Share

Bab 5 Insiden di Cafe

Author: Nuvola
last update Last Updated: 2025-05-26 18:37:25

Kiara melongo menatap kepergian Rina. “Ada satu orang lagi yang tidak menyukaiku,” gumam Kiara yang melangkah masuk ke dalam kamar.

Ketika Kiara memasuki kamar yang akan menjadi miliknya itu, matanya langsung terarah pada dinding polos tanpa hiasan. Suasana kamar yang sepi tanpa foto atau lukisan membuatnya terasa lebih dingin dan asing. Kiara merasa ada yang tidak beres, sebuah kehampaan yang menyergapnya saat dia menyadari tidak adanya jejak pribadi Lucas di ruang itu.

“Dia tidak suka foto?” gumam Kiara bertanya.

Dengan perasaan bingung dan penasaran, Kiara mendekati meja di sudut kamar. Tidak ada bingkai foto, tidak ada kenang-kenangan, hanya beberapa buku dan dokumen yang tertata rapi. Kiara mulai bertanya-tanya, mengapa Lucas tidak menempatkan apapun yang bisa menceritakan sedikit tentang dirinya.

Kiara kemudian merebahkan diri di atas tempat tidur yang masih terasa asing. Matanya menatap langit-langit kamar, pikirannya melayang jauh memikirkan hubungan mereka. Kehadiran Rina yang berubah sikap saat Lucas tidak ada di rumah semakin menambah tanda tanya besar di benak Kiara. Ada ketidaknyamanan yang tumbuh.

“Lagipula ini keputusanku, tidak masalah mereka tidak menyukaiku yang penting sekarang aku terbebas dari pria tua yang mesum itu,” ucap Kiara sambil menatap langit kamarnya.

Dengan hati yang resah, Kiara berusaha mengusir kegelisahan yang menerpanya. Jam dinding menunjukkan waktu masih satu jam lagi sebelum Kiara harus berangkat ke cafe, tetapi satu jam itu terasa seperti keabadian saat dia terbaring di sana, tenggelam dalam kebingungan dan kesepian.

“Haus deh,” gumam Kiara yang bangkit dari tempat tidur. Dia memutuskan untuk ke dapur mengambil air minum.

Kiara berjalan lemah menuju dapur, langkahnya gontai mencari tempat yang asing bagi dirinya di rumah baru ini. Cahaya matahari yang masuk melalui celah jendela memandu jalannya hingga akhirnya dia menemukan dapur. Di sana, Rina sedang asyik menatap layar ponselnya, terbenam dalam dunia digitalnya sendiri. Sesekali jari-jarinya mengetuk layar, sepenuhnya abai terhadap keberadaan Kiara.

Kiara menghela napas, merasa sedikit canggung dan terabaikan, namun dia memutuskan untuk tidak mempermasalahkan sikap Rina. Dia membuka kulkas, mengambil sebuah botol air putih, dan menuangkannya ke dalam gelas yang tersedia. Setelah meneguk air tersebut, lega sedikit terasa menyelimuti tenggorokannya yang kering.

Dengan perasaan yang sedikit lebih baik, Kiara meletakkan gelas di meja dapur. Tiba-tiba, suara Rina yang tajam memecah kesunyian, "Itu gelas, cuci sendiri. Jangan biasakan meninggalkan barang sembarangan." Rina berkata tanpa menoleh dari ponselnya, seolah-olah itu adalah perintah yang tidak bisa ditawar.

Kiara mengangkat alisnya, terkejut dengan nada perintah Rina. Sejenak dia terpaku, memproses kata-kata yang baru saja dilontarkan dengan nada yang kurang menyenangkan itu. Kemudian, tanpa berkata, dia mengambil gelas tersebut dan mulai mencucinya di bawah keran yang mengalir.

Sudah biasa juga bagi Kiara melakukannya sehingga dia tidak merasa keberatan. Hanya saja dia masih terkejut dengan sikap Rina yang terlihat tidak sopan dengannya. Bukan ingin sok menjadi nyonya rumah, tapi Rina memang terlihat jelas tidak menyukai dirinya.

Setelah mencuci gelas maka Kiara memilih kembali ke kamar untuk bersiap berangkat ke cafe.

Rina menatap kepergian Kiara dengan sudut bibir yang terangkat. Wajahnya seakan mencemooh Kiara, hingga dering telepon membuatnya langsung mengangkat telepon itu.

***

Kiara melangkah keluar dari rumah dengan kemeja putih lengan panjang yang baru saja dia setrika. Langit yang terang menjanjikan hari yang cerah. Dia memutuskan untuk berjalan kaki menuju cafe, menikmati sinar matahari yang hangat dan semilir angin yang sejuk. Meskipun jaraknya dekat, Kiara sengaja melambatkan langkahnya, menyerap pemandangan sekitar dan suara kota yang mulai ramai.

