Kiara melongo menatap kepergian Rina. “Ada satu orang lagi yang tidak menyukaiku,” gumam Kiara yang melangkah masuk ke dalam kamar.
Ketika Kiara memasuki kamar yang akan menjadi miliknya itu, matanya langsung terarah pada dinding polos tanpa hiasan. Suasana kamar yang sepi tanpa foto atau lukisan membuatnya terasa lebih dingin dan asing. Kiara merasa ada yang tidak beres, sebuah kehampaan yang menyergapnya saat dia menyadari tidak adanya jejak pribadi Lucas di ruang itu. “Dia tidak suka foto?” gumam Kiara bertanya. Dengan perasaan bingung dan penasaran, Kiara mendekati meja di sudut kamar. Tidak ada bingkai foto, tidak ada kenang-kenangan, hanya beberapa buku dan dokumen yang tertata rapi. Kiara mulai bertanya-tanya, mengapa Lucas tidak menempatkan apapun yang bisa menceritakan sedikit tentang dirinya. Kiara kemudian merebahkan diri di atas tempat tidur yang masih terasa asing. Matanya menatap langit-langit kamar, pikirannya melayang jauh memikirkan hubungan mereka. Kehadiran Rina yang berubah sikap saat Lucas tidak ada di rumah semakin menambah tanda tanya besar di benak Kiara. Ada ketidaknyamanan yang tumbuh. “Lagipula ini keputusanku, tidak masalah mereka tidak menyukaiku yang penting sekarang aku terbebas dari pria tua yang mesum itu,” ucap Kiara sambil menatap langit kamarnya. Dengan hati yang resah, Kiara berusaha mengusir kegelisahan yang menerpanya. Jam dinding menunjukkan waktu masih satu jam lagi sebelum Kiara harus berangkat ke cafe, tetapi satu jam itu terasa seperti keabadian saat dia terbaring di sana, tenggelam dalam kebingungan dan kesepian. “Haus deh,” gumam Kiara yang bangkit dari tempat tidur. Dia memutuskan untuk ke dapur mengambil air minum. Kiara berjalan lemah menuju dapur, langkahnya gontai mencari tempat yang asing bagi dirinya di rumah baru ini. Cahaya matahari yang masuk melalui celah jendela memandu jalannya hingga akhirnya dia menemukan dapur. Di sana, Rina sedang asyik menatap layar ponselnya, terbenam dalam dunia digitalnya sendiri. Sesekali jari-jarinya mengetuk layar, sepenuhnya abai terhadap keberadaan Kiara. Kiara menghela napas, merasa sedikit canggung dan terabaikan, namun dia memutuskan untuk tidak mempermasalahkan sikap Rina. Dia membuka kulkas, mengambil sebuah botol air putih, dan menuangkannya ke dalam gelas yang tersedia. Setelah meneguk air tersebut, lega sedikit terasa menyelimuti tenggorokannya yang kering. Dengan perasaan yang sedikit lebih baik, Kiara meletakkan gelas di meja dapur. Tiba-tiba, suara Rina yang tajam memecah kesunyian, "Itu gelas, cuci sendiri. Jangan biasakan meninggalkan barang sembarangan." Rina berkata tanpa menoleh dari ponselnya, seolah-olah itu adalah perintah yang tidak bisa ditawar. Kiara mengangkat alisnya, terkejut dengan nada perintah Rina. Sejenak dia terpaku, memproses kata-kata yang baru saja dilontarkan dengan nada yang kurang menyenangkan itu. Kemudian, tanpa berkata, dia mengambil gelas tersebut dan mulai mencucinya di bawah keran yang mengalir. Sudah biasa juga bagi Kiara melakukannya sehingga dia tidak merasa keberatan. Hanya saja dia masih terkejut dengan sikap Rina yang terlihat tidak sopan dengannya. Bukan ingin sok menjadi nyonya rumah, tapi Rina memang terlihat jelas tidak menyukai dirinya. Setelah mencuci gelas maka Kiara memilih kembali ke kamar untuk bersiap berangkat ke cafe. Rina menatap kepergian Kiara dengan sudut bibir yang terangkat. Wajahnya