Elena segera pergi, keluar dari mansion, langkahnya cepat dan mantab.
"Nona Elena ke Ravenhall? Apa dia akan baik-baik saja?" gumam Jack, terlihat khawatir, menyadari aura dingin di balik senyum Elena.
Namun ia segera membuang pikiran itu, lalu masuk ke kamar Meix di kamar tamu. "Permisi, Tuan. Apa Anda sudah siap ke kantor?"
Meix sedang memakai jam tangannya, ia menoleh sembari tersenyum pada Jack. "Ya Jack. Ayo kita berangkat," jawabnya. Ia mengambil tas di sofa lalu keluar dari kamar.
Namun langkahnya tiba-tiba berhenti persis di depan tangga. Ia membeku, menatap kosong ke arah kamarnya bersama Elena. Kerinduan terpancar jelas di matanya. 'Apa kau baik-baik saja, Elena?' batinnya, sebuah pertanyaan yang tak mampu terucap.
Jack ikut menatap arah pandangan Meix, senyum tipisnya tersungging, seolah paham betul apa yang dirasakan tuannya. Ia menarik napas panjang lalu menggeleng samar. 'Kalian ini saling rindu, tapi pura-pura tak peduli,' batin Jack
Lucien menggenggam tangan Meix, berusaha melepas cengkramannya. "Apa maumu, Meix?!"Meix mendorong tubuh Lucien lebih kasar, mengunci pria itu pada dinding kayu hingga tak bisa berkutik. "Katakan! Siapa yang membunuh Nyonya Anastasia?""Dia bunuh diri, Meix!" sangkal Lucien, sembari mengerang."Kau masih saja tak mau berkata jujur?!" Meix semakin gelap mata. Ia mencekik leher Lucien. Urat-urat di lehernya menegang, wajahnya memerah sampai telinga, seolah darahnya mendidih.Lucien meronta, berusaha melepas cekikan Meix, namun sia-sia. Pria itu terlalu marah, hingga tak bisa menggunakan akal sehatnya.Beruntung, Jack segera menghampiri dan melerai tuannya. Ia memegang lengan Meix dengan lembut, berusaha meredam emosinya. "Tuan tenanglah. Jika dia mati, itu akan mempersulit Anda."Meix perlahan mengendurkan cekikannya. Urat di lehernya tak lagi menonjol, warna merah di wajahnya perlahan memudar. Ia menghempas tubuh Lucien hingga terjatuh di lan
Lucien seketika bangkit dari kursinya, gusar. "Kau jangan mengada-ada, Meix. Nyonya Anastasia meninggal karena overdosis obat penenang," sangkalanya, suaranya sedikit meninggi.Meix mengangguk tenang. Senyum dinginnya terukir, meluluhkan keberanian Lucien. "Ah... Benarkah? Kalau begitu, kenapa kau terlihat gusar?" Bibirnya terangkat sebelah, seperti ada kata-kata yang sengaja disimpan hanya untuk membuat Lucien merasa kecil. "Santailah... Aku hanya sedikit ingin tahu cerita Elena. Bukankah... Kau adalah kakaknya?"Napas Lucien memburu, dada naik-turun cepat. Tangannya mengepal erat, tapi jemarinya bergetar halus, seolah kekuatan dan ketakutan berebut kendali di dalam dirinya.Melihat ekspresi Lucien, Meix menyeringai penuh kemenangan. Ia menuang alkohol ke gelas Lucien, lalu berdiri berhadapan dengannya. "Minumlah!" ucapnya, sorot matanya dingin penuh tantangan.Ia memberikan gelas itu pada Lucien, lalu menawarkan tos. "Cers... Ini untuk per