Sesampainya di cafe, Kiara melihat manager cafe, Pak Andra, sedang duduk santai di kursi kasir sambil membaca koran. "Selamat pagi, Pak Andra," sapa Kiara dengan ramah. Pak Andra menatapnya melalui kaca mata baca, tersenyum lebar. "Pagi juga, Kiara. Kamu datang lebih awal.”

“Iya nih Pak, daripada gabut dirumah,” jawab Kiara membuat Pak Andra tersenyum.

“Jadi, siap ya untuk hari yang sibuk?" tanya Pak Andra sambil menutup korannya.

Kiara mengangguk semangat. Dia memasuki area dapur untuk mengenakan celemek dan mempersiapkan diri. Aroma kopi yang baru saja diseduh dan suara mesin espresso yang berbunyi menambah semangatnya untuk memulai hari kerja. Kiara mengecek stok bahan dan memastikan semuanya siap untuk para pelanggan yang akan datang. Hari itu, dia bertekad untuk memberikan pelayanan terbaik, seperti biasa.

“Kiara, tolong antar pesanan ini dimeja pojok dekat jendela,” ucap Wulan teman kerjanya.

“Oke,” jawab Kiara yang mengambil segelas Americano.

Kiara berjalan menuju ke meja yang dikatakan Wulan. Namun saat berjalan, kaki Kiara tiba-tiba tersandung membuat segelas Americano panas terguling dari nampannya dan tumpah membasahi tangannya.

“Akh!”

Teriakan kesakitan Kiara memecah keheningan kafe. Pak Andra, manajer kafe, yang sedang memeriksa pesanan di kasir, langsung menoleh dengan raut wajah yang panik.

“Kiara!” ucap Andra terkejut.

Dengan langkah cepat, Wulan menggiring Kiara menuju ke wastafel terdekat. Air mengalir deras dari keran membasahi tangan Kiara yang mulai memerah karena terbakar. Ekspresi kesakitan terlihat jelas di wajah Kiara, namun dia berusaha keras untuk tetap tegar.

Pak Andra menghampiri mereka, "Kiara, kamu baik-baik saja?" tanyanya dengan suara yang penuh kekhawatiran. Kiara mengangguk pelan, meski matanya berkaca-kaca, "Saya baik-baik saja, Pak. Hanya terasa sedikit panas," jawabnya, berusaha menyembunyikan rasa sakit yang sebenarnya.

Wajah Pak Andra memerah, campuran antara kekhawatiran dan rasa bersalah karena kejadian tersebut terjadi di bawah pengawasannya. Dia memastikan bahwa air terus mengalir hingga Kiara merasa lebih baik, sambil meminta salah satu karyawan untuk mengambil kit P3K.

Kafe yang semula ramai kini terdiam, para pelanggan mengamati dengan rasa prihatin.

“Kita ke dokter ya,” ajak Andra.

“Tidak perlu, Pak. Saya baik-baik saja,” tolak Kiara dengan halus.

“Lebih hati-hati, Kiara. Tangan kamu sampe merah seperti ini,” ucap Wulan yang masih berada disana. “Kamu kesandung kaki meja ya?” sambung Wulan.

Kiara mengangguk, saat ini Kiara memang merasa gelisah karena dia takut jika keluarganya datang ke cafe untuk menyeretnya. Meskipun dia sudah menikah, namun dirinya tetap tidak merasa aman berada di luar rumah. Apalagi setelah mendengar jika pria tua yang akan dinikahinya itu menuntut ganti rugi.

“Kamu hari ini pulang saja ya,” ucap Andra membuat Kiara tersadar dari lamunannya.

“Saya benar-benar tidak apa-apa, Pak,” ucap Kiara mencoba menyakinkan manajer cafe itu.

“Tapi tangan kamu merah, aku antar kamu pulang.”

“Tidak Pak, tidak usah. Saya bisa pulang sendiri.”

“Sungguh?”

“Iya Pak, lagipula rumah saya dekat kok,” jawab Kiara sambil menahan rasa panas di tangannya.

“Ya sudah, kamu segera pulang. Kalau bisa ke dokter ya agar lukanya cepat sembuh.”

“Baik Pak, terimakasih.”

Kiara segera menuju ke ruang karyawan untuk melepas apron coklat dan mengambil tasnya. Dia lalu berjalan keluar dari cafe, sebuah mobil mewah berhenti tepat di depannya.