seakan mencemooh Kiara, hingga dering telepon membuatnya langsung mengangkat telepon itu. *** Kiara melangkah keluar dari rumah dengan kemeja putih lengan panjang yang baru saja dia setrika. Langit yang terang menjanjikan hari yang cerah. Dia memutuskan untuk berjalan kaki menuju cafe, menikmati sinar matahari yang hangat dan semilir angin yang sejuk. Meskipun jaraknya dekat, Kiara sengaja melambatkan langkahnya, menyerap pemandangan sekitar dan suara kota yang mulai ramai. Sesampainya di cafe, Kiara melihat manager cafe, Pak Andra, sedang duduk santai di kursi kasir sambil membaca koran. "Selamat pagi, Pak Andra," sapa Kiara dengan ramah. Pak Andra menatapnya melalui kaca mata baca, tersenyum lebar. "Pagi juga, Kiara. Kamu datang lebih awal.” “Iya nih Pak, daripada gabut dirumah,” jawab Kiara membuat Pak Andra tersenyum. “Jadi, siap ya untuk hari yang sibuk?" tanya Pak Andra sambil menutup korannya. Kiara mengangguk semangat. Dia memasuki area dapur untuk mengenakan celemek dan mempersiapkan diri. Aroma kopi yang baru saja diseduh dan suara mesin espresso yang berbunyi menambah semangatnya untuk memulai hari kerja. Kiara mengecek stok bahan dan memastikan semuanya siap untuk para pelanggan yang akan datang. Hari itu, dia bertekad untuk memberikan pelayanan terbaik, seperti biasa. “Kiara, tolong antar pesanan ini dimeja pojok dekat jendela,” ucap Wulan teman kerjanya. “Oke,” jawab Kiara yang mengambil segelas Americano. Kiara berjalan menuju ke meja yang dikatakan Wulan. Namun saat berjalan, kaki Kiara tiba-tiba tersandung membuat segelas Americano panas terguling dari nampannya dan tumpah membasahi tangannya. “Akh!” Teriakan kesakitan Kiara memecah keheningan kafe. Pak Andra, manajer kafe, yang sedang memeriksa pesanan di kasir, langsung menoleh dengan raut wajah yang panik. “Kiara!” ucap Andra terkejut. Dengan langkah cepat, Wulan menggiring Kiara menuju ke wastafel terdekat. Air mengalir deras dari keran membasahi tangan Kiara yang mulai memerah karena terbakar. Ekspresi kesakitan terlihat jelas di wajah Kiara, namun dia berusaha keras untuk tetap tegar. Pak Andra menghampiri mereka, "Kiara, kamu baik-baik saja?" tanyanya dengan suara yang penuh kekhawatiran. Kiara mengangguk pelan, meski matanya berkaca-kaca, "Saya baik-baik saja, Pak. Hanya terasa sedikit panas," jawabnya, berusaha menyembunyikan rasa sakit yang sebenarnya. Wajah Pak Andra memerah, campuran antara kekhawatiran dan rasa bersalah karena kejadian tersebut terjadi di bawah pengawasannya. Dia memastikan bahwa air terus mengalir hingga Kiara merasa lebih baik, sambil meminta salah satu karyawan untuk mengambil kit P3K. Kafe yang semula ramai kini terdiam, para pelanggan mengamati dengan rasa prihatin. “Kita ke dokter ya,” ajak Andra. “Tidak perlu, Pak. Saya baik-baik saja,” tolak Kiara dengan halus. “Lebih hati-hati, Kiara. Tangan kamu sampe merah seperti ini,” ucap Wulan yang masih berada disana. “Kamu kesandung kaki meja ya?” sambung Wulan. Kiara mengangguk, saat ini Kiara memang merasa gelisah karena dia takut jika keluarganya datang ke cafe untuk menyeretnya. Meskipun dia sudah menikah, namun dirinya tetap tidak merasa aman berada di luar rumah. Apalagi setelah mendengar jika pria tua yang akan dinikahinya itu menuntut ganti rugi. “Kamu hari ini pulang saja ya,” ucap Andra membuat Kiara tersadar dari lamunannya. “Saya benar-benar tidak apa-apa, Pak,” ucap Kiara mencoba