"Apa yang membawamu kemari, Anak nakal?!" hardik Camille. Suaranya tajam menusuk, membuyarkan lamunan Elena yang penuh kengerian masa lalu.
Elena menarik napas panjang, berusaha menyingkirkan kekalutannya. 'Aku harus tenang. Aku akan menyelidikinya nanti,' batinnya, menekan ketakutan yang merayap.
Ia tersenyum masam, raut wajahnya terlihat tenang dan dingin, seolah tak terusik sedikitpun dengan kedatangan Camille. "Halo, Nyonya. Tidakkah kau merindukanku?" sindirnya, dengan nada menyayat.
Camille menyeringai sinis, ia bersedekap dada sembari membuang muka. "Tak ada yang merindukanmu di rumah ini, Elena."
"Oww... Sayang sekali," ejek Elena dengan wajah menyebalkan, sebuah seringai kemenangan di bibirnya. "Padahal aku membawa kabar bahagia."
Camille seketika menoleh, menatap Elena dengan wajah penasaran yang tak bisa disembunyikan. Bibirnya mencibir, sorot matanya penuh dengki. "Kau pasti berbohong, kan?"
Elena terkekeh kecil, sorot matanya in
Lucien seketika bangkit dari kursinya, gusar. "Kau jangan mengada-ada, Meix. Nyonya Anastasia meninggal karena overdosis obat penenang," sangkalanya, suaranya sedikit meninggi.Meix mengangguk tenang. Senyum dinginnya terukir, meluluhkan keberanian Lucien. "Ah... Benarkah? Kalau begitu, kenapa kau terlihat gusar?" Bibirnya terangkat sebelah, seperti ada kata-kata yang sengaja disimpan hanya untuk membuat Lucien merasa kecil. "Santailah... Aku hanya sedikit ingin tahu cerita Elena. Bukankah... Kau adalah kakaknya?"Napas Lucien memburu, dada naik-turun cepat. Tangannya mengepal erat, tapi jemarinya bergetar halus, seolah kekuatan dan ketakutan berebut kendali di dalam dirinya.Melihat ekspresi Lucien, Meix menyeringai penuh kemenangan. Ia menuang alkohol ke gelas Lucien, lalu berdiri berhadapan dengannya. "Minumlah!" ucapnya, sorot matanya dingin penuh tantangan.Ia memberikan gelas itu pada Lucien, lalu menawarkan tos. "Cers... Ini untuk per
Lucien menundukkan wajahnya. Rahangnya mengeras, matanya memancarkan kilatan marah yang tertahan. Tangannya mengepal erat di sisi tubuh."Elena... Aku tunggu di rumah," pamitnya, lalu pergi meninggalkan Meix yang masih sibuk mencumbu Elena dengan paksaan.Elena meronta, berusaha melepas diri dari ciuman brutal Meix hingga ia menggigit bibir suaminya itu dengan sengaja."Sshhh..." rintih Meix, tatapannya menusuk Elena. "Kau menggigitku?"Elena mengangkat dagunya seolah menantang. Tapi bibirnya bergetar saat bicara. "Kau pantas mendapatkannya. Turunkan aku!"Rahang Meix mengeras, otot pipinya berkedut halus. Bibirnya terkatup rapat, seolah takut satu kata saja akan meledak menjadi seribu. Tangannya yang menopang tubuh Elena bergetar menahan amarah."Sejak kapan kau berpikir bisa mengaturku?" desisnya, mengabaikan perintah Elena.Bibir Elena bergerak sejenak, tapi kemudian kembali rapat—seolah mengunci semua protes di dalam m
Elena mendorong tubuh Meix, lalu melangkah cepat untuk pergi. Namun tangan suaminya itu terlalu panjang, hingga bisa dengan mudah meraih kembali tangan Elena.Meix menimang Elena tanpa tenaga, seolah tubuh wanita itu hanya seberat kapas. "Aku ingin melindungimu, karena kau adalah aset perusahaan," ucapnya, dengan senyum miring penuh makna.Dahi Elena berkerut samar, tatapannya menusuk. Setiap kata yang didengar dari mulut Meix terasa seperti penghinaan baginya. "Aset?"Ia memberontak, mendorong dada Meix dengan kekuatan penuh. "Turunkan aku!" desisnya. Elena mendengus, lirikannya tajam menembus arogansi Meix, lalu membalikkan badan, melangkah cepat meninggalkan Meix.Meix hanya tersenyum samar melihat tingkah Elena. Ia memasukkan tangannya ke saku celana, lalu berjalan santai menyusul Elena yang terlihat terburu-buru.Meski begitu, langkah kecil Elena tak bisa membuatnya kabur dari pandangan Meix."Pelan-pelan, Nona. Rumputnya basah. Bagaima