“Nyonya, mari saya antar pulang,” ucap Bobby yang keluar dari mobil.

Sebelum Kiara menolak, Bobby lebih dulu membukakan pintu mobil untuk Kiara. Terlihat Lucas yang duduk disana membuat Kiara mengurungkan niatnya. Dia pun masuk ke dalam mobil.

Ketika pintu ditutup, Kiara dapat merasakan aura yang berbeda dari Lucas. Sorot matanya tampak lebih tajam dari biasanya, dan hal itu membuat Kiara merasa tak nyaman. Dia merasa seolah melakukan kesalahan yang dia sendiri tidak tahu apa itu.

Kiara memilih menatap ke luar jendela tak berani menoleh ke arah Lucas. Meskipun dia yakin tidak melakukan kesalahan yang membuat Lucas marah tapi dia tetap merasa melakukan sesuatu. Tak butuh waktu lama mereka pun sampai di rumah Lucas.

Tanpa berkata Lucas langsung keluar dari mobil, Kiara menatap punggung Lucas dengan bingung. Dia tak berani bertanya dan memilih mengikuti langkah Lucas menuju ke kamar mereka.

Di dalam kamar, terlihat Lucas yang tengah melepaskan dasinya. Pria itu terlihat kesulitan membuat Kiara langsung mendekat.

“Biar aku bantu,” ucap Kiara yang meraih dasi Lucas dengan berjinjit. “Akh,” ringis Kiara ketika tangan kanannya mencoba melepaskan dasi Lucas.

“Aku bisa melakukannya sendiri,” ucap Lucas dengan dingin. “Dokter sebentar lagi datang,” sambungnya membuat Kiara terdiam.

Bagaimana dia tahu aku terluka? Batin Kiara.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pengantin Pengganti: Dimanja Suami Butaku   Bab 102 End

    Beberapa Bulan KemudianWaktu berjalan, meninggalkan segala tragedi yang sempat mengguncang hidup mereka. Hari-hari Kiara kini jauh lebih tenang. Lucas lebih sering berada di rumah, menyisihkan waktu untuk menemani istrinya.Hari ini, senja menorehkan warna emas lembut di langit. Di sebuah aula hotel mewah yang dihiasi lampu gantung kristal, deretan bunga mawar putih dan lilin aromaterapi memenuhi ruangan, memancarkan suasana hangat nan elegan. Musik lembut mengalun, para tamu mengenakan pakaian terbaik mereka.Kiara berdiri di depan cermin, mengenakan gaun berwarna pastel yang dipilihkan langsung oleh Lucas. Rambutnya ditata sederhana, tapi senyum lembutnya membuat semua orang yang memandang tak bisa mengalihkan perhatian. Ia masih belum percaya, pesta ulang tahun sebesar ini dipersembahkan hanya untuk dirinya.Lucas berdiri tak jauh darinya, mengenakan setelan jas hitam dengan dasi biru gelap yang kontras dengan sorot matanya yang tajam. Namun saat menatap Kiara, ketajaman itu luluh

  • Pengantin Pengganti: Dimanja Suami Butaku   Bab 101 ...

    Di kejauhan, di balik kaca gelap sebuah SUV yang terparkir di sisi jalan, Lucas duduk tenang. Senja memantulkan cahaya jingga ke wajahnya yang tanpa ekspresi, menciptakan bayangan tajam di garis rahangnya. Jayden, yang ada di kursi kemudi, memandang lurus ke arah kobaran api yang masih menjilat langit sore.“Kau sudah tahu Kevin akan mencoba ini?” tanyanya pelan, suaranya hampir tenggelam oleh suara hujan yang mulai menitik di atap mobil.Lucas hanya mengangguk sekali, matanya tetap tertuju pada kobaran itu. Tak ada kepuasan di wajahnya, hanya dingin dan perhitungan. Tanpa kata tambahan, Jayden memutar setir. SUV itu perlahan melaju menjauh, meninggalkan asap tebal yang kini membaur dengan warna senja yang kian memudar, seolah menelan sisa-sisa drama yang baru saja terjadi.***Di tempat lain, menit terasa seperti jam bagi Kiara. Hujan rintik membasahi kaca jendela ruang tamu, menorehkan garis-garis tipis yang memantulkan cahaya lampu dalam rumah. Kiara duduk di ujung sofa, tubuhnya s