Lucien menundukkan wajahnya. Rahangnya mengeras, matanya memancarkan kilatan marah yang tertahan. Tangannya mengepal erat di sisi tubuh."Elena... Aku tunggu di rumah," pamitnya, lalu pergi meninggalkan Meix yang masih sibuk mencumbu Elena dengan paksaan.Elena meronta, berusaha melepas diri dari ciuman brutal Meix hingga ia menggigit bibir suaminya itu dengan sengaja."Sshhh..." rintih Meix, tatapannya menusuk Elena. "Kau menggigitku?"Elena mengangkat dagunya seolah menantang. Tapi bibirnya bergetar saat bicara. "Kau pantas mendapatkannya. Turunkan aku!"Rahang Meix mengeras, otot pipinya berkedut halus. Bibirnya terkatup rapat, seolah takut satu kata saja akan meledak menjadi seribu. Tangannya yang menopang tubuh Elena bergetar menahan amarah."Sejak kapan kau berpikir bisa mengaturku?" desisnya, mengabaikan perintah Elena.Bibir Elena bergerak sejenak, tapi kemudian kembali rapat—seolah mengunci semua protes di dalam m
Elena mendorong tubuh Meix, lalu melangkah cepat untuk pergi. Namun tangan suaminya itu terlalu panjang, hingga bisa dengan mudah meraih kembali tangan Elena.Meix menimang Elena tanpa tenaga, seolah tubuh wanita itu hanya seberat kapas. "Aku ingin melindungimu, karena kau adalah aset perusahaan," ucapnya, dengan senyum miring penuh makna.Dahi Elena berkerut samar, tatapannya menusuk. Setiap kata yang didengar dari mulut Meix terasa seperti penghinaan baginya. "Aset?"Ia memberontak, mendorong dada Meix dengan kekuatan penuh. "Turunkan aku!" desisnya. Elena mendengus, lirikannya tajam menembus arogansi Meix, lalu membalikkan badan, melangkah cepat meninggalkan Meix.Meix hanya tersenyum samar melihat tingkah Elena. Ia memasukkan tangannya ke saku celana, lalu berjalan santai menyusul Elena yang terlihat terburu-buru.Meski begitu, langkah kecil Elena tak bisa membuatnya kabur dari pandangan Meix."Pelan-pelan, Nona. Rumputnya basah. Bagaima
"Tuan, ini bukan salah Anda," ujar Jack lembut, tangannya terangkat hendak menyentuh bahu Meix, tetapi ia urungkan kembali. "Anda hanya butuh waktu untuk sembuh."Meix mematung. Ia mencengkeram kuat kuesen jendela, pandangannya menembus pegunungan bersalju yang tampak dingin. Tatapan itu seolah membawanya kembali pada masa lalu, saat usianya masih sepuluh tahun, beberapa jam sebelum orang tuanya meninggal.Meix kecil, mengkeram erat tangan Ibu dan Ayahnya, menghentikan langkah mereka yang sedang terburu-buru."Ayah... Ibu... Kalian hari ini akan pulang cepat, kan? Hari ini ulang tahunku. Aku ingin Ayah membelikanku kue ulang tahun," pintanya dengan polos.Ayah Meix berjongkok di hadapannya, berusaha memberi pengertian pada putra kecilnya itu. "Meix... Hari ini Ayah sangat sibuk. Jika sempat, Ayah akan membawakanmu kue."Meix bersedekap dada, membuang muka. Wajahnya terlihat cemberut. "Tidak mau! Pokoknya Ayah harus membelikanku kue dan merayakan ul
Meix terpaku, bola matanya melebar. Ia menatap Elena lama, seolah pernyataan cinta itu adalah bahasa tajam yang telah menyayat hatinya.Bibirnya kelu, tak mampu berucap. Hanya suara hatinya yang berbisik, 'Cinta? Kau jatuh cinta padaku? Tapi... Kenapa aku tidak senang mendengarnya. Apa... Aku tidak mencintainya?'Seharusnya ia merasa bangga dengan itu, tapi yang ia rasakan justru kekacauan. Perasaan yang begitu asing, begitu menakutkan.Kelopak mata Elena bergerak cepat, melihat wajah Meix yang terlihat datar, tanpa ekspresi. Apa yang ia lihat, sangat bertolak belakang dengan harapannya."Meix... Aku tahu pernikahan kita hanya bisnis. Tapi... Bolehkah aku jatuh cinta padamu?" tanya Elena, sedikit gugup.Meix hanya tersenyum miring. Ia menjauhkan diri dari Elena, lalu berjalan pelan menuju nakas—mengambil segelas alkohol."Aku tak menyangka, ternyata mudah sekali membuatmu jatuh cinta," ucapnya santai sembari menenggak alkohol. Se