Sorot mata Vladimir berkilat lembut, tubuhnya sedikit condong ke depan, raut wajahnya seperti menanti sesuatu yang belum terungkap. "Lucien! Rencana apa yang Viviane maksud?!"
Lucien melihat Vladimir sebentar lalu kembali membuang muka. Jemarinya saling meremas di antara pahanya, seolah sedang menahan gejolak emosi di dalam dirinya. Tenggorokannya terasa kering, bibirnya bergetar seolah ragu untuk berkata.
"Tidak, Ayah. Aku hanya..." Ia menelan ludah sebentar lalu melanjutkan kembali kata-katanya. "Hanya mencoba membujuk Elena, agar keluar dari perusahaan Dalton," jawabnya berkelit. Jauh dari itu, Lucien mempunyai rencana tersembunyi dan hanya dirinya sendiri yang tahu.
Vladimir semakin mencondongkan tubuhnya ke arah Lucien. Sorot matanya tajam penuh tekanan. "Aku harap... kau benar-benar melakukan itu, Lucien. Paling tidak, aku tidak sia-sia telah membesarkanmu sejak kecil."
"Benar yang Ayahmu bilang, Lucien. Setidaknya, jadilah anak yang berguna!" timpa
Elena akhirnya kembali ke kamarnya setelah empat belas tahun diasingkan. Namun, kamar itu sudah berubah. Viviane telah merebutnya dan dijadikan kamarnya sendiri."Singkirkan barang-barang itu! Aku mau suasana yang baru," pinta Elena pada pelayan."Baik, Nona," jawab beberapa pelayan serentak. Mereka mengemasi barang-barang Viviane ke dalam kotak, lalu memindahkannya ke kamar lain."Apa yang kau lakukan?!" teriak Viviane, memasuki kamar itu dengan mata melotot.Elena menoleh ke arahnya, ia menyilangkan tangan di dada sambil tersenyum tipis. "Kau datang? Kalau begitu... Bantu pelayan mengemasi barang-barangmu!"Viviane merebut sebuah kotak yang dibawa pelayan dengan kasar. "Letakkan barang-barang itu! Tidak ada yang boleh memindahkan barangku ke manapun!" bentaknya pada pelayan.Para pelayan itu ketakutan lalu berhenti. "Lanjutkan pekerjaan kalian. Pindahkan barang-barang itu ke tempat lain. Aku akan memberi kalian bonus," ucapkan Elena dengan nada santai.Hal itu membuat Viviane sema
Jack menatap Erich sebentar, lalu menunduk. "Tuan... Selama ini, Tuan Meix selalu bilang dirinya mandul kepada semua orang."Sudut bibir Erich seketika turun. Matanya yang semula berbinar kini kembali redup. "Apa maksudmu? Meix normal. Dia sama sekali tak ada masalah dengan reproduksinya.""Sepertinya, Tuan Meix sengaja menyebar berita itu untuk menghindari pernikahan," jelas Jack. "Hal itu dimanfaatkan Lucien untuk memfitnah Nona Elena."Wajahnya seketika berseri, mencairkan ketegangan yang dirasakan Erich. "Tapi saya yakin, Tuan. Janin yang dikandung Nona Elena, adalah bayi Tuan Meix."Erick menggangguk, bibirnya melengkung meski tidak lebar. Sudut matanya berkaca-kaca. "Ya... Aku juga yakin itu adalah bayi Meix. Elena tidak mungkin menghianati cucuku. Dia adalah gadis yang baik."Jack mengangguk sambil menggenggam tangan Erich. Senyumnya yang lebar tersungging di wajahnya."Jack. Apa Kau bisa awasi Elena di Ravenhall? Entah kenapa a
