Kiara melangkah menuju kelas tanpa memedulikan tatapan para mahasiswa yang mengarah padanya. Tatapan itu kini bukan lagi bernada intimidasi, melainkan penuh kekaguman.Ia duduk di kursinya, menunggu dua temannya yang belum juga muncul. Tak lama, keduanya datang dengan ekspresi wajah yang langsung membuat kening Kiara berkerut.“Heem… ada yang diantar suami, nih,” goda Alana sambil menyunggingkan senyum nakal. Wajah Kiara seketika memanas, meski ia berusaha tampak santai.“Kalian benar-benar cocok,” timpal Wulan sambil menyodorkan ponselnya, menampilkan foto dari media yang meliput pesta pertunangan Kevin dan Anya.Kiara hanya tersenyum tipis. Baru kali ini ia melihat berita itu—maklum, ia memang jarang mengikuti kabar di media.“Tadi aku lihat, sepertinya kamu masih canggung, ya?” tebak Alana.Kiara terdiam sejenak, seperti sedang menimbang jawabannya. “Sebenarnya… itu karena dia tiba-tiba berbeda,” ujarnya akhirnya, membuat dua temannya langsung mendekat den
Lucas mendorong pintu kamar dengan langkah lebar, tatapannya gelap. Pikiran yang sejak tadi berputar di kepalanya membuat nafasnya terasa berat. Jayden berhasil melakukan sesuatu yang tak banyak orang bisa—membangkitkan kembali ambisi yang selama ini berusaha ia kubur.Ucapan terakhir Jayden masih terngiang di telinganya. “Anak haram itu suka mengambil apapun yang jadi milikmu.”Lucas mengepalkan tangan saat mengingatnya. Ia tak pernah membiarkan siapapun, terutama Kevin, menyentuh atau bahkan mencoba mengambil apa yang menjadi haknya.Matanya menyapu ruangan, mencari sosok Kiara. Tidak ada. Tapi suara gemericik air yang terdengar dari balik pintu kamar mandi memberi jawaban—Kiara sedang berada di dalam.Lucas melangkah menuju sofa, niatnya ingin menenangkan pikiran sejenak. Namun langkahnya terhenti ketika sebuah bunyi notifikasi terdengar di meja kecil di samping tempat tidur. Ponsel Kiara.Refleks, ia meraih ponsel itu. Layar menyala, menampilkan satu pesan ma
Begitu pintu geser tertutup di belakang Kiara, Lucas menyandarkan satu tangannya di meja kecil dekat kolam. Tatapannya lurus, nada suaranya dingin.“Cepat bicarakan apa yang kamu mau, Jayden. Aku tidak punya waktu untuk basa-basi.”Jayden memasukkan kedua tangannya ke saku celana, kali ini tanpa senyum santai yang biasanya ia bawa. "Aku suka pertunjukan semalam," ucap Jayden. "Kau tak mungkin kesini hanya untuk mengatakan itu," balas Lucas membuat sudut bibir Jayden terangkat"Kau memang selalu tepat," ucapnya yang kini duduk dihadapan Lucas. “Aku baru saja dari pertemuan Dewan Direksi. Mereka membicarakan Alisher Group dan kau tahu, topik utamanya siapa.”Lucas mengerutkan kening. “Aku?” tebak Lucas dengan sorot mata menilai. “Siapa lagi?” Jayden mengangkat alis. “Mereka sudah mulai menyiapkan langkah untuk transisi kepemimpinan. Warisan itu—suka atau tidak—akan jatuh ke tanganmu lebih cepat dari yang kamu kira.”Lucas tidak segera menanggapi. Pandang
Aroma kopi baru saja memenuhi ruangan saat Kiara menuang minuman itu ke dalam cangkir keramik putih kesukaan Lucas. Uap hangatnya naik perlahan, seolah memanggil untuk segera disesap. Ia melengkapinya dengan piring kecil berisi beberapa potong kue kering buatan tangannya sendiri, yang masih menyimpan wangi mentega dan gula.Dari balik jendela, Kiara melihat Lucas berdiri di tepi kolam renang, ponsel menempel di telinganya. Suaranya terdengar rendah, tegas namun tetap tenang. Dari raut wajahnya, pembicaraan itu tampak cukup serius. Ia mengenakan kaos santai berwarna gelap yang membingkai postur tegapnya, dan mata Kiara tak sengaja tertahan pada sosoknya yang terpantul di permukaan air kolam—pemandangan yang terasa menenangkan sekaligus memikat.Dengan langkah pelan, Kiara keluar membawa nampan berisi kopi dan cemilan itu. Sandal rumahnya berderit lembut di atas lantai kayu teras. Ia meletakkannya di meja kecil dekat kursi santai yang menghadap kolam, lalu menarik napas, tak i
Anya menatap layar ponselnya dengan mata membelalak. Jari-jarinya bergerak cepat menggulir halaman demi halaman berita, namun setiap judul yang muncul justru membuat darahnya mendidih. "Lucas dan Kiara — Pasangan Serasi yang Mencuri Perhatian." "Romantisme Lucas dan Kiara – Pewaris yang Kembali Bisa Melihat." Foto-foto itu bertebaran di mana-mana. Lucas tersenyum hangat pada Kiara, Kiara tertawa dengan tatapan penuh rasa nyaman, bahkan ada satu foto di mana Lucas terlihat membukakan pintu mobil untuk Kiara. Semuanya terlihat begitu sempurna. Seakan-akan dunia sedang berpihak pada mereka. Sementara itu, ketika Anya mencoba mencari pemberitaan tentang dirinya sendiri, yang muncul malah membuatnya ingin melempar ponsel ke dinding. "Pesta Pertunangan Kevin dan Anya Berakhir Ricuh." "Drama Memalukan di Malam Pertunangan." "Tamara Kehilangan Kendali, Acara Berubah Menjadi Kekacauan." Bibir Anya bergetar menahan amarah. “Kenapa semua orang membicarakan mereka seolah mereka p
Sinar matahari pagi menembus tirai tipis, membelai kulit Kiara yang hangat oleh selimut. Perlahan matanya terbuka, menyesuaikan diri dengan cahaya yang lembut. Begitu kesadarannya pulih, ia merasakan udara pagi menyentuh kulitnya kulit yang telanjang tanpa sehelai pun kain.Refleks, Kiara menarik selimut lebih tinggi, menutupi dada dan tubuhnya. Wajahnya langsung memanas, apalagi ketika bayangan kejadian semalam menyeruak di kepalanya—sentuhan Lucas, tatapan matanya, dan irama nafas mereka yang berpadu.Pipi Kiara makin bersemu ketika ia mengingat satu hal yang membuatnya semakin malu. Semalam, Lucas sama sekali tidak melepas pakaiannya, sementara ia—tidak menyisakan apapun. Sensasi itu, rasa ditatap dan dimiliki sepenuhnya, kembali membuat jantungnya berdebar cepat.Kiara menoleh ke samping. Lucas masih terlelap, wajahnya tenang, nafasnya teratur. Rambutnya sedikit berantakan, namun tetap memancarkan wibawa yang membuat Kiara tak bisa berpaling lama. Ada senyum tipis di