kenapa?” jawab Kiara, mencoba terdengar santai meski hatinya berdebar. “Kamu di mana?” Lucas bertanya lagi. “Sofa,” Kiara menjawab, sedikit bingung. “Apa kamu merasa jijik tidur bersamaku hingga memilih di sofa?” Mendengar pertanyaan itu, Kiara langsung mengerutkan alis, merasa tertekan. “Bukan seperti itu. Aku memilih di sofa karena aku pikir kamu tidak ingin berbagi tempat tidur.” “Aku tidak sepelit itu,” Lucas menjawab. Kiara merasa tertekan oleh jawaban singkat itu, lalu bangkit dan melangkah ke tempat tidur. “Anda sepertinya sangat sensitif,” gumamnya lirih, tapi Lucas masih bisa mendengarnya. Kruyuk… kruyuk… Perut Kiara tiba-tiba bergetar, suara menggelikan yang membuatnya langsung menyembunyikan wajahnya. Jantungnya berdetak lebih cepat; dia berharap Lucas tidak mendengar suara itu. “Kamu masih lapar?” tanya Lucas, nada suaranya menunjukkan perhatian yang tak terduga. “Tidak,” jawab Kiara berbohong. Namun sayangnya perut dia tidak bisa berkompromi. Perutnya kembali berbunyi membuat Kiara benar-benar merasa malu. “Aku suruh pelayan untuk menyiapkan makanan,” ucap Lucas. “Jangan,” cegah Kiara. “Sejujurnya aku merasa tidak nyaman.” “Kamu bisa memasak?” “Sedikit.” “Ayo ke dapur, di lantai empat ada dapur yang khusus untuk aku gunakan,” setelah mengatakan itu Lucas bangkit dari tempat tidurnya. “Mas, kamu tidak mau pakai kaos?” “Oh ya, ambilkan kaosku yang ada di lemari.” Kiara langsung menurut, dia mengambilkan kaos Lucas yang berwarna putih. Dia segera memberikannya kepada Lucas, lalu pria itu mengatakan kaosnya. Keduanya berjalan keluar dari kamar, Kiara mengikuti langkah Lucas menuju ke dapur. Di lantai empat itu hanya ada dua ruangan. Ruangan pertama adalah kamar yang Lucas tempati, ruangan kedua itu ruang kerja Lucas, dan di ujung lantai itu ada sebuah dapur . Seluruh lantai empat hanya diperuntukkan untuk Lucas. Sampai di dapur Kiara cukup terpukau, semua tertata rapi dengan perlengkapan masak yang lengkap. “Apa kamu mau makan juga, Mas?” “Kamu tidak akan meracuniku, bukan?” “Mas tenang saja aku tidak ingin menjadi janda dengan cepat,” balas Kiara yang mencoba mencairkan suasana. Sekilas senyuman terlihat di wajah Lucas, meskipun pria itu segera menetralkan wajahnya.Kiara melongo menatap kepergian Rina. “Ada satu orang lagi yang tidak menyukaiku,” gumam Kiara yang melangkah masuk ke dalam kamar. Ketika Kiara memasuki kamar yang akan menjadi miliknya itu, matanya langsung terarah pada dinding polos tanpa hiasan. Suasana kamar yang sepi tanpa foto atau lukisan membuatnya terasa lebih dingin dan asing. Kiara merasa ada yang tidak beres, sebuah kehampaan yang menyergapnya saat dia menyadari tidak adanya jejak pribadi Lucas di ruang itu.“Dia tidak suka foto?” gumam Kiara bertanya. Dengan perasaan bingung dan penasaran, Kiara mendekati meja di sudut kamar. Tidak ada bingkai foto, tidak ada kenang-kenangan, hanya beberapa buku dan dokumen yang tertata rapi. Kiara mulai bertanya-tanya, mengapa Lucas tidak menempatkan apapun yang bisa menceritakan sedikit tentang dirinya.Kiara kemudian merebahkan diri di atas tempat tidur yang masih terasa asing. Matanya menatap langit-langit kamar, pikirannya melayang jauh memikirkan hubungan mereka. Kehadiran Rina y