menyakinkan manajer cafe itu. “Tapi tangan kamu merah, aku antar kamu pulang.” “Tidak Pak, tidak usah. Saya bisa pulang sendiri.” “Sungguh?” “Iya Pak, lagipula rumah saya dekat kok,” jawab Kiara sambil menahan rasa panas di tangannya. “Ya sudah, kamu segera pulang. Kalau bisa ke dokter ya agar lukanya cepat sembuh.” “Baik Pak, terimakasih.” Kiara segera menuju ke ruang karyawan untuk melepas apron coklat dan mengambil tasnya. Dia lalu berjalan keluar dari cafe, sebuah mobil mewah berhenti tepat di depannya. “Nyonya, mari saya antar pulang,” ucap Bobby yang keluar dari mobil. Sebelum Kiara menolak, Bobby lebih dulu membukakan pintu mobil untuk Kiara. Terlihat Lucas yang duduk disana membuat Kiara mengurungkan niatnya. Dia pun masuk ke dalam mobil. Ketika pintu ditutup, Kiara dapat merasakan aura yang berbeda dari Lucas. Sorot matanya tampak lebih tajam dari biasanya, dan hal itu membuat Kiara merasa tak nyaman. Dia merasa seolah melakukan kesalahan yang dia sendiri tidak tahu apa itu. Kiara memilih menatap ke luar jendela tak berani menoleh ke arah Lucas. Meskipun dia yakin tidak melakukan kesalahan yang membuat Lucas marah tapi dia tetap merasa melakukan sesuatu. Tak butuh waktu lama mereka pun sampai di rumah Lucas. Tanpa berkata Lucas langsung keluar dari mobil, Kiara menatap punggung Lucas dengan bingung. Dia tak berani bertanya dan memilih mengikuti langkah Lucas menuju ke kamar mereka. Di dalam kamar, terlihat Lucas yang tengah melepaskan dasinya. Pria itu terlihat kesulitan membuat Kiara langsung mendekat. “Biar aku bantu,” ucap Kiara yang meraih dasi Lucas dengan berjinjit. “Akh,” ringis Kiara ketika tangan kanannya mencoba melepaskan dasi Lucas. “Aku bisa melakukannya sendiri,” ucap Lucas dengan dingin. “Dokter sebentar lagi datang,” sambungnya membuat Kiara terdiam. Bagaimana dia tahu aku terluka? Batin Kiara.Kiara melongo menatap kepergian Rina. “Ada satu orang lagi yang tidak menyukaiku,” gumam Kiara yang melangkah masuk ke dalam kamar. Ketika Kiara memasuki kamar yang akan menjadi miliknya itu, matanya langsung terarah pada dinding polos tanpa hiasan. Suasana kamar yang sepi tanpa foto atau lukisan membuatnya terasa lebih dingin dan asing. Kiara merasa ada yang tidak beres, sebuah kehampaan yang menyergapnya saat dia menyadari tidak adanya jejak pribadi Lucas di ruang itu.“Dia tidak suka foto?” gumam Kiara bertanya. Dengan perasaan bingung dan penasaran, Kiara mendekati meja di sudut kamar. Tidak ada bingkai foto, tidak ada kenang-kenangan, hanya beberapa buku dan dokumen yang tertata rapi. Kiara mulai bertanya-tanya, mengapa Lucas tidak menempatkan apapun yang bisa menceritakan sedikit tentang dirinya.Kiara kemudian merebahkan diri di atas tempat tidur yang masih terasa asing. Matanya menatap langit-langit kamar, pikirannya melayang jauh memikirkan hubungan mereka. Kehadiran Rina y
Di dapur yang terletak di lantai empat, Kiara dan Lucas sedang menikmati spaghetti buatan Kiara. Cahaya remang-remang dari lampu dapur menciptakan suasana hangat dan nyaman di antara mereka. Kiara sesekali mencuri pandang ke arah Lucas yang dengan lancar menyantap spaghetti tanpa kesulitan. Keterampilannya dalam menavigasi makanan di piringnya hampir tidak terlihat seperti ia memiliki kekurangan penglihatan. Suasana hening menyelimuti mereka, hanya suara garpu dan sendok yang sesekali terdengar. Tiba-tiba, suasana tenang itu terganggu oleh langkah kaki seseorang yang mendekat. "Sepertinya kalian sedang menikmati makan malam yang romantis," ucap Kevin dengan menatap lekat ke arah Kiara. Kehadiran Kevin yang tiba-tiba jelas membuat situasi menjadi tegang, suara garpu ditangan Lucas berhenti sejenak. “Untuk apa kamu kesini?” tanya Lucas dengan nada tegas, meski dia tidak bisa melihat. “Aku hanya ingin menyapa Kakak ipar, karena tadi mungkin aku kurang sopan kepadanya,” jelas Ke