  • Pengantin Pengganti: Dimanja Suami Butaku   Bab 100 Mengambil Alih

    Ruang rapat utama Alisher Group siang itu terasa lebih dingin dari biasanya, meskipun pendingin ruangan sudah lama dimatikan. Para anggota dewan duduk berderet, saling bertukar pandang penuh waspada. Di ujung meja, Lucas duduk tenang dengan jas biru tua dan ekspresi tak terbaca.Di belakangnya, Jayden berdiri bersandar ke dinding, menyilangkan tangan. Tak banyak yang tahu, dialah otak yang menyusun strategi gila ini.***Beberapa minggu sebelumnya, Lucas masih berada di bawah bayang-bayang Harry yang mencoba mengendalikannya. Tapi Jayden datang dengan tawaran yang sulit ditolak.“Aku tahu cara membuatmu jadi pemegang kendali terbesar di Alisher Group,” kata Jayden sambil menggeser map hitam ke arah Lucas.Di dalamnya, ada dokumen transfer saham, daftar pemegang saham minoritas yang siap menjual, dan skema akuisisi yang nyaris mustahil dilawan.Lucas menatapnya lekat-lekat. “Kalau ini gagal, aku bisa kehilangan segalanya.”Jayden hanya tersenyum tipis. “Kalau kau tidak mencobanya, kau

  • Pengantin Pengganti: Dimanja Suami Butaku   Bab 99 Menikah Lagi

    “Sayang sudah siang, ayo bangun. Nanti terlambat,” suara Lucas terdengar lembut di telinga Kiara. Ia duduk di tepi ranjang, satu tangannya menyentuh pelan lengan istrinya. Kiara menggerakkan tubuh sedikit, tapi matanya tetap terpejam. “Aku masih mengantuk, Mas,” suaranya terdengar manja dan berat. Lucas tersenyum kecil melihatnya. “Ya sudah, nanti aku suruh Bobby urus izin kamu hari ini, biar tidak usah ke kampus,” ucapnya santai, seolah tak keberatan dengan kemalasan istrinya pagi ini. Mendengar itu, Kiara membuka matanya perlahan dan menatap suaminya dengan heran. “Kenapa kamu tidak marah?” tanyanya. “Kenapa harus marah? Kalau kamu mengantuk, ya tidurlah,” jawab Lucas ringan. Kiara mendengus pelan, “Harusnya kamu marahin aku, maksa aku buat bangun,” gerutunya sambil menarik selimut, lalu bangkit setengah duduk dan bersandar di kepala ranjang. Rambutnya yang acak-acakan membuat wajahnya terlihat makin imut di mata Lucas.

  • Pengantin Pengganti: Dimanja Suami Butaku   Bab 98

    Alana menjatuhkan tubuhnya di atas tempat tidur dengan tubuh lemas. Ranjang empuk yang biasanya memberi rasa nyaman, malam ini terasa seperti tempat pelarian dari kekacauan pikirannya. Pertemuan dengan Jayden yang semula ia rencanakan untuk menyelesaikan masalah, justru membuat segalanya semakin rumit. Ia menatap langit-langit kamar dengan nafas berat. Kilasan ingatan tentang klub malam itu kembali terputar di kepalanya lampu berkelap-kelip, musik yang terlalu keras, dan keputusan bodoh yang kini menjadi awal semua masalah. “Patah hati yang membuatku bodoh!” seru Alana sambil mengacak-acak rambutnya sendiri dengan frustrasi. Ketukan lembut di pintu membuyarkan pikirannya. “Nona, ini ada kiriman untuk Nona,” suara Bi Ayu terdengar dari luar, membuat Alana mengerutkan kening. “Masuk, Bi,” ucap Alana, suaranya terdengar letih. Ia bangkit perlahan dan duduk di tepi kasur. Pintu terbu

  • Pengantin Pengganti: Dimanja Suami Butaku   Bab 97 ...

    Langit sore mulai berubah warna, memantulkan semburat jingga di dinding-dinding kampus yang sudah mulai sepi. Suara langkah kaki yang berserakan di trotoar berpadu dengan deru angin, sementara sebagian besar mahasiswa sudah meninggalkan area. Hanya beberapa orang yang berjalan tergesa menuju gerbang, menenteng tas dan buku. Alana keluar dari gedung fakultas dengan ransel tersampir di bahu. Jemarinya sibuk menggenggam ponsel, matanya fokus pada layar saat ia mengetik pesan cepat untuk Jayden. "Kita bisa ketemu di kafe dekat taman kota? Aku mau bicara." Tak sampai lima menit, ponselnya bergetar memberi tanda balasan masuk. "Tunggu di depan kampus. Aku jemput." Alana spontan mengerutkan kening. Ia ingin pertemuan ini santai, tanpa menarik perhatian. Tapi Jayden, seperti kebiasaannya, selalu mengambil alih keputusan. Dengan sedikit kesal, ia mengetik cepat, "Tidak perlu!" lalu menekan tombol kirim.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status