"Tuan, ini bukan salah Anda," ujar Jack lembut, tangannya terangkat hendak menyentuh bahu Meix, tetapi ia urungkan kembali. "Anda hanya butuh waktu untuk sembuh."Meix mematung. Ia mencengkeram kuat kuesen jendela, pandangannya menembus pegunungan bersalju yang tampak dingin. Tatapan itu seolah membawanya kembali pada masa lalu, saat usianya masih sepuluh tahun, beberapa jam sebelum orang tuanya meninggal.Meix kecil, mengkeram erat tangan Ibu dan Ayahnya, menghentikan langkah mereka yang sedang terburu-buru."Ayah... Ibu... Kalian hari ini akan pulang cepat, kan? Hari ini ulang tahunku. Aku ingin Ayah membelikanku kue ulang tahun," pintanya dengan polos.Ayah Meix berjongkok di hadapannya, berusaha memberi pengertian pada putra kecilnya itu. "Meix... Hari ini Ayah sangat sibuk. Jika sempat, Ayah akan membawakanmu kue."Meix bersedekap dada, membuang muka. Wajahnya terlihat cemberut. "Tidak mau! Pokoknya Ayah harus membelikanku kue dan merayakan ul
Meix terpaku, bola matanya melebar. Ia menatap Elena lama, seolah pernyataan cinta itu adalah bahasa tajam yang telah menyayat hatinya.Bibirnya kelu, tak mampu berucap. Hanya suara hatinya yang berbisik, 'Cinta? Kau jatuh cinta padaku? Tapi... Kenapa aku tidak senang mendengarnya. Apa... Aku tidak mencintainya?'Seharusnya ia merasa bangga dengan itu, tapi yang ia rasakan justru kekacauan. Perasaan yang begitu asing, begitu menakutkan.Kelopak mata Elena bergerak cepat, melihat wajah Meix yang terlihat datar, tanpa ekspresi. Apa yang ia lihat, sangat bertolak belakang dengan harapannya."Meix... Aku tahu pernikahan kita hanya bisnis. Tapi... Bolehkah aku jatuh cinta padamu?" tanya Elena, sedikit gugup.Meix hanya tersenyum miring. Ia menjauhkan diri dari Elena, lalu berjalan pelan menuju nakas—mengambil segelas alkohol."Aku tak menyangka, ternyata mudah sekali membuatmu jatuh cinta," ucapnya santai sembari menenggak alkohol. Se
Elena turun dari saung, membiarkan para timnya menyelesaikan proses penelitian. Kakinya yang masih telanjang tanpa sengaja menginjak rumput berembun, ia berjalan ke depan gunung, menyaksikan air terjun yang jatuh dengan begitu indah, seolah mencerminkan perasaannya yang meluap.Elena mengangkat sedikit wajahnya dengan mata terpejam. Kedua tangannya terentang, menghirup aroma salju yang dibawa angin dari ujung gunung."Ibu... Bersabarlah. Aku akan mengembalikan semua milik Ibu pada tempatnya," gumamnya.Ia membuka matanya perlahan. Bibirnya tersenyum tipis saat melihat bayangan Ibunya sedang tersenyum di hadapannya. Kehadiran sosok itu begitu nyata, seolah sedang mengawasi dan merestui setiap gerak Elena di dunia ini."Aku merindukanmu Ibu..." bisiknya. Bibirnya bergetar menahan isak yang hampir pecah.Lalu tiba-tiba, suara riuh anak-anak terdengar dari kejauhan. Ia segera berjalan pelan menuju sumber suara yang berasal dari padang rumput di tepi su