Kiara menggenggam tangan Lucas erat saat mereka melangkah keluar dari kamar. Langkahnya penuh keraguan, namun kehadiran Lucas di sampingnya membuatnya merasa sedikit lebih tenang. Sinar lampu yang hangat menyambut mereka saat pintu ruang makan terbuka. Jantung Kiara berdebar kencang, menanti reaksi keluarga Lucas. Begitu mereka melangkah masuk, semua mata langsung tertuju pada mereka, terutama Kiara. Seperti harimau yang mengincar mangsa, tatapan mereka penuh skeptisisme. Kiara menelan ludah, berusaha menampilkan senyum meski terasa kaku. “Selamat malam,” ucapnya, suaranya nyaris tertelan oleh keheningan. Namun, tak satupun dari mereka menjawab. Mereka menuju ke dua kursi kosong di ujung meja panjang. Lucas duduk dengan tenang, sementara Kiara mengambil tempat di sampingnya. Tamara, ibu tiri Lucas, memperhatikannya dengan saksama. Suaranya tajam seperti pisau saat dia mulai bertanya, “Bagaimana bisa seseorang sepertimu menjadi istri Lucas?” Kiara tertegun. “Saya—” “Saya ingin
“Maafkan saya!” Kiara berusaha menegakkan tubuhnya meski kakinya bergetar.Pria itu tampak tampan dengan wajah yang menawan. Kiara mengambil tongkat pria itu yang terjatuh dan mengembalikannya tanpa berpikir. Baru kemudian Kiara menyadari bahwa pria itu buta.“Tuan Lucas, apa Anda baik-baik saja?”Seorang pria lain muncul, mengenakan setelan hitam, terlihat panik. Namun, pria menawan tadi hanya berkata, “Bobby, kita kembali ke hotel.”Suara itu dingin dan penuh otoritas, membuat Kiara merasakan getaran ketidaknyamanan.“Mari, Tuan,” kata pria yang dipanggil Bobby, berusaha membimbing Lucas menjauh.Tiba-tiba sebuah ide melintas dalam kepala Kiara.“Tu … tunggu!” Kiara tergagap, langkahnya terhenti. “Bolehkah saya numpang di mobil Anda, Tuan?”Lucas mengernyitkan dahi. Akan tetapi, ia tidak menjawab dan langsung masuk ke dalam mobil.Kiara merasakan keringat dingin mengalir di dahinya. Dia segera menerobos masuk ke dalam mobil membuat Lucas terkejut. “Saya mohon. Bantu saya melarikan
“Jangan—!” Kiara mendorong tubuh tambun pria di hadapannya saat tangan kasar milik pria itu itu menelusuri lengannya yang tidak tertutup baju dengan napas berat. Suara napas itu terlalu dekat, membuatnya mual.Kenapa keluarganya menyuruhnya datang ke sini?“Apa salahnya aku menyentuhmu, Sayang? Toh kita akan segera menikah.” Sepasang mata Kiara membelalak. Apa maksudnya itu? Menikah? Bagaimana bisa!? “Ayo mendekatlah.” Pria itu menyeringai, lalu kembali menarik Kiara ke arahnya. “Kamu tidak perlu malu–” “Tidak!”“Argh!”Kiara mengumpulkan sisa tenaganya untuk mendorong pria menjijikkan itu–bahkan kemudian menendang area intim sosok tersebut. Akan tetapi, akibatnya, baju bagian depannya rusak akibat ditarik oleh tangan nakal itu.“Kamu! Berani-beraninya!”Tangan Kiara gemetar menutup bagian depan tubuhnya yang terbuka. Matanya sudah basah dan wajah pucat. Tanpa berpikir ulang, ia berbalik dan berlari ke luar ruangan.Namun, malang nasibnya. Rupanya sang ayah dan anggota keluargan