Di dapur yang terletak di lantai empat, Kiara dan Lucas sedang menikmati spaghetti buatan Kiara. Cahaya remang-remang dari lampu dapur menciptakan suasana hangat dan nyaman di antara mereka. Kiara sesekali mencuri pandang ke arah Lucas yang dengan lancar menyantap spaghetti tanpa kesulitan. Keterampilannya dalam menavigasi makanan di piringnya hampir tidak terlihat seperti ia memiliki kekurangan penglihatan. Suasana hening menyelimuti mereka, hanya suara garpu dan sendok yang sesekali terdengar. Tiba-tiba, suasana tenang itu terganggu oleh langkah kaki seseorang yang mendekat. "Sepertinya kalian sedang menikmati makan malam yang romantis," ucap Kevin dengan menatap lekat ke arah Kiara. Kehadiran Kevin yang tiba-tiba jelas membuat situasi menjadi tegang, suara garpu ditangan Lucas berhenti sejenak. “Untuk apa kamu kesini?” tanya Lucas dengan nada tegas, meski dia tidak bisa melihat. “Aku hanya ingin menyapa Kakak ipar, karena tadi mungkin aku kurang sopan kepadanya,” jelas Ke
Kiara menggenggam tangan Lucas erat saat mereka melangkah keluar dari kamar. Langkahnya penuh keraguan, namun kehadiran Lucas di sampingnya membuatnya merasa sedikit lebih tenang. Sinar lampu yang hangat menyambut mereka saat pintu ruang makan terbuka. Jantung Kiara berdebar kencang, menanti reaksi keluarga Lucas. Begitu mereka melangkah masuk, semua mata langsung tertuju pada mereka, terutama Kiara. Seperti harimau yang mengincar mangsa, tatapan mereka penuh skeptisisme. Kiara menelan ludah, berusaha menampilkan senyum meski terasa kaku. “Selamat malam,” ucapnya, suaranya nyaris tertelan oleh keheningan. Namun, tak satupun dari mereka menjawab. Mereka menuju ke dua kursi kosong di ujung meja panjang. Lucas duduk dengan tenang, sementara Kiara mengambil tempat di sampingnya. Tamara, ibu tiri Lucas, memperhatikannya dengan saksama. Suaranya tajam seperti pisau saat dia mulai bertanya, “Bagaimana bisa seseorang sepertimu menjadi istri Lucas?” Kiara tertegun. “Saya—” “Saya ingin
“Maafkan saya!” Kiara berusaha menegakkan tubuhnya meski kakinya bergetar.Pria itu tampak tampan dengan wajah yang menawan. Kiara mengambil tongkat pria itu yang terjatuh dan mengembalikannya tanpa berpikir. Baru kemudian Kiara menyadari bahwa pria itu buta.“Tuan Lucas, apa Anda baik-baik saja?”Seorang pria lain muncul, mengenakan setelan hitam, terlihat panik. Namun, pria menawan tadi hanya berkata, “Bobby, kita kembali ke hotel.”Suara itu dingin dan penuh otoritas, membuat Kiara merasakan getaran ketidaknyamanan.“Mari, Tuan,” kata pria yang dipanggil Bobby, berusaha membimbing Lucas menjauh.Tiba-tiba sebuah ide melintas dalam kepala Kiara.“Tu … tunggu!” Kiara tergagap, langkahnya terhenti. “Bolehkah saya numpang di mobil Anda, Tuan?”Lucas mengernyitkan dahi. Akan tetapi, ia tidak menjawab dan langsung masuk ke dalam mobil.Kiara merasakan keringat dingin mengalir di dahinya. Dia segera menerobos masuk ke dalam mobil membuat Lucas terkejut. “Saya mohon. Bantu saya melarikan
“Jangan—!” Kiara mendorong tubuh tambun pria di hadapannya saat tangan kasar milik pria itu itu menelusuri lengannya yang tidak tertutup baju dengan napas berat. Suara napas itu terlalu dekat, membuatnya mual.Kenapa keluarganya menyuruhnya datang ke sini?“Apa salahnya aku menyentuhmu, Sayang? Toh kita akan segera menikah.” Sepasang mata Kiara membelalak. Apa maksudnya itu? Menikah? Bagaimana bisa!? “Ayo mendekatlah.” Pria itu menyeringai, lalu kembali menarik Kiara ke arahnya. “Kamu tidak perlu malu–” “Tidak!”“Argh!”Kiara mengumpulkan sisa tenaganya untuk mendorong pria menjijikkan itu–bahkan kemudian menendang area intim sosok tersebut. Akan tetapi, akibatnya, baju bagian depannya rusak akibat ditarik oleh tangan nakal itu.“Kamu! Berani-beraninya!”Tangan Kiara gemetar menutup bagian depan tubuhnya yang terbuka. Matanya sudah basah dan wajah pucat. Tanpa berpikir ulang, ia berbalik dan berlari ke luar ruangan.Namun, malang nasibnya. Rupanya sang ayah dan anggota keluargan