Elena menyeringai, lalu menarik tangannya kasar. Ia membalikkan badannya—kembali duduk di sofa dengan santai.Ia mengambil gelas jus di meja. Sorot matanya tak ada sedikitpun rasa takut saat menatap Meix, hanya ketenangan yang dingin. "Pastinya bukan anakmu, kan? Bukankah... Kau mandul?"Ia kembali menyeringai seolah meremehkan, lalu menenggak jus itu dengan gerakan pelan.Meix tersulut, tangannya mengepal erat hingga buku-buku jarinya memutih. Matanya memerah, rahangnya mengeras. Ia menarik tangan Elena berdiri hingga gelas itu terjatuh, pecah berkeping-keping di lantai dengan suara keras.Pyar!Tangan kananya menarik pinggang Elena hingga menempel ditubuhnya. Sementara tangan kirinya menarik tengkuk istrinya itu, lalu menyambar bibinya dengan brutal.Pergulatan emosi dan perang bibir pun terjadi. Ciuman yang tadinya penuh amarah, kini ber
Di rumah sakit, Meix terlihat gusar. Pasalnya, sudah dua hari ia dirawat tapi sekalipun Elena tak pernah datang menjenguknya."Jack, apa Elena sangat sibuk?" tanyanya. Ia duduk di atas ranjang rumah sakit sambil memeluk lututnya, seperti anak kecil yang kehilangan ibunya.Jack terdiam, matanya melirik ke kanan dan ke kiri, seolah mencari sebuah alasan. "Tuan, bisakah Anda tidak memikirkan Nona Elena terlebih dahulu? Tolong fokus pada kesehatan Anda."Meix menundukkan wajahnya, matanya terlihat sayu. "Tidak, Jack. Aku tak bisa hidup tanpanya."Di layar televisi yang sedang menyala, sebuah berita tentang Elena muncul. Dalam tayangan itu, terlihat Elena dan Lucien sedang masuk ke dalam mobil hingga ke ruang kandungan di rumah sakit.Pewarta berita menyiarkan...'Elena Vorontsov, istri dari Milioner Meix Dalton yang baru saja mendapat prest
Meix terlihat terkulai di lantai, kemejanya yang terbuka tergeletak di sampingnya. Rupanya, ia berhasil sadar setelah Elena berusaha menggedor pintu, lalu kaget saat melihat wanita yang bersamanya bukan Elena. Dengan tenaga yang masih tersisa, ia berusaha mendorong tubuhnya sendiri hingga terjatuh ke lantai berselimut karpet wool.Sayup-sayup kelopak matanya terbuka saat Elena masuk. Ia berusaha memanggil Elena meski suaranya hampir tak terdengar. "Elena..." bisiknya samar.Viviane turun dari ranjang dengan tergesa. Matanya melotot menatap Elena penuh dengan keangkuhan. "Berani-beraninya kau mendobrak masuk. Keluar!" teriaknya pada Elena.Elena segera menghampiri Viviane lalu menampar wajahnya dengan keras.Tarr!"Wanita tidak tahu malu! Kau mencoba memperkosa suami orang?!" desis Elena.Jack segera menghampiri Meix lalu membantunya untuk naik ke atas ranjang.Viviane meraba pipinya yang terasa panas dan nyeri. Tatapannya
Di waktu yang sama di balkon dekat ballroom, ketegangan antara Lucien dan Elena terasa begitu pekat, seolah membelah udara di antara mereka. Tuduhan Elena terhadap ibu Lucien bagai percikan api yang membakar amarah pria itu."Apa kau gila?! Dari mana pikiranmu menuduh Ibuku seperti itu?" sangkal Lucien.Elena mendengus, membuang muka. Bibirnya tersenyum miring, napasnya masih memburu berusaha mengatur emosi. "Hanya karena aku amnesia, tidak berarti kalian bisa cuci tangan. Apa kau pikir... Ingatanku hilang sepenuhnya?!"Tangan Lucien mengepal di sisi tubuh, lalu perlahan ia longgarkan, jemarinya bergetar halus. Bahunya naik-turun pelan, menarik napas panjang seolah mencoba menelan bara dalam dadanya."Elena. Saat itu kau masih sangat kecil. Ditambah lagi kau amnesia. Ingatanmu itu bisa saja salah," bujuknya, suaranya melembut, mencoba menembus pertahanan Elena.Elena memaksakan senyum tipis, tapi garis di sekitar matanya menegang. Senyum itu lebih